Metode Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

26

2.6. Metode Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana

Pertama, conviction-in time. Metode pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata- mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seseorang terdakwa semata- mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Menurut pendapat Penulis, hal seperti ini mungkin saja terjadi apabila hakim yang terbebas dari dugaan suap atau korupsi merasa yakin subyektifitas bahwa alat-alat bukti yang diajukan kepadanya adalah alat-alat bukti rekayasa untuk menghukum terdakwa yang tidak bersalah. Dalam metode pembuktian conviction-in time , sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata- mata atas “dasar keyakinan” hakim, suatu pandangan yang sangat rawan subyektifitas dan rawan abuse of power, 41 namun, hukum mengijinkan hal itu sebab hakim bertanggungjawab kepada Tuhan. Hal seperti ini juga, dalam kaitan dengan alat bukti lainnya dalam pembuktian dengan alat bukti lainnya dalam pembuktian Penulis sebut dengan alat bukti. Kedua, conviction-raisonee. Dengan alat ini pun dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan 41 M Yahya Harahap, S.H., Op. Cit., hlm. 277. 27 tetapi, di sini fakt or keyakinan hakim “dibatasi”. Pembatasan ini adalah bahwa keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Tegasnya, keyakinan hakim dengan alat ini, harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 42 Pandangan terhadap hukum ini agak sedikit sekuler, sebab mengandalkan sepenuhnya pada akal sehat yang umum atau commonsence . Ketiga, pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut alat ini menekankan bahwa “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim di sini, tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Alat bukti ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata- mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa memersoalkan keyakinan hakim. 43 Keempat, pembuktian menurut undang-undang secara negatif negatief wettelijk stelsel . Alat bukti ini merupakan cara antara alat pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time. Pembuktian ini merupakan keseimbangan antara dua cara yang terkesan saling bertolak belakang secara ekstrem. Dari keseimbangan tersebut, alat bukti ini terlihat seolah-olah 42 Ibid, hlm. 278. 43 Ibid, hlm. 278. 28 “menggabungkan” antara pembuktian menurut keyakinan dengan pembuktian menurut undang- undang secara positif. Rumusannya berbunyi: “salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan rumusan di atas, untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata- mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat- alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan sekaligus keterbuktian kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim. 44 Menurut Penulis, rumusan seperti ini terlihat tautologis dan retorik, sebab pada ujung-ujungnya dalam setiap pembuktian semuannya sangat bergantung kepada keyakinan hakim. Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP, yang berbun yi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari bunyi Pasal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa KUHAP menganut sistem “pembuktian undang-undang secara negatif”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk 44 Ibid, hlm. 279. 29 menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus: 45 kesalahannya terbukti dengan sekurang- kurangnya “dua alat bukti yang sah”; atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

2.7. Alat-alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana