Rekonstruksi Free Flap Setelah Bedah Ablative Maksilofasial

(1)

REKONSTRUKSI FREE FLAP SETELAH BEDAH ABLATIVE

MAKSILOFASIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh :

IVAN SALOMO SUMARTO NIM : 070600088

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2011

Ivan Salomo Sumarto

Rekonstruksi Free Flap Setelah Bedah Ablative Maksilofasial

viii + 27 halaman

Tumor rongga mulut adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada rongga mulut. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada bagian anterior rongga mulut, posterior rongga mulut, dan tulang rahang.

Dalam dunia kedokteran gigi khususnya bagian bedah mulut dan maksilofasial banyak teknik pembedahan yang dapat digunakan untuk melakukan pengangkatan tumor rongga mulut, salah satunya adalah teknik bedah ablative maksilofasial. Bedah ablative maksilofasial adalah tindakan bedah yang luas dengan mengangkat tumor sampai batas bersih dan memastikan tidak adanya tumor yang tersisa. Bedah ini mengakibatkan defek yang luas, oleh karena itu bedah

ablative selalu berkaitan dengan rekonstruksi.

Rekonstruksi free flap adalah tindakan bedah rekonstruksi yang mengkhususkan diri pada penanganan kecacatan serta defek pada kulit, jaringan lunak, tulang dan otot dengan mencangkokkan jaringan dari bagian tubuh lain beserta pembuluh darahnya.

Daftar rujukan 21 (1992-2010)

Dengan rekonstruksi free flap, dapat memberikan perbaikan yang signifikan dari sudut pandang fungsional dan estetik dibandingkan dengan teknik rekonstruksi yang lain.


(3)

REKONSTRUKSI FREE FLAP SETELAH BEDAH ABLATIVE

MAKSILOFASIAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh :

IVAN SALOMO SUMARTO NIM : 070600088

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 20 April 2011

Pembimbing : Tanda tangan

Indra Basar Siregar, drg., M. Kes ... NIP : 19470206 197603 1 003


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji

pada tanggal 20 April 2011

TIM PENGUJI SKRIPSI

KETUA : Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM ANGGOTA : 1. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes


(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga skripsi ini dapat selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat.

1. Prof.Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Indra Basar Siregar, drg., M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM, selaku kepala bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial yang memberi motivasi dalam setiap kata-kata yang terucap.

4. Prof.Sondang Pintauli, drg., Ph.D selaku dosen pembimbing. 5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi USU.

6. Rasa hormat dan terimakasih yang tiada terhingga kepada kedua orangtua penulis, Harun Pardede dan Tuti Harianja atas semua dukungan yang tiada henti, doa yang selalu terucap disetiap ucapannya, tatapan penuh rasa bangga setiap melihatnya, inspirasi terbaik dalam hidup penulis dan semua pengorbanan yang telah dilakukan.

7. Adik penulis, Joseph Edbert, Arie Benedict yang selalu memberikan dukungan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.


(7)

8. Sebuah senyuman penuh rasa bangga yang tidak terucapkan dengan kata-kata dan rasa terima kasih kepada Eridasari Situmorang atas setiap waktu yang diluangkan untuk membantu penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini, selalu setia mendoakan dan memberikan motivasi dengan caranya sendiri kepada penulis.

9. Sahabat penulis, Christo Billy, Rony A, Andri P, Yogi, M. Yusuf, Sandra yang ikut membantu penulis.

10.Teman-teman yang mengambil skripsi dibagian Bedah Mulut dan Maksilofasial, teman-teman angkatan 2007, dan orang-orang tak terduga yang selalu memberikan semangat yang tidak dapat disebutkan semuanya.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan,20 April 2011 Penulis,

(Ivan Salomo Sumarto) NIM : 070600088


(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL...

HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI...

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

BAB 2 BEDAH ABLATIVE MAKSILOFASIAL 2.1 Definisi... 3

2.2 Indikasi…... 5

2.3 Kontraindikasi... 6

2.4 Defek Paska Bedah... 7

BAB 3 REKONSTRUKSI FREE FLAP 3.1 Defenisi... 8

3.2 Indikasi... 8

3.3 Kontraindikasi... 10

3.4 Tindakan pra bedah... 10

3.5 Tindakan bedah……..………... 14

3.6 Tindakan paska bedah... 17

3.7 Komplikasi... 19

BAB 4 KESIMPULAN ... 23


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bedah ablative... 4

2. 3. Tumor hasil pengangkatan dengan bedah ablative…... 4

Kanker dalam rongga mulut indikasi bedah ablative... 5

5. Defek paska bedah ablative………...………... 7

4. Tumor pada dagu atau mandibula yang memiliki ukuran yang besar... 6

6. Tabel jenis dan bagian flep yang digunakan serta fungsinya………... 9

7. Daerah donor pada rekonstruksi free flap……….... 12

8. Komposisi radial forearm flap………. 13

9. Instrument anastomosis……… 15


(10)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial

Tahun 2011

Ivan Salomo Sumarto

Rekonstruksi Free Flap Setelah Bedah Ablative Maksilofasial

viii + 27 halaman

Tumor rongga mulut adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada rongga mulut. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada bagian anterior rongga mulut, posterior rongga mulut, dan tulang rahang.

Dalam dunia kedokteran gigi khususnya bagian bedah mulut dan maksilofasial banyak teknik pembedahan yang dapat digunakan untuk melakukan pengangkatan tumor rongga mulut, salah satunya adalah teknik bedah ablative maksilofasial. Bedah ablative maksilofasial adalah tindakan bedah yang luas dengan mengangkat tumor sampai batas bersih dan memastikan tidak adanya tumor yang tersisa. Bedah ini mengakibatkan defek yang luas, oleh karena itu bedah

ablative selalu berkaitan dengan rekonstruksi.

Rekonstruksi free flap adalah tindakan bedah rekonstruksi yang mengkhususkan diri pada penanganan kecacatan serta defek pada kulit, jaringan lunak, tulang dan otot dengan mencangkokkan jaringan dari bagian tubuh lain beserta pembuluh darahnya.

Daftar rujukan 21 (1992-2010)

Dengan rekonstruksi free flap, dapat memberikan perbaikan yang signifikan dari sudut pandang fungsional dan estetik dibandingkan dengan teknik rekonstruksi yang lain.


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

Tumor rongga mulut adalah suatu pertumbuhan jaringan abnormal yang terjadi pada rongga mulut. Jaringan tersebut dapat tumbuh pada bagian anterior, posterior rongga mulut, dan tulang rahang. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (maligna) atau jinak (benigna). Tindakan bedah dibutuhkan untuk mengangkat tumor, agar tumor tidak tumbuh lebih besar dan bermetastase ke tempat lain yang dapat mengganggu kesehatan, estetis dan fungsi organ.

Tindakan bedah ablative maksilofasial merupakan tindakan operasi yang dilakukan untuk mengangkat jaringan tumor yang terdapat pada bagian maksilofasial. Hasil dari pemotongan tumor berakibat kecacatan pada bagian maksilofasial. Kecacatan hasil dari pemotongan berupa hilangnya bentuk anatomis yang mengakibatkan terganggunya fungsi secara nyata dan estetika pada bagian maksilofasial.

Kecacatan yang dihasilkan dari tindakan bedah ablative harus ditangani dengan tindakan bedah rekonstruksi. Tujuan dari rekonstruksi setelah tindakan bedah ablative adalah penyembuhan luka secara konsisten, membangun bentuk asli dan mengembalikan fungsi yang telah hilang.

1

Pengembalian fungsi dasar dan tujuan estetika pada cacat maksilofasial dapat dicapai melalui prosedur rekonstruksi free flap. Rekonstruksi free flap dapat secara simultan memperbaiki jaringan lunak dan jaringan keras pada bagian maksilofasial yang mengalami kecacatan. Rekonstruksi free flap merupakan suatu perkembangan dalam bidang bedah rekonstruktif maksilofasial. Rekonstruksi free flap tidak hanya menambal jaringan kulit yang


(12)

mengalami kecacatan, dengan teknik ini jaringan tubuh yang rusak seperti tulang, otot, kulit atau kombinasi jaringan dapat ditutup atau diganti dengan jaringan tubuh yang diambil dari bagian lain.

Bagaimanapun juga, usaha untuk meningkatkan kualitas hidup pasien merupakan tujuan utama. Oleh karen itu perlu perencanaan dan pertimbangan. Dalam hal ini dituntut keterampilan, pengetahuan dan pengalaman dokter ahli.

1,2,3

Tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan hal - hal yang perlu diketahui oleh seorang dokter gigi berkenaan dengan cara melakukan Rekonstruksi setelah tindakan bedah

ablative dengan teknik rekonstruksi free flap.

Manfaat penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan dokter gigi dan mahasiswa kedokteran gigi tentang cara melakukan Rekonstruksi setelah tindakan bedah ablative dengan teknik rekonstruksi free flap, sehingga nantinya dapat memberikan perawatan dental yang profesional dan dengan pedoman yang jelas.


(13)

BAB 2

BEDAH ABLATIVE MAKSILOFASIAL

Tumor ganas dapat terjadi pada daerah maksilofasial. Pada umumnya tumor ganas pada daerah maksilofasial adalah karsinoma sel squamous. Untuk menangani keadaan ini dilakukan terapi kanker. Terapi kanker terbagi atas bedah, radioterapi, kemoterapi, hormonterapi, imonoterapi. Ablative termasuk dalam tindakan bedah . Pada bab ini akan dibahas mengenai defenisi, indikasi, kontraindikasi, dan defek paska bedah pada bedah ablative.

2.1 Definisi Bedah Ablative Maksilofasial

Bedah ablative maksilofasial adalah tindakan bedah yang luas dengan mengangkat tumor sampai batas bersih, maksudnya dilakukan eksisi yang luas sehingga jaringan sehat sekililing harus dikorbankan dengan batas aman minimum 1-2 cm. Banyaknya jaringan sehat yang harus dikorbankan dimaksudkan agar tidak ada jaringan tumor yang tertinggal, karena skuamous karsinoma jauh menginfiltrasi jaringan lunak dan cepat mengadakan metastase. Bedah ablative juga dapat dikombinasikan dengan terapi kanker seperti penyinaran atau radiasi untuk memastikan jaringan bersih sempurna dari tumor ganas. Selain itu apabila sudah terjadi metastase pada kelenjar limfe, bedah ablative dikombinasikan dengan diseksi leher radikal untuk membersihkan dan mencegah perkembangan tumor. 1,4,7,12


(14)

Gambar 1. Bedah Ablative. ( K Deepak. Oral cancer. www.mayoclinicproceedings.com)

Gambar 2. Tumor hasil dari pengangkatan dengan bedah ablative. ( K


(15)

2.2 Indikasi

Bedah ablative sangat efektif dilakukan pada tumor kecil, tetapi biasanya digunakan pada tumor yang ukurannya sampai lebih dari 5 cm, pada penderita skuamous sel karsinoma karena tumor ini sangat jauh menginfiltrasi jaringan lunak dan jaringan keras sehingga dibutuhkan pembedahan yang luas. 4,12,15

Gambar 3. Kanker dalam rongga mulut indikasi bedah ablative. (K Deepak. Oral cancer.


(16)

Gambar 4. Tumor pada dagu atau mandibula yang memiliki ukuran yang besar. (National cancer institute. www.cancer.gov)

2.3 Kontra indikasi

Kontra indikasi untuk bedah ablative adalah kanker stadium IV (empat). Karena pada kanker stadium IV kanker sudah bermetastase jauh dari tumor primer atau sudah melewati kelenjar limfe servikal. Selain itu keadaan kelenjar limfe dengan N3 ( sudah besar teraba, ukuran > 6 cm, dan melekat), karena apabila pengangkatannya tidak sempurna dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat.

2.4 Defek Paska Bedah 4,15

Defek adalah keadaan kehilangan stuktur normal pembentuk bagian tubuh. Defek ini terjadi akibat pengangkatan jaringan yang luas pada saat tindakan bedah. Karena anatomi yang kompleks pada maksilofasial, bedah ablative akan mengakibatkan hilangnya kontuinitas jaringan (jaringan keras dan jaringan lunak), penurunanan fungsi jaringan dan adanya keterbatasan aktivitas seperti: pengucapan, penelanan, dan pengunyahan. 1,4,11


(17)

Oleh karena itu bedah ablative selalu berkaitan dengan rekonstruksi. Pada kebanyakan kasus, prinsip ablative dan teknik rekonstruksi tidak dapat dianggap secara terpisah tetapi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perawatan bedah.

Gambar 5. Defek paska bedah ablative ( R Malika. Case 5: CA floor of mouth)


(18)

BAB 3

REKONSTRUKSI FREE FLEP

3.1 Definisi

Rekonstruksi free flap adalah tindakan bedah rekonstruksi yang mengkhususkan diri pada penanganan kecacatan serta defek pada kulit, jaringan lunak, tulang dan otot dengan mencangkokkan jaringan dari bagian tubuh lain beserta pembuluh darahnya. Tidak seperti graft, flep berisi pembuluh darah, jaringan, otot, kulit, lemak dan fasia. Kemampuan untuk mencangkokkan jaringan hidup dari bagian tubuh ke bagian lainnya sangat mempermudah proses rekonstruksi cacat yang kompleks.

Rekontruksi free flap telah menjadi pilihan utama untuk mengatasi kecacatan yang kompleks. Banyak keuntungan yang didapat diantaranya cakupan luka stabil, meningkatkan nilai estetika dan fungsional, dan morbiditas bagian yang didonorkan minimal.

3.2 Indikasi

2,3,5,8,9,10,11

Rekonstruksi free flap saat ini digunakan untuk rekonstruksi cacat kompleks dan gangguan diseluruh tubuh, seperti semua teknik bedah rekonstruksi, kepatuhan terhadap prinsip-prinsip dasar dan konsep rekonstruksi sangat penting. “ Jenjang Rekonstruktif” bahwa semua ahli bedah didasarkan pada pelaksanaan prosedur sederhana untuk memperbaiki kondisi tertentu. Meskipun prinsip ini hampir selalu di benarkan, pertimbangan estetis dan fungsional kadang-kadang harus membuat prosedur menjadi lebih rumit. Pertimbangan ini menjadi nyata ketika diikuti oleh prosedur ablative kanker, untuk pengembalian fungsi, dan untuk perbaikan estetik.


(19)

Penggunaan free flap pada rongga mulut, memberikan perbaikan yang signifikan dari sudut pandang fungsional dan estetik dibandingkan dengan teknik rekonstruksi yang lain. Contoh penggunaan free flap dalam perbaikan dalam rekonstruksi mandibula memerlukan penggunaan flep fibula bebas, yang menghasilkan penampilan dan fungsi yang lebih baik dan Penggunan flep

muscle-sparing free transverse rectus abdominis myocutaneos (TRAM) untuk mengatasi defek

yang kompleks di bagian fasial. 9,11

Gambar 6. Tabel jenis dan bagian flep yang digunakan serta fungsinya. (Charles W.


(20)

3.3 Kontra Indikasi

Kontraindikasi tentu ada untuk transfer jaringan bebas juga. Kontra indikasi mutlak adalah ketidakmampuan pasien untuk mentolerir prosedur bedah panjang risiko tinggi komplikasi atau kematian. Dibetes mellitus yang tidak terkontrol atau yang belum terdiagnosa, masalah pembesaran pembuluh darah, arterosklerosis, dan penyakit kardiopulmoner. Selain itu kontraindikasi termasuk komorbiditas pasien seperti pendarahan diatesis dan hiperkoagulopati, karsinoma metastasis dengan potensi kelangsungan hidup pasien yang terbatas, dan kurangnya pembekuan darah penerima yang memadai di leher. Mengingat sumber daya yang diperlukan untuk transfer jaringan bebas, telah menyarankan bahwa teknik ini harus dihindari pada pasien yang memiliki prognosis buruk.

3.4 Tindakan Prabedah 11

1.

Persiapan prabedah merupakan komponen penting dalam keberhasilan rekonstruksi free

flep. Evaluasi prabedah meliputi analisis dari bagian si penerima, pertimbangan dari ketersediaan

bagian donor dan status klinis pasien. Pemilihan jaringan yang sesuai penting ketika menganalisa hasil. Faktor spesifik yang ditinjau adalah sebagai berikut :

Analisa bagian penerima dan donor

Faktor yang berhubungan dengan bagian si penerima mencakup ukuran, kedalaman, dan lokasi yang cacat, kualitas jaringan sekitarnya; terpaparnya stuktur vital atau jaringan keras; daerah yang cedera; adanya kolonisasi bakteri atau infeksi, radiasi sebelumnya; dan pertimbangan fungsional dan estetika. Faktor yang berhubungan dengan bagian donor termasuk jaringan yang cocok; panjang pedikel pembuluh darah; kemampuan pembuluh darah penerima; luas permukaan, volume, ketebalan flep, dan morbiditas daerah donor. Flep dengan pedikel


(21)

pembuluh darah yang pendek memerlukan cangkok vena dan flep dengan komponen tulang yang dihubungkan dengan tingkat peningkatan kehilangan flep dalam beberapa kasus. Bagian kepala dan leher memiliki berbagai pilihan pembuluh darah penerima, karena itu diperlukan pemahaman anatomi secara menyeluruh.

2. Status klinis pasien

3.

Status klinis pasien tergantung pada berbagai faktor yang mungkin juga berpengaruh pada flep bebas. Ini termasuk usia lanjut, status gizi, penggunaan tembakau, dan adanya penyakit sistemik ( diabetes mellitus, kardiopulmoner, penyakit pembuluh darah perifer). Status gizi buruk dapat menghambat penyembuhan luka. Pasien dengan kontrol diabetes mellitus yang buruk dan penyakit pembuluh darah perifer memerlukan kontrol glukosa yang memadai dan mungkin memerlukan prosedur revaskularisasi sebelum dilakukan rekonstruksi. Izin pembedahan diperlukan dari dokter diperlukan untuk pasien dengan beberapa masalah medis.

Donor jaringan

a.

Jaringan donor yang khusus merupakan variabel, dan bagian donor yang dipilih berdasarkan kebutuhan penerima bagian. Jaringan yang tersedia termasuk otot, muskuluskutaneus, fasiakutaneus, osteokutaneus, dan flep tulang. Pada umumnya, flep otot bebas diindikasikan untuk menutupi jaringan lunak tulang dan bahan sintesis dan menghilangkan ruang mati yang besar.

b.

Inervasi flep otot berguna untuk operasi pengembalian ekspresi wajah dan untuk rekonstruksi ekstremitas atas.

Flep muskuluskutaneus bebas berguna untuk cacat besar yang membutuhkan pembentukan estetika.


(22)

c.

d.

Flep fasiakutaneus memungkinkan tendon meluncur pada ekstremitas dan memberikan pembentukan yang sangat baik pada kepala dan leher.

e.

Flep oseus dan oseuskutaneus bebas digunakan untuk cacat tulang segmental yang melibatkan mandibula dan ekstremitas.

Flep adipokutaneus atau perforator sangat berguna untuk me minimalkan morbiditas bagian donor.

Gambar 7. Daerah donor pada rekonstruksi free flap. (The centre of advanced head and neck surgery. Head and neck reconstruction. (www.semworldwide)


(23)

Gambar 7. Komposisi Radial Forearm flep. (W Hilko. Reconstructive facial plastic

surgery.2001:125)

4. Pemilihan waktu

5.

Rekonstruksi flep bebas segera lebih banyak dilakukan untuk luka operasi didapat, terutama yang terdapat struktur vital dan jaringan keras dan sebagai pertimbangan estetika dan fungsional. Pertimbangan rekonstruksi flep bebas tertunda ketika keadaan pasien tidak stabil.

Pertimbangan lainnya

Faktor lain yang memerlukan pertimbangan termasuk pilihan anestesi dan posisi pasien untuk operasi. Pilihan anastesi mencakup umum,tulang belakang,atau epidural dan tergantung pada sifat dan lokasi rekonstruksi. Anastesi umum lebih disukai untuk sebagian besar pasien dan dapat diberikan melalui rute oral, hidung,atau trakea.

1. Brachial arteri 2. Radial arteri 3. Otot pronator teres

4. Otot flexor carpi radialis

5. Otot brakioradialis 6. Flep

7. Otot pollicis longus 8. Deep fasia

9. Nervus antebrakial cutaneus


(24)

3.5 Tindakan Bedah

Bagian operasi dari rekonstruksi flep bebas mutlak membutuhkan perhatian secara detail. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk mendapatkan hasil yang sukses. Ini termasuk penggunaan obat yang tepat, peralatan dan instrumen yang benar, masalah anastomosis, dan insetting flep .

1. 3

Obat Intraoperasi

2.

Diperlukan obat antibiotik intravena, larutan antibiotik untuk irigasi luka, heparin intravena diberikan 5 menit sebelum dilakukan rekonstruksi flep bebas, topikal papaverine irigasi 30 mg/cc untuk vasodilatasi dan perfusi . Obat lain yang digunakan adalah Dexametason untuk mengurangi edema dan pembengkakan.

Anastomosis

Berbagai faktor terkait dengan anastomosis. Faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan anastomosis termasuk radiasi, bekas luka, dan infeksi. Prinsip dasar prosedur anastomosis:

a.

9,11

Menyiapkan dan memeriksa instrument mikro dan mikroskop untuk memastikan fungsi yang tepat.


(25)

Gambar 8. Instrumen Anastomosis. ( W Hilko. Reconstructive

facial plastic surgery.2001:128)

b.

c.

Diameter arteri dan vena baik untuk daerah donor dan resipien harus 1-3 mm untuk memungkinkan aliran masuk dan keluar yang cukup.

Pembuluh darah harus bebas dari semua adventitia longgar, dan pendekatan vaskular harus bebas dari ketegangan.


(26)

d.

e.

Anastomosis baik dengan menggunakan coupler vascular atau menjahit dengan tangan. Coupler lebih banyak digunakan terutama untuk anastomosis vena dalam meningkatkan patensi dan mengurangi waktu operasi.

Anastomosis dijahit dengan menggunakan benang jahit nilon 8-0, 9-0, atau 10-0 yang dilakukan dengan metode interrupted. Secara umum, anastomosis pembuluh darah yang besar (2-3 mm) dengan benang 8-0 atau 9-0 dan pembuluh darah yang lebih kecil (1-2 mm) dengan benang 9-0 atau 10-0.

Gambar 9. Penjahitan anastomosis. (W Hilko. Reconstructive facial

plastic surgery.2001:132)

f. Tindakan operasi ini dilakukan dibawah mikroskop atau kaca pembesar operasi dengan pembesaran minimum 3,5 daya.


(27)

g. Waktu iskemia

h. Setelah penyelesaian anastomosis, flep harus dengan benar disisipkan. Periksa pedikel pembuluh darah dengan Klinks, diputar, kompresi, dan untuk memastikan bahwa tidak ada ketegangan sepanjang anastomosis. Periksa bagian distal flep untuk perdarahan arteri dan vena. Gunakan unit Doppler untuk menilai aliran arteri dan vena melalui pedikel pembuluh darah untuk memastikan dengan dengan baik, tentunya aliran nontwisting sebelum menyelesaikan penjahitan akhir flep, terutama jika posisi pasien telah berubah.

flep yang ditoleransi tergantung pada komposisi dari jaringan yang ditransfer. Secara umum, flep perforator mentolelir waktu yang lama untuk terjadinya iskemia karena tidak ada otot yang terlibat. Waktu iskemia diatas 4 jam untuk flep perforator dapat ditoleransi dengan baik. Flep muskuluskutaneus, disisi lain, tidak mentolelir waktu iskemia yang berkepanjangan karena kebutuhan metabolik otot. Secara umum, 2-3 jam iskemia adalah waktu maksimum yang ditoleransi.

i. Tempatkan sebuah penghisap untuk menghisap darah dari pembuluh darah dan jahit flep pada posisinya.

3.6 Tindakan Paska Bedah

Keberhasilan flep bebas bergantung pada pemeliharaan aliran darah pada bagian anastosmosis arteri dan vena resipien. Penggunaan obat paska operasi sangat diperlukan untuk mengatasi terjadinya thrombosis, hiperkoagulasi, dan injuri pembuluh darah pada anastomosis. Ada tiga pilihan obat yang dianjurkan yaitu heparin, dekstran, dan aspirin. Pada umumnya digunakan aspirin dengan dosis 1.4 mg/kg selama 2 minggu. Setelah itu barulah dilakukan pemantauan pasca operasi.


(28)

Teknik untuk memantau flep bebas tergantung pada komposisi jaringan dan lokasi flep. Teknik pemantauan khusus mencakup evaluasi warna, isi ulang kapiler, turgor, suhu permukaan, adanya perdarahan, perlekatan skin graft, dan penilaian pendengaran aliran darah. Penggunaan teknik ini tergantung apakah flep memiliki komponen fasiakutaneus, ditutup dengan cangkok kulit, atau dibenamkan dan tidak dapat diakses dengan penilaian visual.

1. Karateristik Permukaan

Untuk flep fasiakutaneus, adipokutaneus, muskuluskutaneus, dan osteokutaneus, karateristik permukaan adalah penting. Flep warna normal adalah sama dengan daerah penerima. Peredaran darah normal kapiler adalah setelah 1-2 detik. Suhu permukaan flep dapat dimonitor dengan menggunakan pita perekat (untuk nomor akurat) atau punggung tangan (untuk memberikan penilaian komparatif dengan kulit sekitarnya). Permasalahan pada aliran masuk arteri kemungkinan saat flep padat, edema, dan ketika peredaran darah kapiler cepat dan laju. Warna dan tampilan flep padat dapat bervariasi tergantung pada apakah penyumbatan ringan atau berat dan berkisar dari rona merah muda menonjol ke warna ungu tua kebiruan.

Penilaian permukaan dengan Doppler untuk flep dengan komponen fasiakutaneus dapat menghasilkan hasil positif palsu dengan mengambil sinyal dari sekitar atau pembuluh darah arah dalam. Karateristik darah dari penusukan peniti flep berikut juga dapat memberikan petunjuk. Darah vena yang hitam menunjukkan terjadinya oklusi vena, dan tidak adanya perdarahan menunjukkan terjadinya oklusi arteri.

2. Flep Otot dengan Cangkok Kulit

Flep otot dengan cangkok kulit sering lebih mudah untuk dipantau. Suhu permukaan dan isi ulang kapiler umumnya tidak digunakan dalam situasi ini, namun, warna, turgor, perlekatan


(29)

kulit yang dicangkok, dan sinyal Doppler masih digunakan. Tanda-tanda obstruksi vena termasuk flep kongesti dan edema, darah berwarna gelap pada cocokan peniti, dan hilangnya sinyal Doppler vena. Tanda-tanda oklusi arteri termasuk flep datar dan pucat, perlekatan kulit yang dicangkok dengan flep buruk, tidak ada perdarahan di cocokan peniti, dan hilangnya sinyal arteri.

3. Flep yang Dalam atau Terbenam

Flep yang paling sulit untuk dimonitor adalah flep yang dalam atau terbenam (misalnya, fibula flep tanpa kulit pendukung). Sinyal permukaan Doppler sering tidak dapat diandalkan. Dalam situasi ini, penempatan probe Doppler implan sementara berdekatan dengan arteri dan vena pada saat operasi dilakukan.

3.7 Komplikasi 18

Komplikasi yang terjadi pada donor diantaranya:

Secara umum komplikasi yang mungkin terjadi adalah peradangan, perdarahan, udema, bercak perdarahan yang kecil pada kulit atau membran mukosa, kegagalan flep, dan kurangnya mobilitas pada area rekonstruksi dan disertai timbunan saliva maupun sisa-sisa makanan dalam perawatan.

1.

17

Hematom

Biasanya komplikasi yang umum dijumpai adalah berupa hematom paska bedah setelah diambilnya jaringan. Keadaan ini dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi keadaan ini dapat berlanjut menjadi infeksi. Apabila terjadi komplikasi seperti ini maka pengobatan dapat dilakukan dengan perawatan lokal seperti irigasi, debridement dan pemberian obat-obatan antibiotika yang tepat.


(30)

2. Hiperestesia kulit

3.

Komplikasi ini dapat terjadi dengan adanya peningkatan kepekaan kulit terhadap rangsangan, terutama terhadap sentuhan.

Hipersensitivitas kulit dihubungkan dengan reaksi penolakan

Komplikasi yang terjadi pada resipien diantaranya:

Komplikasi ini terjadi apabila terdapat keadaan perubahan reaktifitas dimana tubuh bereaksi dengan respon imun secara berlebihan terhadap benda asing sehingga mengakibatkan hipersensitivitas kulit terhadap substansi kimia yang bersifat antigen.

1. Infeksi

2.

Komplikasi yang paling sering dijumpai pada bagian penerima adalah infeksi. Perawatan dapat dilakukan dengan pemberian profilaksis antimikroba selama pembedahan dan 24 jam setelah operasi. Jika infeksi tidak dapat dirawat dengan antimikroba dosis tinggi, maka dapat dilakukan drainase.

Deformitas yang berulang

3.

Komplikasi ini dapat terjadi karena rencana yang kurang baik, teknik bedah yang buruk atau infeksi yang meluas yang menyebabkan kehilangan tulang.

Kerusakan nervus

Sebelum melakukan tindakan operasi sebaiknya diperiksa keadaan nervus trigeminus dan nervus fasial. Nervus fasial dapat terluka karena teknik pemotongan yang salah dimana terjadi pembengkakan dan edema. Terdapat beberapa pasien yang mengalami kehilangan sensori permanen.


(31)

4. Luka berlubang (dehiscence)

5.

Komplikasi ini berupa perforasi intra oral yang juga dapat terjadi walaupun diseksi dilakukan secara hati-hati karena sulit menentukan kedalaman dataran untuk tempat cangkok yang akurat. Daerah tersebut harus diirigasi dengan cairan antiseptik atau antimikroba dan dilapisi dengan kain kasa untuk proteksi.

Hematom

6.

Daerah hematom dapat berperan sebagai media kultur yang baik bagi bakteri akibat kontaminasi pada waktu pembedahan. Bila terjadi hematom yang besar makadapat dibuat drainase untuk mencegah terjadinya penumpukan cairan kembali, kemudian dilakukan irigasi dengan larutan saline atau larutan antibakteri apabila dijumpai pus.

Rasa sakit paska bedah

Komplikasi ini biasanya terjadi dimana diperoleh tanda atau gejala rasa sakit berupa nyeri setelah dilakukan pembedahan.

Seperti operasi apapun, ada komplikasi dan resiko seperti pendarahan, infeksi, atau reaksi merugikan. Untuk menanggulangi itu dokter akan memberikan resep atau obat untuk menghilangkan komplikasi maupun rasa nyeri yang ditimbulkan. Penting untuk menjaga perban tetap bersih dan kering. Waktu pemulihan berkisar satu sampai tiga bulan. Tidak diperkenankan melakukan angkat berat atau mengedan selama masa pemulihan karena dapat merusak stuktur. Bekas luka akan memudar dari waktu ke waktu, dapat memakan waktu hingga dua tahun untuk mendapatkan hasil yang maksimal.


(32)

BAB 4 KESIMPULAN

Penanganan tumor dengan bedah ablative didaerah maksilofasial yang melibatkan jaringan lunak, jaringan keras dan kelenjar pada umumnya tidak dipertahankan. Karna untuk menghilangkan tumor dibutukan pengangkatan jaringan sekitar agar tumor tidak tertinggal. Karena anatomi yang kompleks pada maksilofasial, bedah ablative memberikan defek yang luas paska operasi. Defek berupa hilangnya kontuinitas jaringan, penurunan fungsi dan aktivitas jaringan seperti pengucapan, penelanan, dan pengunyahan.

Oleh sebab itu tindakan bedah ablative tidak terpisahkan dari bedah rekonstruksi. Usaha rekonstruksi yang dilakukan untuk menangani defek akibat tidakan bedah ini adalah rekonstruksi

free flep. Dengan rekonstruksi free flep bagian yang kekurangan jaringan dapat dicangkok dari

bagian tubuh lain baik itu berupa tulang, lemak, otot, kulit, maupun kombinasi jaringan dengan cara menyambungkan pembuluh darah. Dengan rekonstruksi free flep, estetik dan fungsi jaringan dapat dikembalikan sekaligus. Keadaan jaringan setelah rekonstruksi memiliki stabilitas yang baik.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal diperlukan kerjasama yang baik antara tim dokter dengan pasien. Dalam melakukan kontrol setiap hari setelah operasi, dokter yang bersangkutan harus mengawasi perkembangan pasien sebagai rencana perawatan yang berlangsung lama untuk penyembuhan.

Disamping itu, juga diperlukan penyampaian informasi tentang komplikasi paska rekonstruksi free flep kepada keluarga pasien yang mungkin dapat terjadi dalam proses perawatan.


(33)

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal penulisan ini. Oleh karena itu diharapkan adanya suatu pembahasan lain yang lebih baik mengenai topik ini. Namun demikian, diharapkan tulisan ini dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan dalam perkembangan ilmu bedah mulut.


(34)

DAFTAR PUSTAKA

1. Samman N, Cheung LK, Tideman H. Surgical reconstruction of the jaws after ablative

surgery. HKMJ 1996 ; 2 : 466-69.

2. Ip WY, Chow SP. Microvascular free flaps for reconstruction. HKMJ 1994 ; 46.

3. Cheung WY, Ho CM, Yip AWC. Microvascular free flap reconstruction: the Kwong

Wah Hospital experience. HKMJ 1998; 4: 275-8.

4. Booth WP, Schendel SA, Hausamen JE. Maxillofacial surgery. 2nd

5. Keith DA. Atlas of oral and maxillofacial surgey. Philadelpia: W.B Saunders Company, 1992: 132-138

edition,volume 1. Churcill Livingstone: Elseiver Ltd,2007: 420-546.

6. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of surgery. 18th

7. Valey JG, Howes DG, Pitts KD, McAlpine JA. A protocol for maxillary reconstruction

following oncology resection zygomatic implant. Int J Prostodont 2007; 20: 521-31.

edition. Saunders: Elseiver Ltd,2008: 840-845

8. H Weerda. Reconstructive facial plastic surgery. New York : Thieme, 2001 : 125-136. 9. Nahabedian MY. Flaps,free tissue transfer. <http://www.medscape.com>.

10.Hollier LH. Free flep reconstruction. 2010. <http

://www.debakeydepartementofsurgery.org/home/content.cfm> (23 Aug.2010).

11.Ciocca L, Scotti R. Residual facial disfigurement after ablative surgery of a lachrymal

gland. Int J Cancer 2004; 41: 85-88.

12.Ramkarasignh J. Ablation surgery for varicose veins. 2003. <http://www.livestrong.com> ( 2 maret 2011).


(35)

13.Fernandes R, Ord R. Access surgery for oral cancer. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 2006; 18 : 565-71.

14.Riden K. Key topics in oral and maxillofacial surgery. UK : BIOS Scientific Publishers Limited, 1998 : 52-57.

15.Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ. Principles and practice of head and neck

oncology. UK : Martin Dunitz, 2003 : 177-79.

16.E Ramon, F Michael. Lip cancer. Head and neck surgery otolaryngology. 4th

17.K Deepak. Oral cancer. Mayo clinic proceedings. 2007. <http:// www.mayoclinicproceedings.com>.

edition. 2006 : 110.

18.Y Masashi, H Kazuki, U Narikazu, M Yasuyuki, I Junichi. Complications and outcome of

free flep transfer for oral and maxillofacial reconstruction:Analysis of 213 cases. Oral

science International, May, 2005: 46-54.

19.Devine JC, Rogers SN, McNally D, brown JS, Vaughan ED. A comparison of

asethetic,functional and patient subjective outcomes following lip-split mandibulotomy and mandibular lingual releasing access procedures. Int. J. Oral maxillofac. Surg 2001;

30 : 199-204.

20.R Sjamsuhidajat, W dejong. Buku ajar ilmu bedah. 2th 21.D G Sukardja. Onkologi klinik. 2

edition. Jakarta: EGC, 2002:157. nd

edition. Surabaya : Airlangga University Press, 2000: 256-9.


(1)

2. Hiperestesia kulit

3.

Komplikasi ini dapat terjadi dengan adanya peningkatan kepekaan kulit terhadap rangsangan, terutama terhadap sentuhan.

Hipersensitivitas kulit dihubungkan dengan reaksi penolakan

Komplikasi yang terjadi pada resipien diantaranya:

Komplikasi ini terjadi apabila terdapat keadaan perubahan reaktifitas dimana tubuh bereaksi dengan respon imun secara berlebihan terhadap benda asing sehingga mengakibatkan hipersensitivitas kulit terhadap substansi kimia yang bersifat antigen.

1. Infeksi

2.

Komplikasi yang paling sering dijumpai pada bagian penerima adalah infeksi. Perawatan dapat dilakukan dengan pemberian profilaksis antimikroba selama pembedahan dan 24 jam setelah operasi. Jika infeksi tidak dapat dirawat dengan antimikroba dosis tinggi, maka dapat dilakukan drainase.

Deformitas yang berulang

3.

Komplikasi ini dapat terjadi karena rencana yang kurang baik, teknik bedah yang buruk atau infeksi yang meluas yang menyebabkan kehilangan tulang.

Kerusakan nervus

Sebelum melakukan tindakan operasi sebaiknya diperiksa keadaan nervus trigeminus dan nervus fasial. Nervus fasial dapat terluka karena teknik pemotongan yang salah dimana terjadi pembengkakan dan edema. Terdapat beberapa pasien yang mengalami kehilangan sensori permanen.


(2)

4. Luka berlubang (dehiscence)

5.

Komplikasi ini berupa perforasi intra oral yang juga dapat terjadi walaupun diseksi dilakukan secara hati-hati karena sulit menentukan kedalaman dataran untuk tempat cangkok yang akurat. Daerah tersebut harus diirigasi dengan cairan antiseptik atau antimikroba dan dilapisi dengan kain kasa untuk proteksi.

Hematom

6.

Daerah hematom dapat berperan sebagai media kultur yang baik bagi bakteri akibat kontaminasi pada waktu pembedahan. Bila terjadi hematom yang besar makadapat dibuat drainase untuk mencegah terjadinya penumpukan cairan kembali, kemudian dilakukan irigasi dengan larutan saline atau larutan antibakteri apabila dijumpai pus.

Rasa sakit paska bedah

Komplikasi ini biasanya terjadi dimana diperoleh tanda atau gejala rasa sakit berupa nyeri setelah dilakukan pembedahan.

Seperti operasi apapun, ada komplikasi dan resiko seperti pendarahan, infeksi, atau reaksi merugikan. Untuk menanggulangi itu dokter akan memberikan resep atau obat untuk menghilangkan komplikasi maupun rasa nyeri yang ditimbulkan. Penting untuk menjaga perban tetap bersih dan kering. Waktu pemulihan berkisar satu sampai tiga bulan. Tidak diperkenankan melakukan angkat berat atau mengedan selama masa pemulihan karena dapat merusak stuktur. Bekas luka akan memudar dari waktu ke waktu, dapat memakan waktu hingga dua tahun untuk mendapatkan hasil yang maksimal.


(3)

BAB 4 KESIMPULAN

Penanganan tumor dengan bedah ablative didaerah maksilofasial yang melibatkan jaringan lunak, jaringan keras dan kelenjar pada umumnya tidak dipertahankan. Karna untuk menghilangkan tumor dibutukan pengangkatan jaringan sekitar agar tumor tidak tertinggal. Karena anatomi yang kompleks pada maksilofasial, bedah ablative memberikan defek yang luas paska operasi. Defek berupa hilangnya kontuinitas jaringan, penurunan fungsi dan aktivitas jaringan seperti pengucapan, penelanan, dan pengunyahan.

Oleh sebab itu tindakan bedah ablative tidak terpisahkan dari bedah rekonstruksi. Usaha rekonstruksi yang dilakukan untuk menangani defek akibat tidakan bedah ini adalah rekonstruksi free flep. Dengan rekonstruksi free flep bagian yang kekurangan jaringan dapat dicangkok dari bagian tubuh lain baik itu berupa tulang, lemak, otot, kulit, maupun kombinasi jaringan dengan cara menyambungkan pembuluh darah. Dengan rekonstruksi free flep, estetik dan fungsi jaringan dapat dikembalikan sekaligus. Keadaan jaringan setelah rekonstruksi memiliki stabilitas yang baik.

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal diperlukan kerjasama yang baik antara tim dokter dengan pasien. Dalam melakukan kontrol setiap hari setelah operasi, dokter yang bersangkutan harus mengawasi perkembangan pasien sebagai rencana perawatan yang berlangsung lama untuk penyembuhan.


(4)

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam hal penulisan ini. Oleh karena itu diharapkan adanya suatu pembahasan lain yang lebih baik mengenai topik ini. Namun demikian, diharapkan tulisan ini dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan dalam perkembangan ilmu bedah mulut.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Samman N, Cheung LK, Tideman H. Surgical reconstruction of the jaws after ablative surgery. HKMJ 1996 ; 2 : 466-69.

2. Ip WY, Chow SP. Microvascular free flaps for reconstruction. HKMJ 1994 ; 46.

3. Cheung WY, Ho CM, Yip AWC. Microvascular free flap reconstruction: the Kwong Wah Hospital experience. HKMJ 1998; 4: 275-8.

4. Booth WP, Schendel SA, Hausamen JE. Maxillofacial surgery. 2nd

5. Keith DA. Atlas of oral and maxillofacial surgey. Philadelpia: W.B Saunders Company, 1992: 132-138

edition,volume 1. Churcill Livingstone: Elseiver Ltd,2007: 420-546.

6. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of surgery. 18th

7. Valey JG, Howes DG, Pitts KD, McAlpine JA. A protocol for maxillary reconstruction following oncology resection zygomatic implant. Int J Prostodont 2007; 20: 521-31.

edition. Saunders: Elseiver Ltd,2008: 840-845

8. H Weerda. Reconstructive facial plastic surgery. New York : Thieme, 2001 : 125-136. 9. Nahabedian MY. Flaps,free tissue transfer. <http://www.medscape.com>.

10. Hollier LH. Free flep reconstruction. 2010. <http ://www.debakeydepartementofsurgery.org/home/content.cfm> (23 Aug.2010).

11. Ciocca L, Scotti R. Residual facial disfigurement after ablative surgery of a lachrymal gland. Int J Cancer 2004; 41: 85-88.


(6)

13. Fernandes R, Ord R. Access surgery for oral cancer. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am 2006; 18 : 565-71.

14. Riden K. Key topics in oral and maxillofacial surgery. UK : BIOS Scientific Publishers Limited, 1998 : 52-57.

15. Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ. Principles and practice of head and neck oncology. UK : Martin Dunitz, 2003 : 177-79.

16. E Ramon, F Michael. Lip cancer. Head and neck surgery otolaryngology. 4th

17. K Deepak. Oral cancer. Mayo clinic proceedings. 2007. <http:// www.mayoclinicproceedings.com>.

edition. 2006 : 110.

18. Y Masashi, H Kazuki, U Narikazu, M Yasuyuki, I Junichi. Complications and outcome of free flep transfer for oral and maxillofacial reconstruction:Analysis of 213 cases. Oral science International, May, 2005: 46-54.

19. Devine JC, Rogers SN, McNally D, brown JS, Vaughan ED. A comparison of asethetic,functional and patient subjective outcomes following lip-split mandibulotomy and mandibular lingual releasing access procedures. Int. J. Oral maxillofac. Surg 2001; 30 : 199-204.

20. R Sjamsuhidajat, W dejong. Buku ajar ilmu bedah. 2th 21. D G Sukardja. Onkologi klinik. 2

edition. Jakarta: EGC, 2002:157.

nd

edition. Surabaya : Airlangga University Press, 2000: 256-9.