Multikolinieritas Heteroskedastisitas Autokorelasi Uji Asumsi Klasik

tambahan jumlah variabel independen, maka R 2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu banyak peneliti menganjurkan untuk menggunakan nilai adjustedR 2 pada saat mengevaluasi mana model regresi terbaik. Tidak seperti R 2 , nilai adjusted R 2 dapat naik atau turun satu variabel independen ditambahkan kedalam model. Dalam kenyataan nilai adjusted R 2 dapat bernilai negatif, walaupun yang dikehendaki harus bernilai positif. Menurut Gujarati 2003 jika dalam uji emperis didapat nilai adjusted R 2 negatif, maka nilai adjusted R 2 dianggap bernilai nol. Secara matematis jika nilai R 2 = 1, maka nilai adjusted R 2 = R 2 = 1 sedangkan jika R 2 = 0, makaadjusted R 2 = 1-kn-k. jika K1 maka adjusted R 2 akan bernilai negatif.

3.5 Uji Asumsi Klasik

S ebelum dilakukan pengujian, terhaap hipotesis akan dilakukan pengujian penyimpangan klasik. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang digunakan dalam penelitian ini dinyatakan bebas dari penyimpanagn asumsi klasik. Uji asumsi klasik tersebut antara lain sebagai berikut:

3.5.1 Multikolinieritas

Salah satu model asumsi klasik adalah tidak terdapat multikolinearitas diantara variable dependen dan variabel independen dalam model regresi. Menurut Gujarati 2003 multikolinearitas berarti adanya hubungan sempurna Universitas Sumatera Utara atau pasti antara variabel independen dalam model regresi. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas di dalam model yaitu dengan: 1. Nilai R square R 2 yang dihasilkan oleh sutu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individu variabel-variabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi varaibel dependen. 2. Menganalisis matrik korelasi yang cukup tinggi umumnya di atas 9,0,s maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas. 3. Melihat nilai tolerance dan nilai variance inflation factor VIF. Suatu regresi bebas dari masalah multikolinearitas apabila nilai tolerance kurang dari 10 dan nilai VIF lebih dari 10.

3.5.2 Heteroskedastisitas

Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi tidak terjadi kesamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedasitisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah homokedastisitas atau tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk mendeteksi adanya gejala heterokedastisitas dalam model persamaan regresi digunakan metode gleyser. Metode ini melakukan regresi antara nilai absolut dari tiap variabel independen. Apabila koefisien regresi tersebut signifikan maka terdapat heterokedastisitas di dalam data. Gujarati Damondar, 2003. Universitas Sumatera Utara

3.5.3 Autokorelasi

Autokorelasi adalah terjadinya korelasi antara variabel error dengan variabel error yang lain. Autokorelasi seringkkali terjadi pada data time series dan dapat juga terjadi pada data cross section tetapi jarang Widarjono,2007. Adapun dampak dari adanya autokorelasi dalam regresi adalah sama dengan dampak dari heteroskedastisitas yang telah diuraikan diatas yaitu walaupun estimator OLS masih linier dan tidak bias, tetapi tidak lagi mempunyai variansi yang minimum dan menyebabkan perhitungan standar error metode OLS tidak bias dipercaya kebenarannya. Menurut Imam Ghozali 2002 uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 sebelumnya, dimana jika terjadi korelasi, maka indikasi masalah autokorelasi. Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan uji Breusch- Godfrey BG Test Gujarati 2003. Dimana koefisien autoregressive secara keseluruhan sama dengan nol, menunjukkan tidak terdapat autokorelasi pada setiap orde. Secara manual apabila X 2 tabel lebih besar dibandingkan nilai R- Square, maka model tersebut bebas autokorelasi. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kota Medan 4.1.1 Letak Geografis Kotamadya Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini merupakan wilayah yang subur di wilayah dataran tendah timur dari provinsi Sumatera utara dengan ketinggian berada di 22,5 meter dibawah permukaan laut. Kota ini dilalui oleh dua sungai yaitu sungai Babura yang bermuara di Selat Malaka. Secara geografis, Medan terletak pada 3,3 º -3,43 º LU dan 95,35 º -98,44 º BT dengan topografi cenderung miring ke utara. Sebelah barat dan timur Kota Medan berbatasan dengan Kabupaten Deli dan Serdang.Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka. Letak yang strategis ini menyebabkan Medan berkembang menjadi pintu gerbang kegiatan perdagangan barang dan jasa baik itu domestik maupun internasional.Kota Medan beriklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm per tahun. Suhu udara di Kota medan berada pada maksimum 32,4 º C dan minimum 24 º C. Kotamadya Medan memiliki 21 kecamatan dari 158 kelurahan. Adapun luas wilayah masing-masing kecamatan dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Universitas Sumatera Utara