Forest Fire Danger Rating System on Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, OKI District, South Sumatra

(1)

DI HTI PT SEBANGUN BUMI ANDALAS WOOD INDUSTRIES

KABUPATEN OKI, SUMATERA SELATAN

MUH TAUFIK

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

   

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan di HTI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industires Kabupaten OKI, Sumatera Selatan” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Muh Taufik NRP. F152080031

                       


(3)

MUH TAUFIK. Forest Fire Danger Rating System on Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, OKI District, South Sumatra. Under supervison of BUDI I. SETIAWAN, LILIK B. PRASETYO, and NORA H. PANDJAITAN.

KBDI could be used as a tool for early fire detection as it is capable of providing daily fire danger information. However, KBDI is not a good indicator of fire danger for region with climate and soil conditions different from Florida, USA where it was firstly developed. This study aimed to: (a) determine the optimum model parameters of KBDI for SBAWI, South Sumatra, (b) develop FDRS information systems based on Geographic Information System, and (c) apply KBDI model for other locations in the SBAWI. Several data were observed during period of 1 April 2009 – 11 May 2010 including rainfall, air temperature, water table depth, and soil water content in hourly basis. The data were used to obtain new, optimum KBDI parameter values for wetland in the region through optimization process. The process was done using Solver to obtain minimum of root mean square error (RMSE) between measured dryness index and KBDI calculation. The process produced several equations for calculating KBDI in the region. Water table depth was very critical for forest fire as it influences soil water content in upper soil layer. By maintaining water table depth at least 0,659 m, the fire danger in the region would be reduced. The results showed that if water table depth was more than 0.659 m, the KBDI would increase rapidly. The study developed FDRS information system that provided several facilities among others for: (a) calculating KBDI at other stations in the region, (b) providing information about spatial distribution of fire danger at 1 km resolution, (c) updating daily observed data, and (d) providing information of daily charts of rainfall, KBDI, air temperature and water table depth. Overall the FDRS information system was able to detect fire danger level throughout the SBAWI region.


(4)

MUH TAUFIK. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan di HTI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. Dibimbing oleh BUDI I. SETIAWAN, LILIK B. PRASETYO, dan NORA H. PANDJAITAN.

Kelembaban tanah sangat berpengaruh terhadap kekeringan bahan bakar di hutan. Secara ilmiah sangat menarik untuk mengetahui bagaimana kandungan air tanah dapat mempengaruhi kejadian kebakaran hutan, bagaimana mengembangkan metode peringkat kebakaran hutan yang efektif untuk deteksi potensi kebakaran hutan di lahan basah, dan dengan cara bagaimana teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diintegrasikan dalam mengembangkan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan. KBDI adalah indeks kekeringan yang dikembangkan untuk pengendalian kebakaran hutan. KBDI dapat digunakan sebagai alat untuk deteksi dini kebakaran karena informasi yang dihasilkan berupa informasi harian bahaya kebakaran hutan. Nilai KBDI ditentukan oleh faktor kekeringan, nilai KBDI hari sebelumnya dan faktor curah hujan. Pada kondisi iklim dan tanah yang berbeda, KBDI tidak bisa menjadi indikator kebakaran hutan yang akurat. Penelitian ini dilakukan di lahan basah di kawasan HTI Sebangun Bumi Andalas dengan tujuan untuk: (a) menentukan parameter model KBDI yang optimum untuk kawasan HTI – SBAWI, Sumatra Selatan, (b) menyusun sistem informasi FDRS di HTI – SBAWI berbasis Sistem Informasi Geografis, dan (c) menerapkan model KBDI di lokasi lain di kawasan HTI – SBAWI.

Penelitian ini menggunakan data pengamatan jam-jaman yang meliputi data: curah hujan, suhu udara maskimum, kedalaman muka air tanah (MAT) dan kadar air tanah (KAT) pada periode pengamatan 1 April 2009 – 11 Mei 2010. Data tersebut diolah untuk mendapatkan data harian yang digunakan untuk mengembangkan model KBDI di lahan basah. Parameter KBDI yang optimum diperoleh melalui proses optimisasi dengan Solver untuk memperoleh nilai error

yang minimum dari data indeks kekeringan pengukuran ( ) dan data model KBDI . Nilai Indeks kekeringan diperoleh dari pengukuran KAT yang dinyatakan dalam kisaran nilai 0 – 2000. Nilai 0 berarti KAT pada titik layu permanen sedangkan 2000 berarti KAT pada kondisi jenuh. Proses kalibrasi hasil model KBDI dilakukan untuk mendapatkan nilai KBDI untuk Stasiun HQ Baung yang selanjutnya dinyatakan dalam empat kelas kriteria bahaya kebakaran.

Informasi bahaya kebakaran di HTI – SBAWI lebih menarik disajikan secara spasial dengan integrasi SIG ke dalam sistem informasi FDRS. Sebanyak sembilan titik stasiun digunakan untuk mendapatkan informasi spasial bahaya kebakaran di kawasan dengan teknik inverse distance weight. Perhitungan KBDI di stasiun lain menggunakan persamaan KBDI yang dihasilkan dari proses optimisasi parameter untuk Stasiun HQ Baung dengan input data pengamatan harian curah hujan, suhu udara maksimum, dan MAT yang diamati secara manual. Sistem informasi FDRS dikembangkan dengan program Ms. Visual Basic 6 dan


(5)

Curah hujan selama periode pengamatan lapang (406 hari) di Stasiun HQ Baung sebesar 2854 mm dengan curah hujan harian tertinggi sebesar 107 mm. Pola curah hujan mengikuti tipe monsun dengan musim penghujan jatuh pada bulan November – April, dan musim kemarau pada bulan Mei – Oktober. Pola suhu udara maksimum mengikuti pola curah hujan dimana pada musim hujan, suhu udara cenderung lebih rendah. Kisaran suhu udara maksimum yang tercatat yaitu antara 26,6 – 34,9 0C. Fluktuasi KAT dan kedalaman MAT di Stasiun HQ Baung muka air tanah mengikuti pola curah hujan. KAT pada kisaran 0,289 m3/m3 hingga 0,627 m3/m3. Pada musim kemarau antara bulan Juli – September, MAT turun hingga mendekati kedalaman 1 m.

Proses optimisasi parameter menghasilkan persamaan baru untuk menghitung faktor kekeringan, faktor curah hujan dan faktor muka air tanah. Persamaan untuk menghitung faktor kekeringan (dQ) dan KBDI ( di Stasiun HQ Baung yaitu:

, , , ,

, ,

,

Persamaan tersebut kemudian digunakan untuk menghitung KBDI di stasiun lain di HTI SBAWI.

Penelitian ini mendapatkan kedalaman MAT yang efektif dalam mengurangi nilai KBDI yaitu pada kedalaman MAT di atas 0,659 m. Pada kedalaman di atas 0,659 m menyebabkan faktor MAT ( ) bernilai negatif sehingga meningkatkan nilai KBDI. Nilai maksimum sebesar 102 angka sama dengan nilai faktor hujan maksimum. Kedalaman muka air tanah merupakan variabel yang dapat dikelola dalam pengelolaan hutan. Dengan mampu mempertahankan kedalaman MAT hutan pada level di atas 0,659 m maka bahaya kebakaran dapat ditekan.

Informasi penting dari dinamika KBDI harian yaitu laju peningkatan KBDI yang diperoleh dengan analisis kurva intensitas waktu (time intensity curve). Laju peningkatan KBDI yaitu sebesar 12/hari. Dengan informasi ini pengelola hutan dapat merencanakan kegiatan untuk mengantisipasi dan atau mengurangi laju peningkatan KBDI. Pengelolaan air merupakan kegiatan yang bisa dilakukan seperti dengan: teknik pembendungan air di kanal untuk mengurangi hilangnya air lahan pada musim kemarau, dan meningkatkan tinggi dari muka air di kanal di sekitar lahan.

Sistem informasi FDRS yang diperoleh digunakan untuk menghitung KBDI di stasiun lain di HTI – SBAWI dengan parameter dan persamaan yang dihasilkan dari Stasiun HQ Baung. Sistem ini mampu memberikan informasi spasial bahaya kebakaran hutan dengan resolusi 1 km. Sistem FDRS lebih menarik dengan adanya fasilitas untuk input data harian dimana setiap ada perubahan data, sistem akan melakukan perhitungan KBDI di stasiun terpilih. Dari hasil pengamatan sistem ini mampu dengan akurat mendeteksi dini bahaya kebakaran hutan di seluruh kawasan HTI – SBAWI.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

KABUPATEN OKI, SUMATERA SELATAN

 

               

MUH TAUFIK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

di HTI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Indutries, Kabupaten OKI, Sumatera Selatan

Nama : Muh Taufik

NIM : F152080031

Program Studi : Teknik Sipil dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Budi I. Setiawan, MAgr. Ketua

Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, MSc. Anggota

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS. Tanggal Ujian: 30 Juli 2010 Tanggal Lulus:


(10)

Kebakaran hutan merupakan problem tahunan yang terjadi di wilayah ekuator dengan perbedaan musim kemarau dan musim hujan yang jelas. Sistem informasi tentang potensi kebakaran hutan dalam bentuk informasi spasial sangat diperlukan dalam mengantisipasi kejadian kebakaran. Dalam penelitian ini, disusun sistem peringkat bahaya kebakaran hutan untuk kondisi lahan basah. Diharapkan, hasil penelitian ini dapat menyediakan sistem informasi spasial tentang peringkat bahaya kebakaran hutan di HTI SBAWI, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan.

Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Budi I. Setiawan sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Lilik B. Prasetyo dan Dr. Nora H. Pandjaitan sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, masukan dan saran dalam penelitian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan untuk I Putu Santikayasa, M.Sc. yang banyak memberikan pengajaran dalam penyusunan sistem informasi FDRS. Kepada PT SBA terutama rekan-rekan di

Research and Development Department (RDD) yaitu Mas Andrean, Efra, Ali,

Slamet, dan Safiq, disampaikan penghargaan atas kerjasama dan bantuan yang diberikan. Untuk sahabat di SBAWI, Bapak Miran di Bagian Fire Protection

Department, terima kasih atas kerjasama yang telah diberikan, juga kepada

rekan-rekan lain di SBAWI yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu.

Penulis sangat berterima kasih untuk istriku tercinta Hermi dan putri kecilku Hana yang telah meluangkan waktu bersama. Untuk waktu bersama keluarga yang banyak tersita dalam penyusunan laporan ini, saya sampaikan permohonan maaf yang tulus. Untuk teman-teman angkatan I SIL: Tusi, Dona, Titin, Suci dan Wakhid, terima kasih banyak atas kerjasamanya selama ini. Akhirnya Penulis sampaikan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa atas selesainya laporan penelitian ini.

Bogor, Agustus 2010


(11)

Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 3 Maret 1981 sebagai anak ke-4 dari enam bersaudara dari Ayah Asrodi dan Ibu Sudarmi. Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri I Bae Kudus dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan IPA, dan menyelesaikan studi S1 pada tahun 2003. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan ke program magister pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan – FATETA IPB pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIKTI Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Selama mengikuti program S2, penulis pernah mengikuti short course

tentang GeonetCast ToolBox yang diselenggarakan oleh LabMath Indonesia dan ITC-UTWENTE. Penulis juga mengikuti research workshop tentang Satellite

Based Water Balance Computation and Modeling yang diselenggarakan oleh

lembaga yang sama.

Penulis bekerja sebagai Asisten Peneliti pada Laboratorium Hidrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi – IPB sejak lulus program S1. Minat penelitian pada bidang sumberdaya air, fungsi hidrologi DAS dan perubahan iklim terkait dengan sumberdaya air. Saat ini Penulis bekerja sebagai Dosen pada Departemen Geofisika dan Meteorologi – IPB. Sejak tahun 2009, Penulis aktif sebagai anggota Tim Redaksi Jurnal Agrometeorologi yang diterbitkan oleh Himpunan Profesi Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).


(12)

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR ISTILAH DAN SIMBOL ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Kekeringan... 4

2.2. Kebakaran Hutan ... 5

2.3. KBDI ... 7

2.4. Perkembangan Model KBDI ... 9

2.5. Integrasi SIG untuk Monitoring Kekeringan ... 12

III. METODE PENELITIAN ... 13

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 13

3.2. Bahan dan Alat ... 14

3.3. Monitoring Data Cuaca, Kandungan Air Tanah dan Water ... 14

3.4. Pengembangan Model Modified-KBDI ... 15

3.5. Pengembangan Sistem Informasi FDRS ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian... 21

4.2. Pengaruh Hujan terhadap Dinamika KAT dan MAT ... 23


(13)

4.6. Sistem Informasi FDRS ... 34

V. KESIMPULAN ... 40

5.1. Kesimpulan ... 40

5.2. Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 46


(14)

Halaman 

1. Rincian kebakaran pada tahun 1997 di Sumatera Selatan ... 7 

2. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan ... 10 

3. Perkembangan nilai faktor hujan dalam KBDI ... 11 

4. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan KBDI ... 16 

5. Metode untuk menghitung faktor hujan dan muka air tanah ... 17 

6. Kelas Indeks Bahaya Kebakaran ... 18 

7. Hasil optimasi parameter KBDI ... 26 

8. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 1 ... 29 

9. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 2. ... 29 

10. Jumlah kelas bahaya kebakaran Model 1 dan Model 2. ... 29 

11. Pengelolaan air berdasarkan kelas KBDI ... 34   

                               


(15)

1. Peta lokasi HTI-SBAWI di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan. ... 13

2. Curah hujan bulanan di Stasiun HQ Baung, HTI - SBAWI, OKI – Sumsel. (untuk bulan Mei 2010 hanya 11 hari pengamatan) ... 21

3. Dinamika harian (a) curah hujan, (b) suhu udara maksimum, (c) KAT, dan (d) MAT di Stasiun HQ Baung, HTI-SBAWI. ... 22

4. Grafik hubungan antara dengan curah hujan untuk Model 1 dan Model 2. ... 27

5. Pengaruh MAT terhadap Indeks KBDI pada Model 1 dan Model 2. ... 27

6. Curah hujan dan KBDI harian di Sungai Baung. ... 28

7. Kurva intensitas waktu KBDI harian di Sungai Baung untuk Model 1 ... 32

8. Modul Utama sistem Informasi FDRS ... 35

9. Sebaran spasial KBDI pada tanggal 1 Januari 2010 di HTI-SBAWI. ... 36

10. Tampilan modul update data untuk lokasi Stasiun S. Beyuku ... 37

11. Grafik harian KBDI untuk Lokasi Stasiun Bagan Rame. ... 38

12. Tabulasi perhitungan KBDI untuk lokasi Sungai Riding ... 39

                               


(16)

Halaman

1 Penggunaan model KBDI dari berbagai sumber ... 47 

2 Contoh format data dalam Ms. Excel ... 50 

3 Tabulasi perhitungan KBDI di Stasiun HQ Baung untuk Model 1 ... 51 


(17)

DAFTAR ISTILAH

FDRS Fire Danger Rating System HTI Hutan Tanaman Industri IDW Inverse Distance Weight

KAT Kadar Air Tanah

KBDI Keetch Byram Drought Index

MAT Muka Air Tanah

SBAWI PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries

SIG Sistem Informasi Geografis

DAFTAR SIMBOL

Simbol Keterangan Dimensi

Nilai KBDI pada saat t -

Nilai KBDI hari sebelumnya -

Faktor kekeringan KBDI -

Faktor curah hujan -

Faktor kedalaman muka air tanah - , Parameter faktor muka air tanah - Kadar air tanah residu, dihitung sebagai titik layu

permanen

m3/m3 Kadar air tanah jenuh m3/m3 Hisapan matriks dalam hal ini kedalaman muka air

tanah

m , n, m Parameter Genucthen berturutan besarnya adalah

0,122; 1,811; 0,153

- Indeks kekeringan hasil pengukuran kadar air tanah - Nilai maksimum KBDI sebesar 2000 - , , , Parameter suhu udara maksimum dalam

perhitungan faktor kekeringan

- , Parameter curah hujan tahunan dalam perhitungan

faktor kekeringan


(18)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kandungan air pada tanah lapisan atas sangat penting dalam menekan terjadinya kebakaran hutan. Permukaan tanah hutan kaya akan serasah dan kayu yang rentan terhadap kebakaran pada kondisi kering. Pada musim kemarau dimana tanah hutan lapisan atas mengandung sedikit air menjadikan kawasan hutan sangat rentan terhadap kebakaran. Kondisi tersebut semakin parah dan rentan pada kondisi fisiografis tanah gambut. Keadaan tersebut secara nyata selalu terjadi di hutan hujan tropis P. Sumatera yang bertanah gambut. Pada periode musim kemarau dimana curah hujan rendah, potensi kemunculan titik api pada kawasan hutan ini sangat tinggi yang menyebabkan frekuensi kebakaran hutan meningkat. Secara ilmiah sangat menarik untuk mengetahui bagaimana kandungan air tanah dapat mempengaruhi kejadian kebakaran hutan, bagaimana mengembangkan metode peringkat kebakaran hutan yang efektif untuk deteksi potensi kebakaran hutan di lahan basah, dan dengan cara bagaimana teknologi SIG dapat diintegrasikan dalam mengembangkan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan.

Kebakaran hutan memberikan dampak yang luar biasa terhadap lingkungan yang dapat memicu terjadinya degradasi hutan. Pada musim kemarau, Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor asap karena seringnya kejadian kebakaran hutan di P. Sumatera dan P. Kalimantan. Schweithhelm dan Glover (2002) mengemukakan potensi kebakaran hutan tergantung pada tingkat bahaya api (fire

danger) dan resiko api (fire risk). Bahaya api adalah suatu ukuran tentang jumlah,

jenis, dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Sedangkan resiko api adalah ukuran kemungkinan tersulutnya api yang secara umum berhubungan dengan tindakan manusia. Kawasan hutan tanaman industri yang berkembang pesat di P. Sumatera sangat rentan dengan kejadian kebakaran hutan mengingat fisiografi tanah didominasi oleh gambut. Gambut merupakan jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Dengan karakteristik tersebut potensi kebakaran hutan pada tanah gambut sangat tinggi.


(19)

Dampak kebakaran lahan gambut lebih mengerikan daripada lahan kering yang lain karena menciptakan asap tebal dan emisi karbon yang tinggi

Untuk mengetahui potensi kekeringan pada lahan hutan, Keetch dan Byram (1968) di Amerika mengembangkan indeks kekeringan (drought index) yaitu angka yang mewakili pengaruh evapotranspirasi dan presipitasi terhadap defisiensi kelembaban kumulatif pada lapisan atas tanah untuk mengontrol kebakaran hutan. Untuk penggunaan di Indonesia, Keetch Byram Drought Index

(KBDI) sebagai sistem peringkat kebakaran hutan perlu dimodifikasi mengingat adanya perbedaan jenis iklim, tanah dan kondisi fisiografis kawasan hutan di Indonesia dengan di Amerika Serikta.

Pada periode el-nino 1997, bencana kebakaran hutan tropis gambut yang melanda kawasan hutan di Sumatera Selatan telah menyebabkan degradasi hutan yang parah dengan akumulasi bahan bakar yang tinggi. Kondisi ini menyebabkan tingkat bahaya api yang tinggi dan menyebabkan kerentanan kebakaran hutan meskipun pada musim kering yang normal. Untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran hutan perlu dikembangkan suatu sistem peringatan dini bahaya kebakaran dengan tujuan dapat menumbuhkan kesadaran yang lebih besar bagi masyarakat, pengelola HTI dan instansi terkait, tentang potensi kebakaran hutan dan agar respon untuk mencegah, mengurangi dan menanggulangi kebakaran lebih baik di masa yang akan datang. Sistem peringatan dini dapat diaplikasikan dalam bentuk sistem peringkat bahaya kebakaran hutan (Fire Danger Rating

System, FDRS).

Pengembangan FDRS pada lahan gambut tropis merupakan suatu tantangan. Dinamika kekeringan dalam skala ruang dan waktu perlu dipertimbangkan dalam prediksi dan monitoring dampak kekeringan di suatu wilayah. Oleh karena itu perlu memperbaiki alat dan ketersediaan data untuk pemetaan dan monitoring fenomena tersebut. Integrasi teknologi SIG ke dalam sistem peringkat bahaya kebakaran hutan diperlukan untuk melihat penyebaran kekeringan pada lahan hutan secara spasial. Penelitian ini berupaya untuk mencoba menjawab permasalahan tersebut dengan studi kasus di HTI-SBAWI yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.


(20)

1.2. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk:

a. Menentukan parameter model KBDI yang optimum untuk kawasan HTI – SBAWI, Sumatra Selatan.

b. Menyusun sistem informasi FDRS di HTI – SBAWI berbasis Sistem Informasi Geografis


(21)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekeringan

Kekeringan adalah suatu periode dalam kurun bulan atau tahun dimana suatu daerah kekurangan air. Sumber utama dari ketersediaan air yaitu curah hujan. Jika curah hujan yang diterima suatu wilayah secara konsisten lebih rendah dari jumlah evapotranspirasi maka akan terjadi kekeringan dan dalam jangka panjang akan terbentuk pola iklim kering/arid. Kekeringan berdampak pada sendi-sendi kehidupan masyarakat terutama terkait dengan ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan dapat menjadi pemicu migrasi. Kegiatan manusia dapat menjadi faktor pemicu terjadinya kekeringan seperti pemberian irigasi yang berlebihan dan kegiatan deforestasi. Kekeringan merupakan fenomena alam yang bervariasi dalam skala ruang dan waktu sesuai dengan variabilitas iklim. Pada kondisi lahan hutan yang kaya akan serasah, bahan organik dan kayu bakar, kekeringan dapat menimbulkan masalah yang serius berupa kebakaran hutan. Kekeringan pada lapisan atas tanah menyebabkan peningkatan jumlah bahan bakar potensial yang rentan terhadap sulutan api.

Secara konseptual, Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional University of Nebraska mendefiniskan tiga tipe kekeringan (Gutzler 2003): (a) kekeringan meteorologi, yaitu kondisi dengan periode yang panjang curah hujan lebih rendah dari curah hujan normal; (b) kekeringan pertanian, yaitu terjadi stress air pada tanaman; dan (c) kekeringan hidrologi, yaitu kekurangan suplai air permukaan. Selain definisi konseptual, terdapat definisi operasional yang menggunakan indeks kekeringan sehingga lebih mudah dan bersifat aplikabel. Definisi operasional lebih penting karena berguna untuk menentukan awal, keparahan, sebaran spasial, dan akhir dari keadaan kekeringan. Indeks kekeringan yang dikenal antara lain:

the Palmer Drought Severity Index (PDSI), Crop Moisture Index (CMI), dan

Standardized Precipitation Index (SPI). Indeks menggabungkan informasi hujan,

kelembaban tanah, atau pasokan air di suatu wilayah.

Kekeringan terkait dengan kandungan air dalam tanah. Berdasarkan kandungan air tanah, regim evapotranspirasi dapat digolongkan menjadi tiga (Seneviratne et al. 2010) yaitu:


(22)

 Regim kelembaban tanah basah ( ). Pada regim ini, evapotranspirasi tidak sensitif terhadap kelembaban tanah. Sebaliknya limpasan permukaan sangat terpengaruh meskipun dengan variasi curah hujan rendah.

 Regim kelembaban tanah transisional ( ). Pada regim ini evapotranspirasi sensitif terhadap kelembaban tanah.

 Regim kelembaban tanah kering ( ). Pada regim ini evapotranspirasi sangat sensitif terhadap kelembaban tanah meskipun sangat terbatas karena kondisi kering.

2.2. Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dapat terjadi karena tersedianya bahan bakar yang cukup di dalam hutan. Ketersediaan bahan bakar dipengaruhi faktor iklim berupa curah hujan dan suhu udara dengan pengaruh berbeda. Adanya hujan akan meningkatkan kelembaban tanah sehingga jumlah bahan bakar berkurang, sedangkan peningkatan suhu udara akan meningkatkan kekeringan tanah bagian atas sehingga jumlah bahan bakar meningkat. Fenomena ini terjadi di kawasan hutan hujan tropis basah Sumatera Selatan. Kawasan hutan basah yang sebagian merupakan lahan gambut selalu mengalami penurunan muka air yang signifikan sehingga mengakibatkan kekeringan pada musim kemarau. Kondisi ini ideal untuk terjadinya kebakaran mengingat bahan bakar yang tersedia melimpah. Kandungan air pada bahan bakar merupakan faktor utama yang menentukan berapa banyak bahan bakar yang akan terbakar. Pada lahan gambut, kekeringan menyebabkan gambut tercerai berai dan rentan terhadap sulutan api.

Fenomena kekeringan pada lahan basah yang berpotensi menimbulkan kebakaran mendapatkan tekanan tambahan berupa pembakaran hutan karena alasan ekonomi dan kebutuhan hidup rumah tangga. Masyarakat lokal menggunakan pembakaran sebagai alat untuk mendapatkan akses sumberdaya alam (Chokkalingam et al. 2004) seperti; untuk mendapatkan kayu komersial, untuk keperluan mencari ikan yang terjebak dalam rawa yang kering, dan untuk keperluan pertanian padi sonor. Cara pembakaran yang digunakan sering tidak


(23)

terkontrol sehingga menyebar ke berbagai kawasan hutan. Setijono (2004) menguraikan kegiatan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir terkait dengan pembakaran lahan sebagai berikut:

 Budaya pembakaran ladang di darat

Dilakukan dengan cara pembakaran terkendali untuk pembukaan atau peremajaan pada kebun karet. Kegiatan ini dilakukan di Kecamatan Tulung Selapan dan Pampangan. Tradisi pembakaran terkendali berlangsung pada desa-desa yang telah berkembang khususnya di daerah darat yang memiliki tata kepemilikan lahan dengan batas yang jelas. Pada sistem ini diberlakukan sistem sanksi jika pembakaran lahan menyebabkan kebakaran di lahan orang lain. Sanksi dapat berupa denda uang dan memelihara lahan.

 Budaya pembakaran lahan rawa gambut untuk sawah sonor

Musim kemarau menyebabkan penurunan air pada lahan rawa secara drastis. Dengan sistem pembakaran, lahan rawa yang kering siap ditanami untuk lahan pertanian. Masyarakat lokal biasanya menanam padi dengan cara ditugal agar padi memiliki perakaran yang dalam. Untuk mempercepat pengeringan rawa, masyarakat biasanya membangun kanal-kanal drainase. Pembakaran dapat meningkatkan pH lahan gambut, dan membunuh hama dan penyakit.

 Budaya pembakaran lahan rawa gambut untuk mencari ikan

Pembakaran dilakukan pada musim kemarau ketika akses terhadap ikan sulit karena air sungai yang surut. Dengan pembakaran, nelayan dapat menemukan lebak/cekungan rawa yang masih ada air tempat ikan terjebak. Penggunaan api yang tidak terkontrol telah menimbulkan kebakaran yang parah di lahan basah Sumatera Selatan. Kebakaran yang berulang-ulang telah menjadi ancaman besar bagi konservasi lahan basah, pemanfaatan yang lestari dan pemulihan areal yang rusak. Kebakaran pada lahan gambut menimbulkan masalah asap, kesehatan dan jarak pandang di wilayah Asean. Tacconi (2003) menyebutkan kebakaran yang terjadi pada tahun El-Nino 1997 di Sumatera


(24)

Selatan seluas 2,798 jt ha dengan prosentasi kebakaran pada lahan non-hutan dan hutan berturut-turut sebesar 75% dan 25% (Tabel 1).

Tabel 1. Rincian kebakaran pada tahun 1997 di Sumatera Selatan Status lahan dan tataguna lahan Kawasan yang terbakar

Ha % Lahan non-hutan

 Kebakaran yang dikendalikan

 Kebakaran yang tidak dikendalikan

2.097.050

1.501.000 596.050

75

54 21 Lahan hutan

 Kebakaran yang dikendalikan

 Kebakaran yang tidak dikendalikan

700.988

70.000 630.988

25

2.5 22.5 Total kebakaran yang dikendalikan

Total kebakaran yang tidak dikendalikan

1.571.000 1.227.038

56 44

Total kebakaran 2.798.038 100

Sumber: Tacconi (2003)

Untuk mengatasi kebakaran dapat dilakukan prediksi daerah kekeringan yang rawan kebakaran. Untuk mengurangi dampak dari kekeringan diperlukan pengembangan kemampuan untuk meramal karakteristik dari kekeringan yang meliputi: durasi kekeringan, intensitas kekeringan (tingkat keparahan) dan periode ulang dari kekeringan tersebut.

2.3. KBDI

Potensi kebakaran lahan hutan dapat dinilai dengan menggunakan data jangka panjang (statis) dan data jangka pendek (dinamis) atau dengan integrasi keduanya yang menghasilkan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan. Indeks kebakaran yang dinamis dibangun berdasarkan variabel meteorologi dan kondisi aktual vegetasi (Snyder et al. 2006) yaitu kondisi kelembaban tanah dan struktur vegetasi yang berpengaruh terhadap kemunculan dan penyebaran api. KBDI merupakan indeks kekeringan meteorologi untuk menilai defisiensi kelembaban tanah hutan. KBDI dikembangkan JJ Keetch dan GM Byram pada tahun 1968 di


(25)

Florida untuk menentukan potensi kebakaran hutan. Nilai indeks kekeringan berkisar pada angka 0-800, dimana indeks 0 berarti tidak ada defesiensi kelembaban dan indeks 800 menunjukkan tanah dalam kondisi kering. Indeks dihitung harian berdasarkan data pengukuran suhu udara maksimum dan curah hujan harian. KBDI mampu menggambarkan ketersediaan bahan bakar dan juga menggambarkan defisit air pada tanaman hidup (Xanthopoulos et al. 2008). Dalam pengembangan indeks, Keetch dan Byram (1968) menggunakan beberapa asumsi:

a. Tingkat kehilangan kelembaban tanah di area berhutan akan bergantung pada kerapatan tutupan vegetasi. Kerapatan vegetasi merupakan fungsi curah hujan tahunan rata-rata.

b. Hubungan curah hujan-vegetasi diduga dengan kurva eksponensial dimana tingkat hilangnya kelembaban adalah fungsi curah hujan tahunan rata-rata, sehingga penurunan curah hujan tahunan rata-rata menyebabkan penurunan kerapatan vegetasi.

c. Tingkat kehilangan kelembaban dari tanah ditentukan oleh evapotranspirasi.

d. Pengurangan kelembaban tanah terhadap waktu didekati dengan kurva eksponensial dimana titik layu permanen merupakan level kelembaban terendah.

e. Kedalaman lapisan tanah dimana kejadian kekeringan berlangsung adalah kondisi tanah dengan kapasitas lapang sebesar 200 mm.

Indeks kekeringan KBDI dihitung dengan rumus berikut:

………Pers. 1

adalah faktor kekeringan (drought factor) yang tergantung pada suhu udara maksimum dan curah hujan tahunan, dihitung dengan Persamaan (2).

. . .


(26)

dimana adalah suhu udara maksimum harian (0F) dan adalah curah hujan rerata tahunan (dalam inci). Persamaan (2) menunjukkan bahwa kelembaban tanah akan berkurang dengan peningkatan suhu udara dan bertambah dengan adanya hujan. Faktor kekeringan merupakan penduga evapotranspirasi potensial sebagai rasio antara fungsi eksponensial suhu udara harian dengan fungsi eksponensial curah hujan tahunan (Brolley et al. 2007). merupakan pengurang nilai KBDI yang diperhitungkan jika curah hujan melebihi 0,2 inch (Persamaan 3).

,

, , ……… Pers. 3

2.4. Perkembangan Model KBDI

Model KBDI dikembangkan oleh Keetch dan Byram (1968) untuk pengendalian kebakaran hutan di Florida, Amerika dengan kondisi iklim dan tanah setempat. Model ini telah digunakan secara luas di Amerika dan Australia (lihat Lampiran 1) mengingat input data yang dibutuhkan sedikit dan relatif mudah untuk diperoleh. Burgan (1988) mengintroduksi KBDI sebagai penduga ketersediaan bahan bakar dalam National Fire Danger Rating System (NFDRS) untuk Amerika. Di Australia, McArthur mengintroduksi model KBDI untuk perhitungan drought factor pada Forest Fire Danger Index (Sullivan 2001).

Koreksi terhadap model KBDI dikemukakan oleh Crane (1982, dalam Alexander 1990) yaitu adanya typographical error pada persamaan yang digunakan untuk menghitung faktor kekeringan indeks. Alexander (1992) juga mengemukakan hal yang sama. Untuk mempermudah bahasan tentang perkembangan model KBDI, Persamaan (2) selanjutnya ditulis dalam bentuk yang lebih umum (Persamaan 4). Selain menyebutkan typographical error pada model KBDI, Crane (1982, dalam Alexander 1990) mengkonversi KBDI ke dalam unit metrik dengan nilai maksimum indeks sebesar 203,2. Perubahan unit KBDI ini banyak diikuti oleh peneliti dari luar Amerika (Fairfax et al. 2009, Hudon et al. 2005, Finkele et al. 2006, Penman et al. 2007).


(27)

……… Pers. 4

Perkembangan nilai parameter dirangkum dalam Tabel 2. Di Indonesia, KBDI telah digunakan oleh Buchholz dan Weidemenn (2000) untuk menilai potensi kebakaran hutan di Kalimantan Timur, dengan memodifikasi nilai maksimum indeks menjadi 2000 (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan

Parameter

Ketch dan Byram (1968)

Crane (1982 dalam Alexander 1990)

Buchholz dan

Weidemenn (2000)

Unit: British Metric Metric  

800 203,2 2000

, 6 0,9680 0,9680

, 6 0,0875 0,0875

0,8300 8,3000 8,2990 - 1,5552 1,5552 10,8800 10,8800 10,8800

, 0,0017 0,0017

Faktor kekeringan mencerminkan defisiensi kelembaban tanah melalui proses evapotranspirasi. Keetch dan Byram (1968) menggunakan asumsi besarnya evapotranspirasi tergantung pada suhu udara maksimum dan curah hujan tahunan untuk daerah Florida, Amerika. Liu et al. (2010a, 2010b) mengindikasikan formulasi dalam menghitung perlu dikaji untuk daerah dengan kondisi iklim berbeda mengingat tingkat kekeringan (drying rate) sebagai fungsi dari curah hujan tahunan berbeda-beda untuk tiap lokasi. Snyder et al. (2006) melakukan perbaikan terhadap perhitungan faktor kekeringan dengan menggunakan model evapotranspirasi Hargreaves–Samani.

Perbedaan iklim dan tanah menyebabkan model KBDI harus dimodifikasi untuk dapat diterapkan di lokasi dengan iklim dan tanah yang berbeda dengan daerah Florida, Amerika. Reardon et al. (2009) yang melakukan penelitian di lahan basah North Carolina, menyebutkan perbedaan properti tanah menyebabkan KBDI tidak sensitif untuk prediksi potensi kebakaran. Hal senada juga telah


(28)

dilaporkan oleh Cooke et al. (2007) dan Choi et al. (2009) untuk daerah Mississippi, Chan et al. (2004) untuk daerah Georgia, Amerika dan Sparks et al. (2002) untuk daerah Arkansas, Amerika. Sparks et al. (2002) menyebutkan KBDI bukan indikator yang tepat untuk potensi kebakaran daerah iklim Arkansas dengan tipe tanah berpasir, dan Reardon et al. (2009) menyarankan perbaikan untuk model KBDI dengan mengintroduksi faktor hidrologi yang mencerminkan simpanan dan pergerakan air (water storage and movement) dalam tanah.

Terlepas dari kritik terhadap kelemahan KBDI dalam prediksi kebakaran hutan untuk lokasi yang berbeda, KBDI banyak digunakan untuk menduga potensi kebakaran hutan di Amerika (terutama untuk daerah tenggara Amerika), dan Australia (lihat Lampiran 1). KBDI banyak digunakan karena mudah dalam proses perhitunganya (Dimitrakopoulos dan Bemmerzouk 2003). Banyak peneliti yang menggunakan KBDI dalam mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap potensi kebakaran hutan di masa depan. Groisman et al. (2007) mengkaji perubahan KBDI pada abad 20 di Northern Eurasia, dan terakhir Liu et al.

(2010a) dan Liu et al. (2010b) melakukan prediksi KBDI akibat perubahan iklim secara berturutan dengan Regional Climate Model (RegCM) dan Global Climate Model (GCM).

Tabel 3. Perkembangan nilai faktor hujan dalam KBDI Peneliti Unit Nilai faktor hujan ( )

Keetch dan Byram

(1968) British 100*(R – 0,2) Crane (1982) SI R – 5,1 Buchholz dan

Weidemenn (2000) SI 10*(R – 5.1 ) Setiawan et al.

(2009) SI

Brolley et al. (2007)

British , ,

, , , , .


(29)

Faktor hujan dalam KBDI juga mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan. Dalam model Keetch dan Byram (1968), faktor hujan diperhitungkan jika melebihi 0,2 inch (dalam unit SI setara 5,1 mm). Besarnya pengurangan disajikan dalam Tabel 3.

Brolley

et al

. (2007) melakukan modifikasi untuk

perhitungan faktor hujan dengan mempertimbangkan curah hujan hari ini

dan curah hujan hari kemarin (

antecedent precipitation

).

2.5. Integrasi SIG untuk Monitoring Kekeringan

KBDI

dikembangkan berbasis data stasiun iklim. Defesiensi kelembaban tanah yang dihasilkan dari perhitungan tidak mengungkap detil spasial dari nilai indeks tersebut (satu angka biasanya menggambarkan kondisi satu wilayah). Karena berbasis pada stasiun iklim yang berada pada lokasi tertentu, maka informasi yang dihasilkan secara spasial bersifat diskontinu dan hanya valid untuk lokasi tertentu. Sebagai informasi tambahan, indeks meteorologi bergantung pada data harian yang dikumpulkan di stasiun cuaca yang keberadaannya tidak merata di setiap wilayah sehingga akan berpengaruh terhadap konsistensi indeks kekeringan. Dengan realita tersebut, perlu dikembangkan sistem peringkat kebakaran yang memperhitungkan sebaran spasial. Janis et al. (2002) menyusun peta KBDI untuk daerah tenggara Amerika. Dengan penyusunan peta KBDI tersebut KBDI menjadi alat monitoring yang menarik untuk pemantauan potensi kebakaran hutan (Janis et al. 2002). Pembangunan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan berbasis spasial sangat berguna bagi pengelolaan kebakaran hutan dalam hal antisipasi dan pencegahan kebakaran (Carlson dan Burgan 2003).

Untuk mengembangkan indeks berbasis spasial, integrasi dengan teknik SIG mutlak diperlukan. Nantinya monitoring dalam skala regional dapat dilakukan dengan peta kekeringan.


(30)

III.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan – FATETA IPB dimulai bulan Februari hingga bulan Juli 2010. Data pengamatan lapang yang digunakan yaitu periode 1 April 2009 – 11 Mei 2010 diperoleh dari Stasiun Head Quarter (HQ) Baung, di kawasan HTI SBAWI, Kabupaten OKI – Sumatra Selatan. HQ Baung merupakan kantor pusat PT SBAWI terletak pada koordinat geografis 105,30BT dan 2,740LS. SBAWI memperoleh lisensi untuk mengelola hutan tanaman industri pada lahan basah di Kabupaten OKI pada tahun 2004. Tanaman HTI yang diusahakan yaitu Acacia crassicarpa.

Untuk lokasi lain di HTI menggunakan data pengamatan periode 1 Januari – 30 April 2010 yang meliputi Stasiun Air Sugihan, Sungai Beyuku, Bagan Rame, Sungai Penyabungan, Lebong Hitam, Sungai Riding, Teluk Pulai, dan Teluk Daun. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1 dan lokasi terletak sekitar dua jam perjalanan melalui sungai dari Kota Palembang


(31)

3.2. Bahan dan Alat

Penelitian ini menggunakan seperangkat alat (software dan hardware) sebagai berikut:

a. Ms. Office 2003

(License: MBG2X-K7D2F-99JDG-Q4TB3-GVQHQ) b. ArcView 3.3

c. Ms. Visual Basic 6.0 d. MapObject 2.0 e. Logger HIOKI 3641 f. Logger Decagon Em50 g. TD Diver

h. Meteran

Untuk membangun sistem berbasis spasial, peta yang dibutuhkan yaitu: peta batas HTI, peta distrik HTI dan peta lokasi stasiun pengamatan. Logger Hioki digunakan untuk monitoring suhu udara maksimum. Logger Decagon Em50 digunakan untuk mengukur curah hujan dan kadar air tanah, sedangkan TD Diver digunakan untuk mengukur kedalaman muka air tanah.

3.3. Monitoring Data Cuaca, Kandungan Air Tanah dan Water

Pengembangan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan di HTI-SBAWI memerlukan seperangkat alat yang telah dijelaskan pada Sub Bab 3.2. Alat-alat tersebut dilengkapi dengan sensor dan logger yang mampu memonitor data pengamatan dengan resolusi satu jam. Data pengamatan tersebut diunduh setiap bulan untuk diolah dalam MS. Excel agar mendapatkan format data yang diinginkan. Data pengamatan diolah berdasarkan bulan pengamatan. Data curah hujan diakumulasikan selama periode 24 jam (00.00 – 23.00) untuk mendapatkan data curah hujan harian pada hari tersebut. Suhu udara maksimum pada hari tersebut digunakan sebagai input model KBDI yang diperoleh dengan mencari suhu tertinggi yang terjadi selama periode 24 jam. Data ketinggian muka air tanah dan kadar air tanah yang digunakan yaitu data pada pengamatan pukul 23.00 sebagai data input model untuk hari tersebut. Data tersebut diolah dalam MS. Excel dengan VBA for Excel. Contoh format data tersedia di Lampiran 2.


(32)

Untuk lokasi pengamatan di distrik lain dalam HTI-SBAWI menggunakan peralatan manual. Data curah hujan diamati dengan ombrometer dengan waktu pencatatan pada pukul 07.00 waktu setempat. Data kedalaman muka air tanah diukur dengan meteran pada pukul 07.00 waktu setempat. Sedangkan suhu udara maksimum diukur dengan termometer pada pukul 13.30 waktu setempat.

3.4. Pengembangan Model Modified-KBDI a. Model KBDI Lahan Basah

KBDI dikembangkan dengan asumsi defesiensi kelembaban tanah tergantung pada evapotranspirasi (Keetch dan Byram 1968). Besarnya kelembaban tanah tergantung pada dua variabel yaitu suhu udara maksimum dan curah hujan tahunan. KBDI dapat menjadi prediktor kebakaran hutan yang tidak akurat pada kondisi iklim dan tanah yang berbeda dari Florida. Liu et al. (2010a, 2010b) mengindikasikan formulasi dalam penghitungan perlu dikaji untuk daerah dengan kondisi iklim berbeda mengingat tingkat kekeringan (drying rate) sebagai fungsi dari curah hujan tahunan berbeda-beda untuk tiap lokasi. Reardon

et al. (2009) memberikan argumen keterbatasan model KBDI yaitu hanya

bergantung pada parameter meteorologi semata, sehingga sensitifitas KBDI terhadap tanah dan pengaruh hidrologi menjadi terbatas. Pada kasus lahan basah di North Carolina, Reardon et al. (2009) menyebutkan kelembaban tanah dan muka air tanah inkonsisten dengan potensi kebakaran hutan.

Penelitian ini dilakukan di lahan basah dimana posisi muka air tanah dekat dengan permukaan tanah. Adanya pengaruh kenaikan air kapiler menyebabkan kelembaban tanah akan meningkat apabila posisi muka air tanah dekat dengan permukaan. Sebaliknya kelembaban tanah berkurang dengan penurunan muka air tanah. Melihat fenomena tersebut, Setiawan et al. (2009) menambahkan faktor kedalaman muka air tanah (variable ) sebagai pengaruh muka air tanah terhadap kelembaban tanah. Faktor berperilaku seperti curah hujan yang membasahi tanah dari atas. Maka, faktor berperan dalam mengurangi nilai KBDI harian (Persamaan 5).


(33)

……… Pers. 5 Faktor muka air tanah dihitung dengan Persamaan 6 - 8.

……… Pers. 6

. ……… Pers. 7

……… Pers. 8

Dimana, adalah kadar air tanah basis volume (m3/m3). Paramaeter dan adalah parameter baru untuk faktor .

Tabel 4 menampilkan perkembangan nilai dari parameter . Untuk penelitian ini, parameter-parameter tersebut diperoleh melalui proses optimasi. Selanjutnya dihitung menggunakan Persamaan (4). Faktor curah hujan ( ) dihitung dengan dua cara (Tabel 5) yaitu menggunakan metode Crane (1982) dan metode yang dikembangkan oleh Setiawan et al. (2009).

Tabel 4. Nilai parameter untuk menghitung faktor kekeringan KBDI

Parameter

Keetch dan Byram (1968)

Crane (1982 dalam Alexander 1990)

Buchholz dan

Weidemenn (2000)

Penelitian ini*

Unit: British Metric Metric Metric

800 203,2 2000 2000

0,9680 0,9680 0,9680 Optimasi

0,0486 0,0875 0,0875 Optimasi

0,8300 8,3000 8,2990 Optimasi

- 1,5552 1,5552 Optimasi

10,8800 10,8800 10,8800 Optimasi

0,0441 0,001736 0,001736 Optimasi


(34)

Tabel 5. Metode untuk menghitung faktor hujan dan muka air tanah Variable

Keetch dan Byram (1968)

Crane (1982 dalam Alexander 1990)

Penelitian ini

100*(R – 0,2) R – 5,1 Model 1: R – 5,1

Model 2:

- -

Catatan: parameter , , dan diperoleh melalui proses optimisasi. b. Optimisasi Parameter dan Kalibrasi Model KBDI

Penghitungan KBDI menggunakan parameter-parameter model yang dirangkum dalm Tabel 4 dan 5. Dalam proses perhitungan, nilai parameter model Buchholz dan Weidemenn (2000, Tabel 4) digunakan sebagai nilai default model untuk proses optimisasi parameter. Sedangkan untuk nilai parameter muka air tanah

(

, ), menggunakan pendekatan trial error untuk mendapatkan angka yang mendekati curah hujan maksimum selama tahun tersebut. Nilai indeks yang diperoleh dari Persamaan (5) perlu diverifikasi dengan data pengukuran kandungan air tanah. Hubungan antara kadar air tanah dengan indeks kekeringan dinyatakan dengan Persamaan (9).

. ……… Pers. 9

dimana adalah kadar air tanah (m3/m3), kadar air residual (didekati dengan titik layu permanen, besarnya= 0.3205 m3/m3), kadar air pada kondisi jenuh (besarnya 0.634 m3/m3), adalah nilai maksimum indeks sebesar 2000.

Optimasi parameter dengan menggunakan Solver dalam Ms. Excel 2003 dilakukan untuk memperoleh yang memberikan beda nilai terkecil atau Root

Mean Squared Error (RMSE) dengan . Proses kalibrasi nilai indeks dilakukan

dengan mencari hubungan linear antara dan sehingga diperoleh nilai intersepsi (a) dan slope (b) yang digunakan untuk menghitung KBDI kalibrasi (Persamaan 10).


(35)

merupakan nilai KBDI di lokasi penelitian HTI-SBAWI yang diklasifikasikan menjadi empat kriteria tingkat bahaya kebakaran seperti yang dijelaskan oleh Buchholz dan Weidemenn (2000) pada Tabel 6. Nilai indeks maksimum sebesar 2000 yang menunjukkan tanah dalam keadaan kering.

Tabel 6. Kelas Indeks Bahaya Kebakaran

Kelas Minimum Maksimum Kriteria

1 0 999 Rendah

2 1000 1499 Sedang

3 1500 1749 Tinggi

4 1750 2000 Ekstrim

3.5. Pengembangan Sistem Informasi FDRS a. Desain Sistem Informasi FDRS

Pengembangan sistem informasi FDRS untuk lokasi di HTI-SBAWI, Kabupaten OKI menggunakan indeks kekeringan KBDI. KBDI yang digunakan telah dimodifikasi oleh Setiawan et al. (2009) untuk lokasi lahan basah. Aspek penting dalam desain sistem FDRS yaitu interaksi dengan pengguna yang akan memanfaatkan sistem tersebut. Informasi yang ada dalam sistem harus relevan dengan keperluan pengguna dan format yang disusun sesuai dengan yang dibutuhkan (Fraisse et al. 2006). Tidak semua proses pengembangan sistem FDRS melibatkan pengguna seperti dalam proses optimisasi parameter model KBDI. Pengembangan sistem informasi FDRS didesain untuk menyediakan informasi sebagai berikut:

 Basisdata cuaca dan hidrologi tiap stasiun

 Informasi spasial bahaya kebakaran, curah hujan, suhu udara maksimum dan kedalaman MAT.

 Informasi grafik harian KBDI, curah hujan, suhu udara maksimum dan kedalaman MAT.

 Fasilitas untuk updating data pengamatan yang dapat diperbarui setiap hari.

b. Sistem Informasi FDRS

Sistem ini dibangun dengan menggunakan bahasa pemograman Visual


(36)

Map Object 2.0. Sistem Informasi FDRS terdiri dari; (1) modul utama, (2) modul

update data, (2) modul grafik, (3) modul tabel data dan, (4) modul spasial. Modul

update data berisi tentang informasi stasiun pengamatan dan fasilitas pengisian

data curah hujan, suhu udara maksimum dan kedalaman muka air tanah harian. Dalam modul ini, proses perhitungan KBDI dikerjakan untuk tiap stasiun. Modul grafik menyajikan informasi visual grafik suhu udara, curah hujan, muka air tanah dan KBDI time series harian. Modul tabel data menyajikan informasi tabulasi perhitungan KBDI. Terakhir, modul spasial digunakan untuk proses interpolasi data. Interpolasi data dilakukan dengan menggunakan metode IDW. Dalam membangun Dynamic Drought Index Tool untuk North Carolina dan South Carolina, Dow et al. (2009) mengemukakan metode IDW menghasilkan distribusi frekwensi kekeringan yang lebih konsisten daripada metode lain. Dow et al.

(2009) tidak merinci metode interpolasi yang digunakan dan diperbandingkan. Prinsip dari sistem informasi FDRS yang dibangun sebagai berikut:

i. Pembangunan basisdata.

Data pengamatan tiap stasiun disusun dalam format text dengan susunan urutan data sebagai berikut: tanggal, curah hujan, suhu udara maksimum, dan kedalaman muka air tanah. Data ini disimpan dalam format text dengan nama “data + nama stasiun”

ii. Penyiapan peta kerja.

Peta kerja menggunakan dua peta dasar yaitu peta batas HTI dan peta lokasi stasiun. Peta kawasan HTI dalam format shapefile seluas 479400 Ha disusun dalam format grid 1 km2. Proses ini menghasilkan 4794 grid yang kemudian tiap grid diberi atribut koordinat grid (X,Y). Tiap lokasi stasiun pada peta lokasi stasiun juga diberi atribut koordinat grid (X,Y).

iii. Pembangunan Sistem Informasi FDRS.

Sistem informasi FDRS dibangun dan dikembangkan dengan perangkat lunak Ms. Visual Basic 6. Integrasi dengan Map Object 2.0 memungkinkan sistem informasi FDRS untuk menampilkan peta spasial.


(37)

iv. Perhitungan model KBDI di lahan basah.

Proses perhitungan dikerjakan dengan sistem informasi FDRS yang telah dikembangkan. Model KBDI yang telah dihasilkan untuk lokasi Stasiun HQ Baung digunakan dalam penghitungan KBDI di stasiun lain di seluruh kawasan HTI-SBAWI. Sistem didesain secara otomatis untuk menghitung KBDI jika ada input data baru. Tabulasi data perhitungan disimpan dalam format text dengan nama stasiun yang bersangkutan. Data ini digunakan dalam proses-proses selanjutnya termasuk dalam proses interpolasi.

v. Proses interpolasi data.

Prinsip proses interpolasi yang dibangun yaitu memanggil tabulasi perhitungan KBDI kalibrasi (prinsip iv) untuk tiap stasiun berdasarkan tanggal dan variabel yang dipilih. Setelah data terpilih, proses interpolasi dikerjakan dengan metode IDW untuk menghasilkan peta KBDI, peta curah hujan, peta suhu udara maksimum, dan peta kedalaman muka air tanah. Hasil interpolasi disimpan dengan nama “variabel & tanggal.shp”.

vi. Tampilan data.

Modul KBDI menampilkan data dalam tiga format yaitu: peta, tabel, dan grafik. Format peta menampilkan distribusi spasial tiap variabel. Format tabel menampilkan tabulasi perhitungan KBDI, dan format grafik menyajikan grafik harian tiap variabel. Untuk peta sebaran KBDI, legenda peta dikelompokkan menjadi empat berdasarkan kelas indeks kebakaran seperti pada Tabel 6.


(38)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Kondisi Umum Lokasi Penelitian a. Curah Hujan

Hasil pengamatan curah hujan harian di Stasiun pengamatan HQ Baung pada periode 1 April 2009 – 11 Mei 2010 diperoleh curah hujan yang tinggi. Total curah hujan selama 406 hari pengamatan yaitu 2854 mm. Secara umum curah hujan tinggi terjadi pada musim penghujan yaitu periode bulan November – April mengikuti pola curah hujan monsunal di Indonesia (Gambar 2). Pada bulan-bulan tersebut curah hujan bulanan melebihi 200 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April 2010 sebesar 384 mm. Periode kering terjadi pada bulan Mei – Oktober 2009 dengan curah hujan bulanan terendah pada bulan September 2009 sebesar 22,6 mm.

 

Gambar 2. Curah hujan bulanan di Stasiun HQ Baung, HTI - SBAWI, OKI – Sumsel. (untuk bulan Mei 2010 hanya 11 hari pengamatan)

Selama periode pengamatan tercatat jumlah hari hujan sebanyak 197 hari. Sebaran jumlah hari hujan dengan hari hujan terbanyak berdasarkan bulan yaitu Bulan Desember 2009 dengan 23 hari hujan, Bulan Januari 2010 dengan 21 hari hujan, dan Bulan Maret 2010 dengan 20 hari hujan. Pada Bulan September 2009, jumlah hari hujan hanya 3 hari. Curah hujan tertinggi selama pengamatan tercatat sebesar 107 mm pada tanggal 12 April 2009. Gambar 3(a) menyajikan dinamika curah hujan di Stasiun HQ Baung untuk periode pengamatan tersebut.

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 A p r-0 9 Ma y -0 9 J un-09 Ju l-0 9 Au g -0 9 S e p-09 Oct -0 9 No v -0 9 De c -0 9 J an-10 F eb-10 M a r-1 0 A p r-1 0 Ma y -1 0 Cu rah Hu ja n ( m m )


(39)

Gambar 3. Dinamika harian (a) curah hujan, (b) suhu udara maksimum, (c) KAT, dan (d) MAT di Stasiun HQ Baung, HTI-SBAWI.


(40)

b. Suhu Udara Maksimum

Kisaran suhu udara maksimum di Stasiun HQ Baung selama pengamatan yaitu antara 26.6– 34.90C dengan rata-rata Tmax sebesar 32,50C. Suhu udara maksimum tertinggi sebesar 34.90C terjadi pada 21 September 2009 dan terendah sebesar 26.60C pada 8 Januari 2010. Gambar 3(b) menyajikan dinamika suhu udara maksimum harian di Stasiun HQ Baung.

c. Kadar Air Tanah (KAT)

KAT di Stasiun HQ Baung berfluktuasi pada kisaran 0,289 m3/m3 hingga 0,627 m3/m3. KAT tertinggi terjadi pada tanggal 9 April 2009 dan terendah pada tanggal 3 Oktober 2009. Pada bulan-bulan basah KAT mendekati KAT jenuh sebesar 0,634 m3/m3, sedangkan pada bulan-bulan kering KAT mendekati level titik layu permanen. Bahkan, level KAT pernah di bawah titik layu permanen seperti KAT pada tanggal 1 – 4 Oktober 2009. Dinamika KAT di HQ Baung selama pengamatan disajikan pada Gambar 3(c).

d. Muka Air Tanah (MAT)

MAT di Stasiun HQ Baung berfluktuasi hingga kedalaman 1 m. Selama periode pengamatan, ditemukan penyimpangan pada kedalaman MAT seperti yang terjadi pada tanggal 4 Agustus 2009 dimana kedalaman MAT hingga lebih dari 1 m. Disebut sebagai penyimpangan karena kedalaman MAT pada 3 Agustus 2009 yaitu 0,6 m dan kedalaman MAT pada 5 Agustus 2009 yaitu 0,63 m. Perubahan drastis MAT untuk lokasi Baung dengan tekstus tanah liat sepertinya sulit terjadi. Penyimpangan data MAT disebabkan alat ukur MAT berada di atas permukaan tanah. Kondisi serupa untuk MAT tanggal 22 April 2009. Secara umum MAT pada musim penghujan akan dekat permukaan tanah dan bahkan bisa menggenangi tanah. Gambar 3(d) menyajikan dinamika MAT di lokasi HQ Baung selama periode pengamatan.

4.2. Pengaruh Hujan terhadap Dinamika KAT dan MAT

Curah hujan sangat berpengaruh terhadap KAT dan MAT. Fluktuasi keduanya sangat dipengaruhi oleh dinamika curah hujan yang turun dan membasahi tanah. Pada musim penghujan seperti pada Bulan April, KAT


(41)

mendekati level jenuh hingga mencapai KAT 0,627 m3/m3,sedangkan MAT dekat permukaan tanah hingga pada kedalaman 0,1 m. KAT mulai berkurang dengan berakhirnya musim penghujan di bulan Mei 2009. Bahkan KAT mencapai titik layu permanen pada tanggal 12 September 2009 sebesar 0,32 m3/m3. Selanjutnya KAT meningkat menjadi 0,335 m3/m3 pada tanggal 15 September 2009 dengan adanya hujan sebesar 10,2 mm. KAT kemudian mencapai titik terendah sebesar 0,289 m3/m3 pada tanggal 3 Oktober 2009. Dengan adanya hujan sebesar 2 mm (4 Oktober 2010), KAT naik menjadi 0,299 m3/m3. Selanjutnya hujan hari berikutnya sebesar45,6 mm (5 Oktober 2009) menyebabkan KAT naik menjadi 0,415 m3/m3 dan MAT naik dari -0,744 m menjadi -0,125 m.

Dengan masuknya musim hujan, KAT selalu berada diatas 0,4 m3/m3. Sedangkan pada musim hujan, MAT meningkat hingga terjadi genangan seperti pada tanggal 31 Desember 2009 genangan mencapai 0,139 m.

4.3. Parameter Model KBDI di Lahan Basah

Perhitungan KBDI dimulai pada KAT maksimum terukur yaitu pada tanggal 9 April 2010. Pada tanggal tersebut KAT sebesar 0.627 m3/m3 atau setara dengan indeks kekeringan sebesar 43. Secara konseptual Keetch dan Byram (1968) menyarankan perhitungan KBDI dimulai pada KBDI 0 yaitu pada kondisi curah hujan mingguan lebih dari 150 mm. Penelitian ini memulai perhitungan KBDI dengan KBDI awal sebesar 43 ( ) pada kondisi kadar air tanah maksimum terukur. Angka tersebut diperoleh melalui Persamaan 9 (lihat Bab III, sub bahasan Metode). Perhitungan KBDI selanjutnya menggunakan Persamaan 5.

Berdasarkan faktor hujan, pengembangan model KBDI menggunakan dua metode:

a. Model 1 ( = R – 5,1)

Optimasi dengan Solver dalam Ms. EXCEL antara dengan menghasilkan nilai RMSE sebesar 16 dengan R2 sebesar 0,694. Hasil optimasi parameter model KBDI disajikan pada Tabel 7. Secara umum, parameter untuk menghitung tidak banyak berubah seperti parameter aT berubah dari 0,968 menajdi 1,1714. Hasil optimasi menghasilkan persamaan baru untuk menghitung faktor kekeringan


(42)

( ) wilayah Baung, OKI (Persamaan 11). Persamaan (12) selanjutnya digunakan untuk menghitung KBDI Model 1 di Sungai Baung. Data untuk Model 1 disertakan pada Lampiran 2.

, , , ,

, , ……Pers. 11

, …..… Pers. 12

b. Model 2 [ = ]

Optimasi dengan Solver dalam Ms. EXCEL antara dengan menghasilkan nilai RMSE sebesar 14 dengan R2 sebesar 0,7546 (lihat Tabel 7). Hasil optimasi parameter model KBDI disajikan pada Tabel 7. Hasil optimasi menghasilkan persamaan baru untuk menghitung faktor kekeringan ( ) wilayah Baung, OKI (Persamaan 13). Persamaan (14) selanjutnya digunakan untuk menghitung KBDI model 2 di Sungai Baung. Data untuk Model 1 disertakan pada Lampiran 3.

, , , ,

, , …Pers. 13

, 6 …… Pers. 14

Optimasi parameter model KBDI memberikan nilai parameter yang berbeda. Untuk Model 2, parameter (yaitu sebesar 0,001, Tabel 7) dalam perhitungan (lihat Persamaan 13) cenderung meminimalkan peranan suhu udara maksimum dibandingkan dengan parameter (0,0572) pada Model 1. Nilai maksimum untuk Model 1 yaitu 80, sedangkan Model 2 yaitu 62. Angka ini menunjukkan Model 1 lebih sensitif terhadap perubahan suhu udara maksimum.

Pada penghitungan untuk Model 2, nilai maksimum dari yaitu 26 dan nilai minimum yaitu 0. Nilai maksimum yaitu pada saat curah hujan maksimum sebesar 107 mm pada tanggal 12 April 2009. Nilai ini berbeda dengan


(43)

Model 1 yang memberikan sebagai curah hujan netto sebesa 101,9 pada saat curah hujan mencapai 107 mm. Dengan demikian Model 2 cenderung untuk mengurangi pengaruh curah hujan terhadap kelembaban tanah. Gambar 4 menyajikan hubungan antara faktor curah hujan ( dengan curah hujan. Pada Model 1, nilai berbanding lurus dengan besarnya curah hujan. Sedangkan pada Model 2 nilai cenderung bertambah secara eksponensial terhadap jumlah curah hujan pada hari tersebut.

Tabel 7. Hasil optimasi parameter KBDI

Parameter Buchholz dan

Weidemenn (2000)

Penelitian ini

Variabel Model 1 Model 2

2000 2000 2000

0,9680 1,1714 0,6995

0,0875 0,0572 0,0010

8,3000 8,2750 8,2954

1,5552 1,7588 3,9932

10,8800 10,8804 10,8800

0,001736 0,0046 0,0079

  - - 106,9342

  - - 0,0027

  - 120 120,0700

  - 0,2160 0,2170

- 0,8840 0,9099

- 84 36

  RMSE - 16 14

  R2 - 0,6940 0,7546

 

Hasil optimasi pada Model 1 memberikan nilai parameter baru untuk variable dimana parameter dan berturutan bernilai 120 dan 0,216. Faktor muka air tanah ( ) memberikan pengurangan maksimum sebesar 102 setara dengan pengurangan maksimum KBDI karena faktor hujan. Kondisi ini terjadi pada tanggal 11 April 2010 dimana terjadi genangan setinggi 4,6 cm. Untuk Model 2, parameter dan berturutan bernilai 120,07 dan 0,217.


(44)

Model 2 memberikan nilai yang relatif setara dengan Model 1. Nilai maksimum dan minimum dari yaitu 102 dan -21 untuk kedua Model. 

Gambar 4. Grafik hubungan antara dengan curah hujan untuk Model 1 dan Model 2.

Pada MAT dengan kedalaman lebih dari 0.659 m (lihat Gambar 5), memberikan nilai negatif sehingga berdampak pada nilai KBDI semakin meningkat. Nilai ini dapat memberikan jawaban bagaimana cara menjaga hutan dari bahaya kebakaran. Jika dalam pengelolaan hutan mampu mempertahankan kedalaman MAT di atas -0,659 m, maka kemungkinan bahaya kebakaran hutan akan berkurang. Angka -0,659 m merupakan kedalaman kritis untuk pengelolaan air pada lahan basah.


(45)

4.4. KBDI Harian S. Baung

Nilai KBDI untuk Model 1 meningkat secara alami dengan datangnya musim kemarau dan turun dengan datangnya musim penghujan. Berdasarkan kriteria bahaya kebakaran seperti pada Tabel 6, KBDI Baung terbagi menjadi 4 kelas (Lihat Gambar 6). Nilai KBDI mencapai maksimum 2000 pada tanggal 4 Oktober 2009 dimana kadar air tanah terendah kedua yaitu 0,299 m3/m3. Adanya hujan deras sebesar 45,6 mm pada hari berikutnya mampu mengurangi KBDI hingga turun menjadi 1892. Sejak 22 November 2009 nilai KBDI tergolong dalam kelas bahaya kebakaran Rendah (lihat Tabel 9).

Gambar 6 menyajikan dinamika KBDI untuk daerah HQ Baung. Model 2 cenderung memberikan nilai KBDI yang lebih rendah dari Model 1. Hal ini dapat disebabkan nilai pada Model 1 lebih besar dari Model 2. Dengan peningkatan suhu udara maksimum harian, maka Model 1 akan lebih sensitif untuk merespon perubahan tersebut dengan peningkatan nilai dibanding dengan Model 2. Untuk mencapai kelas KBDI Sedang, Model 1 memerlukan waktu 96 hari sedangkan Model 2 memerlukan waktu yang lebih panjang yaitu 106 hari (lihat Tabel 9 dan 10). Model 1 hanya memerlukan waktu 147 hari untuk mencapai kelas KBDI Ekstrim. Sedangkan Model 2 memerlukan waktu 151 hari.


(46)

KBDI mencapai kelas Ekstrim pada bulan September. Hal ini dapat difahami mengingat curah hujan di bulan Agustus sangat rendah (lihat Gambar 3). Total curah hujan di Bulan Agustus yaitu 30,4 mm. Total curah hujan di Bulan September hanya 22.6 mm sehingga nilai KBDI terus meningkat ke kelas bahaya kebakaran Ekstrim.

Tabel 8. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 1

Kelas KBDI Periode I (hari) Periode II (hari) Total Rendah 9 Apr – 13 Jul 2009 (96) 22 Nov 2009 – 11 Mei 2010 (171) 267 Sedang 14 Jul – 13 Agu 2009 (31) 13 Okt – 21 Nov 2009 (40) 71 Tinggi 14 Agu – 2 Sep 2009 (20) 8 – 12 Okt 2009 (5) 25

Ekstrim 3 Sep – 7 Okt 2009 (35) 35

Tabel 9. Kelas KBDI berdasarkan periode kejadianya untuk Model 2.

Kelas KBDI Periode I (hari) Periode II (hari) Tot al Rendah 9 Apr – 23 Jul 2009 (106) 22 Nov 2009 – 11 Mei 2010 (171) 277 Sedang 24 Jul – 20 Agu 2009 (28) 14 Okt – 21 Nov 2009 (39) 67 Tinggi 21 Agu – 6 Sep 2009 (17) 9 – 13 Okt 2009 (5) 22

Ekstrim 7 Sep – 7 Okt 2009 (32) 32

Tabel 10. Jumlah kelas bahaya kebakaran Model 1 dan Model 2.

Kelas KBDI Model 1 Model 2

Jumlah hari Prosentase (%) Jumlah hari Prosentase (%)

Rendah 267 67 277 70

Sedang 71 18 67 17

Tinggi 25 6 22 6

Ekstrim 35 9 32 8

Tabel 10 menyajikan proporsi kelas bahaya kebakaran. Secara umum, lokasi penelitian di Sungai Baung tergolong ke dalam kelas KBDI Rendah yaitu sebanyak 267 hari (Model 1) dan 277 hari (Model 2). Kondisi rentan terhadap kebakaran hutan (Kelas KBDI Tinggi dan Ekstrim) hanya sebesar 15% (Model 1) dan 14 % (Model 2).


(47)

a. Pengaruh hujan terhadap KBDI

Hujan memberikan pengaruh pada penurunan nilai KBDI. Dalam periode waktu, penurunan KBDI dapat berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin hanya sesaat saja. Pada musim penghujan, pengaruh hujan menyebabkan tingkat bahaya kebakaran KBDI di HQ Baung pada level yang aman (rendah). Sebaliknya pada musim kemarau pengaruh hujan hanya bersifat sesaat (beberapa hari) dalam menurunkan KBDI seperti pada kejadian hujan 5 Juli 2009 sebesar 46 mm tidak mampu menahan laju KBDI ke tingkat selanjutnya. Kondisi serupa dengan kejadian hujan pada tanggal 26 Juli 2009 yang tidak mampu menahan laju KBDI untuk masuk ke kelas bahaya kebakaran Tinggi.

Rendahnya curah hujan di Bulan Agustus yaitu sebesar 30,4 mm menyebabkan nilai KBDI pada level Tinggi (> 1500) dan bahkan di akhir bulan, kelas bahaya kebakaran termasuk kelas Ekstrim. Bulan September merupakan puncak kekeringan yang ditunjukkan dengan nilai KBDI di atas 1750 sepanjang hari. Nilai KBDI mencapai intensitas maksimum 2000 pada tanggal 4 Oktober 2009. Pada tanggal 5 Oktober 2009 nilai KBDI turun dengan adanya hujan sebesar 46 mm. Pengaruh serupa ditunjukkan dengan adanya hujan sebesar 44 mm pada tanggal 8 Oktober 2009. Kedua curah hujan ini merupakan curah hujan buatan yang sangat signifikan dalam menurunkan nilai KBDI ke level yang lebih rendah. Dengan masuknya musim penghujan, nilai KBDI berada pada level yang aman (rendah) mulai tanggal 22 November 2009.

b. Pengaruh Kedalaman MAT Terhadap KBDI

Dinamika KBDI di lahan basah sangat dipengaruhi oleh dinamika MAT sepanjang tahun. Pada musim-musim penghujan dengan kondisi kedalaman MAT yang dekat dengan permukaan, nilai KBDI pada posisi kelas bahaya kebakaran Rendah. Sebaliknya pada musim kemarau dengan kondisi MAT jauh dari permukaan menyebabkan nilai KBDI cenderung pada kelas bahaya kebakaran Tinggi dan Ekstrim. Pengaruh kedalaman MAT terhadap KBDI dinyatakan dengan faktor MAT ( ).

Nilai faktor MAT pada rentang angka -21 hingga 102 tergantung pada kedalaman MAT (lihat Gambar 5). Dalam penelitian ini diperoleh kedalaman


(48)

MAT yang tidak berpengaruh terhadap nilai KBDI yaitu pada kedalaman MAT 0,659 m. Pada kedalaman ini nilai adalah 0. Jika MAT lebih dalam maka akan menyebabkan peningkatan nilai KBDI sebaliknya jika MAT lebih dangkal maka akan terjadi penurunan KBDI yang proporsional dengan nilai . Pada periode pengamatan tanggal 10 Agustus 2009 hingga 4 Oktober 2009, kedalaman MAT melebihi 0,695 m. Pada kondisi ini, faktor MAT bernilai negatif (-) sehingga semakin meningkatkan nilai KBDI. Puncaknya Nilai KBDI mencapai indeks 2000 yaitu pada tanggal 4 Oktober 2009. Setelah periode ini MAT lebih dekat dengan permukaan sehingga nilai KBDI pada akhir pengamatan pada level bahaya kebakaran yang aman.

c. Kurva Intensitas waktu (time intensity curve)

Informasi penting dari dinamika KBDI sebagaimana tersaji pada Tabel 8 dan 9 dan yaitu kapan kriteria Tinggi dan Ekstrim akan tercapai setiap tahunnya. Informasi tersebut sangat penting untuk perencanaan pengelolaan hutan yang lesatari. Dinamika KBDI harian memberikan informasi laju peningkatan KBDI per hari. Gambar 7 menjelaskan teknik untuk mendapatkan laju peningkatan

(onset rate) KBDI yaitu dengan metode kurva intensitas-waktu untuk Model 1.

Kurva ini memberikan informasi intensitas KBDI maksimum, waktu yang diperlukan untuk mencapai intensitas KBDI maksimum (T-max), waktu yang diperlukan untuk mencapai 50% dari intensitas KBDI maksimum (T50 inc), waktu

yang diperlukan untuk mencapai 75% dari intensitas KBDI maksimum (T75 inc),

dan waktu yang diperlukan untuk mencapai 25% dari intensitas KBDI maksimum (T25 inc). Laju peningkatan KBDI dihitung dengan:

Laju peningkatan KBDI= KBDI max * 0,5/( T75 inc – T25 inc)

= 2000*0,5 (128-46) = 12/hari

Informasi laju peningkatan KBDI sebesar 12 /hari memberikan prediksi waktu tempuh KBDI di setiap tingkatan bahaya kebakaran. Sebagai ilustrasi, misalkan pada suatu hari nilai KBDI adalah 1000, maka untuk mencapai kriteria bahaya kebakaran Tinggi memerlukan waktu tempuh 41 hari, dan untuk mencapai kriteria Ekstrim memerlukan waktu tempuh 62 hari. Dalam periode waktu tempuh


(49)

tersebut, pihak pengelola hutan dapat menyiapkan logistik untuk menghadapi kemungkinan kebakaran dalam waktu 41 hari ke depan.

 

Gambar 7. Kurva intensitas waktu KBDI harian di Sungai Baung untuk Model 1

4.5. Aspek Pengelolaan Air Terkait KBDI

Faktor yang berpengaruh terhadap KBDI lahan basah yaitu curah hujan, suhu udara maksimum, dan kedalaman MAT. Dua peubah yang disebutkan lebih dulu adalah bersifat pemberian (given) yang tidak bisa diubah dan dikelola. Sehingga dalam aplikasi di lapangan, pengelola hutan tidak bisa mengatur dan merencanakan kegiatan antisipasi kebakaran dengan baik mengingat kedua peubah tersebut tidak dapat dikelola. Dalam tataran praktis pengelola hutan selalu berharap hujan akan segera turun untuk mengurangi bahaya kebakaran hutan yang akan terjadi.

Kedalaman MAT merupakan peubah yang dapat dikelola oleh pengelola hutan secara baik. Gambar 5 memberikan ilustrasi pengaruh MAT dalam mengurangi dan menambah nilai KBDI sehingga diperoleh kedalaman kritis


(50)

sebesar 0,659 m. Pada kedalaman lebih dari nilai kritis, maka nilai KBDI akan meningkat dan sebaliknya.

Secara teoritis, MAT dapat dikendalikan melalui proses irigasi dan drainase yang dirancang dengan benar dan tepat untuk mengendalikan kebakaran hutan di HTI-SBAWI. Pada musim kemarau Mei - Oktober, curah hujan sangat sedikit sehingga MAT lebih dalam. Aktivitas pengelolaan hutan ditinjau dari aspek pengelolaan air disajikan pada Tabel 11. Pada musim penghujan, aktivitas drainase diperlukan untuk mengurangi air di lahan agar pertumbuhan dan perkembangan tanaman tetap terjaga. Bendung-bendung dibuka untuk mengalirkan air ke sungai. Jika level KBDI meningkat ke kelas bahaya kebakaran Sedang, maka tindakan yang harus dilakukan yaitu mengatur ketinggian water

level di kanal pada ketinggian tertentu yang tidak membahayakan perkembangan

tanaman misal pada kedalaman 0,5 m. Harapannya kedalaman MAT masih dekat dengan permukaan. Kedalaman water level juga bisa lebih tinggi lagi untuk mengantisipasi peningkatan KBDI di musim kemarau yang berlangsung mulai bulan Mei. Dengan laju peningkatan KBDI sebesar 12 /hari hanya memerlukan waktu 41 haru untuk mencapai kelas Tinggi, maka pengaturan water level di kanal sangat penting untuk mencegah aliran air bawah tanah dari lahan. Sehingga MAT bisa dipertahankan di atas kedalaman kritis.

Pada musim kemarau, kegiatan pengelolaan air yang dapat dilakukan yaitu dengan pembendungan kanal untuk mempertahankan water level di kanal yang mampu menahan laju aliran air bawah tanah dari lahan. Kegiatan lainnya yaitu irigasi ke lahan dengan cara mengalirkan air dari Sungai-sungai di sekitar dan kawasan HTI-SBAWI ke kanal-kanal yang telah di bendung. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan muka air di kanal yang akan berdmpak pada peningkatan MAT di lahan. Taknik terakhir yang dapat dilakukan untuk meningkatkan MAT yaitu di lahan sekaligus menurunkan nilai KBDI yaitu dengan curah hujan buatan. Kegiatan ini dilakukan di HTI-SBAWI yaitu pada tanggal 5 – 8 Oktober 2009 yang efektif menurunkan nilai KBDI dari kelas Ekstrim ke kelas Sedang.


(1)

Tgl

(mm)

(

C)

Qu

T

F

R

F

dQ

Q

R

Q

H

Q

KBDI

09-Jul-09 0.3 33.0 323 30.92 1.00 39 0 25 760 728 10-Jul-09 5.7 33.1 297 30.92 1.00 38 2 31 766 733 11-Jul-09 0.0 33.3 325 30.93 1.00 38 0 12 792 757 12-Jul-09 0.0 33.1 343 30.92 1.00 37 0 12 817 780 13-Jul-09 0.0 33.2 366 30.92 1.00 37 0 9 845 805 14-Jul-09 0.0 33.2 384 30.92 1.00 36 0 11 870 828 15-Jul-09 0.0 33.1 407 30.92 1.00 35 0 14 891 847 16-Jul-09 0.0 33.3 447 30.93 1.00 34 0 18 907 862 17-Jul-09 0.0 33.3 513 30.93 1.00 34 0 11 930 882 18-Jul-09 0.0 33.1 526 30.92 1.00 33 0 10 954 904 19-Jul-09 0.3 33.3 541 30.93 1.00 32 0 8 978 926 20-Jul-09 0.0 33.8 592 30.95 1.00 32 0 8 1002 948 21-Jul-09 0.0 33.2 679 30.92 1.00 31 0 4 1028 972 22-Jul-09 0.0 33.1 709 30.92 1.00 30 0 3 1055 996 23-Jul-09 15.0 33.0 691 30.91 1.00 29 4 26 1055 996 24-Jul-09 1.0 33.5 844 30.93 1.00 29 0 23 1061 1002 25-Jul-09 1.0 33.1 826 30.92 1.00 29 0 15 1075 1014 26-Jul-09 28.0 34.3 628 30.97 1.00 29 8 20 1076 1015 27-Jul-09 2.0 33.9 1006 30.95 1.00 29 1 25 1079 1018 28-Jul-09 0.0 33.5 1090 30.93 1.00 28 0 12 1095 1033 29-Jul-09 1.0 32.9 1133 30.91 1.00 28 0 10 1113 1049 30-Jul-09 1.0 33.0 1197 30.91 1.00 27 0 4 1136 1070 31-Jul-09 1.0 33.0 1276 30.91 1.00 27 0 8 1154 1086 01-Aug-09 0.0 32.9 1332 30.91 1.00 26 0 8 1172 1102 02-Aug-09 1.0 33.1 1367 30.92 1.00 26 0 7 1191 1119 03-Aug-09 1.0 33.2 1459 30.92 1.00 25 0 4 1211 1138 04-Aug-09 1.0 33.2 1512 30.92 1.00 24 0 -21 1256 1179 05-Aug-09 0.0 33.4 1540 30.93 1.00 23 0 2 1277 1198 06-Aug-09 0.0 33.2 1568 30.92 1.00 22 0 1 1299 1218 07-Aug-09 1.0 33.3 1596 30.92 1.00 22 0 -1 1321 1238 08-Aug-09 0.0 33.4 1659 30.93 1.00 21 0 -3 1344 1259 09-Aug-09 0.0 33.3 1670 30.93 1.00 20 0 -1 1365 1278 10-Aug-09 0.0 33.3 1680 30.93 1.00 20 0 -3 1388 1299 11-Aug-09 0.0 33.5 1713 30.93 1.00 19 0 -6 1413 1321 12-Aug-09 0.0 33.4 1741 30.93 1.00 18 0 -8 1439 1345 13-Aug-09 0.0 33.1 1769 30.92 1.00 17 0 -10 1466 1370 14-Aug-09 0.0 33.8 1797 30.95 1.00 17 0 -10 1493 1394 15-Aug-09 8.6 32.4 1571 30.89 1.00 16 2 -10 1516 1415 16-Aug-09 0.2 32.4 1734 30.89 1.00 15 0 -10 1541 1438 17-Aug-09 0.0 32.8 1751 30.91 1.00 14 0 -4 1559 1455 18-Aug-09 0.0 33.2 1761 30.92 1.00 14 0 -1 1574 1468 19-Aug-09 0.2 32.6 1767 30.90 1.00 13 0 2 1586 1479 20-Aug-09 0.2 32.5 1774 30.89 1.00 13 0 1 1598 1490 21-Aug-09 0.0 33.9 1827 30.95 1.00 12 0 -3 1613 1504 22-Aug-09 0.0 32.9 1837 30.91 1.00 12 0 -4 1630 1519 23-Aug-09 0.0 33.3 1842 30.93 1.00 11 0 -4 1645 1533 24-Aug-09 0.0 32.6 1858 30.90 1.00 11 0 -3 1660 1546 25-Aug-09 0.0 32.6 1858 30.90 1.00 11 0 -8 1678 1563 26-Aug-09 15.4 33.1 1581 30.92 1.00 10 4 -9 1693 1576 27-Aug-09 1.8 31.8 1784 30.87 1.00 9 1 -4 1706 1588 28-Aug-09 0.0 33.9 1812 30.95 1.00 9 0 -7 1722 1602 29-Aug-09 0.0 33.1 1835 30.92 1.00 9 0 -6 1736 1616


(2)

Tgl

(mm)

(

C)

Qu

T

F

R

F

dQ

Q

R

Q

H

Q

KBDI

30-Aug-09 0.0 32.6 1845 30.90 1.00 8 0 -6 1750 1628 31-Aug-09 0.0 33.1 1855 30.92 1.00 8 0 -7 1765 1642 01-Sep-09 0.0 33.7 1903 30.94 1.00 7 0 -11 1783 1658 02-Sep-09 0.0 33.1 1909 30.92 1.00 7 0 -11 1801 1674 03-Sep-09 0.0 33.6 1924 30.94 1.00 6 0 -9 1816 1689 04-Sep-09 0.0 33.7 1949 30.94 1.00 6 0 -9 1831 1702 05-Sep-09 0.0 33.4 1939 30.93 1.00 5 0 -19 1855 1724 06-Sep-09 0.0 33.1 1947 30.92 1.00 4 0 -19 1878 1745 07-Sep-09 0.0 32.8 1967 30.91 1.00 4 0 -19 1901 1766 08-Sep-09 0.0 33.9 1990 30.95 1.00 3 0 -19 1923 1786 09-Sep-09 0.0 33.6 1992 30.94 1.00 2 0 -19 1945 1806 10-Sep-09 0.0 32.8 2000 30.91 1.00 2 0 -20 1967 1826 11-Sep-09 3.6 33.5 1975 30.93 1.00 1 1 -19 1986 1843 12-Sep-09 0.0 34.1 2000 30.96 1.00 0 0 -13 1999 1855 13-Sep-09 0.0 33.7 2000 30.94 1.00 0 0 -13 2013 1867 14-Sep-09 0.0 33.9 2000 30.95 1.00 0 0 -10 2022 1876 15-Sep-09 10.2 30.0 1906 30.80 1.00 -1 3 -10 2029 1882 16-Sep-09 0.2 31.8 1964 30.87 1.00 -1 0 -10 2038 1890 17-Sep-09 8.6 32.5 1875 30.89 1.00 -1 2 -10 2044 1896 18-Sep-09 0.0 33.2 1949 30.92 1.00 -1 0 -10 2053 1904 19-Sep-09 0.0 33.4 1985 30.93 1.00 -2 0 -10 2061 1911 20-Sep-09 0.0 34.2 2000 30.96 1.00 -2 0 -10 2069 1918 21-Sep-09 0.0 34.9 2000 30.99 1.00 -2 0 -10 2077 1926 22-Sep-09 0.0 34.2 2000 30.96 1.00 -2 0 -11 2085 1933 23-Sep-09 0.0 33.1 2000 30.92 1.00 -3 0 -10 2093 1940 24-Sep-09 0.0 33.3 2000 30.93 1.00 -3 0 -12 2102 1948 25-Sep-09 0.0 34.8 2000 30.98 1.00 -3 0 -11 2109 1955 26-Sep-09 0.0 34.4 2000 30.97 1.00 -3 0 -13 2119 1964 27-Sep-09 0.0 33.1 2000 30.92 1.00 -4 0 -12 2128 1972 28-Sep-09 0.0 32.1 2000 30.88 1.00 -4 0 -13 2137 1980 29-Sep-09 0.0 32.6 2000 30.90 1.00 -4 0 -12 2144 1987 30-Sep-09 0.0 33.1 2000 30.92 1.00 -4 0 -10 2150 1992 01-Oct-09 1.4 30.9 2000 30.83 1.00 -5 0 -7 2151 1993 02-Oct-09 0.0 31.8 2000 30.87 1.00 -5 0 -9 2156 1997 03-Oct-09 0.0 33.4 2000 30.93 1.00 -5 0 -6 2157 1999 04-Oct-09 2.0 28.2 2000 30.73 1.00 -5 1 -7 2158 2000 05-Oct-09 45.6 33.0 1398 30.91 1.00 -5 12 75 2066 1916 06-Oct-09 7.2 31.8 1743 30.87 1.00 -2 2 44 2018 1872 07-Oct-09 0.4 34.6 1766 30.98 1.00 -1 0 42 1976 1834 08-Oct-09 44.0 33.1 1438 30.92 1.00 1 12 57 1908 1772 09-Oct-09 0.0 33.2 1525 30.92 1.00 3 0 48 1863 1731 10-Oct-09 0.2 31.7 1532 30.86 1.00 4 0 59 1808 1681 11-Oct-09 0.0 33.8 1543 30.95 1.00 6 0 52 1762 1639 12-Oct-09 1.8 29.6 1510 30.78 1.00 7 1 52 1716 1598 13-Oct-09 25.6 32.3 1375 30.89 1.00 9 7 71 1647 1535 14-Oct-09 1.6 30.9 1408 30.83 1.00 11 0 67 1591 1484 15-Oct-09 0.2 32.4 1441 30.89 1.00 13 0 58 1545 1442 16-Oct-09 0.0 33.4 1456 30.93 1.00 14 0 52 1507 1408 17-Oct-09 0.0 34.7 1469 30.98 1.00 15 0 36 1487 1389 18-Oct-09 0.0 33.4 1474 30.93 1.00 16 0 35 1468 1372 19-Oct-09 0.2 33.7 1474 30.94 1.00 16 0 33 1451 1356 20-Oct-09 3.6 31.4 1441 30.85 1.00 17 1 34 1433 1340


(3)

Tgl

(mm)

(

C)

Qu

T

F

R

F

dQ

Q

R

Q

H

Q

KBDI

21-Oct-09 0.2 33.6 1484 30.94 1.00 18 0 27 1423 1330 22-Oct-09 0.0 32.9 1494 30.91 1.00 18 0 29 1412 1320 23-Oct-09 0.2 33.9 1507 30.95 1.00 18 0 32 1398 1308 24-Oct-09 0.0 33.6 1360 30.94 1.00 19 0 23 1394 1304 25-Oct-09 1.2 33.1 1276 30.92 1.00 19 0 21 1391 1302 26-Oct-09 0.2 34.0 1311 30.95 1.00 19 0 20 1390 1301 27-Oct-09 0.4 30.1 1299 30.80 1.00 19 0 19 1390 1300 28-Oct-09 0.2 33.4 1316 30.93 1.00 19 0 18 1390 1301 29-Oct-09 0.2 33.3 1339 30.93 1.00 19 0 16 1393 1303 30-Oct-09 0.0 32.5 1352 30.89 1.00 19 0 13 1398 1308 31-Oct-09 0.0 34.2 1398 30.96 1.00 19 0 9 1408 1317 01-Nov-09 0.0 33.1 1416 30.92 1.00 18 0 6 1421 1329 02-Nov-09 14.2 31.9 1024 30.87 1.00 18 4 49 1386 1297 03-Nov-09 32.4 30.9 1032 30.83 1.00 19 9 41 1355 1269 04-Nov-09 40.0 31.0 798 30.84 1.00 20 11 49 1315 1232 05-Nov-09 0.0 32.9 1070 30.91 1.00 21 0 35 1301 1220 06-Nov-09 0.0 34.0 1090 30.95 1.00 22 0 31 1292 1211 07-Nov-09 0.2 33.2 1098 30.92 1.00 22 0 31 1282 1203 08-Nov-09 4.0 33.5 1067 30.93 1.00 22 1 31 1273 1194 09-Nov-09 20.6 33.0 920 30.92 1.00 22 6 34 1256 1179 10-Nov-09 1.4 33.7 996 30.94 1.00 23 0 31 1247 1171 11-Nov-09 0.2 33.3 1034 30.93 1.00 23 0 39 1232 1157 12-Nov-09 33.8 32.6 745 30.90 1.00 24 9 56 1190 1119 13-Nov-09 17.4 33.0 864 30.91 1.00 25 5 41 1169 1100 14-Nov-09 4.2 31.7 915 30.86 1.00 26 1 33 1161 1093 15-Nov-09 0.2 33.4 953 30.93 1.00 26 0 34 1153 1085 16-Nov-09 41.8 32.8 399 30.91 1.00 26 11 59 1109 1045 17-Nov-09 0.0 31.7 887 30.86 1.00 28 0 31 1105 1041 18-Nov-09 0.2 29.2 910 30.77 1.00 28 0 33 1100 1037 19-Nov-09 0.0 31.8 958 30.87 1.00 28 0 30 1097 1035 20-Nov-09 0.0 32.3 971 30.89 1.00 28 0 28 1097 1034 21-Nov-09 16.4 31.4 920 30.85 1.00 28 5 31 1089 1027 22-Nov-09 43.8 31.3 122 30.85 1.00 28 12 86 1019 963 23-Nov-09 0.8 31.4 806 30.85 1.00 30 0 36 1013 958 24-Nov-09 0.0 33.2 869 30.92 1.00 31 0 33 1011 956 25-Nov-09 22.4 30.3 811 30.81 1.00 30 6 36 999 945 26-Nov-09 0.2 29.9 849 30.79 1.00 31 0 35 994 941 27-Nov-09 2.0 27.3 851 30.69 1.00 31 1 38 987 934 28-Nov-09 0.2 30.7 879 30.82 1.00 31 0 38 980 927 29-Nov-09 3.2 32.1 887 30.88 1.00 32 1 40 970 919 30-Nov-09 0.0 32.3 910 30.89 1.00 32 0 95 907 861 01-Dec-09 3.0 30.1 910 30.80 1.00 34 1 37 903 858 02-Dec-09 64.0 33.3 175 30.93 1.00 34 17 84 836 797 03-Dec-09 0.2 31.6 1001 30.86 1.00 36 0 34 838 798 04-Dec-09 2.2 33.0 971 30.91 1.00 36 1 35 838 798 05-Dec-09 0.2 33.2 989 30.92 1.00 36 0 31 842 802 06-Dec-09 3.4 29.4 973 30.77 1.00 36 1 34 843 803 07-Dec-09 4.8 30.2 950 30.80 1.00 36 1 37 841 801 08-Dec-09 0.0 31.7 991 30.86 1.00 36 0 34 842 802 09-Dec-09 7.2 31.8 973 30.87 1.00 36 2 34 842 802 10-Dec-09 0.6 31.3 981 30.85 1.00 36 0 31 847 807 11-Dec-09 0.0 32.4 1006 30.89 1.00 36 0 25 858 816


(4)

Tgl

(mm)

(

C)

Qu

T

F

R

F

dQ

Q

R

Q

H

Q

KBDI

12-Dec-09 0.6 31.8 1014 30.87 1.00 35 0 25 868 826 13-Dec-09 0.2 33.1 1032 30.92 1.00 35 0 23 880 837 14-Dec-09 11.6 31.2 978 30.84 1.00 35 3 32 879 836 15-Dec-09 32.4 29.1 724 30.76 1.00 34 9 32 873 830 16-Dec-09 3.0 30.1 801 30.80 1.00 35 1 31 875 832 17-Dec-09 68.4 27.6 694 30.70 1.00 35 18 31 861 819 18-Dec-09 0.0 31.8 742 30.87 1.00 35 0 30 866 824 19-Dec-09 10.2 31.3 679 30.85 1.00 35 3 34 864 822 20-Dec-09 1.0 31.3 757 30.85 1.00 35 0 31 868 825 21-Dec-09 0.6 31.3 770 30.85 1.00 35 0 29 874 831 22-Dec-09 0.8 31.1 783 30.84 1.00 35 0 26 883 839 23-Dec-09 25.6 30.0 671 30.80 1.00 34 7 32 878 835 24-Dec-09 0.2 32.1 732 30.88 1.00 35 0 72 841 801 25-Dec-09 0.2 31.6 755 30.86 1.00 36 0 65 811 774 26-Dec-09 1.4 28.4 760 30.73 1.00 37 0 28 819 781 27-Dec-09 26.2 29.8 656 30.79 1.00 36 7 33 815 778 28-Dec-09 22.4 30.3 600 30.81 1.00 36 6 34 812 775 29-Dec-09 36.0 30.3 109 30.81 1.00 37 10 77 761 729 30-Dec-09 7.0 27.8 661 30.71 1.00 38 2 27 770 737 31-Dec-09 12.4 30.7 419 30.82 1.00 38 3 38 767 734 01-Jan-10 3.0 31.2 694 30.84 1.00 38 1 58 747 715 02-Jan-10 0.0 31.7 701 30.86 1.00 39 0 62 723 694 03-Jan-10 3.2 31.4 706 30.85 1.00 39 1 64 698 671 04-Jan-10 0.8 33.5 712 30.93 1.00 40 0 44 694 668 05-Jan-10 49.4 28.1 666 30.72 1.00 40 13 29 692 666 06-Jan-10 0.0 30.7 694 30.82 1.00 40 0 61 671 647 07-Jan-10 49.0 30.4 343 30.81 1.00 41 13 48 651 628 08-Jan-10 2.6 26.6 648 30.66 1.00 41 1 30 661 638 09-Jan-10 5.2 27.1 635 30.68 1.00 41 1 35 666 642 10-Jan-10 0.2 31.2 689 30.84 1.00 41 0 70 637 616 11-Jan-10 0.0 31.8 709 30.87 1.00 42 0 62 617 597 12-Jan-10 19.6 30.3 602 30.81 1.00 43 5 40 614 595 13-Jan-10 0.6 29.0 666 30.76 1.00 43 0 36 621 601 14-Jan-10 27.2 28.8 51 30.75 1.00 42 7 72 584 568 15-Jan-10 0.4 29.1 679 30.76 1.00 44 0 20 607 588 16-Jan-10 0.0 30.2 724 30.80 1.00 43 0 51 599 582 17-Jan-10 0.0 30.3 745 30.81 1.00 43 0 49 594 576 18-Jan-10 13.8 29.8 722 30.79 1.00 43 4 53 580 564 19-Jan-10 10.8 29.3 712 30.77 1.00 44 3 18 602 584 20-Jan-10 19.0 32.3 635 30.89 1.00 43 5 19 621 601 21-Jan-10 0.0 30.5 719 30.82 1.00 42 0 20 644 622 22-Jan-10 0.2 32.8 770 30.91 1.00 42 0 36 649 627 23-Jan-10 3.6 30.3 727 30.81 1.00 42 1 54 636 615 24-Jan-10 7.0 30.3 719 30.81 1.00 42 2 55 621 602 25-Jan-10 6.0 29.6 727 30.78 1.00 42 2 55 607 589 26-Jan-10 3.0 31.4 742 30.85 1.00 43 1 51 599 581 27-Jan-10 27.2 28.4 714 30.73 1.00 43 7 21 614 595 28-Jan-10 2.4 29.7 701 30.79 1.00 43 1 55 600 582 29-Jan-10 0.2 30.9 760 30.83 1.00 43 0 46 598 580 30-Jan-10 26.6 29.4 729 30.77 1.00 43 7 53 581 565 31-Jan-10 1.6 30.4 745 30.81 1.00 44 0 46 578 562 01-Feb-10 0.4 29.2 795 30.77 1.00 44 0 44 578 562


(5)

Tgl

(mm)

(

C)

Qu

T

F

R

F

dQ

Q

R

Q

H

Q

KBDI

02-Feb-10 30.2 31.2 780 30.84 1.00 44 8 43 571 555 03-Feb-10 10.6 32.0 795 30.88 1.00 44 3 36 576 560 04-Feb-10 21.6 30.4 704 30.81 1.00 44 6 48 566 551 05-Feb-10 22.6 28.8 760 30.75 1.00 44 6 55 548 535 06-Feb-10 0.0 32.9 846 30.91 1.00 45 0 36 557 543 07-Feb-10 2.4 31.0 813 30.84 1.00 45 1 43 558 543 08-Feb-10 0.2 30.8 846 30.83 1.00 44 0 40 562 548 09-Feb-10 0.0 32.1 882 30.88 1.00 44 0 35 571 556 10-Feb-10 0.8 32.6 897 30.90 1.00 44 0 31 584 567 11-Feb-10 2.8 33.7 854 30.94 1.00 44 1 27 600 582 12-Feb-10 0.4 31.4 920 30.85 1.00 43 0 32 611 592 13-Feb-10 5.0 32.6 826 30.90 1.00 43 1 30 623 603 14-Feb-10 3.2 31.4 920 30.85 1.00 42 1 30 634 613 15-Feb-10 0.4 32.8 978 30.91 1.00 42 0 25 651 629 16-Feb-10 26.6 32.6 775 30.90 1.00 42 7 41 644 622 17-Feb-10 0.2 31.4 930 30.85 1.00 42 0 33 653 630 18-Feb-10 63.6 29.1 663 30.76 1.00 41 17 58 620 600 19-Feb-10 9.8 29.9 752 30.79 1.00 43 3 45 614 595 20-Feb-10 34.6 29.1 483 30.76 1.00 43 9 50 597 580 21-Feb-10 0.0 31.1 892 30.84 1.00 43 0 39 602 584 22-Feb-10 0.0 31.1 928 30.84 1.00 43 0 32 613 594 23-Feb-10 16.6 32.7 737 30.90 1.00 43 5 36 615 595 24-Feb-10 30.6 31.7 712 30.86 1.00 43 8 47 602 584 25-Feb-10 7.2 29.1 783 30.76 1.00 43 2 41 602 584 26-Feb-10 1.0 32.7 882 30.90 1.00 43 0 30 615 595 27-Feb-10 0.6 32.7 900 30.90 1.00 43 0 37 620 600 28-Feb-10 2.4 34.0 869 30.95 1.00 43 1 31 631 610 01-Mar-10 15.0 33.2 783 30.92 1.00 42 4 37 632 611 02-Mar-10 1.8 30.3 849 30.81 1.00 42 1 42 631 610 03-Mar-10 1.0 32.8 879 30.91 1.00 42 0 38 635 614 04-Mar-10 66.0 33.4 628 30.93 1.00 42 17 41 619 599 05-Mar-10 0.8 32.4 884 30.89 1.00 43 0 39 623 603 06-Mar-10 0.0 30.4 910 30.81 1.00 42 0 46 619 599 07-Mar-10 0.2 33.8 971 30.95 1.00 43 0 35 627 606 08-Mar-10 0.6 33.8 958 30.95 1.00 42 0 34 635 614 09-Mar-10 1.2 32.2 1011 30.88 1.00 42 0 28 649 627 10-Mar-10 49.2 32.2 513 30.88 1.00 42 13 70 608 589 11-Mar-10 0.2 33.8 943 30.95 1.00 43 0 41 610 591 12-Mar-10 0.6 33.9 1006 30.95 1.00 43 0 34 619 599 13-Mar-10 1.2 33.4 945 30.93 1.00 43 0 34 627 607 14-Mar-10 33.6 33.6 1001 30.94 1.00 42 9 32 629 609 15-Mar-10 0.0 32.9 803 30.91 1.00 42 0 44 627 607 16-Mar-10 14.6 32.1 767 30.88 1.00 42 4 41 624 604 17-Mar-10 0.2 30.9 940 30.83 1.00 42 0 41 626 606 18-Mar-10 0.2 31.7 991 30.86 1.00 42 0 35 634 613 19-Mar-10 0.2 31.5 1009 30.86 1.00 42 0 31 644 622 20-Mar-10 30.6 33.3 551 30.93 1.00 42 8 36 642 620 21-Mar-10 50.0 29.9 874 30.79 1.00 42 13 33 638 617 22-Mar-10 0.0 33.8 986 30.95 1.00 42 0 21 660 636 23-Mar-10 3.8 33.1 989 30.92 1.00 41 1 23 677 652 24-Mar-10 0.0 33.3 1014 30.93 1.00 41 0 22 696 670 25-Mar-10 1.0 32.0 1006 30.88 1.00 40 0 25 711 683


(6)

Tgl

(mm)

(

C)

Qu

T

F

R

F

dQ

Q

R

Q

H

Q

KBDI

26-Mar-10 0.0 33.5 1044 30.94 1.00 40 0 19 732 702 27-Mar-10 0.0 33.8 1070 30.94 1.00 39 0 19 752 720 28-Mar-10 39.0 31.3 976 30.85 1.00 38 11 29 751 720 29-Mar-10 4.0 33.3 1034 30.93 1.00 39 1 30 759 727 30-Mar-10 4.8 33.2 981 30.92 1.00 38 1 26 769 736 31-Mar-10 2.6 32.9 976 30.91 1.00 38 1 31 775 742 01-Apr-10 6.6 32.6 989 30.90 1.00 38 2 36 776 742 02-Apr-10 2.4 32.8 1004 30.91 1.00 38 1 34 779 744 03-Apr-10 8.8 32.1 956 30.88 1.00 38 2 34 780 745 04-Apr-10 12.0 33.3 961 30.93 1.00 38 3 33 781 747 05-Apr-10 37.0 30.4 879 30.81 1.00 38 10 40 769 735 06-Apr-10 53.8 31.2 844 30.84 1.00 38 14 41 751 720 07-Apr-10 33.0 31.9 620 30.87 1.00 39 9 56 725 696 08-Apr-10 5.8 32.5 859 30.89 1.00 39 2 45 718 689 09-Apr-10 0.0 31.2 892 30.84 1.00 40 0 44 714 686 10-Apr-10 0.0 30.2 902 30.80 1.00 40 0 42 711 683 11-Apr-10 96.6 34.2 208 30.96 1.00 40 24 102 625 604 12-Apr-10 10.4 33.3 638 30.93 1.00 43 3 71 593 576 13-Apr-10 3.8 31.9 706 30.87 1.00 43 1 73 562 548 14-Apr-10 0.0 33.6 821 30.94 1.00 44 0 57 550 536 15-Apr-10 5.0 33.4 826 30.93 1.00 45 1 61 532 520 16-Apr-10 23.8 29.2 722 30.77 1.00 45 7 73 497 488 17-Apr-10 0.2 33.2 1316 30.92 1.00 46 0 58 485 478 18-Apr-10 23.4 31.4 1075 30.85 1.00 47 6 66 460 454 19-Apr-10 0.2 33.5 1103 30.93 1.00 48 0 55 452 447 20-Apr-10 23.8 32.8 940 30.91 1.00 48 7 66 427 425 21-Apr-10 0.2 33.3 889 30.93 1.00 49 0 64 411 410 22-Apr-10 0.4 32.4 983 30.89 1.00 49 0 58 403 403 23-Apr-10 0.2 33.4 1050 30.93 1.00 49 0 60 392 393 24-Apr-10 0.0 33.3 1078 30.93 1.00 50 0 53 389 390 25-Apr-10 24.8 34.0 895 30.95 1.00 50 7 73 359 363 26-Apr-10 0.0 33.1 1037 30.92 1.00 51 0 58 352 357 27-Apr-10 0.2 33.7 1088 30.94 1.00 51 0 46 357 361 28-Apr-10 11.2 31.7 694 30.86 1.00 51 3 58 347 352 29-Apr-10 0.2 32.9 1032 30.91 1.00 51 0 51 347 351 30-Apr-10 0.2 34.1 1060 30.96 1.00 51 0 42 355 359 01-May-10 0.0 31.1 1105 30.84 1.00 51 0 30 376 378 02-May-10 3.8 32.7 1113 30.90 1.00 50 1 30 395 396 03-May-10 4.2 33.9 1052 30.95 1.00 50 1 34 410 409 04-May-10 2.4 34.0 1032 30.95 1.00 49 1 36 423 421 05-May-10 0.2 32.8 1131 30.91 1.00 49 0 29 443 439 06-May-10 0.8 34.0 1161 30.95 1.00 48 0 29 461 456 07-May-10 1.6 34.1 1151 30.96 1.00 48 0 30 479 472 08-May-10 0.6 33.8 1177 30.95 1.00 47 0 26 500 491 09-May-10 3.0 33.3 1151 30.93 1.00 46 1 33 512 502 10-May-10 0.0 32.4 1189 30.89 1.00 46 0 26 532 520 11-May-10 5.0 33.8 1141 30.95 1.00 45 1 31 544 531