79
hadis tentang Ghadîr Khum dikategorikan hadis yang berkualitas shahîh, baik sanad maupun matannya.
40
C. Perintah Tablîgh Al-Risâlah
Perbedaan Rasyîd Ridâ dan Tabat aba’i tentang sabab nuzul ayat ini
berpengaruh pula terhadap penafsirannya terhadap ayat, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Rasyîd Ridâ menganggap bahwa ayat ini turun pada awal
kenabian sedangkan Tabata ba’i pada saat setelah Nabi saw melaksanakan haji
wadâ ’, maka target kepada siapa risalah tersebut disampaikan dan isi
risalahnya yang terkandung dalam ayat al-Mâidah: 67 ini mengalami perbedaan juga.
Rasyîd Ridâ yang mengakui ayat ini turun pada awal kenabian, menjadikan sasaran penyampaian risalah adalah Ahli Kitab sehingga apa yang
dibicarakan dalam ayat ini keseluruhan adalah seruan kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan agama.
41
Dalam
menafsirkan “ كِبر ْ كْي إ ْأ ا ْغِب سَّ ا ا يأ اي ” beliau mengutip
sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab turunnya ayat ini yaitu pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan pendapat para ulama tafsir al-
Ma’tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata:
“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab dan jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah:
Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu
40
HM. Attamimy, Ghadîr Khum: Suksesi pasca wafatnya Nabi saw., h. 141
41
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 463
80
menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
... . ”.
42
Tentu saja penafsiran Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabat aba’i
seperti yang dikemukakan sebelumnya dalam masalah sabab nuzul ayat tersebut. Akan tetapi yang menarik dalam analisa ini adalah perbedaan
keduanya dalam memahami diperbolehkan atau tidaknya bagi seorang Nabi saw untuk menyembunyikan atau menunda dalam penyampaian risalah.
Rasyîd Ridâ
ketika menafsirkan “ هت اسر تْغَب ا ف ْ عْفت ْ ْ إ ” menurutnya
adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu untuk
menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu seluruhnya – seluruh umat
– atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan menyembunyikannya bahkan menundanya karena takut dapat ancaman atau gangguan berupa perkataan
ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum menyampaikan risalah dan belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan tugasnya adalah
menyampaikan apa yang di turunkan Tuhan kepadanya.”
43
Penafsiran Rasyîd Ridâ tersebut jelas mengindikasikan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang Nabi saw untuk menyembunyikan bahkan
menunda menyampaikan risalah sesuai dengan ijtihad atau kehendak Nabi saw sendiri. Beliau sepakat dengan pendapat para ulama bahwa apabila tidak
menyampaikan seluruh yang diturunkan Tuhan kepadamu Nabi saw. dengan menyembunyikan sebagiannya, maka bagimu belum menyampaikan sama
42
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
43
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur ’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
81
sekali, karena menyembunyikan sebagian sama saja dengan menyembunyikan secara keseluruhan.
44
Pendapat ini mempunyai pengertian bahwa masalah wahyu adalah masalah keseluruhan dan tidak terbagi-bagi.
Menurut Rasyîd Ridâ ada hikmah yang harus dimengerti dengan jelas dalam penyampaian risalah ini yaitu:
1. Hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw. bahwasanya perintah
untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada pilihan bagi Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya
berdasarkan ijtihâd Rasul saw sendiri. 2.
Hikmah yang dinisbatkan kepada manusia agar mengetahui hakikat keseluruhan dari nash, maka tidak terjadi perselisihan dalam
pendapat dan pemahaman.
45
Penjelasan Rasyîd Ridâ ini berbeda dengan Tabat aba’i. Dari awal
penafsirannya tentang ayat ini, beliau sudah menjelaskan bahwa secara lahiriah ayat ini mengandung perintah kepada Rasulullah saw untuk menyampaikan
sesuatu yang berbahaya dan menakutkan, kemudian Allah swt menjanjikan kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia.
46
Tabat aba’i menggambarkan bahwa ada kekhawatiran Nabi saw dalam
menyampaikan pesan sehingga Nabi saw mendapat penekanan bahwa pesan itu harus disampaikan dan mendapat jaminan bahwa Allah memelihara dari
gangguan manusia. Beliau menjelaskan adanya bentuk kekhawatiran Nabi saw
44
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
45
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 469
46
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 42
82
untuk menunda penyampaiannya pada momen yang sesuai, seandainya Nabi saw. tidak merasa khawatir dan tidak menundanya maka tidak perlu ada
penegasan kepada Nabi saw. sebagaimana firman-N
ya “ تْغَب ا ف ْ عْفت ْ ْ إ هت اسر ”.
47
Dalam tafsirnya Tabat aba’i menjelaskan alasannnya bahwa ayat ini
mengungkapkan tentang hukum yang didalamnya mengandung kekhususan bagi Nabi saw dengan suatu keistimewaan kehidupan, yang keistimewaan ini
juga diinginkan oleh yang lain. Masalah inilah yang harus disampaikan oleh Nabi saw, sementara masalah ini diinginkan juga oleh manusia. Karena itulah
Nabi saw merasa khawatir untuk menyampaikan dan menjelaskannya. Maka Allah mempertegas agar beliau segera menyampaikannya, menjanjikan
kepadanya pemeliharaan dari gangguan manusia, dan berjanji tidak akan meberi petunjuk kepada mereka yang melakukan tipu daya.
48
Penjelasan Tabat
aba’i di
atas mengindikasikan
bahwa diperbolehkannya berijtihad bagi Nabi saw untuk menunda penyampaian
risalah. Perintah untuk menyampaikan risalah dari Allah dalam ayat ini ini adalah bentuk peringatan bagi rasul saw untuk menyampaikannya dan saat itu
adalah momen yang tepat yakni pada peristiwa Ghadîr Khum. Ijtihad yang dilakukan oleh Nabi saw. dalam menunda penyampaian
dikarenakan beliau mempunyai firasat yang sangat buruk. Bukan khawatir karena faktor ancaman dari Ahli Kitab, Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dari
tubuh umat Islam sendiri. Oleh karena itu Nabi saw. tidak ada alternatif lain
47
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 43
48
Muhammad Husein al-Tabat aba’i, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’ân, juz 3, h. 48
83
untuk menyimpan atau menundanya. Menurut Tabat aba’i dengan dasar ini,
masalah itu menjelaskan kepada manusia, mengisyaratkan bahwa Nabi saw. benar dalam firasatnya tentang mereka dan kekhwatirannya terhadap mereka,
dan mengisyaratkan bahwa ia harus menjelaskan melalui lisan dan keterangannya.
49
Demikianlah nampak jelas perbedaan antara Rasyid Ridâ dan Tabat
aba’i dalam menafsirkan perintah tablîgh menyampaikan risalah dan ancaman kepada Rasulullah saw apabila tidak menyampaikannya.
D. ‘Ishmah Nabi saw