Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seorang muslim dalam seluruh sendi kehidupannya dibimbing dan diatur oleh dua warisan peninggalan Rasulullah saw. yaitu al- Qur’an dan al- Sunnah atau hadis Nabi sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam khutbah al- Wadâ’ : “Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Rasulullah saw. berkhutbah kepada manusia dalam haji wada’ dan bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di antara kalian yang jika kalian berpegang teguh padanya niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi- Nya”. 1 Tentang keterjagaan dan kemurnian al- Qur’an Allah swt. sudah menjaminnya sebagaimana tercantum dalam al- Qur’an surah Al-Hijr ayat 9: نوظفاحل هل اَّإو رْكِّلا انْلزّ نْحّ اَّإ 1 Abu Bakr Ahmad bin al Husain bin Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubrâ lil-Baihâqi, Dar el-Fikr Beirut, 1996 Juz 10, h. 114 2 “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar- benar memeliharanya” Dalam memahami al- Qur’an membutuhkan penafsiran yang bisa menjelaskan maksud ayat sehingga pesan Tuhan bisa dipahami dengan jelas, dan untuk memahami kandungan ayat al- Qur’an dengan benar perlu mempelajari tafsir karena merupakan ilmu syariat yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasan dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan sepanjang zaman, karena manusia membutuhkan petunjuk ilahi. Tanpa tafsir, seorang Muslim tidak dapat menangkap mutiara-mutiara berharga dari ajaran Tuhan yang terkandung di dalam al- Qur’an. Setidaknya ada tiga yang membuat dan menentukan tingginya kedudukan tafsir. Pertama, bahwa bidang yang menjadi objek kajian tafsir adalah kalam ilahi yang mulia yang merupakan sumber segala ilmu agama dan keutamaan. Di dalamnya terhimpun berbagai aturan untuk kebaikan hidup manusia. Kedua, tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh dengan al- Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati dunia dan akhirat. Ketiga, dilihat dari kebutuhan pun sangat jelas bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persooalan, baik agama maupun keduniaan, memerlukan ilmu syariat dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal itu sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al- Qur’an yaitu tafsir. 2 2 M. Quraish Shihab, kata pengantar, Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh , Jakarta: Paramadina, 2002 hal, xiii 3 Upaya penafsiran al- Qur’an sendiri telah berjalan sejak kitab suci masih diturunkan kepada Rasulullah saw., yaitu oleh Rasul sendiri, orang pertama yang menjelaskan maksud-maksud al- Qur’an kepada umatnya. Kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat, kalangan ulama Tabi’in, dan seterusnya secara bersambung dari satu generasi ke generasi umat Islam berikutnya, hingga di zaman modern ini. Sudah barang tentu, tafsir yang dihasilkan pada satu zaman tidak terlepas dari masalah kultural dan intelektual serta kecenderungan mufassirnya. Lagi pula zaman membutuhkan penafsiran yang berbeda pula, selaras dan sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat yang terjadi. Di dalam perjalanan Islam sebagai suatu agama sejak semula sudah dikatakan sebagai agama yang sejak kemunculannya dianggap mengandung muatan-muatan politis. Hal ini disebabkan karena di dalam sejarah tercatat sebuah kisah yang menggambarkan hal tersebut, para sejarawan muarrikhûn banyak yang menuturkan kisah seorang bernama ‘Afîf al-Kindi, seorang pedagang yang sempat pergi ke Mekkah pada saat musim haji kemudian di sana ia bertemu dengan paman Nabi saw yaitu al-Abbas, dan pada saat itu ia melihat seorang laki-laki yang sedang sholat menghadap kiblat Ka’bah, lalu disusul dengan seorang pemuda dan perempuan yang turut shalat bersamanya. Maka ia bertanya kepada al- Abbas: “Agama apakah ini?”. Al-Abbas men jawab: “ini adalah Muhammad Ibnu Abdullah, putra saudara laki-lakiku, 4 dia Muhammad menganggap dirinya Rasulullah saw, berobsesi untuk menggulingkan Persia dan Romawi.” 3 Kisah tersebut sering menjadi bukti bahwa Islam datang sudah mempunyai tendensi politis yaitu dalam hal ingin menggulingkan Persia dan Romawi, di mana saat itu keduanya adalah sebagai kekuatan adikuasa di dunia. Apabila hal itu dibenarkan maka wajar bila dalam Islam banyak terjadi faksi- faksi al-firaq karena hal yang awalnya bersifat politis kemudian merembet kepada persoalan keyakinan aqidah. Bangsa Arab yang mempunyai letak geografis di daerah gurun pasir, mempengaruhi watak mereka yang seperti pasir yaitu sulit untuk bersatu. Watak itu juga membuat mereka menjadi bangsa yang memilki fanatisme tinggi sekaligus fatalisme mengakar dan tidak heran jika mereka saling bermusuhan antar suku kabilah meskipun hanya mengenai urusan sepele. 4 Maka pada saat itu Allah mengutus Rasulullah saw sebagai penyampai risalah Islam untuk menekankan persaudaraan dan persatuan yaitu dengan memperbaiki akhlak bangsa Arab, dan Rasulullah pun beusaha keras merubah keadaan bangsa Arab agar hidup dalam persaudaraan dan persatuan. Nabi saw dalam masa kenabian telah berusaha keras untuk mengikis jiwa kesukuan dan meruntuhkan dinding pemisah yang memisah-misah mereka atas dasar kesukuan, mereka harus disatukan dalam keimanan. Namun yang pasti, tidaklah mudah mengubah mereka dalam kurun waktu 23 tahun menjadi 3 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendekia Muda, 2008 h. 15 4 Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 16 5 masyarakat yang ternaungi sistem Islami yang tidak lagi menganggap perbedaan kesukuan kecuali sebagai tanda pengenal, dan menerima bahwa nilai kemuliaan hanya ditentukan oleh ketakwaan. Banyak bukti yang menunjukkan dalamnya watak kesukuan yang masih ada saat itu, seperti pada kasus perselisihan antara seorang dari kalangan Anshar dan seorang dari kalangan Muhajirin sepulang dari pertempuran bani Mustahkiq yang hampir saja menimbulkan perkelahian, bukan hanya antara mereka berdua namun juga melibatkan kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu Nabi saw. cepat-cepat meredamny a dan bersabda, “Tinggalkan slogan itu Sesungguhnya ia adalah slogan jahiliah.” Kemudian dalam peristiwa kambuhnya jiwa fanatisme lama antara suku ‘Aus dan Khazraj yang terwakili oleh dua tokoh mereka, yaitu Sa’ad bin Mu’adz dari suku ‘Aus dan Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj, ‘Aisyah mengatakan, “Sebelumnya ia adalah orang saleh, namun ia terhanyut dalam fanatisme Hammiyah, sehingga hampir- hampir mereka berperang sementara Nabi saw berdiri diatas mimbar lalu beliau menenangkan mereka hingga redalah emosi masing-masing pihak. 5 Keadaan yang membuktikan masih adanya fanatisme kesukuan bukan berarti apa yang telah beliau lakukan untuk mengikis dan menghilangkan fanatisme gagal seluruhnya. Sesungguhnya beliau telah berhasil menumbuhkan semangat persaudaraan dan persatuan antar suku, masih adanya perselisihan- perselisihan kecil adalah hal wajar melihat watak bangsa Arab yang memang keras. 5 Lihat, Ali Zainal Abidin, Identitas Mazhab Syiah, Jakarta: Ilya, 2004 h. 86-87 6 Keadaan mulai berubah lagi setelah Rasulullah wafat, semangat persaudaraan dan persatuan mulai mengalami kemunduran. Bahkan dalam sejarah tercatat sebelum jenazah beliau di makamkan telah terjadi perseteruan mengenai pengganti kepemimpinan khalîfah sebagai pemimpin Islam, peristiwa itu terkenal dengan Saqîfah. Perseteruan debat yang berlangsung di kediaman Saqîfah B ani Sa’ad yang melibatkan golongan Anshor dan golongan Muhajirin ini berakhir dengan terpilihnya Abû Bakar al-Siddîq sebagai Khalîfah pertama. Respon atas terpilihnya Abû Bakar pun bermacam-macam, ada sebagian yang membaiat secara langsung, ada juga yang menyatakan tidak mau untuk membai’at dan tidak sedikit pula yang menyatakan keluar dari Islam murtad. Keadaan ini juga semakin buruk ketika ‘Ali bin Abî Thâlib juga tidak mau membai’at Abû Bakar sebagai khalîfah. 6 Fakta sejarah tersebut memberikan indikasi bahwa pascawafat Nabi saw fanatisme muncul kepermukaan lagi dan sulit dibendung. Pada saat itu, meskipun umat Islam masih bersatu dalam urusan aqidah dan syariat, namun mereka mulai terkoyak-koyak dalam kehidupan politik. Masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw ini adalah cikal bakal friksi dan kontroversi yang berkepanjangan dalam batang tubuh umat Islam, sebagian memandang bahwa persoalan kepemimpinan hanyalah isu historis politis bukan persoalan teologis. Sebagian lain justru memandang bahwa persolan kepemimpinan di samping bersifat historis, juga terkait isu teologis yang terkait dengan keselamatan seorang manusia di dunia dan akhirat. 6 Lihat, Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis. h, 17-19, O. Hasyem, Saqifah: Awal Perselisihan Umat, Muhammad Baqir Shadr, Kemelut Kepemimpinan Setelah Rasul , Jakarta: As-Sajjad, 1990. 7 Ada satu pertanyaan mendasar mengenai masalah ini yaitu, bagaimanakah sikap Nabi saw dalam hal kepemimpinan pascawafatnya nanti, karena seorang yang memimpin pasca beliau harus menjalankan misi dakwah yang telah beliau sampaikan?. Dari pertanyaan inilah muncul beberapa asumsi jawaban atas sikap yang mungkin bisa diambil beliau sebelum wafat, yaitu: 1. Beliau bersikap pasif, yaitu acuh tak acuh. 2. Beliau menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat melalui konsep syuro musyawarah. 3. Beliau menunjuk pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui Rasulnya. Ketiga asumsi jawaban itu merupakan keharusan bagi Nabi saw untuk mengambil sikap sebelum beliau wafat. Dari ketiganya ada dua yang menjadi pembahasan khusus yaitu bahwa Nabi saw menyerahkan pembentukan kepemimpinan kepada umat melaui konsep Syûrô, dan Nabi saw menunjuk pemimpin yang diputuskan berdasarkan nash dan penunjukkan Allah melaui Rasulnya. Kedua asumsi itulah yang menjadi argumen dan doktrin kuat dalam memahami konsep kepemimpinan dan siapa yang berhak menjadi pemimpin pascawafat Nabi saw. Didalam fakta sejarah seperti yang diuraikan sekilas di atas menjelaskan bahwa yang menjadi pemimpin Islam pascawafat Nabi saw adalah Abû Bakar al-Siddîq, beliau terpilih setelah beberapa Sahabat melakukan musyawarah syûrô. Hal ini yang memberikan asumsi bahwa Nabi saw 8 meyerahkan kepemimpinan kepada umat, karena umat telah pandai dan mempunyai kemampuan untuk memilih seorang pemimpin yang layak. Berbeda dengan yang berpendapat bahwa masalah kepemimpinan pascawafat Nabi saw adalah perkara yang sudah ditetapkan oleh Allah melalui Rasulnya. Asumsi ini muncul karena ada nash-nash yang mengindikasikan bahwa Nabi saw telah menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikannya, dan nash-nash tersebut menunjuk ‘Ali bin Abî Thâlib yang berhak menjadi pemimpin pascawafat Nabi saw. Salah satu nash yang dianggap menjadi argumen kuat bahwa Nabi saw telah menunjuk seorang pemimpin setelah beliau wafat. Hadis ini dikenal sebagai hadis Ghadîr Khum, sebuah hadis yang berisi tentang masalah penunjukan pemimpin yang dilakukan oleh Nabi Muhammad untuk menjadi pengganti beliau setelah wafat nanti. Sebuah hadis yang diyakini oleh mazhab Syiah sebagai argumentasi kuat bahwa yang berhak memangku kepemimpinan pasca Nabi saw adalah keponakannya yaitu ‘Ali bin Abî Thâlib. Syiah meyakini benar bahwa ‘Ali bin Abî Thâlib ra adalah Imam kaum Muslim sesudah Rasulullah saw. dan seharusnya menjadi khalîfah pertama sesudah Rasul saw. 7 Hal ini tentu saja berlainan dengan keyakinan mazhab Ahlus Sunnah yang meyakini bahwa Abû Bakar bin Siddîq lah yang berhak menjadi pemimpin saat itu. Hadis tersebut adalah: 7 M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah?, Jakarta: Lentera Hati, 2007 h. 122 9 Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu’bah dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga. 8 Hadis tersebut turun ketika beliau selesai melakukan Haji Wadâ ’ di hadapan kaum muslimin di suatu tempat yang bernama Ghadîr Khum, oleh sebab itu hadis tersebut dikenal dengan sebutan hadis Ghadîr Khum. Hadis ini turun bertepatan tanggal 18 Dzulhijjah, usai Nabi Muhammad saw melaksanakan haji terakhirnya haji wadâ ’, Nabi Muhammad saw pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana beliau dan kumpulan kaum Muslimin sampai pada suatu tempat bernama Ghadîr Khum saat ini dekat Juhfah. Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang bereda-beda. 9 Di sana Nabi saw menyampaikan khutbah- khutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari. 10 Dan salah satu bagian akhir dalam isi khutbanya adalah hadis Ghadîr Khum ini. 8 Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan at- Tirmizy, no. 4077, Software: al-Maktabah asy-Syamilah, h. 317 9 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam, penj, Rofik Suhud dkk, Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005, h. 288 10 Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289 10 Mazhab Syiah berpendapat bahwa hadis Ghadîr Khum merupakan wasiat Rasulullah saw yang menghendaki ‘Ali menjadi pemimpin dan Amîrul Mukminîn sepeninggalnya. 11 Mereka berkeyakinan masalah kepemimpinan adalah masalah prinsip teologis dan suksesi kepemimpinan adalah merupakan proses wasiat. Wasiat dalam doktrin Syiah sesungguhnya bukanlah pemilihan atau pencalonan, melainkan pengangkatan yang dilakukan oleh Nabi suci dengan mengumumkan seorang mukmin yang paling saleh sebagai pengganti beliau dalam mendakwahkan pesan Islam. 12 Di lain pihak berpendapat bahwa tampuk kepemimpinan umat bukanlah suatu proses wasiat atau suatu yang diwariskan. Pewarisan kepemimpinan adalah salah satu hal yang tidak dapat dibenarkan dan diakui dalam Islam. 13 Dalam hal ini penulis mencoba mengkaji sebuah ayat al- Qur’an yang mempunyai keterkaitan dengan serangkaian perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan pasca wafat Nabi saw Ayat tersebut terdapat dalam surat al- Mâidah ayat 67 yaitu:                             “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan itu, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang- orang yang kafir.” Q.S. Al-Maidah5 : 67 11 Mustofa Al- Syak’ah, Al-Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh A. M. Basalamah dengan judul Islam Tidak Bermazhab, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h. 134 12 Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Jakarta: Mizan, 1995 h. 64 13 Mustofa Al- Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, h. 135 11 Jika diperhatikan secara detail, di dalam ayat tersebut ada sebuah pesan risâlah yang sangat penting yang harus disampaikan oleh Rasul dan jika Rasul tidak menyampaikannya maka Rasul dikatakan belum menyampaikan amanat yang seharusnya disampaikan, dan seharusnya pesan tersebut bukan risalah yang telah Rasul pernah sampaikan lalu beliau sekedar mengulangnya kembali sebagai bentuk pengingatan kepada umatnya. Jadi risalah tersebut adalah sebuah risalah yang belum pernah disampaikan oleh Rasul dan sifatnya sangat penting untuk disampaikan kepada umatnya. Keterkaitan ayat tersebut dengan masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi adalah karena bagi Syiah ayat tersebut turun setelah Nabi saw melakukan haji wadâ ’ sehingga ayat tersebut turun dalam rentetan peristiwa Ghadîr Khum . Bagi kalangan Syiah ayat tersebut mengindikasikan sebuah pesan risâlah yang sangat penting agar kemudian disampaikan kepada umatnya dan ayat ini juga ditunjukkan kepada ‘Ali as. Pesan yang harus disampaikan itu adalah yang disebutkan dalam hadis Ghadîr Khum yaitu penunjukan sekaligus pengangkatan ‘Ali sebagai wâli dan pemimpin pascawafat Rasulullah saw. 14 Tabat aba’i berpendapat mengenai ayat ini bahwa secara lahiriah makna ayat ini mengandung perintah pada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia. Apabila diperhatikan dari sisi letaknya ayat ini diapit tentang ayat-ayat yang mebicarakan Ahli Kitab yakni al-Mâidah ayat 66 dan al-Mâidah ayat 67. Akan tetapi dapatlah 14 Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 288-289 12 dipastikan bahwa ayat ini tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya, tiada lain ayat ini diturunkan sendiri, dan ketakutan akan menyampaiknnya adalah bukan kepada Ahli Kitab yang karena takut mati di jalan Allah, melainkan kekhawatiran Nabi saw kepada manusia untuk menyampaikannya sehingga menunggu pada momen yang sesuai. 15 Adapun sebab turunnya ayat ini memang terjadi perbedaan pendapat, ada yang menyebutkan bahwa ayat ini turun saat permulaan Islam dan yang lainnya berpendapat ayat ini turun setelah Nabi saw melakukan haji wada’ di Ghadîr Khum . 16 Perbedaan pendapat inilah yang mungkin menjadi sebuah perbedaan pemahaman antara Ahlu Sunnah dan Syiah, dimulai dari perbedaan sabab trurunnya sampai kepada penafsiran ayat secara keseluruhan, dan bukan hanya itu, perspektif sejarah menjadi penting dalam memahami ayat tersebut. Maka di sini penulis ingin mengetahui lebih jauh perbedaan penafsiran ayat tersebut antara mufassir Ahlu Sunnah dan Syiah. Dari Ahlu Sunnah penulis memilih tafsir yang ditulis oleh Muhammad Rasyîd Ridâ yaitu Tafsîr al- Qur’an al- Hakîm atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Manâr, sedangkan dari Syiah penulis memilih Al-Mîzân fî Tafsîr al- Qur’an yang ditulis oleh Muhammad Husain al-Tabat aba’i. 15 lihat. Tabat aba’i, Tafsir Al-Mizan; Mengupas Ayat-ayat Kepemimpinan , pen, Syamsuri Rifa’i, Jakarta: CV. Firdaus, 1991, h. 149-153 16 Lihat Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al- Manâr , Beirut: Dar al- Ma’rifah Jilid I, hal, 463 13 Alasan penulis memilih kedua tafsir tersebut selain dikarenakan perbedaan mazhab mufassirnya 17 juga dikarenakan kedua tafsir tersebut termasuk dalam tafsir kontemporer sehingga pemikiran dan penafsirannya bisa dimasukkan dalam konteks kekinian. kedua tafsir tersebut juga banyak menggunakan argumen rasional setelah mengemukakan beberapa kesesuaian munâsabah ayat, hadis dan juga pandangan mufassir-mufassir lainnya. Dengan uraian di atas maka penulis mengambil judul penelitian ini “STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN RASYÎD RIDÂ DAN TABAT ABA’I TERHADAP SURAT AL-MÂIDAH AYAT 67”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dalam melakukan studi komparatif ini penulis membahas penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabat aba’i yang terdapat dalam karyanya yaitu kitab Tafsîr al- Qur’ân al-Hakîm Tafsir al-Manâr dan al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân dengan merujuk kepada satu ayat yaitu surat al-Mâidah ayat 67 dan yang menjadi fokus kajiannya adalah mengenai sebab turunnnya ayat dan pesan penting dalam tablîgh al-risâlah dalam ayat tersebut. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka perumusannya adalah: 1. Bagaimana penafsiran Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i tentang surat Al- Mâidah ayat 67 secara umum. 2. Bagaimana penjelasan Rasyîd Ridâ dan Tabataba’i secara khusus tentang sebab turunnya ayat, keterkaitan ayat dengan peristiwa Ghadîr Khum, 17 Lihat Sayyid Muhammad Ali Iyâzi, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran: Wazarah al-Tsaqofah wa al-Irsyad al-Islam hal, 664 dan 703 14 pesan penting dalam tablîgh al-Risâlah yang diperintahkan dalam surat al- Mâidah ayat 67 dan makna ‘ishmah. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam skripsi ini penulis membagi tujuan penelitian ini pada tujuan khusus dan tujuan umum:

a. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara akademis bertujuan untuk memahami perbedaan penafsiran antara Rasyid Ridha dan Thabathaba’i dalam menafsirkan ayat al- Qur’an.

b. Tujuan Umum

a Memberikan kontribusi wawasan dan memperkaya khazanah intelektual seputar hadis kepada umat Islam khususnya kepada penulis. b Mendorong umat Islam memahami al-Qur’an dengan benar dan tidak bertentangan dengan hadis serta kehidupan manusia. c Mengajak kepada umat Islam untuk bisa menyikapi dengan bijak setiap perbedaan pendapat dengan menjunjung tinggi semangat Ukhuwwah Islâmiyyah . d Untuk melengkapi sebagian dari persyaratan guna memperoleh gelar akademik Sarjan Strata Satu S-1 pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Syarif Hisayatullah Jakarta. 15

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana suatu al- Qur’an dan hadis dapat dipahami dengan benar. Sehingga tidak terlalu kaku dengan pengamalan al- Qur’an dan hadis yang menjadi pedoman kita.

D. Tinjauan Pustaka

Dokumen yang terkait

Nilai pendidikan akhlak tentang sikap adil dalam perspektif AL-QUR'AN (Kajian Tafsir Surat An-Nahl Ayat 90 dan Al-Maidah Ayat 8)

4 62 94

PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-MAIDAH AYAT 8-11 Pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Maidah ayat 8-11.

0 11 10

PENAFSIRAN AYAT AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL AZHAR DAN TAFSIR AL MISHBAH

0 8 19

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 17

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 29

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 2 16

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 4 21

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 2 14

Makna nafs wahidah dalam Al-Qur'an: studi analisis komparatif penafsiran Rashid Rida dan Ibn Kathir terhadap surat An-Nisa ayat 1.

6 21 85

METODE PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL QURAN SURAT AL MAIDAH AYAT 67 DAN AL NAHL AYAT 125 ( KAJIAN TAFSIR AL MISBAH) SKRIPSI

0 2 114