68
Syiah  tersebut  adalah  hadis  wilâyah  atau  terkenal  pula  dengan  hadis  Ghadîr Khum
,  yang  berkenaan  dengan  pengangkatan ‘Ali  bin  Abî  Tâlib  sebagai
pemimpin pasca wafat Nabi saw. Untuk mengantar pada penjelasan ini, penulis membahas  dalam  sub  bab  berikutnya,  dan  masih  dalam  bingkai  komparatif
penafsiran Rasyîd Ridâ dengan Tabat aba’i.
B. Ghadîr Khum dan Wilâyah ‘Ali Bin Abî Tâlib
Pada  tahun  kesepuluh  Hijriah,  Nabi  Muhammad  saw.  mengemukakan niatnya  untuk  melaksanakan  ibadah  haji  ke  Mekkah.  Hal  itu  disampaikan
secara luas kepada kaum Muslimin pada saat itu. Bagi mereka yang ingin ikut bersama  Nabi  Saw  dianjurkan  untuk  terlebih  dahulu  berkumpul  di  Madinah.
Dengan  demikian,  berdatanglah  kaum  muslimin  untuk  pergi  ke  Mekkah melaksanakan haji bersama Nabi Muhammad saw.
Dicatat dalam sejarah bahwa ada 90.000 orang yang ikut bersama Nabi saw  pada  saat  itu,  dan  ada  juga  yang  mengatakan  bahwa  yang  ikut  bersama
Nabi  saw  sekitar  114.000  orang.
18
Setelah  melaksanakan  rukun  haji,  maka Nabi  saw  bersama  rombongan  kaum  muslimin  pada  saat  itu  meninggalkan
Mekkah menuju Madinah dan sampai di suatu tempat bernama Ghadîr Khum. Ghadîr Khum
adalah nama dari suatu tempat yang terletak tiga mil dari Juhfa
. Ghâdir  Khum biasa juga disebut  Wâdi  Khum,  yang merupakan tempat yang  digunakan  oleh  Nabi  Muhammad  saw.  untuk  berkhutbah  tentang
18
Lihat  Muhammad Haykal,  Hayât Muhammad, diterjemahkan oleh  Ali  Audah dengan judul Sejarah Hidup Muhammad Jakarta: Pustaka Jaya, 1979, h. 602
69
keutamaan ‘Ali  bin  Abî  Tâlib,  dalam  perjalanan  pulangnya  menuju  Madinah
setelah melaksanakan haji Wadâ ’.
Tempat  tersebut  sangat  terkenal  dalam  sejarah  Islam,  karena  Ghadir Khum  merupakan  tempat  persinggahan  Nabi  Muhammad  Saw  dengan
mayoritas  sahabat.  Itulah  tempat  orang-orang  dari  berbagai  penjuru  saling menyampaikan  salam  perpisahan  dan  kembali  ke  rumah  dengan  mengambil
jalan  yang  berbeda-beda.
19
Di  sana  Nabi  saw.  menyampaikan  khutbah- khutbahnya  di  depan  ratusan  ribu  kaum  Muslimin,  dalam  khutbahnya  beliau
membacakan  ayat  hampir  100  ayat  al-Quran,  dan  kira-kira  sebanyak  73  kali mengingatkan perbuatan masa depan mereka di kemudian hari.
20
Keterkaitan  peristiwa  Ghadîr  Khum  ini  menyangkut  tentang  sebab nuzul  ayat  yang  telah  dikemukan  di  atas.  Rasyîd  Ridâ  dalam  tafsirnya
membahas  khusus  tentang  masalah  ini  dan  hadis  yang  turun  berkenaan tentangnya. Yang dimaksud Rasyîd Ridâ di sini adalah hadis tentang wilâyah
‘Ali  bin  Abî  Tâlib  atau  yang  dikenal  sebagai  hadis  Ghadîr  Khum,  hadis tersebut adalah :
Artinya : Berkata kepada kami Muhammad bin Basysyâr dan Syu’bah
dari  Salamah  bin  Kuhail,  ia  berkata  aku  mendengar  Abu  al-Tufail berkata  dari  Abî  Sarîhah  atau  dari  Zaid  bin  Arqom  dari  Nabi  Saw.
19
Digital Islamic Library Project, Ensyclopedia of  Shia, diterjemahkan  Antologi Islam, penj, Rofik Suhud dkk, Jakarta: Al-Huda, cet ke II, 2005, h. 288
20
Rofik Suhud dkk, Antologi Islam, h. 289
70
Bersabda:  barang  siapa  yang  menjadikan  aku  pemimpinnya  maka  Ali adalah pemimpinnya juga.
21
Dalam tafsirnya Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut, beliau mengakui hadis  tersebut  karena  hadis  tersebut  diriwayatkan  oleh  Imâm  Ahmad  dalam
Musnad nya  dari  jalur  al-
Barrâ’  dan  Buraidah.  Imâm  Tirmidzi,  Imam  Nasâ’i dan Al-Diyâ
’ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin Arqom, sebagian dari  mereka  menganggap  hadis  tersebut  Hasan  dan  Al-Dzahabi  menganggap
hadis tersebut Sahîh.
22
Rasyîd  Ridâ berpendapat  tentang makna  maula  wilâyah dalam hadis tersebut.  Akan  tetapi  sebelum  mengemukakan  pendapatnya,  beliau
menjelaskan  pendapat  Ahlu  Sunnah  yang  menyatakan  bahwa  hadis  wilâyah tersebut  bukan  bermakna  Imâmah  atau  Khilafah  kepemimpinan  melainkan
mempunyai  makna “penolong  dan  yang  mencintai”  sebagaimana  yang  Allah
katakan  tentang  orang- orang  mu’min  dan  kafir  “Sebagian  mereka  adalah
penolong bagi yang lainnya ”.
23
Kemudian Rasyîd Ridâ menyatakan pendapatnya sekaligus menguatkan pendapat  Ahlu  Sunnah  bahwa  sesungguhnya  seandainya  masalah  Imâmah
sudah dibuktikan dalam nash baik al- Qur’an ataupun hadis maka pastilah nash
tersebut  mutawâtir  dan  jelas.  Seandainya  Ali  menjadi  pemimpin  yang mengurus  perkara  kaum  Muslimin  seharusnya  pada  hari  wafat  Nabi  saw  dia
berkhutbah  menyampaikan  nash –  penunjukan  kepemimpinannya  sebagai
21
Al-Imam  al-Hafiz  Abi  Isa  Muhammad  ibn  Isa  ibn  Saurah  al-Tirmidzi,  al- Jami’  al-
Shahih Sunan al-Tirmidzi
, Beirut: Dar alKutub ‘Ilmiyah, t.t, Juz v, h. 590
22
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
23
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 465
71
pengganti  Nabi  saw –  dan  menjelaskannya  dengan  sebaik-baiknya  kepada
kaum  Muslimin  saat  itu.  Merupakan  kewajiban  bagi ‘Ali  untuk
menyampaikannya  kalau  ia  menganggap  masalah  kepemimpinan  pasca  wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya akan tetapi
dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat ini pada kejadian hari Tsaqîfah ataupun
peristiwa hari musyâwarah setelah wafat Umar.
24
Untuk menegaskannya lagi Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi  saw  ingin  memberikan  dan  menunjukkan  nash  tentang    siapa  yang
menjadi  khalîfah  setelahnya  dalam  perintah  penyampaiannya  tersebut  maka seharusnya  Nabi  saw  mengatakannya  pada  Haji  Wadâ
’  dan  meminta  kepada seluruh  manusia  saat  itu  untuk  bersaksi  maka  mereka  pun  akan  bersaksi  dan
Allah  menyaksikannya.  Pendapat  Rasyîd  Ridâ  ini  ingin  membantah  argumen mazhab  Syiah  yang  menjadikan  pengertian  wilâyah  sebagai  Imâmah  atau
Khilâfah yang  mempunyai  pengertian  sebagai  pemimpin  dan  pemegang
kekuasaan yang harus diikuti. Sedangkan  Tabat
aba’i seperti dalam penjelasan mengenai sebab nuzul ayat  ini  jelas  mengatakan  bahwa  ayat  ini  turun  dalam  masalah  wilâyah
kepemimpinan ‘Ali bin Abî Tâlib. Allah swt memerintahkan menyampaikan masalah  ini  dan  Nabi  saw  merasa  khawatir  mereka  menuduh  beliau
memperhatikan  putera  pamannya.  Rasulullah  menunda  penyampaian  masalah ini  dari  saat  ke  saat  sehingga  turunlah  ayat  ini  yang  mengharuskan
24
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
72
penyampaian masalah ini, lalu Nabi saw menyampaikannya di Ghadîr Khum. Pada waktu itulah Nabi bersabda :
25
الْوم ٌّلعف  الْوم تْك ْنم
Nabi Saw. Bersabda: barang siapa yang menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya juga.
Dalam  kajian  riwayat  yang  ditulis  oleh  Tabat aba’i  dalam  tafsirnya
menjelaskan  tentang  sabab  nuzul  ayat  67  surat  al-Mâidah  maka  kemudian bersamaan pada saat itu turunnya sabda  Nabi saw tersebut, menurutnya hadis
tersebut mutawatir, dikutip dari jalur-jalur Syiah dan Ahlu Sunnah lebih  dari 100  jalur.  Riwayat  itu  telah  diriwayatkatkan  oleh  banyak  sahabat  Nabi  saw.
antara  lain:  Al- Barra’  bin  ‘Azib,  Zaid  bin  Arqam,  Abu  Ayyub  Al-Anshari,
Umar  bin  Kahttab,  Ali  bin  Abi  Thalib,  Salman  Al-Farisi,  Abu  Dzar  Al- Ghiffari,  Amar  bin  Yasir,  Busraidah,  Sa’ad  bin  Abi  Waqqash,  Abdullah  bin
Abbas,  Abu  Hurairah,  Jabir  bin  Abdullah,  Abu  Sa ’id  Al-Khudri,  Anas  bin
Malik,  Imran  bin  Al- Hashin,  Ibnu  Abi  Aufa,  S’danah,  dan  istri  Zaid  bin
Arqam.
26
Menurut Tabat aba’i adanya kepemimpinan perkara umat suatu hal yang
dibutuhkan dalam agama dan tidak perlu ditutup-tutupi. Nabi saw mengangkat pemimpin-pemimpin  pemerintahan  untuk  mengatur  urusan  ummat  Islam  di
daerah  seperti  Mekkah,  Thaif,  Yaman  dan  lainnya,  dan  beliau  mengangkat panglima  dalam  setiap  peperangan  dan  pasukan  yang  dikirim  ke  seluruh
penjuru  negeri.  Apa  bedanya  antara  masa  hidup  Nabi  saw  dan  sesudah
25
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, h. 48
26
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3. h. 59
73
wafatnya,  sehingga  tidak  membutuhkan  masalah  ini  setelah  beliau  wafat, sementara  kebutuhan  terhadap  masalah  ini  sangat  diperlukan  dari  zaman  ke
zaman?.
27
Pendapat  Rasyîd  Ridâ  tentang  pengertian  maula  dan  juga  tuntutannya adanya keharusan  nash  khusus  yang menjelaskan tentang kepemimpinan
‘Ali bin  Abî  Tâlib  dan  bahkan  seharusnya  disampaikan  juga  oleh
‘Ali  di  hari wafatnya Nabi Saw, sepertinya ditolak oleh Tabat
aba’i dengan kembali kepada kandungan ayat ini yaitu
“  كِبر ْ  كْي إ  ْأ ا  ْغِب  سَّ ا ا يأ اي ” bahwa apa yang
harus  disampaikan  itu  bersifat  penting  dan  sebagai  suatu  dalil  yang mewajibkan  menyampaikan  sesuatu  yang  dijelaskan  oleh  ayat  itu  dan
ditegaskan kepada Rasulullah saw. Menurut  Tabat
aba’i  sesuatu  yang  diturunkan  kepada  Nabi  saw  dari Tuhannya  tidak  dijelaskan  dengan  sebuah  nama,  tetapi  diungkapkan  dengan
suatu  sifat,  dan  sesuatu  yang  diturunkan  kepadanya  menunjukkan keagungannya dan menunjukkan bahwa masalah  ini bukan buatan  Rasulullah
saw.,  dan  tidak  ada  alternatif  lain  untuk  menyimpan  dan  menunda penyampaiannya.
28
Pernyataan  Tabat aba’i  tersebut  mewakili  pendapat  mazhab  Syiah
karena  beliau  adalah  seorang  Syiah.  Menurut  Syiah  kata  maula    wilâyah  itu diartikan sebagai yang memiliki keuasaan dan harus diikuti kepemimpinannya,
seperti yang terdapat dalam kata-kata yang sering dipergunakan orang, seperti wali  kota,  wali  murid,  wali  mempelai  wanita  dan  lain-lain,  yang  semuanya
27
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3. h. 48-49
28
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Juz 3, h. 49
74
menunjukkan  arti  “orang-orang  yang  memiliki  kekuasaan  atas  orang-orang tertentu.
”
29
Dengan  begitu  apa  yang  disampaikan  oleh  Tabat aba’i  tentang
pentingnya  penyampaian  risalah  dalam  ayat  ini  adalah  sebuah  hadis  wilâyah ‘Ali  bin  Abî  Tâlib  tersebut,  dan  makna  maula    wilâyah  bukanlah  makna
seperti yang dikatakan oleh Ahlu Sunnah. Karena apabila terminologi maula wilâyah
seperti yang digunakan oleh Ahlu Sunnah, bukankah semua orang tahu pada  saat  itu  bahwa  kedudukan  Ali  bin  Abi  Thalib  dan  peranannya  bersama
Rasulullah saw dalam menjalankan misi dakwah?. Dalam  al-Qu
r’an kata wali  yang bentuk jamaknya  awliya mempunyai beberapa pengertian. Diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut:
30
1. kata wali yang berarti pelindung. tedapat dalam QS. Al-A’raf: 196,
QS.  Al- Baqarah:  107  dan  257,  QS.  Ali  ‘Imran:  68,  QS.  Al-
An’Am:51 dan 70, QS. Al-Taubah: 74 dan 116, QS. Al-Kahfi: 26, QS.  Al-Jatsiyah:  19,  QS.  Al-Syura:  8-9,  dan  44  yang  berarti
pemimpin. 2.
kata wali yang berarti penolong. Terdapat dalam QS. Al-Isra: 111, QS. Al-Syura: 31, QS. Al-Baqarah: 120, dan QS Al-Sajadah: 4.
3. kata wali yang berarti kawan atau teman setia. Terdapat dalam QS.
Al-Nisa: 144 dan QS. Fusshilat: 34. Kontroversi  makna  wali  dalam  hadis  Ghadîr  Khum  tersebut  yang
menimbulkan cikal bakal kontroversi tentang kepemimpinan pasca wafat Nabi
29
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., Yogyakarta: Aynat Publishing, 2010, h. 8
30
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 42
75
saw, karena dinterpretasikan berbeda oleh kalangan Mazhab Ahlu Sunnah dan Syiah.  Bila  Ahlu  Sunnah  mengartikan  kata  tersebut  sebagai  pelindung,
penolong ataupun orang yang mencintai, maka Syiah mengartikan kata wali itu sebagai pemimpin. Agaknya kedua pengertian tersebut mendapat  pembenaran
dari al- Qur’an, tergantung bagaimana bunyi redaksi yang di dalamnya termuat
kata wali itu. Apabila  kata  tersebut  dilihat  dari  segi  historis  pengucapannya  ketika
Nabi  Muhammad  saw  mengumpulkan  para  sahabat  di  Ghadîr  Khum  dan bersabda  hadis  tersebut,  maka  tampaknya  ucapan  Nabi  saw  tersebut
mengindikasikan  bahwa  wilâyah  atau  kedudukan  sebagai  pemimpin pascawafat nabi saw adalah
‘Ali bin Abî Tâlib.
31
Apa  yang  dikemukakan  Rasyîd  Ridâ  dan  Tabat aba’i  seperti  yang
dijelaskan  di  atas,  mereka  mempunyai  perbedaan  yang  sangat  luas pemahamannya  tentang  peristiwa  Ghadîr  Khum  dan  wilâyah
‘Ali  bin  Abî Tâlib.  Dalam  kajian  riwayat  yang  ditulis  oleh  Tabat
aba’i  dalam  masalah  ini, ada  hal  yang  menarik,  yaitu  beliau  mengkritik  pendapat  Rasyîd  Ridâ  ketika
mengutip hadis berkenaan tentang ‘Ali bin Abî Tâlib dan sabab nuzul ayat ini
untuknya. Hadis tersebut adalah: “Sungguh  perkataan  ini  dari  Nabi  Saw  tentang  wilayah  ‘Ali  yang
tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu sampai kepada al-
Harits  bin  Nu’man  al-Fahri,  kemudian  ia  datang  kepada  Nabi  saw. karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi saw. berada di Abthah
lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal itu.  Dia  berkata  kepada  Nabi  saw.
– dia adalah salah seorang sahabat besar Nabi saw.
–  wahai Muhammad engkau telah menerima perintah dari  Allah  untuk  kami,  agar  kami  bersaksi  bahwa  tiada  Tuhan  selain
31
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 147
76
Allah  dan  sesungguhnya  engkau  adalah  Rasul  Allah,  maka  kami menerimanya
– ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua
tangan  anak  pamanmu  dan  mengutamaknnya  atas  kami,  lalu  engau berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah
pemimpinnya
,  maka  apakah  ini  dari  kamu  atau  dari  Allah?  Nabi  saw menjawab:  Demi  Allah  yang  tiada  Tuhan  selain  Dia,  masalah  ini
adalah  perintah  Allah .  Lalu  al-Harits  berpaling  dan  pergi  sambil
mengucapkan:  “Ya  Allah  jika  perintah  ini  benar  –benar  dari  sisimu, maka  turunkan  kepada  kami  hujan  batu  dari  langit  atau  berikan  kami
siksa  yang  pedih .  Q.S.  al-Anfâ
l: 32.” Maka sebelum ia sampai pada pada tujuan perjalannannyam, Allah menghujaninya dengan batu, maka
jatuhlah  dia  sebab  keinginannya  dan  keluarlah  batu  itu  dari  duburnya. Lalu  Allah  menurunkan  ayat:  “seorang  peminta  telah  meminta
kedatangan  azab  yang  menimpa  untuk  orang-orang  kafir  yang  tiada seorang pun dapat menolaknya
. Q.S. al- Ma’ârij: 1-2.”
32
Setelah mengutip hadis tersebut, Rasyîd Ridâ menilai bahwa riwayat ini maudhu’ dan surat al-Ma’ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan  itu
adalah perkataan sebagian orang- orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah
ini benar-benar dari sisimu ”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini
terdapat  dalam  surat  al-Anfâl  yang  diturunkan  sebelum  perang  Badar  dan sebelum surat al-Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu
menjelaskan  bahwa  al-Hârits  adalah  seorang  muslim  kemudian  murtad.  Ia belum dikenal di kalangan para sahabat Nabi saw. Adapun Abhtah adalah suatu
tempat di Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah, bahkan setelah  Haji  Wadâ
’ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke Madinah.
33
32
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
33
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
77
Tabat aba’i mengkritik pendapat Rasyîd Ridâ tersebut yang menyatakan
bahwa  hadis  tersebut  maudhû ’,  surat  al-Ma’ârij  adalah  Makkiyyah,  surat  al-
Anfâl  turun  sebelum  hijrah,  Hârits  bin  Nu’mân  adalah  seorang  muslim kemudian  murtad  dan  dia  tidak  dikenal  di  kalangan  para  sahabat.  Kritikan
Tabat aba’i tersebut sebagai berikut:
“Pernyataan al-manar bawa riwayat itu  maudhu’ dan surat  Al-Ma’arij itu adalah surat Makkiyyah, ia menggunakan sebagian riwayat dari Ibn
Abbas  dan  Ibn  Zubair  sebagai  dalil  pendapatnya  bahwa  surat  Al- Ma’arij  turun  di  Makkah.  Aduhai  disayangkan  Apa  yang
mengunggulkan  riwayat  ini  terhadapat  ayat  itu.  sementara  semuanya adalah  ahad?  Kami  terima  bahwa  surat  al-
Ma’arij  adalah  surat Makkiyyah  sebagaimana  yang  dikuatkan  oleh  kandungan  sebagian
besar  ayat-ayatnya,  tetapi  apa  dalilnya  bahwa  seluruh  ayat  surat  Al- Ma’arij itu Makkiyyah? Surat ini adalah surat makkiyyah, tapi khusus
dua  ayat  ini  bukan  Makkiyyah,  sebagaimana  surat  Al-Maidah  adalah surat  madaniyah  yang  turun  pada  akhir  masa  Nabi  saw.,  dan  yang  di
dalamnya  terdapat  ayat  yang  dibahas  al-Maidah:  67.  Ayat  ini,  oleh beberapa  mufassir  dinyatakan  turun  di  Makkah  pada  awal  kenabian.
Jika  boleh  meletakkan  ayat  Makkiyyah  al-Maidah:  67  ke  dalam  surat Madaniyah al-Maidah, maka boleh pula meletakkan ayat  Madaniyah
al-
Ma’arij:  1-2  kedalam  surat  Makkiyah  al-Ma’ârij.  Kemudian tentang  surat  al-Anfal  turun  sebelum  hijrah,  dalam  masalah  ini
pengarang  al-manar  berpendapat  tanpa  hujjah  untuk  membedakannya, tetapi  bagi  seorang  mufassir  yang  mengenal  sturktur  kalimat,  ia  tidak
akan mendekati keraguan tentang firman Allah swt. surat  al-Anfal: 32 dengan adanya makna kandungan makna pada kalimat
: “ ” di dalmnya terdapat “isim isyarah, dhamir munfashil dan
kata  al-Haqq  yang  didahului  oleh  alif  lam ”,  maka  jelaslahbahwa
kalimat “ ” bukan yang dinisbatkan kepada berhala, yang keluar
dari  mulut  orang  musyrik  yang  hatinya  goncang  dan  menghina kebenaran.  Kalimat  ini  tiada  lain  adalah  ucapan  yang  tunduk  pada
maqam rububiyyah, dan memandang bahwa perkara-perkara yang benar jelas  dari  sisi  Allah,  dan  hukum-hukum  syariat  turun  dari-Nya.
Kemudian  ia  menggantung  setiap  perkara  kepada  Allah  swt,  tanpa mengetahui  dalil  yang  pasti  bahwa  kebenaran  itu  hanya  dari-Nya,  ia
merasa berdosa sebab masalah itu, maka ia berdoa untuk dirinya dengan doa  yang  tercela  dan  bosan  hidup.  Kemudian  tentang  Harits  bin
Nu’man, dalam hal ini perlu diketahui, apakah ada diantara para sahabat Nabi saw yang menghafal nama-nama setiap orang  yang melihat Nabi
78
saw  dan  beriman  kepadanya,  atau  beriman  kepadanya  kemudian murtad
?.”
34
Kritikan  Tabat aba’i  sepertinya  ingin  mempertanyakan  alasan  kenapa
Rasyîd  Ridâ  mengutip  riwayat  tersebut  dan  seolah  menunjukkan  bahwa  itu dalil bagi orang Syiah tentang sabab nuzul al-Mâidah: 67 untuk nash wilâyah
‘Ali  bin  Abî  Tâlib.  Akan  tetapi  pada  akhirnya  dia  menolak  riwayat  tersebut. Tabat
aba’i  menegaskan  bahwa  riwayat  tersebut  ahad  bukan  mutawâtir.  Dan pernyataan  Rasyîd  Ridâ  tentang  hadis  itu  maudhû
’  tidak  didasarkan  pada qorînah
yang pasti.
35
Adapun  mengenai  hadis  Ghadîr  Khum  mempunyai  redaksi  yang berbeda-beda,  hadis  tersebut  terdapat  dalam  kitab  al-
Jâmi’  al-Shahîh  karya Imâm  al-Turmudzî,
36
Sunan  Ibnu  Mâjah
37
dan  Musnad  Ahmad  bin  Hanbal.
38
Menurut  HM.  Attamimy  dalam  bukunya  Ghadîr  Khum,  beliau  setelah melakukan  takhrîj  hadis  tersebut  menyatakan  bahwa  kualitas  sanad  hadis
tersebut  shahih,  hal  ini  memungkinkan  karena  periwayat  tersebut  semuanya bersambung  kepada  nabi  saw  dan  memiliki  kepribadian  yang  tsiqoh,  yaitu
suatu  predikat  yang  memiliki  tingkat  akurasi  yang  tinggi  dan  karenanya periwayatan  dengan  kualitas  hadis  tersebut  dapat  dipercaya.
39
Lebih  tegas Attamimy  menegaskan  bahwa  setelah  melakukan  telaah  matan  hadis,  seluruh
34
Lihat Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Juz 3, h. 55-57
35
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, Juz. 3, h. 57
36
Lihat  Abû  ‘Îsa  Muhammad  bin  Îsa  ibn  Saurah,  al-Jâmi’  al-Shahîh  Sunan  al- Turmudzi
, Beirut Dar al-Kutub Ilmiyah h, 590
37
Lihat al- Hâfiz Abû ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mâjah,
Juz I Semarang Toha Putra h, 43
38
Lihat  Ahmad  bin  Hanbal,  Musnad  Imâm  Ahmad  bin  Hanbal,  juz  V  Beirut:  Maktab Islami, h. 350, 356, 358, 361, 370 dan 439
39
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 138
79
hadis tentang Ghadîr Khum dikategorikan hadis yang berkualitas shahîh, baik sanad maupun matannya.
40
C. Perintah Tablîgh Al-Risâlah