Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali Bin Abî Tâlib

68 Syiah tersebut adalah hadis wilâyah atau terkenal pula dengan hadis Ghadîr Khum , yang berkenaan dengan pengangkatan ‘Ali bin Abî Tâlib sebagai pemimpin pasca wafat Nabi saw. Untuk mengantar pada penjelasan ini, penulis membahas dalam sub bab berikutnya, dan masih dalam bingkai komparatif penafsiran Rasyîd Ridâ dengan Tabat aba’i.

B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali Bin Abî Tâlib

Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad saw. mengemukakan niatnya untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Hal itu disampaikan secara luas kepada kaum Muslimin pada saat itu. Bagi mereka yang ingin ikut bersama Nabi Saw dianjurkan untuk terlebih dahulu berkumpul di Madinah. Dengan demikian, berdatanglah kaum muslimin untuk pergi ke Mekkah melaksanakan haji bersama Nabi Muhammad saw. Dicatat dalam sejarah bahwa ada 90.000 orang yang ikut bersama Nabi saw pada saat itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa yang ikut bersama Nabi saw sekitar 114.000 orang. 18 Setelah melaksanakan rukun haji, maka Nabi saw bersama rombongan kaum muslimin pada saat itu meninggalkan Mekkah menuju Madinah dan sampai di suatu tempat bernama Ghadîr Khum. Ghadîr Khum adalah nama dari suatu tempat yang terletak tiga mil dari Juhfa . Ghâdir Khum biasa juga disebut Wâdi Khum, yang merupakan tempat yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. untuk berkhutbah tentang 18 Lihat Muhammad Haykal, Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh Ali Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad Jakarta: Pustaka Jaya, 1979, h. 602 69 keutamaan ‘Ali bin Abî Tâlib, dalam perjalanan pulangnya menuju Madinah setelah melaksanakan haji Wadâ ’. Tempat tersebut sangat terkenal dalam sejarah Islam, karena Ghadir Khum merupakan tempat persinggahan Nabi Muhammad Saw dengan mayoritas sahabat. Itulah tempat orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang berbeda-beda. 19 Di sana Nabi saw. menyampaikan khutbah- khutbahnya di depan ratusan ribu kaum Muslimin, dalam khutbahnya beliau membacakan ayat hampir 100 ayat al-Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari. 20 Keterkaitan peristiwa Ghadîr Khum ini menyangkut tentang sebab nuzul ayat yang telah dikemukan di atas. Rasyîd Ridâ dalam tafsirnya membahas khusus tentang masalah ini dan hadis yang turun berkenaan tentangnya. Yang dimaksud Rasyîd Ridâ di sini adalah hadis tentang wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib atau yang dikenal sebagai hadis Ghadîr Khum, hadis tersebut adalah : Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu’bah dari Salamah bin Kuhail, ia berkata aku mendengar Abu al-Tufail berkata dari Abî Sarîhah atau dari Zaid bin Arqom dari Nabi Saw. 19 Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of Shia, diterjemahkan Antologi Islam, penj, Rofik Suhud dkk, Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005, h. 288 20 Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289 70 Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga. 21 Dalam tafsirnya Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut, beliau mengakui hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dalam Musnad nya dari jalur al- Barrâ’ dan Buraidah. Imâm Tirmidzi, Imam Nasâ’i dan Al-Diyâ ’ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin Arqom, sebagian dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan Al-Dzahabi menganggap hadis tersebut Sahîh. 22 Rasyîd Ridâ berpendapat tentang makna maula wilâyah dalam hadis tersebut. Akan tetapi sebelum mengemukakan pendapatnya, beliau menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang menyatakan bahwa hadis wilâyah tersebut bukan bermakna Imâmah atau Khilafah kepemimpinan melainkan mempunyai makna “penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah katakan tentang orang- orang mu’min dan kafir “Sebagian mereka adalah penolong bagi yang lainnya ”. 23 Kemudian Rasyîd Ridâ menyatakan pendapatnya sekaligus menguatkan pendapat Ahlu Sunnah bahwa sesungguhnya seandainya masalah Imâmah sudah dibuktikan dalam nash baik al- Qur’an ataupun hadis maka pastilah nash tersebut mutawâtir dan jelas. Seandainya Ali menjadi pemimpin yang mengurus perkara kaum Muslimin seharusnya pada hari wafat Nabi saw dia berkhutbah menyampaikan nash – penunjukan kepemimpinannya sebagai 21 Al-Imam al-Hafiz Abi Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Tirmidzi, al- Jami’ al- Shahih Sunan al-Tirmidzi , Beirut: Dar alKutub ‘Ilmiyah, t.t, Juz v, h. 590 22 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464 23 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 465 71 pengganti Nabi saw – dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada kaum Muslimin saat itu. Merupakan kewajiban bagi ‘Ali untuk menyampaikannya kalau ia menganggap masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya akan tetapi dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat ini pada kejadian hari Tsaqîfah ataupun peristiwa hari musyâwarah setelah wafat Umar. 24 Untuk menegaskannya lagi Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi saw ingin memberikan dan menunjukkan nash tentang siapa yang menjadi khalîfah setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka seharusnya Nabi saw mengatakannya pada Haji Wadâ ’ dan meminta kepada seluruh manusia saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan Allah menyaksikannya. Pendapat Rasyîd Ridâ ini ingin membantah argumen mazhab Syiah yang menjadikan pengertian wilâyah sebagai Imâmah atau Khilâfah yang mempunyai pengertian sebagai pemimpin dan pemegang kekuasaan yang harus diikuti. Sedangkan Tabat aba’i seperti dalam penjelasan mengenai sebab nuzul ayat ini jelas mengatakan bahwa ayat ini turun dalam masalah wilâyah kepemimpinan ‘Ali bin Abî Tâlib. Allah swt memerintahkan menyampaikan masalah ini dan Nabi saw merasa khawatir mereka menuduh beliau memperhatikan putera pamannya. Rasulullah menunda penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah ayat ini yang mengharuskan 24 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 466 72 penyampaian masalah ini, lalu Nabi saw menyampaikannya di Ghadîr Khum. Pada waktu itulah Nabi bersabda : 25 الْوم ٌّلعف الْوم تْك ْنم Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga. Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabat aba’i dalam tafsirnya menjelaskan tentang sabab nuzul ayat 67 surat al-Mâidah maka kemudian bersamaan pada saat itu turunnya sabda Nabi saw tersebut, menurutnya hadis tersebut mutawatir, dikutip dari jalur-jalur Syiah dan Ahlu Sunnah lebih dari 100 jalur. Riwayat itu telah diriwayatkatkan oleh banyak sahabat Nabi saw. antara lain: Al- Barra’ bin ‘Azib, Zaid bin Arqam, Abu Ayyub Al-Anshari, Umar bin Kahttab, Ali bin Abi Thalib, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al- Ghiffari, Amar bin Yasir, Busraidah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Abu Sa ’id Al-Khudri, Anas bin Malik, Imran bin Al- Hashin, Ibnu Abi Aufa, S’danah, dan istri Zaid bin Arqam. 26 Menurut Tabat aba’i adanya kepemimpinan perkara umat suatu hal yang dibutuhkan dalam agama dan tidak perlu ditutup-tutupi. Nabi saw mengangkat pemimpin-pemimpin pemerintahan untuk mengatur urusan ummat Islam di daerah seperti Mekkah, Thaif, Yaman dan lainnya, dan beliau mengangkat panglima dalam setiap peperangan dan pasukan yang dikirim ke seluruh penjuru negeri. Apa bedanya antara masa hidup Nabi saw dan sesudah 25 Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, h. 48 26 Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3. h. 59 73 wafatnya, sehingga tidak membutuhkan masalah ini setelah beliau wafat, sementara kebutuhan terhadap masalah ini sangat diperlukan dari zaman ke zaman?. 27 Pendapat Rasyîd Ridâ tentang pengertian maula dan juga tuntutannya adanya keharusan nash khusus yang menjelaskan tentang kepemimpinan ‘Ali bin Abî Tâlib dan bahkan seharusnya disampaikan juga oleh ‘Ali di hari wafatnya Nabi Saw, sepertinya ditolak oleh Tabat aba’i dengan kembali kepada kandungan ayat ini yaitu “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا ْغِب سَّ ا ا يأ اي ” bahwa apa yang harus disampaikan itu bersifat penting dan sebagai suatu dalil yang mewajibkan menyampaikan sesuatu yang dijelaskan oleh ayat itu dan ditegaskan kepada Rasulullah saw. Menurut Tabat aba’i sesuatu yang diturunkan kepada Nabi saw dari Tuhannya tidak dijelaskan dengan sebuah nama, tetapi diungkapkan dengan suatu sifat, dan sesuatu yang diturunkan kepadanya menunjukkan keagungannya dan menunjukkan bahwa masalah ini bukan buatan Rasulullah saw., dan tidak ada alternatif lain untuk menyimpan dan menunda penyampaiannya. 28 Pernyataan Tabat aba’i tersebut mewakili pendapat mazhab Syiah karena beliau adalah seorang Syiah. Menurut Syiah kata maula wilâyah itu diartikan sebagai yang memiliki keuasaan dan harus diikuti kepemimpinannya, seperti yang terdapat dalam kata-kata yang sering dipergunakan orang, seperti wali kota, wali murid, wali mempelai wanita dan lain-lain, yang semuanya 27 Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3. h. 48-49 28 Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Juz 3, h. 49 74 menunjukkan arti “orang-orang yang memiliki kekuasaan atas orang-orang tertentu. ” 29 Dengan begitu apa yang disampaikan oleh Tabat aba’i tentang pentingnya penyampaian risalah dalam ayat ini adalah sebuah hadis wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib tersebut, dan makna maula wilâyah bukanlah makna seperti yang dikatakan oleh Ahlu Sunnah. Karena apabila terminologi maula wilâyah seperti yang digunakan oleh Ahlu Sunnah, bukankah semua orang tahu pada saat itu bahwa kedudukan Ali bin Abi Thalib dan peranannya bersama Rasulullah saw dalam menjalankan misi dakwah?. Dalam al-Qu r’an kata wali yang bentuk jamaknya awliya mempunyai beberapa pengertian. Diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut: 30 1. kata wali yang berarti pelindung. tedapat dalam QS. Al-A’raf: 196, QS. Al- Baqarah: 107 dan 257, QS. Ali ‘Imran: 68, QS. Al- An’Am:51 dan 70, QS. Al-Taubah: 74 dan 116, QS. Al-Kahfi: 26, QS. Al-Jatsiyah: 19, QS. Al-Syura: 8-9, dan 44 yang berarti pemimpin. 2. kata wali yang berarti penolong. Terdapat dalam QS. Al-Isra: 111, QS. Al-Syura: 31, QS. Al-Baqarah: 120, dan QS Al-Sajadah: 4. 3. kata wali yang berarti kawan atau teman setia. Terdapat dalam QS. Al-Nisa: 144 dan QS. Fusshilat: 34. Kontroversi makna wali dalam hadis Ghadîr Khum tersebut yang menimbulkan cikal bakal kontroversi tentang kepemimpinan pasca wafat Nabi 29 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., Yogyakarta: Aynat Publishing, 2010, h. 8 30 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 42 75 saw, karena dinterpretasikan berbeda oleh kalangan Mazhab Ahlu Sunnah dan Syiah. Bila Ahlu Sunnah mengartikan kata tersebut sebagai pelindung, penolong ataupun orang yang mencintai, maka Syiah mengartikan kata wali itu sebagai pemimpin. Agaknya kedua pengertian tersebut mendapat pembenaran dari al- Qur’an, tergantung bagaimana bunyi redaksi yang di dalamnya termuat kata wali itu. Apabila kata tersebut dilihat dari segi historis pengucapannya ketika Nabi Muhammad saw mengumpulkan para sahabat di Ghadîr Khum dan bersabda hadis tersebut, maka tampaknya ucapan Nabi saw tersebut mengindikasikan bahwa wilâyah atau kedudukan sebagai pemimpin pascawafat nabi saw adalah ‘Ali bin Abî Tâlib. 31 Apa yang dikemukakan Rasyîd Ridâ dan Tabat aba’i seperti yang dijelaskan di atas, mereka mempunyai perbedaan yang sangat luas pemahamannya tentang peristiwa Ghadîr Khum dan wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib. Dalam kajian riwayat yang ditulis oleh Tabat aba’i dalam masalah ini, ada hal yang menarik, yaitu beliau mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ ketika mengutip hadis berkenaan tentang ‘Ali bin Abî Tâlib dan sabab nuzul ayat ini untuknya. Hadis tersebut adalah: “Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah ‘Ali yang tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu sampai kepada al- Harits bin Nu’man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi saw. karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi saw. berada di Abthah lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal itu. Dia berkata kepada Nabi saw. – dia adalah salah seorang sahabat besar Nabi saw. – wahai Muhammad engkau telah menerima perintah dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain 31 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 147 76 Allah dan sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami menerimanya – ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya , maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini adalah perintah Allah . Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu, maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami siksa yang pedih . Q.S. al-Anfâ l: 32.” Maka sebelum ia sampai pada pada tujuan perjalannannyam, Allah menghujaninya dengan batu, maka jatuhlah dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya. Lalu Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada seorang pun dapat menolaknya . Q.S. al- Ma’ârij: 1-2.” 32 Setelah mengutip hadis tersebut, Rasyîd Ridâ menilai bahwa riwayat ini maudhu’ dan surat al-Ma’ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu adalah perkataan sebagian orang- orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah ini benar-benar dari sisimu ”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini terdapat dalam surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan sebelum surat al-Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu menjelaskan bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia belum dikenal di kalangan para sahabat Nabi saw. Adapun Abhtah adalah suatu tempat di Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah, bahkan setelah Haji Wadâ ’ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke Madinah. 33 32 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464 33 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr, jilid 6, h. 464 77 Tabat aba’i mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ tersebut yang menyatakan bahwa hadis tersebut maudhû ’, surat al-Ma’ârij adalah Makkiyyah, surat al- Anfâl turun sebelum hijrah, Hârits bin Nu’mân adalah seorang muslim kemudian murtad dan dia tidak dikenal di kalangan para sahabat. Kritikan Tabat aba’i tersebut sebagai berikut: “Pernyataan al-manar bawa riwayat itu maudhu’ dan surat Al-Ma’arij itu adalah surat Makkiyyah, ia menggunakan sebagian riwayat dari Ibn Abbas dan Ibn Zubair sebagai dalil pendapatnya bahwa surat Al- Ma’arij turun di Makkah. Aduhai disayangkan Apa yang mengunggulkan riwayat ini terhadapat ayat itu. sementara semuanya adalah ahad? Kami terima bahwa surat al- Ma’arij adalah surat Makkiyyah sebagaimana yang dikuatkan oleh kandungan sebagian besar ayat-ayatnya, tetapi apa dalilnya bahwa seluruh ayat surat Al- Ma’arij itu Makkiyyah? Surat ini adalah surat makkiyyah, tapi khusus dua ayat ini bukan Makkiyyah, sebagaimana surat Al-Maidah adalah surat madaniyah yang turun pada akhir masa Nabi saw., dan yang di dalamnya terdapat ayat yang dibahas al-Maidah: 67. Ayat ini, oleh beberapa mufassir dinyatakan turun di Makkah pada awal kenabian. Jika boleh meletakkan ayat Makkiyyah al-Maidah: 67 ke dalam surat Madaniyah al-Maidah, maka boleh pula meletakkan ayat Madaniyah al- Ma’arij: 1-2 kedalam surat Makkiyah al-Ma’ârij. Kemudian tentang surat al-Anfal turun sebelum hijrah, dalam masalah ini pengarang al-manar berpendapat tanpa hujjah untuk membedakannya, tetapi bagi seorang mufassir yang mengenal sturktur kalimat, ia tidak akan mendekati keraguan tentang firman Allah swt. surat al-Anfal: 32 dengan adanya makna kandungan makna pada kalimat : “ ” di dalmnya terdapat “isim isyarah, dhamir munfashil dan kata al-Haqq yang didahului oleh alif lam ”, maka jelaslahbahwa kalimat “ ” bukan yang dinisbatkan kepada berhala, yang keluar dari mulut orang musyrik yang hatinya goncang dan menghina kebenaran. Kalimat ini tiada lain adalah ucapan yang tunduk pada maqam rububiyyah, dan memandang bahwa perkara-perkara yang benar jelas dari sisi Allah, dan hukum-hukum syariat turun dari-Nya. Kemudian ia menggantung setiap perkara kepada Allah swt, tanpa mengetahui dalil yang pasti bahwa kebenaran itu hanya dari-Nya, ia merasa berdosa sebab masalah itu, maka ia berdoa untuk dirinya dengan doa yang tercela dan bosan hidup. Kemudian tentang Harits bin Nu’man, dalam hal ini perlu diketahui, apakah ada diantara para sahabat Nabi saw yang menghafal nama-nama setiap orang yang melihat Nabi 78 saw dan beriman kepadanya, atau beriman kepadanya kemudian murtad ?.” 34 Kritikan Tabat aba’i sepertinya ingin mempertanyakan alasan kenapa Rasyîd Ridâ mengutip riwayat tersebut dan seolah menunjukkan bahwa itu dalil bagi orang Syiah tentang sabab nuzul al-Mâidah: 67 untuk nash wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib. Akan tetapi pada akhirnya dia menolak riwayat tersebut. Tabat aba’i menegaskan bahwa riwayat tersebut ahad bukan mutawâtir. Dan pernyataan Rasyîd Ridâ tentang hadis itu maudhû ’ tidak didasarkan pada qorînah yang pasti. 35 Adapun mengenai hadis Ghadîr Khum mempunyai redaksi yang berbeda-beda, hadis tersebut terdapat dalam kitab al- Jâmi’ al-Shahîh karya Imâm al-Turmudzî, 36 Sunan Ibnu Mâjah 37 dan Musnad Ahmad bin Hanbal. 38 Menurut HM. Attamimy dalam bukunya Ghadîr Khum, beliau setelah melakukan takhrîj hadis tersebut menyatakan bahwa kualitas sanad hadis tersebut shahih, hal ini memungkinkan karena periwayat tersebut semuanya bersambung kepada nabi saw dan memiliki kepribadian yang tsiqoh, yaitu suatu predikat yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya periwayatan dengan kualitas hadis tersebut dapat dipercaya. 39 Lebih tegas Attamimy menegaskan bahwa setelah melakukan telaah matan hadis, seluruh 34 Lihat Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Juz 3, h. 55-57 35 Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Juz. 3, h. 57 36 Lihat Abû ‘Îsa Muhammad bin Îsa ibn Saurah, al-Jâmi’ al-Shahîh Sunan al- Turmudzi , Beirut Dar al-Kutub Ilmiyah h, 590 37 Lihat al- Hâfiz Abû ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah, Juz I Semarang Toha Putra h, 43 38 Lihat Ahmad bin Hanbal, Musnad Imâm Ahmad bin Hanbal, juz V Beirut: Maktab Islami, h. 350, 356, 358, 361, 370 dan 439 39 HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 138 79 hadis tentang Ghadîr Khum dikategorikan hadis yang berkualitas shahîh, baik sanad maupun matannya. 40

C. Perintah Tablîgh Al-Risâlah

Dokumen yang terkait

Nilai pendidikan akhlak tentang sikap adil dalam perspektif AL-QUR'AN (Kajian Tafsir Surat An-Nahl Ayat 90 dan Al-Maidah Ayat 8)

4 62 94

PENDIDIKAN AKHLAK YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-MAIDAH AYAT 8-11 Pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Maidah ayat 8-11.

0 11 10

PENAFSIRAN AYAT AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL AZHAR DAN TAFSIR AL MISHBAH

0 8 19

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 17

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 29

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 2 16

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 4 21

PENAFSIRAN AYAT-AYAT SUMPAH DALAM JUZ'AMMA (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN TAFSIR AL-AZHAR DAN TAFSIR AL-MISHBAH - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 2 14

Makna nafs wahidah dalam Al-Qur'an: studi analisis komparatif penafsiran Rashid Rida dan Ibn Kathir terhadap surat An-Nisa ayat 1.

6 21 85

METODE PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL QURAN SURAT AL MAIDAH AYAT 67 DAN AL NAHL AYAT 125 ( KAJIAN TAFSIR AL MISBAH) SKRIPSI

0 2 114