79
2. Hambatan-Hambatan Berlakunya Ketentuan Pasal 45a Ayat 2c Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Pengaturan ketentuan Pasal 45a ayat 2c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
memberikan beban yang sangat berat kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, karena Ketua Pengadilan Tingkat Pertama diberi kewenangan untuk
menghentikan proses peradilan dengan alasan keputusan yang menjadi obyek sengketa berasal dari kewenangan daerah dan berlaku di daerah tersebut
menerbitkan surat keterangan bahwa perkara tersebut terkena pembatasan upaya hukum kasasi, dan tidak tersedia upaya hukum.
Ketentuan penghentian proses yang sedianya perkara masih tersedia upaya hukum kasasi serta merta ditiadakan oleh Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama dan tidak tersedia upaya hukum atas penetapan tersebut, di kemudian hari akan menimbulkan permasalahan, karena kriteria perkara Tata Usaha
Negara yang dikecualikan atas dasar ketentuan Pasal 45a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tidak secara tegas diatur. Apabila ternyata Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dalam
menentukan ukuran Pejabat Daerah yang mempunyai jangkauan kedaerahan terjadi perbedaan pendapat dengan para pihak yang merasa dirugikan maka
akan kesulitan untuk menyelesaikannya mengingat tidak tersedia upaya hukum atas penetapan ketua tesebut.
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
80
Mengenai bentuk penetapan yang diterbitkan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dalam praktek timbul perdebatan, apakah tepat apabila
menggunakan bentuk penetapan. Mahkamah Agung dalam keterangan Ketua Mahkamah Agung RI
pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat poin d, yaitu : d.
Permohonan kasasi yang tidak sesuai dengan pembatasan-pembatasan dan tidak memenuhi syarat formal.
Untuk sebagian, ketentuan ini pada dasarnya mengangkat kebijaksanaan Mahkamah Agung sudah lebih kurang 2 dua tahun
dijalankan. Namun hal yang perlu mendapat perhatian yang antara lain menyebutkan Ketua Peradilan Tingkat Pertama dengan sebuah ketetapan
menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima. Dalam tata peradilan yang baku, menyatakan suatu permohonan perkara “tidak dapat diterima neit
onvanklijk verklaard hanya dilakukan dalam suatu “putusan” vonis bukan “ketetapan”. Demikian pula mengenai menyatakan tidak diterima. Karena
menyangkut kasasi, hanya Mahkamah Agung yang dapat menyatakan suatu permohonan kasasi tidak dapat diterima bukan Ketua Pengadilan Tingkat
Pertama. Menyadari hal itu maka Mahkamah Agung dalam petunjuk, hanya menyatakan tidak meneruskan dengan alasan tidak memenuhi syarat
sebagaimana ditentukan undang-undang dalam kaitan dengan pembatasan, maka Ketua Pengadilan Pertama cukup menyatakan, surat permohonan kasasi
tidak diteruskan atas alasan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
79
79
Keterangan Ketua Mahkamah Agung RI pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat tanggal 23 September 2004, hal 8 s.d 9
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
81
Adanya petunjuk Mahkamah Agung tersebut maka bentuk penolakan kasasi tidak lagi menggunakan penetapan sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 45a Ayat 2 huruf c tetapi cukup dengan surat keterangan saja yang menyatakan permohonan kasasi tidak diteruskan.
Dengan surat keterangan dari Ketua Pengadilan Tingkat Pertama maka perkara yang dalam proses serta merta berhenti dan perkara menjadi
berkekuatan hukum tetap dan surat keterangan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama tidak tersedia upaya hukum. Hal ini perlu ada jalan keluar untuk
menjaga bilamana terjadi kekeliruan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dalam penerbitan surat keterangan yang isinya perkara tidak memenuhi syarat
formal untuk kasasi, mengingat Ketua Pengadilan juga manusia yang tidak lepas dari kekhilafankekeliruan.
Dalam Rakernas di Batam Tahun 2005 telah disepakati bahwa terhadap keberatan atas surat ketarangan tidak memenuhi syarat formal untuk
kasasi disediakan upaya hukum peninjauan kembali. Tetapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor
5 Tahuisini timbul persoalan hukum karena n 2004 Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 .D pengajuan peninjauan kembali disyaratkan
harus berdasarkan alasan yang diatur dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
82
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut : a.
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu; b.
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut; d.
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,
atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata; Syarat-syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat limitatif artinya
diluar syarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 67 undang-undang tersebut tidak diperkenankan.
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
83
Sehingga dari seluruh syarat yang ada yang dimungkinkan dapat dijadikan alasun untuk mengajukan peninjauan kembali adalah syarat yang
tercantum dalam butir f yakni apabila dalam putusan terdapat suatu kekeliruan Hakim atau kekeliruan yang nyata.
Setelah diperhatikan ternyata yang dimaksud kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
kekhilafan dan kekeliruan pada saat memutus perkara, sedangkan dalam surat keterangan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dalam menerbitkan surat
keterangan tidak dalam kapasitas memutus perkara sehingga sulit untuk dapat dijadikan alasan untuk peninjauan kembali.
Penerapan Pasal 45 ayat II huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Nomor 14 Tahun 1985 dalam praktek.
Dalam praktek persidangan di Peradilan Tata Usaha Negara ketentuan Pasal 45 ayat 2 huruf c sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, telah berjalan dengan baik di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara di seluruh
Indonesia, banyak putusan-putusan tingkat pertama yang tidak dapat dimintakan kasasi dan Pengadilan Tata Usaha Negara membuat surat
keterangan yang berisi bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tidak dapat diajukan kasasi karena menyangkut keputusan yang terkena
larangan kasasi.
Sulistyo : PENERAPAN SISTEM PERADILAN 2 DUA TINGKAT UNTUK PERADILAN TATA USAHA NEGARA STUDY TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG, 2008
84
D. Mahkamah Agung Terhadap Ketentuan Pasal 45a Ayat 2c Undang-Undang