Tingkat Pengetahuan Mahasiswakepaniteraan Klinik Bedah Mulut Rsgmp Fkg Usu Terhadap Syok Anafilaktik Akibat Anestesi Lokal Periode 8 – 31 Oktober 2014
TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWAKEPANITERAAN
KLINIK BEDAH MULUT RSGMP FKG USU TERHADAP
SYOK ANAFILAKTIK AKIBAT ANESTESI LOKAL
PERIODE 8 – 31 OKTOBER 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
MONICA NINDIA PRATIWI
NIM: 110600075
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial
Tahun 2015
Monica Nindia Pratiwi
Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik RSGMP FKG USU terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal periode 8-31 Oktober 2014.
xii + 47 halaman
Anestesi lokal merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghambat rasa nyeri atau sakit pada bagian tubuh tertentu. anestesi lokal memiliki beberapa komplikasi baik secara lokal maupun sistemik. Komplikasi anestesi lokal secara sistemik yang juga berbahaya yaitu alergi atau reaksi hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas merupakan suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe yaitu, tipe I, tipe II, tipe III dan tipe IV. Salah satu tipe reaksi yang paling berbahaya adalah reaksi hipersensitivitas tipe I yaitu respon umum tubuh terhadap bahan atau benda asing yang diberikan dan berlangsung secara cepat. Salah satu efek langsung dari hipersensitivitas tipe I ini adalah syok anafilaktik. Syok anafilaktik merupakan reaksi yang berpotensi mengancam jiwa penderita akibat reaksi hipersensitivitas tubuh terhadap benda asing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal. Penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif yang dilakukan dengan cara membagikan kuesioner yang terdiri dari 20 pertanyaan kepada mahasiswa kepaniteraan klinik. Lalu hasil yang didapat dari kuesioner diolah secara komputerisasi menggunakan Microsoft excel. Hasil penelitian pengetahuan
(3)
responden terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal didapat persentase tertinggi pada kategori berpengetahuan cukup yaitu 58%. Sedangkan sebanyak 34% responden termasuk kategori pengetahuan baik dan sebanyak 8% responden yang berpengetahuan kurang. Dari hasil penelitian yang didapat oleh peneliti disimpulkan bahwa pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap syok anafilaktik terhadap anestesi lokal dirasa masih harus ditingkatkan.
(4)
TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWAKEPANITERAAN
KLINIK BEDAH MULUT RSGMP FKG USU TERHADAP
SYOK ANAFILAKTIK AKIBAT ANESTESI LOKAL
PERIODE 8 – 31 OKTOBER 2014
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
MONICA NINDIA PRATIWI
NIM: 110600075
Pembimbing:
RAHMI SYAFLIDA, drg., Sp.BM
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(5)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 24 Januari 2015
Pembimbing : Tanda Tangan
Rahmi Syaflida, drg., Sp.BM ……….
(6)
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji
pada tanggal 24 Januari 2015
TIM PENGUJI
KETUA : Indra Basar Siregar, drg., M.Kes
ANGGOTA : 1. Rahmi Syaflida, drg., Sp.BM
2. Abdullah, drg
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah atas segala rahmat dan karunia yang tak terhingga yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:
1. Orangtua tercinta, Kabul Wiyono dan Meliyanti atas segala pengorbanan yang tidak terhitung dan tidak terbalas yang diberikan kepada penulis hingga saat ini
2. Eddy A. Ketaren, drg., Sp.BM selaku Ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis
3. Rahmi Syaflida, drg., Sp.BM selaku dosen pembimbing yang telah berbaik hati meluangkan banyak waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, saran dan motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini
4. Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM selaku dosen pembimbing akademik atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan
5. Adik-adik yang disayangi, Muhammad Arbi Dwiyono dan Sarah Melia Trianisya yang selalu menghibur dan membantu dengan penuh keikhlasan
6. Keluarga besar Djojo Sumadi dan Mansur atas segala dukungan dan bantuan yang tak terhitung kepada penulis
7. Sahabat, saudara, dan teman terbaik, Khairani Nurrizky, Resky Dera Putriranti, Laudita Rahmi Dinova, Friska Ningrum Dwisari, Kukuh Yudiarto S.T, Rafelly Jhon, Ragil Parasmadhan yang tidak pernah bosan menghibur dan selalu ada kapanpun saat dibutuhkan
(8)
8. Teman-teman terbaik, Hafizah, Tririn Rinanti S.Ked, Adisti Ayesha Asbi, Muhammad Insanul Kamil Rery S.Ked, Rido Bakti S.Mn, Bintang Shabri, Lupita Yessica Tarigan S.Ked, Fikri Rizki yang telah menemani perjuangan penulis selama ini serta seluruh teman angkatan 2011 atas pengalaman yang sangat berharga selama 3,5 tahun perkuliahan
9. Teman-teman skripsi di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi USU atas segala kerjasama, informasi dan bantuan yang diberikan kepada penulis
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi segala kalangan, baik fakultas, universitas maupun masyarakat.
Medan, 24 Januari 2015 Penulis,
Monica Nindia Pratiwi NIM : 110600075
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……… i
HALAMAN PERSETUJUAN………. ii
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI……… iii
KATA PENGANTAR……….. iv
DAFTAR ISI……… vi
DAFTAR TABEL……… viii
DAFTAR GAMBAR………... xi
DAFTAR LAMPIRAN……… xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..……… 1
1.2 Rumusan Masalah……..………... 3
1.3 Tujuan Penelitian……...………... 3
1.4 Manfaat Penelitian………...………. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendahuluan………... 4
2.2 Anestesi Lokal………. 4
2.2.1 Definisi Anestesi Lokal……… 4
2.2.2 Penggolongan Anestesi Lokal……….. 5
2.2.3 Mekanisme Anestesi Lokal……….. 5
2.2.4 Komplikasi Anestesi Lokal……….. 6
2.3 Syok………..……….. 8
2.3.1 Definisi Syok……… 8
2.3.2 Klasifikasi Syok……… 8
2.4 Reaksi Hipersensitivitas……….. 9
2.5 Anafilaksis……….. 10
2.5.1 Definisi Anafilaksis……….. 10
(10)
2.5.3 Gambaran Klinis………... 11
2.5.4 Patofisiologi……….. 11
2.5.5 Penatalaksanaan……… 14
2.5.6 Pencegahan………... 14
2.6 Pengetahuan………. 13
2.7 Kerangka Teori……….. 17
2.8 Kerangka Konsep……….. 18
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Rancangan Penelitian……….……… 19
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………..……… 19
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………... 19
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………. 20
3.5 Cara Pengambilan Data………... 21
3.6 Pengolahan dan Analisis Data………. 21
BAB 4 HASIL PENELITIAN……… 23
BAB 5 PEMBAHASAN………... 37
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan….……… 43
6.2 Saran….……….. 43
DAFTAR PUSTAKA……..……….. 45
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jenis anestesi lokal……… 5 2. Gambaran responden……… .. 23
3. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU pertanyaan yang harus ditanyakan saat anamnesa………... 23
4. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap apa yang harus ditanyakan pada pasien yang memiliki riwayat alergi………... 24
5. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika ditemukan pasien dengan alergi obat………... 24
6. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika ditemukan pasien tanpa alergi obat tetapi memiliki alergi lainnya sepeti
asma……….. 25
7. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap definisi alergi……… 26
8. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap berapa jenis tipe-tipe hipersensitivitas……… 26
(12)
9. P engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap ada atau tidak bahan kedokteran gigi yang menyebabkan
alergi……….………. 27
10. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU
terhadap pembagian golongan anestesi
lokal………... 27
11. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap golongan anestesi lokal yang paling sering menyebabkan
alergi……….. 28
12. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap definisi anafilaksis……….. 28
13. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU
terhadap gejala awal terjadinya
anafilaksis……….. 29
14. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap manifestasi anafilaksis anafilaksis………... 30
15. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan pertama yang dilakukan dalam penatalaksanaan
anafilaksis……….. 31
16. P
(13)
terhadap penting atau tidak pengetahuan tentang penatalaksanaan anafilaksis………..……... 32
17. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan pertama yang dilakukan saat terjadi henti
nafas……… 32
18. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap obat yang digunakan sebagai first choice drug untuk penatalaksanaan anafilaksis………... 33
19. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap jalur pemberian obat epinefrin di tempat praktik dokter
gigi………..………... 34
20. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap dosis pemberian obat………... 34
21. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika pertolongan pertama
berhasil………...……… 35
22. P
engetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika pertolongan pertama tidak
berhasil………..………. 35
23. K
ategori Pengetahuan Responden terhadap Syok Anafilaktik akibat
(14)
(15)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Reaksi hipersensitivitas... 9 2. Penatalaksanaan anafilaksis... 12 3. Tahap-tahap pelaksanaan CPR... 13
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Daftar riwayat hidup 2. Biaya penelitian 3. Jadwal kegiatan 4. Kuesioner
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa nyeri pada tubuh.1 Anestesi terbagi menjadi dua yaitu anestesi umum atau general dan anestesi lokal. Anestesi yang biasa digunakan di kedokteran gigi adalah anestesi lokal. Anestesi lokal merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghambat rasa nyeri atau sakit pada bagian tubuh tertentu (spesifik).2
Sebelum pelaksanaan tindakan anestesi lokal dan tindakan kedokteran gigi lain, seorang dokter gigi diwajibkan melakukan anamnesa untuk mendapat informasi yang lengkap tentang pasien yang akan ditangani. Anamnesa terdiri dari tanya jawab antara dokter gigi dengan pasien mengenai keluhan penyakit dan hal yang berhubungan. Salah satu komponen yang harus ditanyakan saat anamnesa adalah riwayat penyakit sistemik. Penyakit sistemik dapat berupa diabetes melitus, hipertensi, kelainan darah, penyakit menular, riwayat alergi dan lainnya. Salah satu penyakit sistemik yang sangat penting dan sangat berbahaya adalah riwayat alergi.
Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya. Bahan-bahan penyebab alergi disebut juga dengan alergen. Ada berbagai cara alergen masuk ke dalam tubuh yaitu melalui saluran pernafasan (alergen inhalatif/ alergi hirup), alergen kontak, melalui suntikan atau sengatan dan dari makanan.3 Alergi atau yang biasa disebut hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe yaitu hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV. Salah satu tipe hipersensitivitas yang berbahaya adalah tipe I yang
(18)
disebut juga dengan tipe anafilaktik. Hipersensitivitas tipe I merupakan respon umum tubuh terhadap bahan atau benda asing yang diberikan dan berlangsung secara cepat.
Salah satu efek langsung dari hipersensitivitas tipe I ini adalah syok anafilaktik. Syok anafilaktik merupakan reaksi yang berpotensi mengancam jiwa penderita akibat reaksi hipersensitivitas tubuh terhadap benda asing. Gejala yang terlihat pada penderita syok anafilaktik adalah turunnya tekanan darah atau hipotensi, takikardi, pembengkakan dan bronchospams.4 Berdasarkan hasil penelitian Wood Et Al diperoleh prevalensi syok anafilaktik di Amerika secara general adalah sebanyak 1.6% dengan anestesi lokal sebagai salah satu penyebabnya.5 Lalu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UK Medicines prevalensi terjadinya anafilaksis akibat lokal anestesi dari kurang dari 1%6 dan berdasarkan hasil penelitian Cetinkaya diperoleh prevalensi syok anafilaktik di Turki secara general adalah sebanyak 1%-2% dengan anestesi lokal menjadi salah satu penyebabnya.7 Walaupun insidensi terjadinya terlihat rendah, tetapi syok anafilaktik merupakan salah satu reaksi yang paling berbahaya disetiap tindakan kedokteran gigi. Oleh karena itu, dokter gigi seharusnya memiliki pengetahuan tentang syok anafilaktik serta cara penanggulangannya.
Salah satu cara penanggulangan anafilaktik adalah dengan menggunakan epinefrine. Berdasarkan hasil penelitian Nahid Eskandari diperoleh sebanyak 72.9% dokter gigi mengetahui bahwa epinefrine sebagai bahan penanggulangan syok anafilaktik tetapi hanya 20% dokter gigi yang menyimpannya di tempat praktik dan hanya 10% dokter gigi yang mengetahui dosis yang tepat untuk diberikan kepada penderita syok anafilaktik.8 Penelitian selanjutnya oleh Cetinkaya diperoleh sebanyak 48.8% doter gigi mengetahui epinefrine sebagai bahan penanggulangan pertama bagi penderita syok anafilaktik, 55.6% menyimpannya di tempat praktik dan 31.5% yang mengetahui arah yang tepat untuk menyuntikkan bahan tersebut.7 Dari data-data di atas dapat ditentukan bahwa pengetahuan dokter gigi terhadap syok anafilaktik masih kurang dan hal ini dapat menjadi masalah dikarenakan syok anafilaktik ini merupakan tindakan yang sangat berbahaya dan berlangsung sangat cepat.
(19)
Oleh karena itu, peneliti merasa perlu dilakukan penelitian bagaimana tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal.
1.2Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal?
1.3Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Departemen Bedah Mulut dengan adanya hasil penelitian ini, dapat menambah referensi atau informasi sebagai data
2. Bagi Mahasiswa Kepaniteraan Klinik dengan adanya hasil penelitian ini, dapat dijadikan motivasi untuk menambah pengetahuan
3. Bagi peneliti dengan adanya penelitian ini, diharapkan akan mendapatkan pengalaman dalam meneliti.
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan.9 Oleh karena itu, alergi juga dapat disebabkan oleh anestesi lokal.
2.2 Anestesi Lokal
2.2.1 Definisi Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah obat yang diberikan secara lokal (topikal atau suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang dikenai oleh obat tersebut. Obat-obat ini menghilangkan rasa atau sensasi nyeri terbatas pada daerah tubuh yang dikenai tanpa menghilangkan kesadaran.1,10 Anestesi lokal merupakan metode yang dapat diandalkan dan sederhana untuk beberapa prosedur bedah minor tetapi dapat menjadi kontraindikasi oleh alergi atau infeksi lokal. Anestesi lokal yang ideal yaitu: 1,11-12
1. Poten dan bersifat sementara (reversible) 2. Masa pemulihan tidak terlalu lama
3. Tidak megiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara menetap 4. Tidak menimbulkan reaksi lokal, sistemik atau alergik
5. Mula kerja cepat dengan durasi memuaskan 6. Larut dalam air
(21)
7. Stabil dalam larutan dan dapat disterilkan 8. Harga murah.
2.2.2 Penggolongan Anestesi Lokal
Bahan anestesi lokal terbagi atas dua golongan yaitu ester dan amida.13 Obat anestesi lokal yang biasa dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amida adalah lidokain dan bupivakain. Secara garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan sebagai berikut:14
Tabel 1. Jenis Anestesi Lokal
Prokain Lidokain Bupivakain
Golongan Ester Amida Amida
Mula Kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama Kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis Maksimal (mm/kgBB)
12 6 2
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10
2.2.3 Mekanisme Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membran saraf. Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul obat anestesi lokal. Penyumbatan gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi lokal berkontribusi sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial. Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor Nmethyl-D-aspartat (NMDA)
(22)
dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik (amytriptiline), meperidine, anestesi inhalasi dan ketamin juga memiliki efek memblok kanal sodium. Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi dan berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter yang kecil dan banyaknya mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal.14
2.2.4 Komplikasi Anestesi Lokal
Menurut Baart dan Brand, terdapat beberapa komplikasi anastesi lokal pada saat pencabutan, yaitu:15
1. Kerusakan Jarum
Penyebab umum patahnya jarum adalah gerakan tiba-tiba yang tidak terduga pada pasien saat jarum memasuki otot atau kontak periosteum. Penyebab utamanya adalah kelemahan jarum dengan membengkokkannya sebelum di insersi ke dalam mulut pasien
2. Parestesi
Pasien merasa kebas selama beberapa jam atau bahkan berhari-hari setelah anestesi lokal. Penyebabnya karena trauma pada beberapa saraf, injeksi anestesi lokal yang terkontaminasi alkohol atau cairan sterilisasi yang menyebabkan iritasi sehingga dapat mengakibatkan edema dan sampai menjadi parastesi.
3. Trismus
Trismus adalah kejang tetanik yang berkepanjangan dari otot rahang dengan pembukaan mulut menjadi terbatas (rahang terkunci). Etiologinya karena trauma pada otot atau pembuluh darah pada fossa infra temporal. Kontaminasi alkohol dan larutan sterlisasi dapat menyebabkan iritasi jaringan kemudian menjadi trismus.
4. Luka Jaringan Lunak
Disebabkan karena pasien secara tidak sadar menggigit bibir atau lidah pada saat masa obat anestesi masih berlangsung.
(23)
Hematoma dapat terjadi karena kebocoran arteri atau vena setelah blok nervus alveolar superior posterior atau nervus inferior.
6. Nyeri
Rasa nyeri saat melakukan anestesi lokal disebabkan oleh penggunaan jarum yang tumpul, pengeluaran anestetikum dengan terlalu cepat, serta tidak menguasai teknik anestesi lokal.
7. Rasa Terbakar
Rasa terbakar disebabkan karena injeksi yang terlalu cepat pada daerah palatal, kontaminasi dengan alkohol dan larutan sterilisasi juga menyebabkan rasa terbakar.
8. Infeksi
Penyebab utamanya adalah kontaminasi jarum sebelum administrasi anastesi. Kontaminasi terjadi saat jarum bersentuhan dengan membran mukosa. Ketidakahlian operator untuk teknik anastesi lokal dan persiapan yang tidak tepat dapat menyebabkan infeksi.
9. Edema
Edema disebabkan oleh trauma selama anestesi lokal, infeksi, alergi, perdarahan, dan penyuntikan anestetikum yang terkontaminasi alkohol.
10. Pengelupasan Jaringan
Iritasi yang berkepanjangan atau iskemia pada gusi akan menyebabkan beberapa komplikasi seperti deskuamasi epitel dan abses steril. Penyebab deskuamasi epitel, antara lain aplikasi topikal anestesi pada gusi yang terlalu lama, sensitivitas yang sangat tinggi pada jaringan, adanya reaksi pada area topikal anestesi.
11. Paralisis Nervus Fasialis
Paralisis nervus fasialis adalah suatu kelumpuhan pada nervus fasialis yang dapat disebabkan oleh adanya kerusakan pada akson, sel-sel schwan dan selubung mielin yang dapat mengakibatkan kerusakan saraf otak.
(24)
Komplikasi lain yang terjadi adalah komplikasi sistemik. Komplikasi sistemik yang dapat muncul yaitu reaksi toksisitas atau yang biasa disebut juga dengan alergi. Alergi yang sering ditimbulkan pada bidang kedokteran gigi salah satunya disebabkan oleh anestesi lokal. Anestesi lokal yang sering menyebabkan terjadinya alergi adalah golongan ester. Ester memiliki derivat ester yaitu asam paminobenzoic yang dapat menginduksi reaksi alergi. Tanda-tanda reaksi alergi adalah terjadi gangguan pernafasan yang dapat menyebabkan syok.12,14,29
2.3 Syok
2.3.1 Definisi Syok
Syok adalah gangguan hemodinamik dan metabolik karena ketidakadekuatan aliran darah dan pengiriman oksigen pada kapiler dan jaringan tubuh. Keadaan ini dimanifestasikan oleh hipotensi, takikardia, oliguria, kulit lembab, gelisah dan perubahan tingkat kesadaran. Syok biasanya diakibatkan oleh suatu kondisi, gagal jantung dan kerusakan neurologis.37
2.3.2 Klasifikasi Syok
Syok digolongkan ke dalam beberapa kelompok : 38-39 1. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan syok yang diakibatkan oleh syok yang disebabkan kegagalan jantung, metabolisme miokard. Apabila lebih dari 40% miokard ventrikel mengalami gangguan, maka akan tampak gangguan fungsi vital dan kolaps kardiovaskular
2. Syok hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan syok yang diakibatkan oleh penurunan volume cairan intravaskular.
3. Syok distributif
Syok distributif merupakan syok yang terjadi akibat gangguan distribusi aliran darah (pada seseorang yang sehat mendadak timbul demam tinggi dan keadaan umum memburuk setelah dilakukan tindakan instrumentasi atau prosedur invasif).
(25)
Syok obstruktif merupakan syok yang terjadi akibat adanya gangguan anatomis dari aliran darah berupa hambatan aliran darah.
2.4 Reaksi Hipersensitivitas
Sistem kekebalan tubuh merupakan bagian integral dari perlindungan manusia terhadap penyakit, tetapi mekanisme perlindungan imun terkadang dapat menyebabkan reaksi merugikan pada host. Reaksi tersebut dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. 16-17 Klasifikasi tradisional untuk reaksi hipersensitivitas dari Gell dan Coombs yang saat ini merupakan sistem klasifikasi yang paling umum digunakan yang membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 jenis yaitu: 17
1.Reaksi Tipe I (reaksi hipersensitivitas cepat ) melibatkan imunoglobulin E (IgE) merilis histamin dan mediator lain dari sel mast dan basofil.
2.Reaksi Tipe II (reaksi hipersensitivitas sitotoksik) melibatkan imunoglobulin G atau immunoglobulin antibodi M terikat pada permukaan sel antigen dengan memfiksasi komplemen berikutnya.
3.Reaksi Tipe III (reaksi kompleks imun) melibatkan sirkulasi kompleks imun antigen-antibodi yang tersimpan dalam venula postcapillary dengan memfiksasi komplemen berikutnya.
(26)
Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas35
2.5 Anafilaksis
2.5.1 Definisi Anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Anafilaksis umumnya merupakan akibat dari lepasnya mediator-mediator vasoaktif seperti histamin, yang mengakibatkan vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan kontraksi otot polos. Reaksi dapat dipicu berbagai alergen seperti makanan, obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.16,18,32
Manifestasi anafilaksis yaitu kesulitan bernafas, edema laring, dan atau bronkospasme, sering diikuti dengan turunnya tekanan darah atau syok. Manifestasi pada kulit adanya rasa gatal dan urtikaria dengan atau tanpa pembengkakan merupakan reaksi anafilaktik sistemik. Manifestasi pada pencernaan termasuk mual, muntah, kram perut dan diare.19
(27)
Tidak ada bukti yang cukup kuat yang menyatakan usia, jenis kelamin, pekerjaan atau lingkungan tempat tinggal merupakan faktor predisposisi reaksi anafilaksis kecuali melalui paparan immunogen. Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular. Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-polilisin. Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain.19-20,30,32
2.5.3 Gambaran Klinis
Secara klinis anafilaksis berlangsung cepat dan ditandai dengan gejala yang tiba-tiba yaitu gatal-gatal, memerah pada wajah, sianosis, urtikaria diikuti dengan turunnya tekanan darah dengan cepat lalu dapat juga terdapat edema dengan peningkatan permeabilitas vaskular, berkembang menjadi obstruksi trakea yang menyebabkan gangguan pernapasan dilanjutkan dengan hilangnya kesadaran hingga kematian.16,18,21
2.5.4 Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi merilis histamin, komponen dari komplemen, sitokin dan zat vasoaktif lain yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler dan bronkokonstriksi dan ikatan ini juga memicu
(28)
sintesis SRS-A (Slow reacting substance of Anaphylaxis) dan degradasi dari asam arachidonik pada membran sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok.22-23
2.5.5 Penatalaksanaan
Tindakan awal yang harus dilakukan adalah memposisikan pasien dalam keadaan supin. Dan harus diperhatikan tingkat kesadaran pasien yang mengalami syok anafilaktik ini.
(29)
Gambar 2. Penatalaksanaan Anafilaksis36
Jika kesadaran pasien menurun dan ditemukan keadaan cardiac arrest maka hal yang harus dilakukan adalah RJPO (Resusitasi Jantung Paru) Tahap-tahap RJPO yang dilakukan pada dental chair yaitu: 24,27,30
1.Singkirkan semua barang atau benda-benda berbahaya dan mengganggu seperti dental instrument.
2. Posisikan kursi mengarah horizontal dari lantai
3.Posisi operator berada di samping dental chair dan lutut operator sejajar dengan tubuh pasien
4.Lakukan tahap RJPO.
(30)
Pengenalan dini dari reaksi anafilaksis adalah wajib, karena kematian terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah gejala pertama. Gejala ringan seperti pruritus dan urtikaria dapat dikontrol dengan pemberian 0,3-0,5 ml epinefrin melalui subkutan atau intramuskular, dengan mengulangi dosis yang diperlukan pada interval 20 menit untuk reaksi yang berat. Injeksi melalui intravena mulai diberikan dengan dosis 2-10 ml epinefrin diencerkan 1:100.000 dengan interval pemberian 5-10 menit. Untuk penambahan volume larutan dapat ditambahkan normal saline dan dopamin jika terjadi hipotensi yang berat. Penggunaan antihistamin difenhidramin juga diperlukan yang berfungsi untuk urtikaria, angiodema, dan bronkospasme. Dosis yang diberikan adalah sebanyak 50-100 mg melalui intravena atau intramuskular.19,21,30
2.5.6 Pencegahan
Cara mengatasi anafilaksis yang terbaik adalah dengan pencegahan. Insidensi anafilaksis dapat dicegah dengan melakukan anamnesa yang tepat dan baik pada pasien sebelum tindakan dilakukan. Anamnesa terdiri dari menanyakan riwayat kesehatan dan secara hati-hati menghindari obat-obat yang dicurigai menimbulkan reaksi. Sebelum tindakan anestesi terdapat pengujian untuk alergi terhadap lokal anestesi termasuk dalam tes vivo seperti tusukan, goresan and patch test, injeksi intradermal dan bahkan peningkatan dosis. Injeksi intradermal atau yang biasa dikenal dengan skin test sering dilakukan ketika pasien tidak mengetahui apakah dia memiliki alergi terhadap bahan anestesi atau obat-obatan. Skin t est adalah suatu pengujian yang dilakukan pada kulit untuk mengidentifikasi substansi alergi (alergen) yang menjadi pemicu timbulnya reaksi alergi.18,25-26,,28,31
2.6 Pengetahuan
2.6.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya dan berbeda dengan kepercayaan, tahayul dan penerangan-penerangan yang keliru.
(31)
Pengetahuan juga diartikan sebagai hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung dan sebagainya) dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek.33-34
2.6.2 Tingkatan Pengetahuan
Ada 6 (enam) tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif, yaitu: 34
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
(32)
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
(33)
2.7 Kerangka Teori
Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi Lokal Reaksi Sistemik Reaksi Pseudoalergi
Anafilaksis
Makanan Anestesi Lokal
Hormon Lainnya
Amida Ester
Prokain
Reaksi Tipe IV Reaksi Tipe I Reaksi Tipe II Reaksi Tipe III
(34)
2.8 Kerangka Konsep
1. Definisi Anafilaktik 2. Gambaran Klinis 3. Manifestasi 4. Penatalaksanaan
Anafilaktik 5. Pencegahan
Syok Anafilaktik Tingkat Pengetahuan
Mahasiswa Kepaniteraan Klinik
(35)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian survei deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap syok anafilaktik.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Klinik Bedah Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut FKG USU. Waktu penelitian akan dilaksanakan pada 8 Oktober 2014 sampai dengan 31 Oktober 2014.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua mahasiswa kepaniteraan klinik di Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU periode 8 Oktober sampai dengan 31 Oktober 2014.
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik yang bersedia dilakukan penelitian pada Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU periode 8 Oktober 2014 sampai dengan 31 Oktober 2014.
(36)
3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
No Variabel Penelitian Definisi Operasional
1 Tingkat Pengetahuan Kemampuan mahasiswa
kepaniteraan klinik dalam menjawab pertanyaan tentang penanggulangan syok anafilaktik akibat anestesi lokal
2 Syok Anafilaktik Reaksi hipersensitivitas oleh tubuh akibat adanya benda asing dan merupakan reaksi yang bersifat darurat
3 Anestesi Lokal Obat yang diberikan secara lokal (topikal atau suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang dikenai oleh obat tersebut.
4 Reaksi Hipersensitivitas Suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya
(37)
3.5 Cara Pengambilan Data
1. Peneliti meminta izin kepada Kepala Departemen Bedah Mulut FKG USU untuk melakukan penelitian
2. Setelah mendapat izin, peneliti menyebarkan kuesioner kepada mahasiswa kepaniteraan klinik sambil menjelaskan tata cara pengisian
3. Mengumpulkan kembali kuesioner yang telah diisi oleh mahasiswa kepaniteraan klinik
4. Data yang telah didapat dikumpulkan lalu diolah dan dianalisa.
3.6 Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
1. Alat tulis 2. Kuesioner
3.7 Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data
Data primer yang didapat dari pengisian kuesioner diolah secara komputerisasi menggunakan Microsoft Excel dan Microsoft Word.
3.7.2 Analisis data
Analisis data dilakukan dengan cara menghitung persentase masing-masing kuesioner yang telah diisi mahasiswa kepaniteraan klinik di Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU.
3.8 Pengukuran Data
Tingkat pengetahuan responden terhadap penanggulangan syok anafilaktik akibat anestesi lokal diukur melalui 20 pertanyaan. Pertanyaan dengan jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban salah diberi nilai 0. Sehingga nilai tertinggi dari 20
(38)
pertanyaan yang diberikan adalah 20. Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan atas pengetahuan baik, cukup dan kurang.
Kategorik Nilai Pengetahuan :
Baik : Persentase nilai 76%-100% dari seluruh pertanyaan
Cukup : Persentase nilai 56%-75% dari seluruh pertanyaan
(39)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Responden
Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa kepaniteraan klinik yang bersedia dilakukan penelitian pada Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU selama bulan Oktober 2014. Didapati jumlah sampel sebanyak 50 orang.
Persentase responden berjenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 28% dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 72%.
Tabel 2. Karakteristik responden mahasiswa kepaniteraan klinik
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 14 28%
Perempuan 36 72%
Total 50 100%
4.2 Pengetahuan Responden terhadap Anamnesa
Dari 50 responden yang mengisi kuesioner didapatkan data bahwa pengetahuan responden terhadap pertanyaan yang harus ditanyakan saat anamnesis seperti terlampir pada tabel berikut.
Tabel 3. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU pertanyaan yang harus ditanyakan saat anamnesa
Jawaban Jumlah Persentase
Data diri, riwayat penyakit, riwayat sakit gigi, riwayat alergi
49 98%
Data diri dan riwayat sakit gigi 1 2%
(40)
Total 50 100%
4.3 Pengetahuan Responden terhadap Riwayat Alergi
Pengetahuan responden terhadap apa yang harus ditanyakan pada pasien yang memiliki riwayat alergi adalah sebanyak 72% responden menjawab apa penyebab alergi tersebut, sebesar 28% gambaran terperinci gejala alergi tersebut dan tidak ada yang menjawab keparahan alergi.
Tabel 4. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap apa yang harus ditanyakan pada pasien yang memiliki riwayat alergi
Jawaban Jumlah Persentase
Penyebab alergi 36 72%
Gambaran alergi 14 28%
Keparahan alergi 0 0
Total 50 100%
4.4 Pengetahuan Responden terhadap Tindakan yang Dilakukan Jika Ditemukan Pasien dengan Alergi Obat
Pengetahuan responden terhadap tindakan yang dilakukan jika ditemukan pasien dengan alergi obat adalah sebanyak 84% responden menjawab melakukan skin test pada obat yang dicurigai, 14% tidak melanjutkan tindakan dan sebanyak 2% melanjutkan tindakan tanpa menggunakan anestesi lokal.
(41)
Tabel 5. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika ditemukan pasien dengan alergi obat
Jawaban Jumlah Persentase
Tidak melanjutkan tindakan 7 14%
Melakukan skin test pada obat yang dicurigai
42 84%
Melanjutkan tindakan tanpa anestesi lokal
1 2%
Total 50 100%
4.5Pengetahuan Responden terhadap Alergi Lain
Pengetahuan responden terhadap tindakan yang dilakukan jika ditemukan pasien tanpa alergi obat tetapi memiliki alergi lainnya seperti asma adalah sebanyak 90% responden menjawab menunda tindakan dan merujuk pasien pada dokter spesialis, sebanyak 8% yang menjawab melanjutkan tindakan tanpa memikirkan alergi lain yang diderita pasien dan sebanyak 2% menjawab tidak melanjutkan tindakan.
Tabel 6. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika ditemukan pasien tanpa alergi obat tetapi memiliki alergi lainnya sepeti asma
Jawaban Jumlah Persentase
Tidak melanjutkan tindakan 1 2%
Melanjutkan tindakan tanpa memikirkan alergi lain yang diderita pasien
4 8%
Menunda tindakan dan merujuk pasien pada dokter spesialis
45 90%
(42)
4.6 Pengetahuan Responden terhadap Definisi Alergi
Pengetahuan responden terhadap definisi alergi adalah sebesar 68% yang menjawab alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang diakibatkan induksi oleh IgE, sebesar 10% yang menjawab alergi merupakan reaksi hipersensitivitas dan sebesar 22% yang menjawab alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang diakibatkan oleh mediasi sel T.
Tabel 7. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap definisi alergi
Jawaban Jumlah Persentase
Merupakan reaksi hipersensitivitas 5 10% Reaksi hipersensitivitas yang
diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast
34 68%
Reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yang diakibatkan oleh mediasi sel T yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast
11 22%
Total 50 100%
4.7 Pengetahuan Responden terhadap Jumlah Tipe Hipersensitivitas
Pengetahuan responden terhadap berapa jenis tipe hipersensitivitas adalah sebesar 86% responden yang menjawab 4, sebesar 10% responden menjawab 2 dan sebesar 4% menjawab 3.
(43)
Tabel 8. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap berapa jenis tipe-tipe hipersensitivitas
Jawaban Jumlah Persentase
2 5 10%
3 2 4%
4 43 86%
Total 50 100%
4.8 Pengetahuan Responden terhadap Bahan Kedokteran Gigi yang Menyebabkan Alergi
Pengetahuan responden terhadap ada atau tidak bahan kedokteran gigi yang menyebabkan alergi adalah sebesar 90% yang menjawab ada, sebesar 4% menjawab tidak ada dan sebesar 6% yang tidak tahu.
Tabel 9. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap ada atau tidak bahan kedokteran gigi yang menyebabkan alergi
Jawaban Jumlah Persentase
Ada 45 90%
Tidak Ada 2 4%
Tidak Tahu 3 6%
Total 50 100%
4.9 Pengetahuan Responden terhadap Golongan Anestesi Lokal
Pengetahuan responden terhadap pembagian golongan anestesi lokal adalah sebesar 78% yang menjawab dua, sebesar 18% menjawab tiga dan sebesar 4% yang empat.
(44)
Tabel 10. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap pembagian golongan anestesi lokal
Jawaban Jumlah Persentase
Dua 36 76.6%
Tiga 9 19.2%
Empat 2 4.2%
Total 47 100%
4.10 Pengetahuan Responden terhadap Golongan Anestesi Lokal yang Paling Sering Menyebabkan Alergi
Pengetahuan responden terhadap golongan anestesi lokal yang paling sering menyebabkan alergi adalah sebesar 42% yang menjawab ester, sebesar 32% menjawab tidak ada dan sebesar 26% yang keduanya.
Tabel 11. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap ada atau tidak bahan kedokteran gigi yang menyebabkan alergi
Jawaban Jumlah Persentase
Amida 16 32%
Ester 21 42%
Keduanya 13 26%
Total 50 100%
4.11 Pengetahuan Responden terhadap Definisi Anafilaksis
Pengetahuan responden terhadap definisi anafilaksis adalah sebesar 90% yang menjawab anafilaksis merupakan keadaan mengancam nyawa yang disebut juga dengan alergi dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, sebesar 2% yang menjawab merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tidak mengancam nyawa dan sebesar 8% yang menjawab merupakan keadaan kegawatdaruratan.
(45)
Tabel 12. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap definisi anafilaksis
Jawaban Jumlah Persentase
Merupakan keadaan mengancam nyawa yang disebut juga dengan alergi dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
45 90%
Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tidak mengancam nyawa
1 2%
Merupakan keadaan kegawatdaruratan medis
4 8%
Total 50 100%
4.12 Pengetahuan Responden terhadap Gejala Awal Terjadinya Anafilaksis
Pengetahuan responden terhadap gejala awal terjadinya anafilaksis adalah sebesar 70% yang menjawab wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipotensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran, sebesar 16% yang menjawab kulit pucat, berkeringat, hipertensi dan gatal-gatal, serta sebanyak 14% yang menjawab wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipertensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran.
(46)
Tabel 13. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap gejala awal terjadinya anafilaksis
Jawaban Jumlah Persentase
Kulit pucat, berkeringat, hipertensi dan gatal-gatal
8 16%
Wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipotensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran
35 70%
Wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipertensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran
7 14%
Total 50 100%
4.13 Pengetahuan Responden terhadap Manifestasi Anafilaksis
Pengetahuan responden terhadap manifestasi anafilaksis yang paling berbahaya adalah sebesar 28% edema laring, bronkospasme dan kolaps kardiovaskular, sebesar 60% yang menjawab hilangnya kesadaran, obstruksi pernapasan dan kematian, serta sebanyak 12% yang menjawab edema laring, obstruksi pernapasan dan kematian.
(47)
Tabel 14. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap gejala awal terjadinya anafilaksis
Jawaban Jumlah Persentase
Hilangnya kesadaran, obstruksi pernapasan dan kematian
30 60%
Edema laring, bronkospasme dan kolaps kardiovaskular
14 28%
Edema laring, obstruksi pernapasan dan kematian
6 12%
Total 50 100%
4.14 Pengetahuan Responden terhadap Tindakan Pertama yang Dilakukan dalam Penatalaksanaan Anafilaksis
Pengetahuan responden terhadap tindakan pertama yang dilakukan dalam penatalaksanaan anafilaksis sebesar 84% yang menjawab menghentikan tindakan dan pemeriksaan tanda vital pasien, sebesar 10% menjawab menghentikan tindakan dan sebanyak 6% menjawab meminta bantuan.
Tabel 15. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan pertama yang dilakukan dalam penatalaksanaan anafilaksis
Jawaban Jumlah Persentase
Mengentikan tindakan dan pemeriksaan tanda vital pasien
42 84%
Menghentikan tindakan 5 10%
Meminta bantuan 3 6%
(48)
4.15 Pengetahuan Responden terhadap Penting atau Tidaknya Pengetahuan Penatalaksanaan Anafilaksis
Pengetahuan responden terhadap penting atau tidak pengetahuan terhadap penatalaksanaan anafilaksis adalah sebesar 100% yang menjawab penting dan tidak ada yang menjawab tidak dan tidak tahu.
Tabel 16. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap penting atau tidak pengetahuan tentang penatalaksanaan anafilaksis
Jawaban Jumlah Persentase
Penting 50 100%
Tidak 0 0
Tidak tahu 0 0
Total 50 100%
4.16 Pengetahuan Responden terhadap Tindakan Pertama yang Dilakukan Saat Terjadi Henti Nafas
Pengetahuan responden terhadap tindakan pertama yang dilakukan saat terjadi henti nafas adalah sebesar 66% yang menjawab meminta bantuan dan melaksanakan RJPO, sebesar 18% yang menjawab memposisikan pasien sejajar dengan lantai dan sebesar 16% menjawab memeriksa tanda vital pasien dan memberikan bau yang merangsang seperti alkohol.
(49)
Tabel 17. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan pertama yang dilakukan saat terjadi henti nafas
Jawaban Jumlah Persentase
Memposisikan pasien sejajar dengan lantai
9 18%
Meminta bantuan dan melaksanakan RJPO
33 66%
Memeriksa tanda vital pasien dan memberikan bau yang merangsang seperti alcohol
8 16%
Total 50 100%
4.17 Pengetahuan Responden terhadap Obat yang Digunakan Sebagai
First Choice Drug untuk Penatalaksanaan Anafilaksis
Pengetahuan responden terhadap obat yang digunakan sebagai first choice drug untuk penatalaksanaan anafilaksis adalah sebesar 74% yang menjawab epinefrin, sebesar 10% yang menjawab kortikosteroid dan sebesar 16% menjawab antihistamin.
Tabel 18. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap obat yang digunakan sebagai first choice drug untuk penatalaksanaan anafilaksis
Jawaban Jumlah Persentase
Epinefrin 37 74%
Kortikosteroid 5 10%
Antihistamin 8 16%
(50)
4.18 Pengetahuan Responden terhadap Jalur Pemberian Obat Epinefrin di Tempat Praktik Dokter Gigi
Pengetahuan responden terhadap jalur pemberian obat epinefrin di tempat praktik dokter gigi adalah sebesar 34% yang menjawab intramuskular, sebesar 60% yang menjawab intravena dan sebesar 6% menjawab intraoral.
Tabel 19. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap jalur pemberian obat epinefrin di tempat praktik dokter gigi
Jawaban Jumlah Persentase
Intravena 30 60%
Intramuskular 17 34%
Intraoral 3 6%
Total 50 100%
4.19 Pengetahuan Responden terhadap Dosis Pemberian Obat
Pengetahuan responden terhadap dosis pemberian obat adalah sebesar 18% yang menjawab 0,3-0,5 ml dengan interval waktu 20 menit, sebesar 52% yang menjawab 2-10 ml dengan interval waktu 5-10 menit, dan sebesar 18% menjawab 0,2-0,5 ml dengan interval waktu 15 menit.
Tabel 20. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap dosis pemberian obat
Jawaban Jumlah Persentase
0,3-0,5 ml dengan interval waktu 20 menit
9 18%
2-10 ml dengan interval waktu 5-10 menit
26 52%
0,2-0,5 ml dengan interval waktu 15 menit
9 18%
(51)
4.20 Pengetahuan Responden terhadap Tindakan yang Dilakukan jika Pertolongan Pertama Berhasil
Pengetahuan responden terhadap tindakan yang dilakukan jika pertolongan pertama berhasil adalah sebesar 88% yang menjawab melanjutkan tindakan di kunjungan lain, sebesar 4% yang menjawab melanjutkan tindakan dan sebesar 8% menjawab merujuk ke dokter lain.
Tabel 21. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika pertolongan pertama berhasil
Jawaban Jumlah Persentase
Melanjutkan tindakan 2 4%
Melanjutkan tindakan di kunjungan lain
44 88%
Merujuk ke dokter lain 4 8%
Total 50 100%
4.21 Pengetahuan Responden terhadap Tindakan yang Dilakukan jika Pertolongan Pertama Tidak Berhasil
Pengetahuan responden terhadap tindakan yang dilakukan jika pertolongan pertama tidak berhasil adalah sebesar 94% yang membawa pasien ke rumah sakit, sebesar 6% menjawab merujuk ke dokter spesialis dan tidak ada yang menjawab menambah dosis.
Tabel 22. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik RSGMP FKG USU terhadap tindakan yang dilakukan jika pertolongan pertama tidak berhasil
Jawaban Jumlah Persentase
Membawa pasien ke rumah sakit 47 94%
Menambah dosis obat 0 0
Merujuk ke dokter spesialis 3 6%
(52)
4.22 Kategori Pengetahuan Responden terhadap Syok Anafilaktik akibat Anestesi Lokal
Hasil penelitian pengetahuan responden terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal didapat persentase tertinggi pada kategori berpengetahuan cukup yaitu 58%. Sedangkan sebanyak 34% responden termasuk kategori pengetahuan baik dan sebanyak 8% responden yang berpengetahuan kurang.
Tabel 23. Kategori Pengetahuan Responden terhadap Syok Anafilaktik akibat Anestesi Lokal
Kategori Jumlah Persentase
Baik 17 34%
Cukup 29 58%
Kurang 4 8%
(53)
BAB 5 PEMBAHASAN
Hasil penelitian di Klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU selama bulan Oktober 2014 diperoleh 50 responden yang mengisi kuesioner tentang pengetahuan terhadap syok anaflaktik akibat anestesi lokal dan penatalaksanaannya. Dari 50 responden tersebut, sebanyak 98% berpendapat bahwa pertanyaan yang harus ditanyakan pada saat anamnesa adalah data diri, riwayat penyakit, riwayat sakit gigi, riwayat alergi, sebanyak 2% yang berpendapat bahwa pertanyaan yang harus ditanyakan pada saat anamnesa adalah data diri dan riwayat sakit gigi dan tidak ada yang berpendapat bahwa pertanyaan yang harus ditanyakan pada saat anamnesa adalah hanya riwayat sakit gigi (Tabel 3). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden sangat mengetahui definisi yang benar mengenai pertanyaan yang seharusnya ditanyakan pada saat melakukan anamnesa.
Dari Bahan Ajar Praktis Bedah Mulut (2012) menyatakan bahwa jalan terbaik untuk mencegah terjadinya suatu alergi adalah menghindari obat yang sama dengan obat yang menimbulkan alergi pada dulunya.17 Oleh karena itu, hal terpenting adalah mengetahui apa penyebab alergi seseorang. Pengetahuan responden terhadap apa yang harus ditanyakan pada pasien yang memiliki riwayat alergi adalah sebanyak 72% responden menjawab apa penyebab alergi tersebut, sebesar 28% gambaran terperinci gejala alergi tersebut dan tidak ada yang menjawab keparahan alergi (Tabel 4). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap pertanyaan apa yang harus ditanyakan pada pasien yang memiliki riwayat alergi adalah cukup.
Hasil penelitian Nahid Eskandari dkk di Iran (2014) menyatakan 67,4% dokter gigi merujuk pasien yang dicurigai memiliki alergi ke dokter spesialis untuk dilakukan tes alergi, sebesar 5,6% langsung melakukan skin test, sebesar 2,8% tidak
(54)
melanjutkan tindakan dan juga sebesar 2,8% melanjutkan tindakan tanpa menggunakan anestesi lokal.8 Hasil penelitian ini sedikit berbeda dari persentase yang di dapat oleh peneliti dimana sebanyak 84% responden menjawab melakukan skin test pada obat yang dicurigai, 14% tidak melanjutkan tindakan dan sebanyak 2% melanjutkan tindakan tanpa menggunakan anestesi lokal (Tabel 5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya responden mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan jika ditemui pasien dengan riwayat alergi obat.
Hasil penelitian Cetinkaya dkk di Turki (2010) menyatakan 58,3% tindakan yang dilakukan oleh dokter gigi jika ditemukan pasien tanpa alergi obat tetapi memiliki alergi lainnya sepeti asma adalah menganggap alergi lainnya sebagai faktor risiko dan merujuk pasien ke spesialis dan sebanyak 41,7% dokter gigi melanjutkan tindakan tanpa memikirkan alergi lain.7 Hasil penelitian yang didapat oleh peneliti adalah sebanyak 90% responden menjawab menunda tindakan dan merujuk pasien pada dokter spesialis, sebanyak 8% yang menjawab melanjutkan tindakan tanpa memikirkan alergi lain yang diderita pasien dan sebanyak 2% menjawab tidak melanjutkan tindakan (Tabel 6). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap tindakan yang harus dilakukan jika menemui pasien dengan alergi lain adalah baik.
Menurut Wistiani dkk (2011), alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast.9 Pada hasil penelitian ini, didapatkan sebesar 68% yang menjawab alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang diakibatkan induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast, sebesar 10% yang menjawab alergi merupakan reaksi hipersensitivitas dan sebesar 22% yang menjawab alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang diakibatkan oleh mediasi sel T yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast (Tabel 7). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap definisi alergi adalah cukup.
Berdasarkan klasifikasi reaksi hipersensitivitas dari Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi menjadi 4 jenis.19 Hasil penelitian didapatkan bahwa
(55)
pengetahuan responden terhadap berapa jenis tipe hipersensitivitas adalah sebesar 86% responden yang menjawab 4, sebesar 10% responden menjawab 2 dan sebesar 4% menjawab 3 (Tabel 8). Hasil penelitian ini menunjukkan pengetahuan responden terhadap tipe reaksi hipersensitivitas adalah baik.
Hasil penelitian terhadap pengetahuan responden terhadap ada atau tidak bahan kedokteran gigi yang menyebabkan alergi adalah sebesar 90% yang menjawab ada, sebesar 4% menjawab tidak ada dan sebesar 6% yang tidak tahu (Tabel 9). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap ada atau tidaknya bahan kedokteran gigi yang menyebabkan alergi adalah baik.
Secara umum, bahan anestesi lokal terbagi atas dua golongan yaitu ester dan amida.14 Hasil penelitian didapati pengetahuan responden terhadap pembagian golongan anestesi lokal adalah sebesar 76.6% yang menjawab dua golongan, sebesar 19.2% menjawab tiga golongan dan sebesar 4.2% yang empat golongan (Tabel 10). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap pembagian golongan anestesi lokal adalah baik.
Dari Anestesiologi, golongan anestesi yang paling sering menyebabkan reaksi alergi adalah ester.13 Pengetahuan responden terhadap golongan anestesi lokal yang paling sering menyebabkan alergi adalah sebesar 42% yang menjawab ester, sebesar 32% menjawab amida dan sebesar 26% yang keduanya (Tabel 11). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap golongan anestesi lokal yang paling sering meyebabkan alergi adalah kurang.
Menurut Joseph Uyamadu dkk di Nigeria (2012) anafilaksis adalah keadaan mengancam nyawa yang disebut juga dengan alergi dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I. Dari hasil penelitian oleh peneliti sebesar 90% yang menjawab anafilaksis merupakan keadaan mengancam nyawa yang disebut juga dengan alergi dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, sebesar 2% yang menjawab merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tidak mengancam nyawa dan sebesar 8% yang menjawab merupakan keadaan kegawatdaruratan (Tabel 12). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap definisi anafilaksis adalah baik.
(56)
Dari Imunologi Dasar (2009) gejala awal terjadinya anafilaksis adalah wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipotensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran.19 Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti didapati sebesar 70% yang menjawab wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipotensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran, sebesar 16% yang menjawab kulit pucat, berkeringat, hipertensi dan gatal-gatal, serta sebanyak 14% yang menjawab wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipertensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran (Tabel 13). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap gejala awal anafilaksis adalah cukup.
Dari Bahan Ajar Praktis Bedah Mulut (2012) manifestasi anafilaksis yang paling berbahaya adalah edema laring, bronkospasme dan kolaps kardiovaskular.17 Hasil penelitian didapatkan pengetahuan responden terhadap manifestasi anafilaksis yang paling berbahaya adalah sebesar 28% edema laring, bronkospasme dan kolaps kardiovaskular, sebesar 60% yang menjawab hilangnya kesadaran, obstruksi pernapasan dan kematian, serta sebanyak 12% yang menjawab edema laring, obstruksi pernapasan dan kematian (Tabel 14). Hasil penelitian ini menunjukkan pengetahuan responden terhadap manifestasi anafilaksis adalah kurang.
Dari Bahan Ajar Praktis Bedah Mulut (2012) cara mengatasi anafilaksis adalah menghentikan tindakan, meminta bantuan dan pemeriksaan tanda vital pasien.17 Pada hasil penelitian didapatkan sebesar 84% yang menjawab menghentikan tindakan dan pemeriksaan tanda vital pasien, sebesar 10% menjawab menghentikan tindakan dan sebanyak 6% menjawab meminta bantuan (Tabel 15). Hasil penelitian ini menunjukkan pengetahuan responden terhadap tindakan penatalaksanaan anafilaksis adalah baik.
Pengetahuan responden terhadap penting atau tidak pengetahuan terhadap penatalaksanaan anafilaksis adalah sebesar 100% yang menjawab penting dan tidak ada yang menjawab tidak dan tidak tahu (Tabel 16). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umumnya responden sangat mengetahui pengetahuan penatalaksanaan anafilaksis itu sangat penting.
(57)
Menurut Schmitz dkk (2008) tindakan pertama yang harus dilakukan jika kesadaran pasien menurun dan ditemukan keadaan cardiac arrest maka hal yang harus dilakukan adalah RJPO.31 Hasil penelitian ini adalah sebesar 66% yang menjawab meminta bantuan dan melaksanakan RJPO, sebesar 18% yang menjawab memposisikan pasien sejajar dengan lantai dan sebesar 16% menjawab memeriksa tanda vital pasien dan memberikan bau yang merangsang seperti alkohol (Tabel 17). Hasil penelitian terhadap tindakan yang harus dilakukan jika terjadi henti nafas pada pasien adalah cukup.
First choice drug yang digunakan untuk penatalaksanaan anafilaksis adalah epinefrin.22 Hasil penelitian Nahid Eskandari dkk di Iran (2014) menyatakan 72,1% dokter gigi menggunakan epinefrin sebagai first choice drug dalam penatalaksanaan anafilaksis, sebesar 13,9% menggunakan kortikosteroid dan sebesar 13,2% menggunakan antihistamin.8 Hasil penelitian didapatkan sebesar 74% yang menjawab epinefrin, sebesar 10% yang menjawab kortikosteroid dan sebesar 16% menjawab antihistamin (Tabel 18). Hasil penelitian terhadap first choice drug dalam penatalaksanaan anafilaksis adalah cukup.
Dari Harrison’s Internal Medicine (2005) jalur pemberian obat epinefrin yang cepat dan tepat dilakukan di tempat praktik adalah melalui intramuskular.20 Hasil penelitian Cetinkaya di Turki (2010) menyatakan 39,5% dokter gigi memilih jalur intravena, sebanyak 31,5% intramuskular.7 Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti didapatkan sebesar 34% yang menjawab intramuskular, sebesar 60% yang menjawab intravena dan sebesar 6% menjawab intraoral (Tabel 19). Hasil penelitian terhadap jalur pemberian epinefrin adalah kurang.
Penatalaksanaan anafilaksis yang tepat adalah dengan pemberian 0,3-0,5 ml epinefrin dengan mengulangi dosis yang diperlukan pada interval 20 menit.20,22,31 Hasil penelitian Cetinkaya di Turki (2010) menyatakan hanya sekitar 7%-9,3% dokter gigi yang menjawab benar. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti adalah sebesar 18% yang menjawab 0,3-0,5 ml dengan interval waktu 20 menit, sebesar 52% yang menjawab 2-10 ml dengan interval waktu 5-10 menit, dan sebesar 18% menjawab
(58)
0,2-0,5 ml dengan interval waktu 15 menit (Tabel 20). Hasil penelitian ini didapati pengetahuan terhadap dosis pemberian epinefrin yang tepat adalah kurang.
Pengetahuan responden terhadap tindakan yang harus dilakukan jika pertolongan pertama berhasil adalah sebesar 88% yang menjawab melanjutkan tindakan di kunjungan lain, sebesar 4% yang menjawab melanjutkan tindakan dan sebesar 8% menjawab merujuk ke dokter lain (Tabel 21). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap tindakan yang harus dilakukan jika pertolongan pertama berhasil adalah baik.
Pengetahuan responden terhadap tindakan yang harus dilakukan jika pertolongan pertama tidak berhasil adalah sebesar 94% yang membawa pasien ke rumah sakit, sebesar 6% menjawab merujuk ke dokter spesialis dan tidak ada yang menjawab menambah dosis (Tabel 22). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap tindakan yang harus dilakukan jika pertolongan pertama tidak berhasil adalah baik.
(59)
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut FKG USU terhadap syok anafilaktik akibat anestesi lokal adalah sebanyak 34% berpengetahuan baik, 58% berpengetahuan cukup dan sebesar 8% dengan kategori pengetahuan kurang.
2. Tingkat pengetahuan responden yang termasuk kategori baik (76%-100%) meliputi pertanyaan yang ditanyakan saat anamnesa, tindakan yang dilakukan jika ditemui pasien dengan alergi obat, tindakan yang dilakukan jika ditemukan pasien dengan alergi lain, klasifikasi hipersensitivitas, bahan kedokteran gigi penyebab alergi, pembagian golongan anestesi lokal, definisi anafilaktik, tindakan pertolongan pertama anafilaksis, penting atau tidaknya mengetahui cara penatalaksanaan anafilaksis, tindakan jika pertolongan pertama berhasil dan tindakan jika pertolongan pertama tidak berhasil. Tingkat pengetahuan responden yang termasuk kategori cukup (56%-75%) meliputi pertanyaan untuk pasien yang mempunyai riwayat alergi, definisi alergi, gejala awal anafilaksis, tindakan yang dilakukan jika pasien dalam keadaan cardiac arrest dan first choice drug untuk anafilaksis. Tingkat pengetahuan responden yang termasuk kategori kurang (0-55%) meliputi golongan anestesi yang paling sering menyebabkan alergi, manifestasi anafilaksis yang paling berbahaya, jalur pemberian epinefrin, serta dosis pemberian epinefrin.
(60)
1. Diharapkan mahasiswa kepaniteraan klinik untuk lebih teliti dalam melakukan anamnesa
2. Diharapkan mahasiswa kepaniteraan klinik lebih memahami golongan anestesi lokal
3. Diharapkan mahasiswa kepaniteraan klinik lebih memahami syok anafilaksis beserta penatalaksanaannya yang meliputi dosis dan jalur pemberian obat
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.
(61)
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Farmakologi Fakultas Kedokteran Sriwijaya. Kumpulan kuliah farmakologi. Ed.2. Jakarta: EGC, 2008: 591-594.
2. Wahyuni H. Makalah farmakologi.
2014)
3. Chandra Y, Setiarini A, Rengganis I. Gambaran sensitivitas terhadap alergen makanan. Makara Kesehatan 2011. 15(1): 1-2.
4. Uyamadu J, Odai CD. A review of medical emergencies in dental practice. Orient J of Medicine 2012; 24(3-4): 1-6.
5. Wood RA et all. Anaphylaxis in America: The prevalence and characteristics of anaphylaxis in the United States. J Allergy Clin Immunol 2014; 133: 461-466.
6. UK Medicine. Allergy to local anaesthetic agents used in dentistry – what are the signs, symptoms, alternative diagnoses and management options?. 2012 7. Cetinkaya F, Sezgin G, Aslan OM. Dentists’ knowledge about anaphylaxis
caused by local anaesthetics. J Allergor Immunopathol 2011; 39(4): 228-231. 8. Eskandari N, Nekourad M and Bastan R. The awareness of anaphylaxis
reaction to local anesthesia in dentistry. J Allergy Asthma 2014; 1(1): 1-4. 9. Notoadmojo HW. Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi pada
anak. Sari Pediatri 2011; 13(3): 186.
10. Bailey H, Love M. Short practice of surgery. Ed.25. London: Hodder Arnold, 2008: 198-199.
11. Ivan. Anestesi lokal. 2
(62)
12. Boulton TB, Bloog CE. Anestesiologi. Ed.10. Alih Bahasa. Jonatan Oswari. Jakarta: EGC, 1994: 108-113.
13. Ikhsan M, Mariati NW, Mintjelungan C. Gambaran pengguna bahan anestesi lokal untuk pencabutan gigi tetap oleh dokter gigi di kota Manado. J e-Gigi 2013; 1(2): 105.
14. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal. J Anestesiologi Indonesia 2011; 3(1): 48.
15. Baart JA, Brand HS. Local anesthesia in dentistry. United Kingdom: Blackwell, 2008.
16. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih Bahasa. Purwanto, Basoeseno. Jakarta: EGC, 1996: 97,115.
17. Anand KM. Immediate hipersensitivity reaction. 2014 < 18. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi dasar. Ed.9. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2010: 369-380.
19. Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et all. Harrison’s principles of internal medicine. Ed.16. United States: McGraw Hill, 2005: 1949-1951.
20. Childern Allergy Center. Anfilaksis. 2009
(31
Agustus 2014)
21. Communicable Disease Control. Protocol for management of suspected anaphylactic shock. Manitoba 2007: 1-5.
22. Cuschieri A, Grace PA, Darzi A, et all. Clinical surgery. Ed 2. United Kingdom: Blackwell, 2003: 139-141.
23. Ivan. Patofisiologi dan penatalaksanaan syok anafilakti (31 Agustus 2014)
24. Anonymus. Medical emergencies and resuscitation in the dental practice: an overview. Jevon 2009; 14(6): 1-11.
(63)
25. Germishuys PJ. Intradermal testing on patients with putative allergic reactions to local anesthetics-analysis of 611 cases. Allergy Clinical Immunology 2004; 17(1): 28.
26. Miloro M. Peterson’s principles of oral and maxillofacial surgery. Ed.2. Canada: BC Decker, 2004: 17.
27. Taylor TH. Godhill DR. Standarts of care in anesthesia. Britania Raya: Butterworth Heinemann, 1992: 15-21.
28. Malamed SF. Handbook of local anesthesia. Ed.5. Missouri: Elsevier Mosby, 2004: 323-330.
29. Siahaan OSM. Anestesi lokal dan regional. Medan: USU Press, 2000: 21-29. 30. Schmitz PG, Martin KJ. Internal medicine just the facts. United States:
McGraw Hill, 2008: 155-160.
31. Bennett R. Monheim’s Local anestesia and pain control in dental practice. India: CBS, . 227,232.
32. Sully C. Medical problems in dentistry. Ed.6. United Kingdom: Elsevier, 2010: 411-418.
33. Sjamsuri SA. Pengantar teori pengetahuan. Jakarta : Depdikbud. Dirjen Dikti, 1989: 15
34. Notoadmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010: 26-29. 35. Janeway CA, Travers P, Walport M, et all. Immunobiology: the immune
system in health and disease. Ed.5. New York: Garland, 2001: 564.
36. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma and Clinical Immunology Journal 2011; 7(1).
37. Tambayong J. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC, 2000: 22-23. 38. Sabiston DC. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC, 1992: 14.
(64)
LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Monica Nindia Pratiwi
Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru/ 2 Juli 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jalan Sarwo Edi nomor 34 Pekanbaru-Riau
Orangtua :
Ayah : Kabul Wiyono
Ibu : Meliyanti
Riwayat Pendidikan :
1. 1998-1999 : TK Pembina Pekanbaru 2. 1999-2005 : SD Kartika 1-9 Pekanbaru 3. 2005-2008 : SMP Negeri 14 Pekanbaru 4. 2008-2011 : SMA Negeri 8 Pekanbaru
(65)
5. 2011-2014 : S1-Fakultas Kedokteran Gigi USU
LAMPIRAN 2
ANGGARAN PENELITIAN
1. Biaya Pembuatan Proposal Rp 150.000
2. Biaya Print dan Fotokopi Rp 150.000
3. Biaya Penjilidan Rp 66.000
4. Biaya Seminar Rp 650.000
5. Biaya Peminjaman Proyektor Rp 150.000
6. Biaya Lain-lain Rp. 250.000
(66)
LAMPIRAN 3
JADWAL KEGIATAN
Bulan
Kegiatan Agustus September Oktober November Desember Januari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 Persiapan dan X X X X X X X Pembuatan Proposal Seminar Proposal X Perbaikan Proposal X Penelitian X X X Pengumpulan dan X X X Pengolahan Data Pembuatan Laporan X X X X Hasil Penelitian Seminar Hasil X Sidang Skripsi X
(67)
LAMPIRAN 4
KUESIONER PENELITIAN
DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN
KLINIK DEPARTEMEN BEDAH MULUT RSGMP FKG USU
TERHADAP SYOK ANAFILAKTIK AKIBAT ANESTESI LOKAL
PERIODE 8-31 OKTOBER 2014
Nomor:
Tanggal :
Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
Usia :
Petunjuk Pengisian
a. Pengisian kuesioner dilakukan oleh mahasiswa kepaniteraan klinik yang sedang berada di Klinik Bedah Mulut FKG USU
b. Jawablah pertanyaan yang tersedia dengan melingkari jawaban yang dianggap benar
(68)
c. Seluruh pertanyaan harus dijawab
d. Setiap pertanyaan diisi dengan satu jawaban
LINGKARI JAWABAN PADA PILIHAN YANG TERSEDIA
1. Apakah pertanyaan yang anda tanyakan pada saat melakukan anamnesa?
a. Data diri, riwayat penyakit, riwayat sakit gigi, riwayat alergi
b. Data diri dan riwayat sakit gigi
c. Hanya riwayat sakit gigi
2. Pertanyaan apa yang akan anda tanyakan pada pasien jika didapatkan riwayat
alergi?
a. Apa penyebab alergi tersebut
b. Gambaran terperinci gejala alergi tersebut
c. Keparahan alergi
3. Apa yang anda lakukan jika menemui pasien yang dicurigai memiliki alergi
obat?
a. Tidak melanjutkan tindakan
b. Melakukan skin test menggunakan obat yang dicurigai
c. Melakukan tindakan tanpa menggunakan lokal anestesi
4. Apa yang anda lakukan pada pasien yang tidak memiliki riwayat alergi obat
tetapi memiliki alergi lain seperti asma?
a. Tidak melanjutkan tindakan
b. Melanjutkan tindakan tanpa memikirkan alergi lain yang diderita
pasien
(69)
5. Apakah dimaksud dengan alergi?
a. Merupakan reaksi hipersensitivitas
b. Reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis,
yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,
yang berikatan dengan sel mast
c. Reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis,
yang diakibatkan oleh mediasi sel T yang spesifik terhadap alergen
tertentu, yang berikatan dengan sel mast
6. Ada berapa tipe reaksi hipersensitivitas yang anda ketahui?
a. 2
b. 3
c. 4
7. Adakah bahan kedokteran gigi yang dapat menyebabkan reaksi alergi?
a. Ada
b. Tidak ada
c. Tidak tahu
8. Golongan anestesi lokal terbagi menjadi?
a. 2 golongan
b. 3 golongan
(70)
9. Anestesi lokal golongan apakah yang sering menjadi penyebab reaksi anafilaksis?
a. Amida b. Ester
c. A dan B benar
10.Apa yang dimaksud dengan anafilaksis?
a. Merupakan keadaan mengancam nyawa yang disebut juga dengan alergi dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
b. Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tidak mengancam nyawa c. Merupakan keadaan kegawatdaruratan medis
11.Manakah tanda atau gejala awal terjadinya anafilaksis? a. Kulit pucat, berkeringat, hipertensi dan gatal-gatal
b. Wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipotensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran
c. Wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipertensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran
12.Manakah manifestasi anafilaksis yang paling berbahaya?
a. Hilangnya kesadaran, obstruksi pernapasan dan kematian b. Edema laring, bronkospasme dan kolaps kardiovaskular c. Edema laring, obstruksi pernapasan dan kematian
13.Apa tindakan yang pertama kali harus dilakukan dalam penatalaksanaan anafilaksis?
a. Mengentikan tindakan dan pemeriksaan tanda vital pasien b. Menghentikan tindakan
(71)
c. Meminta bantuan
14.Menurut anda, pentingkah mengetahui penatalaksanaan anafilaksis? a. Penting
b. Tidak penting c. Tidak tahu
15.Jika terjadi anafilaktik seperti henti napas, apakah tindakan yang anda lakukan?
a. Memposisikan pasien sejajar dengan lantai b. Meminta bantuan dan melaksanakan RJPO
c. Memeriksa tanda vital pasien dan memberikan bau yang merangsang seperti alkohol
16.Menurut anda, obat manakah yang harus digunakan sebagai first choice dalam penatalaksanaan anafilaksis?
a. Epinefrin b. Kortikosteroid c. Antihistamin
17. Bagaimana seharusnya jalur pemberian obat epinefrin dilakukan jika terjadi syok anafilaktik di tempat praktik?
a. Secara intravena b. Secara intramuskular c. Secara intraoral
18.Menurut anda, berapakah dosis yang tepat untuk pemberian obat tersebut? a. 0,3-0,5 ml dengan interval waktu 20 menit
b. 2-10 ml dengan interval waktu 5-10 menit c. 0,2-0,5 ml dengan interval waktu 15 menit
19.Jika tindakan pertolongan pertama yang anda lakukan berhasil, apa yang anda lakukan?
a. Melanjutkan tindakan
(72)
c. Merujuk ke dokter lain
20.Jika tindakan pertolongan pertama yang anda lakukan tidak berhasil, apa yang anda lakukan?
a. Membawa pasien ke rumah sakit b. Menambah dosis obat
(1)
LAMPIRAN 4
KUESIONER PENELITIAN
DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN
KLINIK DEPARTEMEN BEDAH MULUT RSGMP FKG USU
TERHADAP SYOK ANAFILAKTIK AKIBAT ANESTESI LOKAL
PERIODE 8-31 OKTOBER 2014
Nomor:
Tanggal :
Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
Usia :
Petunjuk Pengisian
a. Pengisian kuesioner dilakukan oleh mahasiswa kepaniteraan klinik yang sedang berada di Klinik Bedah Mulut FKG USU
b. Jawablah pertanyaan yang tersedia dengan melingkari jawaban yang dianggap benar
(2)
c. Seluruh pertanyaan harus dijawab
d. Setiap pertanyaan diisi dengan satu jawaban
LINGKARI JAWABAN PADA PILIHAN YANG TERSEDIA
1. Apakah pertanyaan yang anda tanyakan pada saat melakukan anamnesa? a. Data diri, riwayat penyakit, riwayat sakit gigi, riwayat alergi
b. Data diri dan riwayat sakit gigi c. Hanya riwayat sakit gigi
2. Pertanyaan apa yang akan anda tanyakan pada pasien jika didapatkan riwayat alergi?
a. Apa penyebab alergi tersebut
b. Gambaran terperinci gejala alergi tersebut c. Keparahan alergi
3. Apa yang anda lakukan jika menemui pasien yang dicurigai memiliki alergi obat?
a. Tidak melanjutkan tindakan
b. Melakukan skin test menggunakan obat yang dicurigai c. Melakukan tindakan tanpa menggunakan lokal anestesi
4. Apa yang anda lakukan pada pasien yang tidak memiliki riwayat alergi obat tetapi memiliki alergi lain seperti asma?
a. Tidak melanjutkan tindakan
b. Melanjutkan tindakan tanpa memikirkan alergi lain yang diderita pasien
(3)
5. Apakah dimaksud dengan alergi?
a. Merupakan reaksi hipersensitivitas
b. Reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast
c. Reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yang diakibatkan oleh mediasi sel T yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast
6. Ada berapa tipe reaksi hipersensitivitas yang anda ketahui? a. 2
b. 3 c. 4
7. Adakah bahan kedokteran gigi yang dapat menyebabkan reaksi alergi? a. Ada
b. Tidak ada c. Tidak tahu
8. Golongan anestesi lokal terbagi menjadi? a. 2 golongan
b. 3 golongan c. 4 golongan
(4)
9. Anestesi lokal golongan apakah yang sering menjadi penyebab reaksi anafilaksis?
a. Amida b. Ester
c. A dan B benar
10.Apa yang dimaksud dengan anafilaksis?
a. Merupakan keadaan mengancam nyawa yang disebut juga dengan alergi dan merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
b. Merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tidak mengancam nyawa c. Merupakan keadaan kegawatdaruratan medis
11.Manakah tanda atau gejala awal terjadinya anafilaksis? a. Kulit pucat, berkeringat, hipertensi dan gatal-gatal
b. Wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipotensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran
c. Wajah memerah, timbul ruam-ruam, hipertensi, terjadi gangguan pernapasan dan kehilangan kesadaran
12.Manakah manifestasi anafilaksis yang paling berbahaya?
a. Hilangnya kesadaran, obstruksi pernapasan dan kematian b. Edema laring, bronkospasme dan kolaps kardiovaskular c. Edema laring, obstruksi pernapasan dan kematian
13.Apa tindakan yang pertama kali harus dilakukan dalam penatalaksanaan anafilaksis?
a. Mengentikan tindakan dan pemeriksaan tanda vital pasien b. Menghentikan tindakan
(5)
c. Meminta bantuan
14.Menurut anda, pentingkah mengetahui penatalaksanaan anafilaksis? a. Penting
b. Tidak penting c. Tidak tahu
15.Jika terjadi anafilaktik seperti henti napas, apakah tindakan yang anda lakukan?
a. Memposisikan pasien sejajar dengan lantai b. Meminta bantuan dan melaksanakan RJPO
c. Memeriksa tanda vital pasien dan memberikan bau yang merangsang seperti alkohol
16.Menurut anda, obat manakah yang harus digunakan sebagai first choice dalam penatalaksanaan anafilaksis?
a. Epinefrin b. Kortikosteroid c. Antihistamin
17. Bagaimana seharusnya jalur pemberian obat epinefrin dilakukan jika terjadi syok anafilaktik di tempat praktik?
a. Secara intravena b. Secara intramuskular c. Secara intraoral
18.Menurut anda, berapakah dosis yang tepat untuk pemberian obat tersebut? a. 0,3-0,5 ml dengan interval waktu 20 menit
b. 2-10 ml dengan interval waktu 5-10 menit c. 0,2-0,5 ml dengan interval waktu 15 menit
19.Jika tindakan pertolongan pertama yang anda lakukan berhasil, apa yang anda lakukan?
a. Melanjutkan tindakan
(6)
c. Merujuk ke dokter lain
20.Jika tindakan pertolongan pertama yang anda lakukan tidak berhasil, apa yang anda lakukan?
a. Membawa pasien ke rumah sakit b. Menambah dosis obat