I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga etnik Nias. Selain itu memberikan
data-data berupa informasi tentang sebagian kebudayaan etnik Nias, karena nilai anak tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Nias.
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi Gender dan juga
menambah kepustakaan budaya etnik Nias.
I.5. Kerangka Teori
Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat- istiadat. Nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang
dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat. Nilai dapat berfungsi sebagai pedoman orientasi kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan.
Sejak kecil manusia telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam
jiwanya. Oleh karena itu, untuk mengganti nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu yang lama Koentjaraningrat,1996:75-
76. Menurut Parsudi Suparlan dalam Zulkarnain,1995:12 bila berbicara
mengenai nilai tentunya tidak terlepas dari hal-hal yang dianggap baik dan pantas untuk dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat yang harus sesuai dengan
konsepsi budaya yang dimiliki. Nilai-nilai itu dapat dipandang sebagai realitas
Universitas Sumatera Utara
dalam tata pergaulan manusia dengan sesamanya, baik itu berupa lingkungan fisik maupun biologis. Hal ini menunjukkan bahwa nilai anak merupakan bahagian
perwujudan dari konsepsi nilai budaya suatu masyarakat terhadap anak yang dapat mempengaruhi pola pemilikan anak dalam suatu keluarga. Jadi, bila
membicarakan tentang nilai seperti nilai anak dalam suatu masyarakat, maka sekaligus harus diperhatikan dari segi konsepsi nilai budaya yang dimiliki suatu
masyarakat yakni apa fungsi dan manfaat anak terhadap orang tuanya yaitu menyangkut kebutuhan-kebutuhan orangtua yang akan dipenuhi oleh seorang
anak atau setiap anak. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa berupa kebutuhan ekonomis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan psikologis yang semuanya akan
mempengaruhi pola pemilikian anak pada setiap keluarga dalam suatu masyarakat.
Dalam UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak, pengertian
anak dalam pasal 1 butir 2 UU ini mempergunakan dua kriteria yang sifatnya kumulatif yaitu belum mencapai umur 21 tahun, dan belum kawin Pusaka
Indonesia.htm. Dalam Konvensi Hak Anak KHA dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.
Zulkarnain menuliskan bahwa anak merupakan semua yang lahir dari seorang ibu, atau wanita sebagai hasil konsepsi antara suami isteri yang biasanya
melalui suatu bentuk perkawinan yang sah menurut adat dan hukum 1995:23. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengertian anak menurut Zulkarnain.
Hal ini disebabkan karena dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk memberikan deskripsi tentang kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan
dari sejak kecil, dewasa, hingga menikah.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga merupakan kelompok yang terdiri atas wanita, anak-anaknya yang belum berdiri sendiri diatas kaki sendiri, dan setidak-tidaknya seorang laki-
laki dewasa, yang terikat karena hubungan perkawinan atau karena sedarah Haviland,1985:83. Kehidupan keluarga manusia diatur oleh bermacam-macam
adat-istiadat dan hukum yang ditentukan oleh kebudayaannya. Dalam kehidupan keluarga itu tiap individu berada dalam urutan kehidupan, misalnya masa bayi,
penyapihan, kanak-kanak, remaja, sesudah nikah, hamil, tua dan sebagainya. Keluarga sebagai suatu kesatuan sosial terdapat kategori-kategori seperti
ibu, bapak, anak, saudara, bibi, paman, nenek, kakek, kemenakan, cucu dan sebagainya. Hubungan antara kategori ini diatur oleh sejumlah norma yang
melahirkan posisi dan tugas serta hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing anggota keluarga. Posisi dan tugas serta hak ini dinamakan sistem peran sosial.
Peran sosial dalam keluarga menimbulkan hubungan-hubungan sosial tertentu, baik yang didasarkan pada pertalian darah maupun sebagai akibat pernikahan,
yang dinamakan sistem kekerabatan. Sistem keturunan dapat dibagi atas tiga macam hubungan yaitu patrilineal, matrilineal dan bilineal Mansur dkk,1988:15.
Masyarakat Indonesia yang menganut paham patriarkhi khususnya di pedesaan seringkali masih ditemukan adanya anggapan bahwa perempuan tidak
memiliki peran yang berarti dalam kehidupan manusia pada umumnya. Hal ini dimulai ketika perempuan dilahirkan, dilanjutkan dengan ketika anak perempuan
memasuki kanak-kanak, mereka sudah mulai diperlakukan berbeda dengan teman lain yang berkelamin laki-laki. Anak perempuan sudah mulai diperkenalkan
dengan permainan yang terarah kepada domestikasi, dimana anak-anak perempuan disodori permainan boneka, masak-memasak dan lain-lain. Menginjak
Universitas Sumatera Utara
remaja perempuan dijejali dengan petuah bahwa bila menjadi perempuan akan dikatakan perempuan yang baik bila dapat membuat senang suami. Masa remaja
perempuan mulai diajari bagaimana mempersiapkan diri menjadi wanita yang menyenangkan secara fisik dan dipesan untuk selalu patuh dan taat pada suami.
Pemahaman ini selalu terbawa hingga akhir hayat perempuan www.yis.or.id. Perempuan memiliki semangat yang besar dalam mengupayakan
kebutuhan untuk keluarganya, meski dalam kenyataan masyarakat menganggap hanya laki–laki yang menjadi kepala keluarga. Bila ada kekurangan dalam
keluarga, perempuan akan berusaha menutupi kekurangan tersebut. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya perempuan memiliki semangat yang besar dalam
berusaha untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarganya. Hal tersebut secara tidak langsung akan ikut meningkatkan peredaran uang dalam suatu daerah dan
pada gilirannya akan ikut meningkatkan pendapatan perkapita. Potensi-potensi tersebut belum didukung dengan peningkatan upah yang seimbang bila dibanding
dengan hasilnya. Potensi tersebut adalah: semangat, tanggung jawab, tekad, ketrampilan, pengetahuan, berani berkorban, berani ambil resiko dan lain-lain.
Budaya yang dibangun selama ini menempatkan perempuan pada kedudukan lapisan ke dua setelah laki-laki sehingga berdampak pula pada
perlakuan dan sikap yang diberikan. Salah satu contoh adalah perempuan yang mendapat peran dalam penata laksana di dalam rumah tangga tidak mendapatkan
prioritas dalam menikmati hasil yang telah dikerjakan. Dari pembagian dan kesempatan makan, perempuan mendapatkan bagian yang tidak sebanding dengan
laki-laki di dalam keluarganya. Apa lagi bila keluarga tersebut dalam kondisi kekurangan, tidak mustahil bila perempuan akan mengalah untuk tidak makan
Universitas Sumatera Utara
karena lebih mengutamakan kebutuhan makan bagi suami dan anak-anaknya www.yis.or.id. Menurut Listiani 2002:42 dalam kelompok setiap etnis akan
berbeda cara yang diambil dalam memutuskan suatu keputusan dan budaya merupakan penghalang yang selalu menempatkan perempuan sebagai mahkluk
yang inferior dan banyak ditemui ungkapan-ungkapan yang masih bias gender. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Perempuan
adalah mitra laki-laki. Tetapi kenyataan di lapangan, laki-laki yang lebih banyak berperan dan mendapat kesempatan pada setiap aspek kegiatan baik politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain.Terlebih-lebih di daerah Nias yang masih terikat adat dan budaya serta menjunjung tinggi ideologi
patriarkat yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kaum lelaki. Tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam peran dan hak-haknya
http:www.museum-nias.net?p=246. Collins menerapkan teori Karl Marx dan Engel dalam pola relasi sosial di
keluarga yang dijadikan dasar untuk menganalisis kedudukan wanita dalam keluarga dan masyarakat. Kaum pria diibaratkan sebagai kaum borjuis dan kaum
wanita sebagai kaum proletar yang tertindas, baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual dan properti di dalam keluarga. Menurut paradigma konflik sosial yang
bersumber dari pemikiran Marx, keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif harmonis dan seimbang, melainkan dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh
konflik, dimana ada anggapan bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang opresif. Keragaman biologis yang menciptakan
peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme atau patriarkhat Megawangi,1999:85-91.
Universitas Sumatera Utara
Sejak dahulu kala, tujuan utama perkawinan di Nias adalah untuk meneruskan keturunan dan untuk mengadakan hubungan keluarga dengan pihak
orangtua si gadis dengan seluruh kaum famili dan kerabatnya. Dalam kebudayaan manusia, perkawinan berfungsi sebagai pengatur kehidupan kelamin dan dalam
kehidupan bermasyarakat manusia yaitu memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup,
memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu Koentjaraningrat,
1996:93. Seorang anak yang telah menikah, akan mempunyai kewajiban terhadap
orang tuanya. Selain menghormati dan mematuhi orangtua, mereka akan dipelihara pada hari tua dengan segala kebutuhannya oleh anak-anaknya.
Sehingga, mereka memiliki kewajiban ganda yakni kepada istri dan anak-anak dan kepada orangtuanya Laiya, 1975:75. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa
anak laki-lakilah yang bertanggung jawab penuh terhadap orang tuanya pada hari tua.
Pola pemilikan anak juga berkaitan dengan prinsip keturunan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Misalnya suku Nias yang menganut sistem
patrilineal, tentunya sangat mendambakan kelahiran anak laki-laki, dan usaha untuk itu akan selalu dilakukan, seperti dengan memproduksi anak terus-menerus
atau kawin lagi dengan wanita lain atau dengan mengadopsi anak saudara laki- lakinya. Keluarga yang mempunyai keinginan yang amat kuat terhadap jenis
kelamin anak tertentu atau menginginkan paling tidak ada satu anak laki-laki dan
Universitas Sumatera Utara
satu anak perempuan, mungkin akhirnya mempunyai jumlah anak yang lebih tinggi daripada yang diinginkan semula.
Di masyarakat acap kali adanya stigma bahwa perempuan hanya berfungsi untuk mengerjakan pekerjaan rumah semata. Sehingga dalam rumah tangga pun
istri selalu dianggap hanya untuk menjalankan fungsi di dapur, di sumur dan di kasur. Akibat dari stigma ini seringkali terjadi pengabaian terhadap hak-hak
perempuan, diskriminasi, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, pengekangan dalam kebebasan berpendapat dan bahkan mendapatkan perlakuan-
perlakuan tindak kekerasan. Dengan stigma yang berkembang di masyarakat saat ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kaum perempuan karena selalu
tersisihkan. Apabila tindakan ini terus berlangsung maka kaum perempuan akan terus pada posisi yang lemah dan mengalami keterpurukan. Masalah diskriminasi
terhadap perempuan, sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya perlindungan dengan meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan UU No. 7 Tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984. Namun perlakuan diskriminasi terhadap perempuan tetap
saja terus berlangsung, apakah kondisi ini dipengaruhi oleh kultural pemberdayaanperempuanbrr.wordpress.com.
Duha menuliskan tanpa disadari telah terjadi ketidaksetaraan gender dalam etnik Nias. Bila bertolak dari pengertian gender maka dari segi tata nilai sosial
budaya dan adat istiadat di Nias sudah jelas bahwa semua peran, fungsi, hak dan tanggungjawab lebih di dominasi oleh laki-laki. Jika kita menoleh sejenak ke
belakang di bawah tahun delapan puluhan, perempuan di Nias pada umumnya hanya diberi peran sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh anak, memasak
Universitas Sumatera Utara
untuk keluarga, bertindak atas keputusan suami dan berpendidikan sangat rendah. Pada zaman ini perempuan hanya mau mengikuti saja apa yang telah diputuskan
oleh ayahsuami. Kesempatan untuk mengungkapkan pendapat tidak diberikan sama sekali. Namun demikian, oleh karena kemajuan pendidikan dan pengalaman,
ada juga keluarga yang tidak hanya didominasi oleh laki-laki atau suamiayah, tetapi jumlahnya masih sedikit www.museum-nias.net?p=246.
Secara garis besar bentuk ketidak-adilan gender ada lima yaitu: a. Marginalisasi peminggiran
Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Anggapan perempuan bekerja hanyalah untuk dirinya sendiri atau sebagai nafkah tambahan
menyebabkan banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu strategis, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari
pekerjaan yang didapatkan. Juga, karena perempuan dianggap tidak punya kemampuan analitis maka perempuan hanya diserahi pekerjaan yang
bersifat teknis dan rutin. b. Subordinasi penomorduaan
Pandangan gender ternyata dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional
sehingga tidak dapat memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Sebagai contoh, di sebuah rumah tangga
masih sering kita dengar jika keuangan mereka sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, maka
anak laki-laki akan mendapatkan kesempatan pertama dibandingkan anak
Universitas Sumatera Utara
perempuan. Kenyataan seperti itu sesungguhnya berangkat dari suatu ketidakadilan gender.
c. Stereotipe negatif pelabelanpemberian cap negatif pada satu kelompok atau individu
Banyak sekali ketidakadilan terhadap perempuan yang bersumber pada anggapan yang diberikan pada mereka. Sebagai contoh, banyak
masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan berstatus janda dianggap sebagai penggoda. Tidak sedikit pula masyarakat yang beranggapan bahwa
perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan dengan anggapan ini. Sehingga, bila terjadi perkosaan masyarakat cenderung menyalahkan korban. Stereotipe terhadap kaum
perempuan ini terjadi dimana-mana. d. Beban ganda double burden
Perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas domestik seperti membersihkan rumah, memasak, melayani suami dan merawat
anak-anak. Ketika perempuan juga bekerja di luar rumah, dan bahkan sering sebagai pencari nafkah utama, beban tugas domestik inipun masih
dibebankan padanya. Tugas perempuan menjadi bertumpuk, sangat banyak. Bahkan banyak yang mengatakan tugas perempuan dimulai dari
terbitnya matahari sampai “terbenamnya” mata suami. e. Kekerasan terhadap perempuan
Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender. Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk
Universitas Sumatera Utara
tindakan kekerasan yang berbasis gender, yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara
fisik maupun psikologis, baik yang terjadi di ruang publik maupun di ruang domestik pemberdayaanperempuanbrr.wordpress.com;
Listiani,2002:17-26;Fakih,1996:12-23. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut seperti dua sisi mata uang
dalam kehidupan dan pola relasi laki-laki dan perempuan. Kondisi seperti ini sudah sangat lama berlangsung ditengah-tengah masyarakat. Bahkan seluruh
element menerimanya sebagai realita budaya yang tidak perlu lagi dievaluasi keberadaannya. Apalagi untuk direkonstruksi ulang dengan memberikan nilai-
nilai budaya baru yang lebih adil untuk semua orang. Budaya baru dalam konteks ini adalah dimana posisi perempuan lebih dihargai derajat individu dan derajat
sosialnya daripada kondisi sebelumnya. Pada sisi yang lain terlihat secara nyata, bahwa perempuan secara ekonomi dalam keluarga tidak hanya sebagai
komplement, akan tetapi hal yang sesungguhnya adalah perempuan menjadi bahagian dari kunci sukses dalam upaya mencapai cita-cita keluarga
Listiani,2002:26. Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui
proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut
akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang
Universitas Sumatera Utara
tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dapat dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan Fakih,1996:9.
I.6. Kerangka Konsep