28
B. Penafisran Rasyîd Ridâ tentang surat al-Mâidah ayat 67
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan itu,
berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang- orang yang kafir.” Q.S. Al-Mâidah5 : 67
Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan ayat ini pada mulanya ingin menegaskan bahwa seruan kata “Rasul” dalam ayat tersebut menunjukkan
bahwa ada dua tema besar yang dibahas dalam ayat tersebut yaitu seruan kepada Ahli Kitab untuk masuk Islam dan tentang persoalan-persoalan
agama.
27
penjelasan Rasyîd Ridâ ini seolah mengemukakan bahwa sebab turunnya ayat ini pada awal kenabian karena menyangkut seruan kepada Ahli
Kitab untuk masuk Islam. Rasyîd Ridâ pun juga menjelaskan dalam tafsirnya bahwa memang
terjadi perbedaan pendapat oleh para mufassir tentang sebab turunnya ayat ini. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa turunnya ayat ini terjadi pada masa
awal Islam sedangkan pendapat kedua megatakan bahwa ayat ini turun untuk ‘Ali bin Abî Tâlib pada hari Ghadîr Khum.
28
27
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 463
28
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsir al- Qur’an al-Karim Asy-Syahir bi Al-Tafsir Al-Manar,
jilid 6, h. 463
29
Dalam menafsirkan
“ كِبر ْ كْي إ ْأ ا ْغِب سَّ ا ا يأ اي ” Rasyîd Ridâ
menyampaikan sebuah riwayat yang juga sekaligus menunjukkan sebab turunya ayat ini yaitu pada awal permulaan Islam. Dia sepakat dengan
pendapat para ulama tafsir al- Ma’tsûr, apabila ayat ini tidak menyangkut
masalah Ahli Kitab maka tidak sesuai dengan ayat setelahnya, yaitu dengan pengertian bahwa Allah berkata:
“Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang perkara Ahli Kitab
dan jika kamu bertanya apa yang harus disampaikan maka jawablah “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, kamu tidak
dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Qur
’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu... .”.
29
Kemudian Rasyîd Ridâ meyebutkan hadis Ibn ‘Abbâs yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dan Adh-Dhiyâ ’ yaitu :
“Rasulullah Saw ditanya: Ayat apa yang diturunkan dari langit, yang paling menghawatirkan kamu? Nabi Saw menjawab: Aku berada di
Mina pada musim haji, ketika itu orang-orang musyrik Arab dan manusia yang tidak dikenal identitasnya berkumpul, kemudian turunlah
Jibril dan menyampaikan ayat: “
” , kemudian aku berdiri di ‘Aqobah dan berseru: “wahai manusia, siapa
yang akan menolongku menyampaikan risalah Tuhanku dan Pemilik syurga? wahai manusia katakan: Tiada Tuhan selain Allah dan aku
Rasul Allah, maka kalian akan beruntung dan behasil dan bagi kalian
surga.” Dan Nabi berkata, maka tak tertinggal seorang pun laki-laki, wanita dan anak-anak, semuanya melempar dengan tanah dan batu, dan
mereka meludahi mukaku, mereka sambil berkata, Pendusta, keluar dari agama. Kemudian Ali menyarankan dan berkata: Wahai Muhammad
jika engkau Rasul Allah, maka sekaranglah waktu engkau harus
mendoakan mereka sebagaimana Nuh berdo’a untuk kaumnya dengan kehancuran, maka Nabi Saw berdo’a: “Ya Allah berilah petunjuk
kaumku, sesungguhnya mereka tidak tahu dan tolonglah aku agar mereka mencintaiku dalam ketaatan kepadaMu
”. Kemudian datanglah
29
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
30
pamannya Al- ‘Abbas untuk meenyelamatkan beliau dari mereka dan
menghalau mereka dari Nabi Saw. ”
30
Rasyîd Ridâ secara panjang lebar membahas tentang pendapat Syiah yang manyatakan bahwa ayat ini turun di Ghadîr Khum berkenaan dengan
pengangkatan Imam ‘Ali bin Abî Tâlib sebagai Khalîfah setelah Rasulullah
saw. Beliau mengutip pendapat al- Tsa’labi dalam tafsirnya yang menyatakan
bahwa : “Sungguh perkataan ini dari Nabi Saw tentang wilayah Ali yang
tersebar di seluruh penjuru negeri, hingga perkataan itu samapai kepada al-
Harits bin Nu’man al-Fahri, kemudian ia datang kepada Nabi Saw karena ia ragu tentang berita itu. Ketika itu Nabi Saw berada di Abthah
lalu beliau menjelaskan dan memberi pengertian kepadanya tentang hal itu. Dia berkata kepada Nabi Saw
– dia adalah salah seorang sahabat besar Nabi Saw
– wahai Muhammad engkau telah menerima perintah dari Allah untuk kami, agar kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan sesunguhnya engkau adalah Rasul Allah, maka kami menerimanya
– ia juga menyebutkan seluruh rukun Islam – kemudian engkau belum puas dengan hal ini, sehingga engkau mengangkat kedua
tangan anak pamanmu dan mengutamaknnya atas kami, lalu engau berkata : Bararangsiapa menjadikan aku pemimpinnya maka Ali adalah
pemimpinnya
, maka apakah ini dari kamu atau dari Allah? Nabi saw menjawab: Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, masalah ini
adalah perintah Allah . Lalu al-Harits berpaling dan pergi sambil
mengucapkan: “Ya Allah jika perintah ini benar –benar dari sisimu, maka turunkan kepada kami hujan batu dari langit atau berikan kami
siksa yang pedih . Q.S. al-
Anfal: 32.” Maka sebelum ia sampai pada tujuan perjalanannya, Allah menghujaninya dengan batu, maka jatuhlah
dia sebab keinginannya dan keluarlah batu itu dari duburnya. Lalu Allah menurunkan ayat: “seorang peminta telah meminta kedatangan
azab yang menimpa untuk orang-orang kafir yang tiada seorang pun dapat menolaknya
. Q.S. al- Ma’arij: 1-2.”
31
Akan tetapi menurut Rasyîd Ridâ riwayat ini maudhû ’ dan surat al-
Ma’ârij ini Makiyyah dan apa yang Allah ceritakan itu adalah perkataan
30
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 467
31
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
31
sebagian orang- orang kafir Quraisy: “Ya Allah jika perintah ini benar-benar
dari sisimu ”, sebagai peringatan sebelum hijrah, peringatan ini terdapat dalam
surat al-Anfâl yang diturunkan sebelum perang Badar dan sebelum surat al- Mâidah turun antara tiga sampai sembilan tahun. Riwayat itu menjelaskan
bahwa al-Hârits adalah seorang muslim kemudian murtad. Ia belum dikenal di kalangan para sahabat Nabi saw Adapun Abhtah adalah suatu tempat di
Mekkah, sedangkan Nabi saw belum kembali dari Ghadîr Khum ke Mekkah, bahkan setelah Haji Wadâ
’ beliau singgah di Ghadîr Khum menuju ke Madinah.
32
Kemudian berkaitan dengan pendapat Syiah yang menjadikan sebuah
hadis “ ا ْ ٌّ عف ا ْ تْك ْ ” sebagai dalil kepemimpinan ‘Ali bin Abî Tâlib
pasca wafat Nabi saw., Rasyîd Ridâ mengutip hadis tersebut dalam tafsirnya. Beliau mengakui hadis tersebut karena hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dalam Musnadnya dari jalur al- Barra’ dan Buraidah. Imâm Tirmîdzi,
Imâm Nasâ’i dan Al-Diyâ’ dalam kitab Al-Mukhtâroh dari jalur Zaid bin Arqom, sebagian dari mereka menganggap hadis tersebut Hasan dan Adz-
Dzahabi menganggap hadis tersebut Shahîh.
33
Rasyîd Ridâ juga menjelaskan pendapat Ahlu Sunnah yang mengakui hadis tersebut, akan tetapi menurutnya hadis wilâyah tersebut bukan bermakna
Imâmah atau Khilâfah kepemimpinan melainkan mempunyai makna
“penolong dan yang mencintai” sebagaimana yang Allah katakan tentang
32
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
33
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 464
32
orang- orang mu’min dan kafir “Sebagian mereka adalah penolong bagi yang
lainnya ”.
34
Menurut Rasyîd Ridâ perbedaan pendapat tentang masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah sebuah perdebatan yang memecah
belah kaum Muslim, menimbulkan permusuhan, kebencian dan selama fanatisme mazhab lebih diutamakan maka tidak ada harapan untuk menemukan
kebenaran dalam menyikapi masalah perbedaan
35
. Di samping pendapatnya tentang adanya perbedaan antara mazhab Ahlu
Sunnah dan Syiah, Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa sesungguhnya seandainya masalah Imâmah sudah dibuktikan dalam nash baik
al- Qur’an ataupun hadis maka pastilah nash tersebut mutawâtir dan jelas, dan
seandainya ‘Ali menjadi pemimpin yang mengurus perkara kaum Muslimin
seharusnya pada hari wafat Nabi saw., dia berkhutbah menyampaikan nash –
penunjukan kepemimpinannya sebagai pengganti Nabi saw – dan
menjelaskannya dengan sebaik-baiknya kepada kaum Muslimin saat itu. Merupakan kewajiban bagi
‘Ali untuk menyampaikannya kalau ia menganggap masalah kepemimpinan pasca wafat Nabi saw adalah perkara yang ditentukan
oleh Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi dia tidak mengatakannya, bahkan tidak seorangpun dari para keluarganya dan penolongnya yang menggunakan ayat
34
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 465
35
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
33
ini pada kejadian hari Tsaqifah ataupun kejadian hari musyâwarah setelah wafatnya Umar.
36
Lebih tegas Rasyîd Ridâ menjelaskan bahwa kalau saja Nabi saw. ingin memberikan dan menunjukkan nash tentang siapa yang menjadi khalîfah
setelahnya dalam perintah penyampaiannya tersebut maka seharusnya Nabi saw. mengatakannya pada Haji Wadâ
’ dan meminta kepada seluruh manusia saat itu untuk bersaksi maka mereka pun akan bersaksi dan Allah
menyaksikannya. Rasyîd Ridâ ingin meyampaikan dalam penjelasannya bahwa tidak ada
keterkaitan masalah wasiat khilâfah dalam ayat ini dengan perkara Ahli Kitab ayat sebelum dan sesudahnya karena ini tidak sesuai dengan balaghah al-
Qur’an. Seandainya saja meninggalkan keterkaitan ayat ini dengan ayat sebelum dan sesudahnya, lalu ayat ini berdiri dengan sendirinya, dan kal
imat “
ْ عْفت ْ ْ إ ” yang menjadi jumlah syarat setelah kalimat perintah “ ْغِب ”,
kalimat tentang ‘ishmah dan kalimat tentang peniadaan hidayah kepada orang-
orang kafir, maka tetap saja tidak sesuai dan tidak dapat diterima maksud dari tugas penyampaian kepada manusia tersebut tentang kekuasaan Ali, karena
seharusnya makna yang terkandung dalam ayat ini sesuai dengan dzatnya secara jelas bukan karena sebatas taklid.
37
Selanjutnya dalam menjelaskan “ هت اسر تْغَب ا ف ْ عْفت ْ ْ إ ” menurut
Rasyîd Ridâ adalah “jika kamu tidak mengerjakan apa yang diperintahkan
36
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
37
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 466
34
kepadamu untuk menyampaikan dari apa yang diturunkan kepadamu seluruhnya
– seluruh umat – atau khusus kepada Ahli Kitab – yaitu dengan menyembunyikannya bahkan menundanya karena takut dapat ancaman atau
gangguan berupa perkataan ataupun juga tindakan, maka baginya adalah belum menyampaikan risalah dan belum mengerjakan sebab alasan diutusnya, dan
tugasnya adalah menyampaikan apa yang diturunkan Tuhan kepadanya. ”
38
Rasyîd Ridâ mengemukakan pendapat para ulama yang diantaranya berpendapat bahwa apabila tidak menyampaikan seluruh yang diturunkan
Tuhan kepadamu Nabi saw dengan menyembunyikan sebagiannya, maka bagimu belum menyampaikan sama sekali, karena menyembunyikan sebagian
sama saja dengan menyembunyikan secara keseluruhan.
39
Pendapat ini mempunyai pengertian bahwa masalah wahyu adalah masalah keseluruhan dan
tidak terbagi-bagi. Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa untuk menjelaskan pengertian tentang
penyampaian ini seperti halnya dengan peristiwa yang disebutkan dalam surat al-Ahzâb ayat 39 yaitu:
yaitu orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorangpun
selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pembuat perhitungan.
38
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
39
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 468
35
Ayat tersebut penjelasan setelah cerita tentang peristiwa Zaid dan Zainab yang bercerai kemudian Allah memerintahkan Nabi saw untuk
menikahi Zainab. Ini adalah peristiwa yang paling berat yang duturunkan kepada nabi saw karena berkaitan tentang kepribadiannya yang mulia.
40
Rasyîd Ridâ menegaskan bahwa ada hikmah dalam perintah penyampaian risalah ini, pertama, hikmah yang dinisbatkan kepada Rasul saw
bahwasanya perintah untuk tabligh adalah ketetapan Allah dan tidak ada pilihan bagi Rasul saw untuk menyembunyikannya bahkan menundanya
berdasarkan ijtihad Rasul saw sendiri. Kedua, hikmah yang dinisbatkan kepada manusia agar mengetahui hakikat kesuruhan dari nash, maka tidak
terjadi... apabila terjadi perselisihan dalam pendapat dan pemahaman.
41
Selanjutnya dalam menafsirkan “
اَ ا ك صْعي هَ ا ” Rasyîd Ridâ
mencantumkan sebuah riwayat dari mufassir al- ma’tsûr, Tirmidzi, Abu Syaikh,
al-Hâk im, Abu Na’im, al-Baihaqi dan Tabrâni dari beberapa para sahabat
bahwa “Rasulullah saw. dijaga di Makkah sebelum turunnya ayat ini, dan
ketika turun ayat ini Rasulullah tidak dijaga lagi, dan Abû Tâlib adalah orang yang pertama memperhatikan untuk menjaga Nabi saw. demikian juga Abbâs,
dan diriwayatkan pula dari Jâbir dan Ibn Abbâs bahwasanya Nabi saw. dijaga dan pamannya Abû Talib selalu mengutus seorang lelaki dari bani Hasyîm
untuk menjaganya, sampai turun ayat ini, dan Nabi saw. berkata “wahai
pamanku, sesungguhnya Allah telah menjagaku dan tidak usah kau mengutus
40
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 469
41
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 469
36
sese orang untuk menjagaku”.
42
Sehingga k
emudian makna “ اَ ا ك صْعي ”
adalah
“Allah menjagamu dari penyerangan mereka, dan maksud dari “ اَ ا ”
di sini adalah orang-orang kafir.
43
Penafsiran Rasyîd Ridâ
tentang “ اَ ا ” adalah orang-orang kafir, maka
beliau pun menafsirkan kalimat “
يّفا ْا ْ قْا يدْ ي ا هَ ا َ إ ” mempunyai keterkaitan dengan penjelasan “ اَ ا ” yaitu kalimat tersebut adalah sebuah
penegasan tentang ‘Ishmah Nabi saw dengan pengertian bahwa Allah tidak
memberi petunjuk kepada mereka yang menggangu Nabi saw dalam menyampaikan risalah, mereka itu adalah orang-oarang kafir, dengan begitu
kalimat-kalimat Allah tegak dan sempurna maka nabi saw pun bisa
menyelasikan misi agamanya dengan sempurna.
44
Demikianlah Rasyîd Ridâ dalam menafsirkan surat al-Mâidah ayat 67 ini, beliau sebelum menguraikan pendapatnya, beliau banyak mengulas terlebih
dahulu pendapat ulama tafsir juga rujukan dari kitab-kitab hadis. Sehingga apa yang beliau tafsirkan sesuai dengan yang beliau inginkan dalam menafsirkan
al- Qur’an, yaitu menjadikan terlebih dahulu hadis-hadis dan pendapat ulama
sebagai penjelasnya.
42
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471
43
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471
44
Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm al-Syahîr bi al-Tafsîr Al-Manâr,
jilid 6, h. 471-472
37
BAB III PENAFSIRAN TABAT