Beban Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

17 mendasarkan kepada pendapat bahwa kebenaran tidak hanya diperoleh dari alat bukti tertentu, tetapi dari alat bukti mana saja pun harus diterima sebagai suatu kebenaran sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti, tidak disebut satu persatu. Ditinggalkannya sistem yang menyebut satu per satu alat bukti berdasar alasan, bahwa metode pembuktian yang mengikuti alat bukti yang enumeratif oleh UU dianggap tidak komplet. Metode itu tidak menyebut dan memasukkan alat bukti modern yang dihasilkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya, alat bukti elektronik electronic evidence, meliputi data elektronik electronic data, berkas elektronik electronic file, maupun segala bentuk sistem komputer yang dapat dibaca system computer readable form. 9

2.3. Beban Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

Dalam hukum acara perdata, pembuktian dilakukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim. Hakim yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian bewijslast, burden of proof. 10 Hal ini tercantum dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 R.Bg dan Pasal 1865 BW, yang berbunyi: “ Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk 9 Ibid, hlm. 555. 10 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 99. 18 membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu ” . 11 Kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Dalam pemeriksaan perkara perdata, penggugat wajib mebuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Pembagian beban pembuktian sangat menentukan jalannya peradilan. Jadi apabila salah satu pihak dibebani dengan pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam melakukan pembagian pembuktian. 12 Sehubungan dengan beban pembuktian dalam hukum acara perdata sebagaimana diuraikan di atas, kepustakaan yang distudi oleh Penulis membahas beberapa model pembagian beban pembuktian yaitu: model yang bersifat menguatkan belaka bloot affirmatief. Dengan model ini, yang dibebani pembuktian adalah pihak yang mengemukakan sesuatu. Sedangkan pihak yang membantah sama sekali tidak dibebani pembuktian. 13 Ada pendapat bahwa model itu tidak realistik dan sudah ditinggalkan. Sedangkam model berikutnya adalah beban pembuktian didasarkan pada hukum subjektif. Diajarkan bahwa yang dibuktikan itu adalah peristiwa-peristiwa, dimana peristiwa-peristiwa tersebut meliputi peristiwa umum dan peristiwa khusus yang menimbulkan hak rechtserzeugendetatsachen , menghalangi timbulnya hak rechtshindernde tatsachen , dan membatalkan hak rechtsvernichtende tatsachen . Jadi 11 Lihat uraian terdahulu, Pasal 1865 BW, hlm. 4, supra. 12 Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 99. 13 Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Op. Cit., hlm. 56. 19 siapa yang mendalilkan adanya peristiwa-peristiwa itu, atau membantahnya, maka pihak itulah yang harus membuktikannya, 14 menurut model tersebut. Pembagian beban pembuktian dalam hukum subyektif, seolah mendikte hakim agar kepada pihak berperkara pembuktian didasarkan kepada hukum objektif. Siapa yang mendalilkan suatu peristiwa maka ia harus membuktikan bahwa peristiwa itu telah memenuhi unsur-unsur hukum objektif yang mengaturnya. Demikian pula siapa yang membantahnya harus dibebani pembuktian bahwa bantahannya itu memenuhi unsur- unsur hukum objektif yang mengaturnya. 15 Sedangkan model beban pembuktian selanjutnya adalah kedua belah pihak wajib membuktikan kebenaran dalilnya. Dalam model itu, ada sanksi pidananya bagi pihak- pihak tersebut. Hakim diberi wewenang lebih besar dalam mencari kebenaran peristiwa yang menjadi pokok sengketa. 16 Akhirnya dalam pembagian beban pembuktian dengan model kepatuhan, hakim membagi beban pembuktian kepada pihak yang paling banyak mendalilkan hal-hal yang menyimpang dari kepatuhan menurut aturan dan pengalaman umum. 17 14 Ibid, hlm. 56. Bandingkan dengan uraian dalam hlm. 15. 15 Ibid, hlm. 57. 16 Ibid, hlm. 57. 17 Ibid, hlm. 57. 20

2.4. Alat-Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata