tertutup dan berjalan serta bekerja sendiri, namun tetap dalam kerangka ketatanegaraan dan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh.
4.2 Aspek Perubahan Reformasi Polri
Pengembangan kemampuan dan kekuatan serta penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah memberikan rasa aman kepada negara,
masyarakat, harta benda dari tindakan kriminalitas. Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan perubahan-perubahan melalui tiga aspek,
antara lain: a. Aspek struktural: mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam
Ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan; b. Aspek instrumental: mencakup filosofi Visi, Misi dan tujuan, Doktrin,
kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek; c. Aspek kultural: meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem
pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional. Aspek Kultural adalah muara dari perubahan aspek struktural
dan instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan
manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional. Dapat dilihat dalam tabel di
bawah perbedaan antara aspek satu ke aspek yang lain.
Tabel 4.2 Aspek-aspek Perubahan dalam Reformasi Polri Aspek Struktural
Aspek Instrumental Aspek Kultural
1. Perubahan Polri
menjadi lembaga nondepartemen
1. Dikeluarkannya TAP MPR No. VI dan VII
Tahun 2000 tentang 1. Perubahan doktrin dan
pedoman induk dari Doktrin Catur Darma
12
dengan kedudukan setingkat menteri.
2. Penempatan Polri sebagai mitra kerja
DPR RI dalam urusan keamanan melalui
Komini III DPR Bidang Hukum
3. Pemisahan struktur kepegawaian dari
manajemen TNI 4. Pembenahan
penampilan polisi berseragam, tidak
berseragam, dan
peralatan tugas 5. Penetapan
Polda sebagai induk penuh
kesatuan tidak
sentralistik ke Mabes Polri
6. Penetapan titik
pelayanan pada
pengemban diskresi yang diatur dalam
pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002. Dalam
hal ini, dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, Pemisahan TNI-Polri
dan Peran TNI-Polri 2. Amandemen pasal 30
UUD 1945 ayat 2 dalam usaha di bidang
pertahanan dan
keamanan sebagai kekuatan
utama, dalam
upaya pertahanan
dan keamanan negara
yang dilaksanakan melalui
sistem Hankamrata
3. Revisi 300 Petunjuk Pelaksanaan Junlak
dan Petunjuk Teknis Junkis Polri
4. Penyusunan Grand
Strategy 25 tahun Polri yang terdiri atas
jangka pendek untuk trust building, jangka
menengah untuk
membangun kemitraan, dan jangka
panjang untuk
membangun strive for excellence.
Eka Karma sebagai pedoman induk di
masa orba, dan Doktrin Sad Daya
Dwi Bhakti sebagai doktrin pelaksanaan
menjadi Doktri Tri Brata sebagai doktrin
induk, dan Doktrin Catur
Prasetya sebagai pedoman
hidup anggota. 2. Perumusan pedoman
perilaku polisi dalam melaksanakan
tugasnya, yaitu postur Polri
yang professional, bermoral
dan modern sebagai pelinding, pengayom,
dan pelayan
masyarakat yang
terpercaya dalam melindungi
masyarakat dan
menegakkan hukum 3. Pemberdayaan bintara
dan tamtama Polri dalam
upaya community policing.
Dalam hal ini, polisi
13
pejabat Polri dapat bertindak menurut
penilaian sendiri 7. Pelembagaan Komisi
Kepolisian 8. Likuidasi
satuan Brimob dalam arti
mereposisi Brimob Polri sebagai satuan
khusus polisi
professional dengan adanya daya tangkap
tinggi yang berbeda fungsinya dengan
militer. tidak
lagi menempatkan diri
secara vertical, tetapi horizontal di dalam
masyarakat.
Sumber: “Langkah-langkah Reformasi Internal Polri,” dalam IDSPSS, AJI, dan FES, Newsletter, Edisi VII102008.
Dalam langkah-langkah reformasi yang dilakukan oleh Polri, tidak terlepas dari perencanaan matang melalui Grand Strategi Polri 2005-2025, yang
telah dirumuskan kedalam 3 tiga tahapan Rencana Strategis Renstra, yaitu : 1. Tahap I Trust Building pada periode tahun 2005 - 2009
Membangun kepercayaan Polri di mata publikmasyarakat merupakan faktor penting dalam Grand Strategi Polri karena merupakan awal dari
perubahan menuju pemantapan kepercayaan Trust Building, meliputi: bidang kepemimpinan, sumber daya manusia yang efektif, Pilot Project
yang diunggulkan berbasis hi-tech, kemampuan penguasaan perundang- undangan dan sarana prasarana pendukung visi misi Polri
2. Tahap II Partnership Building pada periode tahun 2010-2014 Membangun kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait
dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam penegakan hukum
14
dan ketertiban serta pelayanan, perlindungan, pengayoman masyarakat untuk menciptakan rasa aman.
3. Tahap III Strive for Excellence periode tahun 2015-2025 Membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan
good governance, best practices Polri, profesionalisme SDM, implementasi teknologi, infrastruktur, material fasilitas dan jasa guna
membangun kapasitas Polri capacity building yang kredibel di mata masyarakat Nasional, Regional dan Internasional.
Selanjutnya komitmen Polri untuk meningkatkan kinerja agar dapat dirasakan masyarakat berupa ‘Penguatan Institusi’, ‘Terobosan Kreatif’ creative
breakthrough dan ‘Peningkatan Integritas’ patut diapresiasi. Namun institusi Polri harus memastikan pelaksanaan yang konkret dan terintegrasi dalam komitmen
tersebut kepada seluruh 400.000 lebih personelnya. Polri telah melakukan langkah-langkah proaktif sebagai wujud komitmen
Polri menata transparansi Polri khususnya dalam pelayanan informasi publik guna membuka peluang bagi pengawasan eksternal dan membangun akuntabilitas
publik demi terwujudnya partisipasi masyarakat dalam kamtibmas. Salah satu indikator yang dapat menjadi acuan dari komitmen Polri adalah pelaksanaan
Perkap No.162010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Polri, menetapkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
PPID baik struktural maupun fungsional sampai dengan tingkat Polsek, melaksanakan seminar KIP, sosialisasi dan pelatihan PID dan kehumasan
dengan peserta sampai dengan tingkat Polsek, dan secara bertahap mengusulkan pembangunan sistem pelayanan informasi berbasis tekhnologi
informasi TI sebagaimana amanat UU KIP. Polri adalah institusi negara pertama yang menyediakan aturan internal
merespon UU No. 142008 tentang Keterbukaan Informasi Publik KIP. Atas langkah-langkah proaktif ini Polri memperoleh sertifikat penghargaan dari
Komisi Informasi Pusat sebagai lembaga yang proaktif dalam rangka kesiapan menyongsong implementasi UU KIP. Kebijakan ini memunculkan
15
harapan besar agar dapat mendorong Polri untuk bekerja secara transparan dan akuntabel dalam memberikan akses publik.
Setahun berjalan, pelaksanaan dari aturan ini belum berjalan maksimal karena kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dari UU KIP dari
setiap anggota Polri, problem birokrasi kultural; kurang terintegrasinya relasi antar satuan kerja di kepolisian; serta minimnya perangkat sistem informasi dan
dokumentasi yang terpadu. Indikator lain yang menjadi persoalan mendasar bagi Polri tampak pada
belum berubahnya mindset dan culture set anggota Polri yang sebenarnya telah menjadi komitmen insitusi Polri. Salah satu kendalanya adalah faktor kultural
birokrasi lembaga kepolisian yang sulit diubah. Hal itu tak terlepas dari keteladanan pimpinan kepolisian yang mengakibatkan birokrasi kepolisian yang
masih dipengaruhi budaya militer dan tidak termovitasi untuk mengubah kulturnya. Secara struktur dan cultural budaya, setiap gagasan reformasi
kepolisian harus didukung oleh para perwira senior, maka keputusan dari perwira senior akan memiliki kepatuhan hukum.
Lembaga kepolisian masih kesulitan untuk mencari sosok pemimpin yang mampu menjalankan reformasi di tubuh kepolisian. Untuk itu, dibutuhkan
bantuan pihak eksternal Polri untuk mendukung program reformasi di kepolisian sesuai harapan masyarakat. Selain itu, pengaduan atau keluhan masyarakat
sebagian besar terkait pada tugas kepolisian sebagai penegak hukum seperti dugaan penyalahgunaan wewenang, tindakan korupsi, dan perlakuan
diskriminatif. Hal itu didasarkan pada data Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Kepolisian Nasional Kompolnas, dan Mabes Polri.
Masih belum jelasnya sistem reward and punishment, meski terdapat aturan Pedoman Penyusunan Standar dan Akreditasi Profesi Polisi Tahun 2004,
namun aturan itu belum cukup mengatur secara detil. Sulitnya Polri mengubah kultur tak terlepas dari sejarah Polri yang sebelumnya bagian dari struktur dan
budaya TNI. Budaya komando dari pimpinan Polri masih mendomininasi di tubuh kepolisian. Fungsi penegakan hukum Polri lebih banyak ditentukan oleh
pimpinan. Padahal, misalnya seorang penyidik di bagian reserse merupakan
16
profesi yang seharusnya tidak boleh diintervensi oleh pimpinan dalam melaksanakan tugasnya.
Kalangan pemerhati kepolisian menggaris bawahi bahwa pemisahan kemandirian Polri dari TNI bukan merupakan tujuan, tapi sebagai langkah awal
dimulainya reformasi Polri. Tujuan reformasi kepolisian adalah membangun kepolisian yang lebih professional dan akuntabel melayani masyarakat sesuai
dengan norma-norma demokrasi yang menjunjung nilai HAM dan hukum internasional lainnya. Reformasi Polri merupakan bagian dari reformasi sektor
keamanan yang juga memiliki jalinan interdependensi dengan reformasi sektor lain.
Pemisahan Polri dari TNI pada dasarnya adalah untuk mengubah kelembagaan polisi. Reformasi membawa Polri ke dalam wajah baru, dari semata
alat keamanan menjadi komunitas keadilan, dari ”polisi yang militeristik” menjadi ”polisi sipil”, menjunjung tinggi HAM, sepenuhnya di bawah otoritas
pemerintahan sipil demokratis, mandiri, serta menjalankan peran dan fungsinya secara profesional. Reformasi Menuju Polri yang profesional belum mampu
diimplementasikan dengan baik dalam operasional Polri. Banyak permasalahan yang masih dihadapi Polri diantaranya kebijakan politik yang kurang mendukung,
juga perubahan paradigmatik di internal Polri tidak berjalan dengan baik. Permasalahan-permasalahan itu dapat di jabarkan lagi antara lain; Kondisi di
lingkungan Polri sendiri nampak ada suatu dilema antara belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi, dengan trauma reposisi yang
masih membayanginya. Keberadaan Polri langsung di bawah presiden, menyebabkan Polri memposisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi
kebijakan, dan operasionalnya sekaligus. Kedudukan Polri ini digugat banyak pihak karena menimbulkan kekuatiran adanya politisasi.
Selanjutnya adalah format Polri sebagai kepolisian nasional ini menyebabkan pemenuhan segala kebutuhan dan operasional Polri ditanggung oleh
pemerintah pusat. Ketergantungan anggaran pada pemerintah pusat menyebabkan panjangnya birokrasi yang harus dilalui. Upaya membangun Polri yang mandiri
dan profesional membutuhkan dukungan anggaran yang memadai. Saat ini
17
anggaran dari APBN Polri 23 Trilyun pada tahun 2008, dirasa belum mencukupi. Hal ini menyebabkan Polri mencari anggarannya sendiri dan hal ini di dukung
oleh UU Polri dimana tidak secara eksplisit menegaskan anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Dapat diduga
sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah dalam akuntabilitas dan transparansi. Selanjutnya permasalahan mengenai rasio
perbandingan jumlah anggota Polri dengan jumlah penduduk. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat masih berkisar antara 1:750 hingga 1: 1000.
sedangkan idealnya 1:350. Rasio perbandingan yang tidak merata ini menyulitkan Polri dalam menjalankan tugas, khususnya pada Pemolisian Masyarakat
CommunityPolicing dan Babinkamtibmas. Permasalahan di atas menuntut adanya pemecahan agar institusi Polri
berjalan pada rel reformasi yang benar. Langkah yang bisa di ambil diantara lain; menghilangkan trauma masa lalu Polri di bawah saudara tua TNI yang
membayangi langkah Polri dalam menata kelembagaannya. Segera memposisikan lembaga polisi pada suatu lembaga yang terlepas dari bayang-bayang kekuasaan
presiden yang memicu kecemburuan antar lembaga yang menjalankan fungsi keamanan dan pertahanan. Pada negara demokratis, polisi-polisi selalu berada
dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang khusus
mengurusi masalah keamanan dalam negeri. Hal ini akan mempertegas kemandirian Polri. Dengan berada di dalam departemen sendiri, intervensi
presiden dapat tersaring, sehingga tidak akan mengganggu konsolidasi internal Polri.
Polri perlu mempertimbangkan pendelegasian wewenangnya ke daerah dalam bentuk desentralisasi manajemen dan efisiensi anggaran. Apabila selama ini
kekurangan anggaran dibantu dari Partisipasi Teman Parman, Partisipasi Kriminal Parmin, maupun Partisipasi Masyarakat Parmas – yang tentu saja
bersifat negatif karena tidak transparan dan menjurus pada kriminal, maka perlu di buat desentralisasi manajemen Polri di tingkat Polda, Polwil, maupun Polres yang
nantinya akan mendapatkan anggaran yang resmi dari APBD setempat. Hal ini
18
dimungkinkan karena kepala daerah memiliki garis koordinasi dan manajemen kepada Polri di daerahnya.
Jika kita melihat kemandirian yang tengah dilakukan oleh Polri dengan teori mengenai proses perubahan yang dikemukaka oleh Lewin, dapat digambarkan
dalam tiga tahap, yaitu: 1 pencairan unfreeze, 2 perubahan change atau gerak move, dan 3 pembekuan kembali refreeze. Maka, reformasi yang
terjadi di tubuh Polri terjadi karena adanya keinginan yang kuat untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang mandiri, akuntabel, serta professional dalam
menjalankan peran dan fungsinya dalam sistem keamanan nasional. Dengan adanya keinginan tersebut dan didukung oleh seluruh elemen yang berhubungan
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Polri, yang membuat Polri secara tegas menuntut adanya pemisahan dari TNI. Hal tersebut dituangkan dalam
Ketetapan MPR No. XMPR1998 tentang Reformasi yang melahirkan Inpres No. 21999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan
Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Ketetapan MPR No. VI2000 tanggal 18 Agustus
2000 juga menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No.VII2000 yang mengatur peran
TNI dan Polri secara tegas. Dengan adanya peraturan tersebut, membuat Polri dapat terus menjalankan refomasi yang telah direncanakan, yang mecakup aspek
struktural, instrumental dan kultural.
4.3 Reformasi Polri Ditinjau dari Teori Perubahan Organisasi Lewin