48
pencarian makna dari lafazh tersebut yang kemudian ia tafsirkan dengan menyandingkan riwayat-riwayat yang bersumber dari Ahlul Bait yang
kemudian dihubungkan dengan ayat yang berkaitan, juga menggunakan metode kajian-kajian falsafi, ilmiah, tarikhi, sosial dan akhlâqi, jika hal ini
dibutuhkan dalam kajian tafsir al-Mîzân. Tafsir al-Mizan terdiri dari 20 jilid yang mempunyai sistematika
yang sama, kecuali jilid pertama yang ditambah dengan muqaddimahnya. Sedangkan jilid ke dua sampai ke dua puluh menggunakan sistematika
yang sama.
B. Penafsiran Tabataba’i Terhadap Surat Al-Mâidah Ayat 67
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan
itu, berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang- orang yang kafir.” Q.S. Al-
Maidah5 : 67 Tabat
aba’i dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67 ini secara umum ingin menyampaikan bahwa ayat ini menjelaskan persoalan penting
yang harus disampaikan yaitu mengenai kedudukan ‘Ali bin Abî Tâlib
sebagai wali dan pengganti Nabi dalam urusan agama dan keduniaan.
11
Oleh karena itu Tabat aba’i yang menggunakan metode Tahlîli dalam
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,Vol. 3, Jakarta: Lentera Hati, 2001, h. 140
49
penulisan tafsirnya, membahas secara panjang lebar tentang ayat ini dari mulai sebab turunnya sampai pada pembahasan secara detail ayat per ayat.
Menurut Tabat aba’i secara lahiriah ayat ini mengandung perintah
kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt. menjanjikan kepadanya pemeliharaan
dari gangguan manusia.
12
Tabat aba’i menggambarkan bahwa ada
kekhawatiran Nabi saw dalam menyampaikan pesan sehingga Nabi mendapat penekanan bahwa pesan itu harus disampaikan dan mendapat
jaminan bahwa Allah memelihara dari gangguan manusia. Tabat
aba’i juga menjelaskan tentang letak ayat ini yang diapit oleh dua ayat yang membahas tentang keadaan Ahli Kitab, kehinaan dan
keburukan akibat perbuatan mereka, yakni banyak berbuat zalim terhadap apa yang telah diharamkan oleh Allah dan mengingkari ayat-ayat-Nya.
kedua ayat tersebut adalah :
“Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan hukum Taurat dan Injil dan Al Quran yang diturunkan kepada mereka
dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. diantara mereka ada golongan yang
pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
” Q.S. Al-Maidah5 : 66
12
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42
50
“Katakanlah: Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil,
dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu Muhammad dari
Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati
terhadap orang-orang yang kafir itu.
” Q.S. Al-Maidah5 : 68 Tabat
aba’i berpendapat bahwa jika diperhatikan secara teliti maka dapat dipastikan dan tidak perlu diragukan bahwa ayat ini surat al-Mâidah
ayat 67 tidak berkaitan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya al- Mâidah ayat 66 dan 68 dari segi susunan ayat dan tidak mempunyai
hubungan dengannya dalam untaian kalimatnya.
13
Alasan yang dikemukakan Tabat aba’i adalah karena apabila ayat
ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dalam satu kesatuan yang saling berkaitan tentang perkara Ahli Kitab, maka
mempunyai kesimpulan bahwa perintah Nabi yang terpenting adalah menyampaikan perintah Allah tentang masalah Ahli Kitab dan
menjelaskan apa yang dimaksud “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا “ dalam ayat ini al-
Maidah: 67 adalah “apa yang diperintahkan untuk disampaikan” yang
terkandung dalam ayat :
13
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
51
“Katakanlah: Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil,
dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu Muhammad dari
Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati
terhadap orang-orang yang kafir itu.
” Q.S. Al-Maidah5 : 68 Akan tetapi susunan dalam ayat 67 ini menolaknya, karena kalimat
“
اَ ا ك صْعي هَ ا ” menunjukkan bahwa masalah yang harus
disampaikan dalam ayat ini adalah masalah yang sangat penting dan mengandung kekhawatiran pada jiwa Nabi saw atau agama Allah dari segi
keselamatan penyampaiannya, sedangkan sesungguhnya keadaan orang- orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi saw tidak menunjukkan
sesuatu yang bahaya yang membolehkan nabi saw menunda penyampaian perintah atau mengakhirkannya pada suatu momen.
Menurutnya ayat tentang Ahli Kitab tidak mengandung perintah dan tantangan yang hebat dari perintah sebelumnya, Nabi saw. telah
diperintahkan menyampaikan sesuatu yang lebih berbahaya dari tantangan orang-orang Yahudi, seperti penyampaian masalah Tauhid dan
penghancuran berhala-berhala di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dan musyrikin Arab. Sehingga tantangan dan keangkuhan orang-orang Yahudi
dan Ahli Kitab tidak mengandung kekhawatiran dan bahaya untuk
52
menyampaikan perintah kepada mereka dan tanpa janji pemeliharaan Allah dari gangguan mereka.
14
Tabat
aba’i sebelum menafsirkan “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا “ yakni tentang
apa yang diperintahkan kepada nabi saw., beliau menjelaskan adanya bentuk kekhawatiran Nabi saw untuk menunda penyampaiannya pada
momen yang sesuai, seandainya Nabi saw tidak merasa khawatir dan tidak menundanya maka tidak perlu ada penegasan kepada Nabi saw.
sebagaimana firmannya “ ”.
Menurut Tabat aba’i ayat-ayat yang turun pada awal kenabian tidak
ada penegasan seperti itu, maka jelas ayat ini bukan untuk Ahli Kitab sebagaimana pernyataa
nnya “Nabi saw tidak pernah menunda penyampaian perintah sehubungan dengan Ahli Kitab walaupun beliau
menghadapai tantangan yang hebat dari orang-orang Yahudi mulai awal hijrah ke Madinah hingga berkahir dalam peristiwa khaibar dan lainnya
”.
15
Lebih tegasnya Tabat aba’i menegaskan bahwa kekhawatiran Nabi
saw terhadap Yahudi dan Nasrani bukan karena takut mati di jalan Allah, enggan mengorbankan jiwanya atau tidak mau menukar jiwanya dengan
sesuatu demi perintah Allah. Menurutnya hal seperti itu tidak mungkin terjadi dalam sejarah dan realita kehidupan Rasulullah saw.
16
Sepertinya yang dimaksud kekhawatiran Nabi saw dalam menundanya menurut
Tabat aba’i adalah khawatir perpecahan ditubuh umat Islam sendiri.
14
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42-43
15
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42
16
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
53
Pernyataan Tabat aba’i dalam tafsirnya tersebut sesungguhnya ingin
menegaskan bahwa ayat ini tidak ada hubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya dan turunnya ayat ini juga bukan untuk awal permulaan Islam
yakni pada awal kenabian, sebagaimana yang dijelaskan oleh banyak para mufassir. Apabila ayat ini turun untuk awal kenabian dan kekhawatiran
Nabi saw karena takut mati di jalan Allah oleh ancaman Yahudi dan Nasrani sehingga menunda penyampaian, maka bertolak belakang dengan
dengan ayat firman Allah dalam surat al-Ahzâb ayat 38-39.
17
Hal ini dikarenakan apa yang dimaksud Tabat
aba’i dalam “ ْأ ا كِبر ْ كْي إ ” diturunkan untuk masalah wilâyah ‘Ali bin Abî Tâlib. Allah
swt. memerintahkan menyampaikan masalah ini dan Nabi saw merasa khawatir mereka menuduh beliau terlalu memperhatikan putra pamannya,
Rasulullah menunda penyampaian masalah ini dari saat ke saat sehingga turunlah ayat ini yang mengharuskan penyampaian masalah ini, lalu Nabi
menyampaiakannya di Ghadîr Khum, pada waktu itulah nabi bersabda: “Barangsiapa menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka ‘Ali
pemimpinnya”.
18
Kemudian Tabat
aba’i dalam menjelaskan makna “ هت اسر ” yang terkandung dalam kalimat “ هت اسر تْغَب ا ف ْ عْفت ْ ْ إ
” adalah suatu risalah yang diamanatkan kepada Rasulullah yaitu pentingnya peranan hukum ini,
sehingga mempunyai kedudukan, apabila tidak disampaikan maka sama halnya belum menyampaikan satupun risalah-risalah yang diembannya,
17
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
18
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 48
54
yakni apabila tidak sampai pada manusia dan diperjelas kebenarannya maka sama halnya belum menjelaskan satupun kebenaran dari bagian-
bagian agama.
19
Dalam menjelaskan “ اَ ا ك صْعي هَ ا ” Tabataba’i menafsirkan
bahwa ‘Ishmah para Nabi adalah Allah memelihara mereka dengan
sesuatu yang khusus bagi mereka yaitu kesucian jiwa, memberikan pertolongan dengan mengokohkan pendirian mereka, kemudian
memberikan ketenangan, memelihara mereka dan memberikan taufiq.
20
Akan tetapi menurut Tabat aba’i makna ‘Ishmah tersebut tidek
relevan dengan ayat ini “
اَ ا ك صْعي هَ ا ”, secara lahiriah ayat ini
merupakan ‘Ishmah dalam pengertian memelihara dan menjaga dari
kejahatan manusia yang diarahkan kepada jiwa Nabi saw, tujuan-tujuanya yang Islami, keberhasilan penyampaian, keberuntugan usaha dan makana-
makna lain sesuai dengan kesuciannya. Thabathaba’i menegaskan bahwa menghubungkan ‘Ishmah dengan
manusia “ اَ ا ” bukanlah pemeliharaan seperti penganiayaan fisik atau
membunuh meracuni, akan tetapi pemeliharaan dari kejahatan manusia yang memutarbalikkan perkara kepada Nabi saw, yang hal ini dapat
meruntuhkan kejayaan ilmu- ilmu agama. Karena itu lah kata “
” dalam
ayat ini menurutnya adalah gambaran sikap pribadi negatif dari orang- orang beriman, munafik dan hatinya berpenyakit.
21
19
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 49
20
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 50
21
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 51
55
Selanjutanya dalam men jelaskan “
يّفا ْا ْ قْا يدْ ي ا هَ ا َ إ ”
Tabat aba’i memfokuskan pada pemaknaan “kafir”. Makna “kafir” yang
dimaksud dalam ayat ini adalah mereka sekelompok manusia yang sifatnya telah disebutkan yaitu sikap pribadi negatif dari orang-orang
beriman, munafik dan hatinya berpenyakit. Sehingga maksud dari “ ا هَ ا َ إ يّفا ْا ْ قْا يدْ ي ” adalah Allah tidak memberi petunjukhidayah kepada
mereka dalam siasat dan tipu daya dan Dia memelihara Nabi saw. dari sebab-sebab yang berlaku yaitu sikap-sikap negatif yang akan mereka
lakukan.
22
Seperti dalam penafsiran-penafsiran ayat lainnya, Tabat aba’i untuk
menguatkan argumennya, secara khusus dia melakukan “kajian riwayat”. Dan dalam ayat ini dia mengkaji riwayat sebab turunnya ayat ini dan
menyebutkan beberpa pandangan mufassir yang mendukung argumennya juga mengkritik beberapa pandangan mufassir yang berbeda dengannya.
22
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 52
56
BAB IV ANALISA KOMPARATIF PENAFISRAN RASYÎD RIDÂ DAN