BAB II KERANGKA TEORI
A. Ideologi
Ideologi berasal darikata idea, yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang artinya ilmu. Secara harfiah ideologi berarti ilmu
pengetahuan tentang ide-ide, atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, ide disama artikan dengan cita-cita. Cita-cita
disama artikan sebagai hal yang telah ditetapkan dan harus tercapai, sehingga cita- cita bersifat tetap itu merupakan sekaligus dasar, pandangan, atau paham.
12
Ideologi membentuk suatu sistem pemikiran yang secara normatif memberikan landasan yang dijadikan pedoman tingkah laku dalam mencapai cita-
cita yang diterapkannya. Dengan demikian, ideologi tidak hanya sekedar merupakan usaha saja, namun sekaligus mencakup hasil usahanya yang dapat
dijadikan pedoman untuk bertindak dalam mencapaicita-cita. Secara substansia ideology merupakan hasil usaha pemikiran atau kesadaran manusia.
13
Ideologi lebih merupakan pemikiran tentang cita-cita yang dapat diterapkan sebagai tujuan terakhir, bukan pengetahuan mengenai hal-hal yang objektif,
ideologi memikirkan mengenai kebenaran yang dapat dijadikan pedoman hidup, dan tidak sibuk memikirkan mengenai saran-saran dan pemecahan masalah teknis.
Ideologi lebih berkaitan dengan tujuan dan kepentingan dari orang atau golongan
12
Due-Like Project UI. Modul MPK Terintegrasi, Program Dasar Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia, Agustus, 2004, h. 113
13
Ibid h. 113
yang mendukungnya. Tujuannya lebih untuk mempertahankan kebutuhan dan kepentingan dari sistem sosial yang bersangkutan daripada prihatin akan
kebenaran.
14
Dalam uraian tersbut dapat ditemukan beberapa fungsi ideologi bagi suatu kelompok masyarakat atau bangsa, dalam masyarakat yang mengalami stagnasi,
dimana irama hidup mencapai titik jenuh, ideologi sering dapat menggairahkan lagi hidup kelompok masyarakat atau bangsa untuk menyongsong situasi baru
yang dipromosikan, Ideologi sebagai pedoman hidup bernegara dapat mempersatukan bangsa, memberikan rumusan situasi negara dimasa lampau,
masa kini dan dapat mengatur langkah-langkah strategi untuk mencapai situasi yang diinginkan. Ideologi memberikan aturan permainan bagi kehidupan politik
dan masyarakat dalam usaha bersama mencapai kesejahteraan bansa sebagai kesatuan yang kuat. Selalu memberikan arti pada masa lampau dan masa kini,
Ideologi juga menunjukakan dunia baru yang akan dicapai bersama.
15
Melihat pengaruh ideologi semakin besar bagi keterlibatan masyarakat, sebagai eksesnya bisa terjadi manusia dikorbankan untuk ideologi, dan bukan
ideologi untuk manusia. Dan karena ideologi menyangkut sebagai masalah strategi bernegara, tidak jarang kelompok-kelompok masyarakat menggunakan
ideologi sebagai alat untuk memertahankan dan memperoleh kepentingan diri secara sepihak dengan merugikan pihak-pihak lainya. Dan dalam rangka
14
Due-Like Project UI. Modul MPK Terintegrasi, Program Dasar Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia, Agustus, 2004, h. 113
15
Ibid h. 115
memperalati ideology untuk mempertahankan dan memperoleh kepentingan diri sepihak itu sering terjadi penghianatan terhadap ilmu dan kebenaran.
16
Berdasarkan ruang lingkup isinya, ideologi mempunyai arti luas, istilah ideologi digunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar keyakinan-
keyakinan yang dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif, dan dalam arti sempit, ideologi adalah gagasan yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai
yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Ideologi dalam arti luas ini disebut dengan Ideologi terbuka.
Sedangkan dalam arti sempit disebut dengan Ideologi tertutup, karena kemutlakannya tidak mengizinkan orang untuk mengambil jarak terhadapnya.
17
B. Negara dan Kekerasan
Presiden Soekarno berbicara atas nama rakyat dalam melanjutkan revolusi, namun dalam perspektif lain, ketika Soekarno berbicara untuk rakyat, ia
mengintegrasikan mereka kedalam Negara, tidak bisa disangkal bahwa Presiden mereka berbicara untuk mereka. Ketika Soekarno ditumbangkan dan Orde Baru,
yang dipimpin oleh Soeharto mulai menanjak, politik populis dipinggirkan.
18
Setiap aksi kekerasan besar-besaran menghidupkan berbagai macam momok dari sejarah bangsa, untuk menjelaskan mengapa bangsa Indonesia
membunuh orang-orang yang menyerupai diri mereka, salah satu contoh pembantaian terhadap mereka yang disebut penjahat pada tahun 1983 dan 1984.
16
Due-Like Project UI. Modul MPK Terintegrasi, Program Dasar Pendidikan Tinggi Universitas Indonesia, Agustus, 2004, h. 115
17
Ibid h. 116
18
Ibid, h 5
Waktu itu orang-orang ini, kebanyakan tubuhnya bertatto, dibunuh oleh orang berpakaian preman. Biasanya orang-orang bertopeng, bersenjata dan naik jeep
mendatangi rumah-rumah mereka yang disangka penjahat ditengah malam, menciduk menikam atau menembak dan menaruh mayatnya dijalan atau sungai
agar menjadi tontonan. Kejadian ini terjadi pada masa Orde Baru dan dikenal dengan sebutan Petrus.
19
Pada titik inilah, ketika rakyat ditekan, pengertian kriminalitas dibangun oleh Negara di Indonesia, kejadian ini disebut Aparatus Represif Negara,
berbicara tentang teori ini, tradisi Marxis sungguh tegas dalam menyebutkan dalam tulisan-tulisan Communist Manifesto dan Eighteenth Brumaire, Negara
secara eksplisit dipandang sebuah Aparatus Represif Negara merupakan sebuah mesin represi kelas-kelas yang berkuasa ialah kelas borjuis dan kelas pemilik
lahan besar untuk mendominasi kelas buruh, sehingga memungkinkan kelas yang pertama untuk mendudukan kelas yang kedua kedalam proses memeras nilai-lebih
atau eksploitasi kapitalis.
20
Dalam konteks teorinya tentang ideologi, althusser memperkenalkan konsep tentang Aparatus Ideologis Negara. Sebelumnya dalam teori Marxis
dikenal konsep Aparatus Negara. Jadi, Negara pada intinya merupakan apa yang disebut oleh para penganut marxis klasik sebagai aparatus negara. Istilah ini
memiliki arti bukan hanya aparatus yang memiliki bidang kerja yang spesialis, yang eksistensi dan keharusannya, seperti misalnya polisi, pengadilan, penjara,
19
James T. Siegel, Penjahat Gaya Orde Baru: Eksplorasi Politik dan Kejahatan, Yogyakarta, LKiS 2000, h. 3
20
Althusser, Louis, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Yogyakarta: Resist Book, 2007, h.161