26
H. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Keaslian Penelitian
F. Kerangka teori
1. Konsep Welfare
2. Teori Utilitarianisme
3. Asas Sederhana Cepat dan Biaya Ringan
a. Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
1998 tentang Penyelesaian Perkara b.
Melalui Pasal 45a Ayat 2c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
2. Sumber Bahan Hukum
3. Pengumpulan Data
4. Alat Pengumpulan Data
5. Analisa Data
H. Sistematika Penulisan
BAB II
: PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Para Pihak Yang Berperkara
1. Penggugat
2. Tergugat
3. Pihak Ketiga Yang Berkepentingan
B. Kepentingan Dalam Pengajuan Gugatan
C. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
D. Prosedur Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara
1. Penelitian Administrasi
2. Kewenangan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
3. Persidangan
BAB III : UPAYA HUKUM, PEMBATASAN KASASI DAN TOLOK UKUR
PEJABAT DAERAH YANG JANGKAUANNYA HANYA BERLAKU DI DAERAH
A. Upaya Hukum
1. Upaya Hukum Biasa
2. Upaya Hukum Luar Biasa
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
27
B. Pembatasan Kasasi
C. Tolok Ukur Tentang Pejabat Daerah Yang Jangkauannya Hanya
Berlaku di Daerah 1.
Tentang Pembatasan Kasasi Vide Pasal 45a ayat 2c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004
2. Hambatan-Hambatan Berlakunya Ketentuan Pasal 45a Ayat
2c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
D. Sikap Mahkamah Agung Terhadap Ketentuan Pasal 45a Ayat 2c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985
1. Perkara Nomor 06G.TUN2005PTUN.PLG
2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung Nomor
15G2006 PTUN-BDG BAB
IV : ANALISA PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TUN INDONESIA
BAB V : PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN SARAN A.
Kesimpulan B.
Saran-saran DAFTAR PUSTAKA
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
28
BAB II PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Pengadilan Tata Usaha Negara juga disebut Pengadilan Administrasi Negara. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan keHakiman bagi rakyat mencari keadilan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara. Mengenai pengertian sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 Butir 4 :
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Pejabat Tata
Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
45
Sedangkan yang disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah selalu
Keputusan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud keputusan Tata Usaha Negara adalah diatur dalam Pasal 1 Butir 3 :
Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
46
45
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
46
Ibid.
28
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
29
Obyek gugatan yang diatur dalam Pasal 1 butir 3 selanjutnya diperluas, dimana Pejabat Tata Usaha Negara meskipun tidak mengeluarkan keputusan
dianggap telah mengeluakan keputusan yang sifatnya negatif hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 yang selengkapnya berbunyi : 1
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya maka hal
tersebutdisamakan dengan keputusan Tata usaha Negara.
2 Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon sedangkan waktub sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat maka Badan
atau Pejabat Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud.
3 Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat 2 maka stelah lewat jangka waktu 4 empat bulan sejak diterimanya Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan diangap telah mengeluarlan penolakan.
Jadi menurut ketentuan pasal ini Pejabat Tata uaha Negara meskipun tidak mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara dianggap telah mengeluarkan keputusan
yang isinya menolak apabila hal tersebut menjadi kewajibannya, setelah melewati jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan dasarnya atau telah lewat 4 empat
bulan sejak permohonan diterima, atau teleh melewati tnggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dimaksud.
Sehingga Pejabat Tata Usaha Negara meskipun tidak mengeluarkankeputusan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berinsi penolakan negatif fiktif,
sehingga ketentuan tersebut dianggap memperluas pengertian keputusan PejabatTata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986..
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
30
Selanjutnya hal hal yang membatasi atau mengurangi, hal ini meskipun telah memenuhi ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tetapi di kecualikan hal ini dapat digolongkan menjadi 2 dua :
1. Pembatasan langsung
Pembatasan ini menyebabkan Pengadilan Tata Usaha Negara sama sekali tidak berwenang, dalam hal ini Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985.: a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. b.
Keputusan Tata usaha Negara yang bersifat umum, c.
Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. d.
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum Pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan tata Usaha Negara mengenai tata Usaha Tentara Nasional
Indonesia. g.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun didarah mengenai hasil pemilihan umum.
Pembatasan juga diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 :dimana Pengadilan tidak
berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan
luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
31
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 2.
Pembatasan tidak langsung Pembatasan tidak langsung adalah pembatasan kompetensi absulut yang
masih terbuka kemungkinan Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat banding untuk memeriksa dan memutus sengketa administrasi dengan ketentuan bahwa
seluruh upaya administrasi telah ditempuh, pembatasan ini diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal 48
1 Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau berdasarkan perauran perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administrative sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata
Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2 Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagai dimaksud dalam ayat 1 jika seluruh upaya administatif yang bersangkutan telah digunakan.
Pasal 51 ayat 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Perubahan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 :
3 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa Tata Usaha Negaa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh orang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha
Negara, prosedur itu dilakukan di lingkungan pemerintah sendiri.
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
32
A. Para Pihak Yang Berperkara