Pengertian Perjanjian Asuransi Pada Umumnya

Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009

B. Pengertian Perjanjian Asuransi Pada Umumnya

Dari sudut pandang hukum, asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian kontrak yang timbal balik, karena memuat hak serta kewajiban antara pihak yang melimpahkan resiko tertanggung 53 dengan pihak yang menerima pelimpahan resiko penanggung, dan yang bermanfaat secara ekonomi bagi kedua pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. 54 Perjanjian asuransi, penanggung berjanji akan membayar kerugian yang disebabkan resiko yang telah diasuransikan kepada tertanggung, sedangkan tertanggung membayar premi secara periodik kepada penanggung. 55 Harus diingat, adalah setiap perjanjian itu merupakan suatu hubungan hukum, 56 Walaupun perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian khusus karena diatur tersendiri di dalam KUHD maka hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian itu akan dijamin oleh hukum dan Undang-Undang selama isinya tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan, serta memenuhi syarat-syarat sah perjanjian. 57 53 Yayasan Dharma Bumiputera, Op.Cit., Halaman 1 54 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta, Sinar Grafika,1992., Halaman 80 55 Herman Darmawi.,Manajemen Asuransi, Jakarta, Bumi Aksara, 2000., Halaman 2 56 Agus Prawoto, Hukum Asuransi Dan Kesehatan Perusahaan Asuransi Guide-line Untuk Membeli Polis Asuransi Yang Tepat Dari Perusahaan Asuransi Yang Benar, BPFE-Yogyakarta, 1995, Halaman 36 57 Amiruddin A. Wahab, Op.Cit., Halaman 20 , namun dalam hal-hal yang menyangkut syarat- syarat sahnya suatu perjanjian dan ketentuan-ketentuan umum lainnya, maka asuransi Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 tunduk pada hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Hal ini didasarkan atas Pasal 1 KUHD yang menyatakan, “bahwa KUHPerdata pun berlaku untuk hal- hal yang diatur dalam KHUD “. Beberapa Pasal penting mengenai perjanjian dalam KUHPerdata yang harus diperhatikan dalam perjanjian asuransi, seperti Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, yaitu : 1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3 Suatu hal tertentu; 4 Suatu sebab yang halal. Mengenai syarat-syarat sah perjanjian di atas, R. Subekti berkomentar : Dua syarat pertama disebut syarat subjektif, karena mengenai orangbadan hukum atau subyektif mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif, karena menyangkut obyek atau tujuan pihak yang mengadakan perjanjian. 58 Syarat pertama, adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian. Sepakat ini terjadi harus dengan sukarela atau dengan kata lain antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian asuransi harus ada persetujuan kehendak consensus toestemming 59 58 R. Subekti, Hukum Perjanjian, P.T. Intermasa, Jakarta, 1987, halaman 17. Lihat juga Mariam Darus Badruzaman., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, P.T. Citra Aditya Bakti, 2001, Halaman 73 59 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Pertanggungan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,, 1994, Halaman 21 . Dalam arti kata, kedua belah pihak sepakat dan menyetujui benda Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 atau objek yang diasuransikan. Apa yang dikehendaki oleh pihak tertanggung, dikehendaki juga oleh pihak penanggung. Dengan demikian, mereka sama-sama mengerti dan paham mengenai objek yang diasuransikan dan syarat-syarat yang diperjanjikan dalam polis asuransi. Asuransi jiwa, perhitungan mengenai umur dan identitas tertanggung agar selalu didasarkan pada sumber-sumber yang jelas, seperti akte kelahiran, akte pernikahan, paspor, kartu tanda penduduk, kartu keluarga atau bukti-bukti lain yang otentik. Syarat yang kedua, yaitu kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian asuransi harus berwenang, harus cakap melakukan perbuatan hukum bekwaam outhorized. Seorang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum, artinya bahwa ia berwenang berbuat dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Disamping itu, kedua belah pihak telah dewasa, sehat akal dan budi pekertinya serta tidak berada di bawah pengampuan curatele. Dan, jika pihak-pihak itu mewakili pihak lain, perlu menyatakan untuk keperluan siapa pertanggungan atau asuransi itu diadakan. Para pihak dalam perjanjian asuransi terdiri dari penanggung dan tertanggung . Pihak penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan kewajiban, dapat berstatus sebagai manusia pribadi, sekelompok manusia pribadi dan badan hukum. Tetapi khusus mengenai penanggung harus berstatus badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang menyatakan usaha Perasuransian hanya dapat diadakan oleh badan hukum yang berbentuk : a. Perusahaan Perseroan PERSERO b. Koperasi; c. Perseroan Terbatas; d. Usaha Bersama Mutual Syarat ketiga, sahnya suatu perjanjian menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, yang berarti harus ada obyek yang diperjanjikan. Mengenai objek dalam perjanjian asuransi atau pertanggungan, Abdulkadir Muhammad berkomentar: Dalam setiap pertanggungan harus ada objek pertanggungan yang serupa benda, jiwa manusia, raga manusia, atau kepentingan yang melekat pada benda, jiwa manusia, raga manusia voorwerpder verzekering, object of insurance. Karena yang mempertanggungkan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek pertanggungan itu. Dikatakan ada hubungan tidak langsung jika tertanggung hanya memiliki kepentingan atas objek pertanggungan. Mashudi berpendapat mengenai obyek asuransi ini terdapat kerancuan tentang pemakaian istilah obyek asuransi verzekerde voorwerp dan benda yang dipertanggungkan verekerde zaak dalam arti objek bahaya gevaars obyek Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 keruwetan dan kerancuan ini disebabkan oleh pemilihan dari kata-kata dari Undang- Undang sendiri. 60 Perjanjian asuransi jiwa merupakan perjanjian yang sah, tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan nilai-nilai kesusilaan, bahkan pendirian usaha perasuransian diatur dan diizinkan oleh Undang- Undang yang berlaku, dan telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Uraian di atas, jelaslah bahwa setiap perjanjian termasuk perjanjian asuransi atau pertanggungan diharuskan adanya objek tertentu yang diperjanjikan objek yang diasuransikan. Pengertian ini, objek pertanggungan ternyata tidak hanya benda, kepentingan yang melekat atas benda itu, atau sejumlah uang tetapi juga termasuk jiwa, raga manusia dan kepentingan yang melekat terhadapnya yang merupakan objek asuransi jiwa dan pihak tertanggung pun masih harus dapat membuktikan bahwa dia benar memiliki atau mempunyai kepentingan atas objek pertanggungan tersebut. Syarat keempat, suatu sebab yang halal atau sah menurut hukum, maksudnya diisyaratkan agar isi perjanjian asuransi itu, tidak tergantung dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPdt. Misalnya, mengadakan perjanjian asuransi jiwa, yang salah satu isinya mengasuransikan orang yang telah meninggal dunia, atau mengasuransikan pengiriman ganja. 60 H.Mashudi dan Moch.Chairi Ali., Hukum Asuransi, Bandung, Mandar Maju, 1983., Halaman 120 Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 tentang Usaha Perasuransian, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 481KMKD171999 tentang Kesehatan Kuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Jika syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian asuransi batal demi hukum nietig, null and void, yang berarti perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada hak yang bisa dituntut dan kewajiban yang harus dipenuhi. 61 Selanjutnya, mengenai para pihak dalam perjanjian asuransi jiwa H.M.N Purwosutjipto berpendapat sebagai berikut, “Para pihak dalam pertanggungan kerugian ada dua yaitu penanggung dan tertanggung. Tetapi dalam pertanggungan jiwa, pihak tertanggung dapat memenuhi diri menjadi dua bentuk, yaitu penutup pengambil asuransi dan penikmat”. Sedangkan apabila syarat-syarat sepakat dan kecakapan syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian asuransi itu dapat dibatalkan vernietigbaar, voidable. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang belum dewasa, dibawah pengampuan, pihak yang merasa dipaksa atau ditipu sewaktu membuat perjajian. 62 61 Munir Fuady, Hukum Kontrak, Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung, PT. Citra Aditya, 2001, Halaman 34 62 H.M.N. Purwosutjipto, Op.Cit., Halaman 142 Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 Kemudian, R. Ali Rido menjelaskan lebih lanjut mengenai pihak-pihak dalam perjanjian asuransi jiwa sebagai berikut: Pihak penanggung ialah pihak yang memberikan pembayaran uang pertanggungan bila terjadi kematian. Sedangkan pihak tertanggung ialah pihak yang mengadakan perjanjian asuransi dengan pihak penanggung. Pihak tertanggung biasanya disebut dengan istilah yang berbeda, seperti “pengambil asuransi” atau “pemegang polis” mode contractant. Pasal 304 2 KUHD, memakai istilah tertanggung. Ketentuan-ketentuan dalam KUHD, yaitu Pasal 302, 303, jo Pasal 304 2, memungkinkan adanya pihak ketiga dalam perjanjian asuransi jiwa, walaupun pada umumnya seseorang menutup perjanjian asuransi dengan mempertanggungkan jiwanya sendiri. 63 1 Penanggung ialah pihak yang berhak atas pembayaran premi dan berkewajiban untuk membayar sejumlah uang pertanggungan kepada tertanggung karena kematian atau peristiwa lain untuk berakhirnya masa perjanjian Pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa para pihak dalam perjanjian asuransi jiwa adalah: 64 2 Tertanggung ialah orang yang jiwanya dipertanggungkan, artinya pembayaran sejumlah uang yang telah diperjanjikan itu, digantungkan pada meninggal atau hidupnya orang tersebut. . Biasanya penanggung adalah perusahaan asuransi. 3 Pemegang polis atau pengambil asuransi yaitu orang yang menutup perjanjian asuransi dengan penanggung, jadi dialah yang berkewajiban untuk membayar 63 R. Ali Rido, Op.Cit, Halaman 183 64 Rilawadi Sahputra, Penghentian Pembayaran Premi Oleh Pemegang Polis Studi Kasus Pada Asuransi Jiwa Bersama BumiPutera 1912 Cabang Banda Aceh, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh, April, 2002, Halaman 21 Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 premi. Biasanya, pemegang polis merangkap sebagai tertanggung. Tetapi bisa juga terjadi pemegang polis bukanlah tertanggung. 4 Tertunjuk ialah orang siapa saja dapat asal ada kepentingan, ahli waris atau pihak ketiga, yang dalam polis memang ditunjuk sebagai pihak yang berhak menerima pembayaran sejumlah uang dari penanggung. Tetapi, dalam praktek perjanjian asuransi jiwa, yang menandatangani polis dokumen asuransi hanyalah antara pemegang polis dan penanggung Perusahaan Asuransi. Selanjutnya, setiap perjanjian menjadi Undang-undang yang harus dipatuhi oleh para pihak yang membuatnya, tidak terkecuali pada perjanjian asuransi, sebagai mana ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPdt, yaitu “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Konsekuensinya adalah, apabila para pihak dalam perjanjian asuransi telah menyepakati syarat-syarat yang terdapat dalam polis asuransi, maka menurut hukum mereka harus mematuhi dan melaksanakannya, sebagaimana layaknya seseorang yang harus mematuhi Undang-undang, tetapi syarat-syarat dalam polis asuransi tersebut hanya berlaku bagi pihak penanggung dan pemegang polis tertanggung. Semua perjanjian yang dibuat oleh penanggung dan tertanggung tertuang di dalam polis Asuransi, dimana telah diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan apabila dalam perjanjian tersebut salah satu pihak Wanprestasi ingkar Juni Surbakti : Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Pembayaran Klaim Studi Pada Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera 1912 Medan, 2009. USU Repository © 2009 janji maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak-pihak dan sanksi-sanksi hukum dapat diterapkan sesuai dengan hukum yang berlaku.

C. Para pihak dalam asuransi jiwa serta hak dan kewajibannya