20
2.4. Alat-Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata
Alat bukti juga meliputi bahan-bahan barang bukti. Penulis yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara perdata di depan persidangan pengadilan.
18
Menurut hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, hakim hanya boleh mengambil
keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja.
19
Menurut Penulis kaedah ini juga termasuk sebagai alat bukti. Alat-alat bukti dalam acara perdata konvensional yang diatur dalam Pasal 164
HIR, Pasal 284 R.Bg dan 1866 BW yaitu: alat bukti tertulis, saksi, persangkaan- persangkaan, pengakuan dan sumpah. Berikut di bawah ini gambaran
20
menurut kepustakaan yang membicarakan tentang alat-alat bukti tersebut;
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi
tidak mengandung buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.
21
Untuk memastikan buah pikiran itu, menurut Penulis, dapat “dikejar” melalui pengakuan dari orang yang membuat surat tersebut sepanjang yang bersangkutan
masih hidup.
22
18
Ibid, hlm. 57.
19
Lihat uraian dalam hlm. 16.
20
Gambaran singkat mengenai hal ini juga telah Penulis kemukakan dalam Bab I karya tulis kesarjanaan ini, hlm. 6-8, supra.
21
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm 105.
22
Lihat pula catatan kaki no. 15 Skripsi ini, Bab I, hlm. 7, supra.
21
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta. Surat bukan akta adalah surat yang tidak
ada tanda tangannya. Sedangkan akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang
dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun
tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan
seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya.
23
Sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang
berkepentingan.
24
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.
25
Keterangan saksi yang diberikan di dalam persidangan harus mengenai peristiwa yang dialaminya sendiri, sedangkan dugaan bukan merupakan kesaksian. Kesaksian ini
diperlukan guna menguatkan tentang kebenaran dalil yang diajukan pihak yang
23
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 109.
24
Ibid, hlm. 110.
25
Ibid, hlm. 117.
22
berperkara sebagai dasar dari putusan hakim. Keterangan seorang saksi saja dengan tidak ada suatu alat bukti lain tidak dapat dipercayai di dalam hukum
unus testis nullus testis
. Alat bukti saksi mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya hakim bebas
memberikan penilaiannya atas kesaksian seseorangbeberapa orang yang diajukan di persidangan.
26
Persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditariknya suatu peristiwa yang sudah diketahui ke arah peristiwa yang belum diketahui.
Jadi, persangkaan merupakan alat bukti tidak langsung yang ditarik dari alat bukti lain, atau merupakan uraian hakim dengan mana hakim menyimpulkan dari fakta yang
terbukti ke arah fakta yang belum terbukti.
27
Pengakuan ialah suatu pernyataan lisantertulis dari salah satu pihak berperkara yang isinya membenarkan dalil lawan bagian sebagian atau seluruhnya.
28
Ada dua macam pengakuan Pasal 1923 BW, yaitu: pertama, pengakuan di muka hakim di depan
persidangan
Gerechtelijke bekentenis.
Pengakuan di sini ada yang diberikan secara tegas, sehingga memberikan kepastian kepada hakim. Ada juga pengakuan yang
diberikan secara diam-diam yang tidak memberikan kepastian kepada hakim, sehingga hakim bebas menilainya.
29
Kedua, Pengakuan di luar sidang, yaitu pengakuan yang
26
Bachtiar Effendie, S.H., Masdari Tasmin, S.H., dan A. Chodari, ADP, S.H., Op. Cit., hlm. 74.
27
Ibid, hlm. 77.
28
Ibid, hlm. 78.
29
Ibid, hlm. 78.
23
artinya suatu pernyataan pihak di luar sidang yang lainnya membenarkan dalil lawan sebagian atau seluruhnya.
30
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat
mahakuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh Tuhan. Jadi, pada hakekatnya sumpah
merupakan tidankan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan.
31
Sumpah ini ada tiga macam, yaitu:
pertama,
sumpah pelengkap
suppletoir.
Sumpah pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk
melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
32
Kedua
, sumpah pemutus
decisoir.
Sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Pihak yang minta lawannya
mengucapkan sumpah disebut
deferent
, sedang pihak yang harus bersumpah disebut
delaat.
33
Ketiga
, Sumpah Penaksiran
aestimatoir, schattingseed.
Sumpah penaksiran yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk
menentukan jumlah uang ganti kerugian.
34
Menurut Penulis, semua elemen pembuktian yang telah diuraikan di atas adalah alat bukti.
30
Ibid, hlm. 79.
31
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Op. Cit., hlm. 136.
32
Ibid, hlm. 137.
33
Ibid, hlm.138.
34
Ibid, hlm.138.
24
2.5. Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana