Nilai Anak Perempuan Dalam Ekonomi Keluarga Suku Nias (Suatu analisis gender di Desa Sisobambowo, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias)

(1)

NILAI ANAK PEREMPUAN DALAM

EKONOMI KELUARGA NIAS

(Suatu deskripsi tentang nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga Nias di Desa Sisobambowo Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias)

D I S U S U N OLEH: RUKUN S.HIA

040905026

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Rukun Sana Rima Hia, 2008. Judul skripsi : Nilai Anak Perempuan Dalam Ekonomi Keluarga Suku Nias (Suatu analisi gender di Desa Sisobambowo, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias) terdiri dari 5 BAB, 107 halaman,10 daftar tabel, daftar pustaka, daftar istilah Nias, daftar informan, interview guide, surat penelitian, peta lokasi dan foto penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga suku Nias. Anak perempuan memiliki posisi nomor dua dalam keluarga dan anak laki-laki yang berada pada posisi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh garis keturunan patrilineal pada suku Nias dalam melihat garis keturunan.

Penelitian ini dilakukan di Desa Sisobambowo, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias. Penelitian ini merupakan suatu analisis gender dalam kehidupan keluarga suku Nias yang menyangkut pada kontribusi ekonomi yang diberikan oleh anak perempuan.

Nilai anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan nilai anak perempuan. Anak laki-laki adalah penerus keturunan dan marga dari ayah serta penerima harta warisan dalam keluarga. Anak laki-laki adalah pengganti orangtua dalam adat. Anak perempuan adalah pengembang hubungan keluarga dan tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan. Kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan sangat besar dalam kegiatan produktif dan reproduktif. Anak perempuan memberikan kontribusi dari sejak kecil, dewasa dan hingga menikah terhadap keluarganya.

Orangtua lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan. Akibatnya, jumlah anak akan semakin besar dan biaya yang dibutuhkan anak-anak akan semakin mahal. Orangtua akan memilih anak yang akan disekolahkan akibat dari kondisi ekonomi yang kekurangan. Pilihan orangtua akan jatuh ke tangan anak laki-laki.

Anak perempuan suku Nias telah mengalami ketidakadilan gender dalam keluarganya. Ketidakadilan tersebut berupa subordinasi (penomorduaan) dan marginalisasi karena adanya pengutamaan terhadap anak laki-laki. Kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan sangat tinggi terhadap keluarganya baik sebagai sumber tenaga kerja dan penghasilan serta mahar yang akan diterima oleh keluarganya bila ia menikah. Walaupun demikian, anak laki-laki yang tetap lebih diutamakan dibanding dengan anak perempuan.


(3)

Saya sangat percaya bahwa saat terbaik

Setiap orang, Kepenuhannya dalam

Segala yang dicintainya adalah

Ketika ia telah berjuang dengan

Sepenuh hati untuk sesuatu yang

Layak…..

Dan tergeletak kelelahan di

Medan pertempuran sebagai

PEMENANGNYA

(Vince Lombar

di)

SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK: A.T HIA & R.MUNTHE (Orangtua) CHRISTIAN FITER F.HIA (Abang) JHONIFER REZEKI HIA (Adek) RIZKI R.KRISMAN HIA (Adek) PUTRA UTAMA HIA (Adek)


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Nama : Rukun Sana Rima Hia Nim : 040905026

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : NILAI ANAK PEREMPUAN DALAM EKONOMI KELUARGA SUKU NIAS

(Suatu analisis gender di Desa Sisobambowo, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias)

Medan, Maret 2008

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Dra.Sri Emiyanti,MSi) (Drs.Zulkifli Lubis,MA) NIP. 131 790 658 NIP.131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(5)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan terhadap Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi kekuatan dari sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini. Trimakasih Tuhan sebab tanpa pertolongan-Mu, penulis tidak dapat menyelesaikannya.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga kepada: Prof.Dr.M.Arief Nasution,MA sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; Drs.Zulkifli Lubis,Ma sebagai ketua Departemen Antropologi FISIP USU; Prof.Dr.Chalida Fachruddin sebagai penasehat akdemik yang bersedia meluangkan waktu untuk mahasiswa didiknya; Drs.Sri Emiyanti,Msi sebagai pembimbing penulis yang telah banyak memberikan kontribusi teoritis dan metodologi dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada dosen Antropologi yang telah menjadi pengajar penulis selama mengikuti perkuliahan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Susy Ernawati (Ncus) dan Yudita Theresia (Ita) yang telah menjadi sahabat penulis selama di kuliah di Antropologi Fisip Usu. Sahabat-sahabatku di SMU: Resti, Velma, Mawan, Parlin, Calvin, Everg, Seven, Lenta, Santy dan teman-teman dari kelas A lainnya yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, makasih ya buat dukungannya. Tidak lupa juga penulis ucapkan terimakasih kepada Icha, Putri, Siwa serta kerabat Antropologi Fisip stambuk 2004 lainnya.


(7)

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Fransiska, Feronika, dan Fani sepupuku yang telah banyak memberi dorongan dan doa. Kepada keluarga Bapak Sa’a (A/I Siska Hia) di Gusit, penulis ucapkan trimaksih atas bantuannya sejak penulis berada di bangku SMU hingga kuliah.

Penghargaan sebesar-besarnya penulis berikan kepada kedua orang tuaku (AT.Hia dan R.Munthe) atas semua yang telah penulis terima baik kasih sayang, ketulusan, dukungan dan materi dari sejak lahir hingga saat ini. Trimakasih buat semuanya. Kepada ke empat saudaraku: Christian Fiter F.Hia, Jhonifer Rezeki Hia, Rizki R.Krisman Hia, dan Putra Utama Hia terimakasih buat dukungan dan semangat yang kalian berikan.

Ya’ahowu!!

Medan, maret 2008 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...i

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….ii

ABSTRAK ……….iii

KATA PENGANTAR ...iv

DAFTAR ISI ……….vi

DAFTAR TABEL ………vii

BAB I. PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Masalah……….1

I.2.Perumusan Masalah ……….9

I.3.Lokasi Penelitian ………10

I.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ………11

I.5.Kerangka Teori ………11

I.6.Kerangka Konsep ………21

I.7.Metodologi Penelitian ………23

I.7.1.Tipe Penelitian ………23

I.7.2.Teknik Pengumpulan Data ………24

I.7.3.Analisis Data ………....26

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN II.1.Lokasi dan Letak Desa ... .. ………28

II.2.Sejarah Desa …...………....29

II.3Keadaan Alam ...………....30

II.4.Kependudukan ....………31

III.4.1.Jumlah Penduduk . ………31

III.4.2.Agama . ………33

III.4.3.Pendidikan ………34


(9)

BAB III. SISTEM KEKERABATAN

III.1.Keluarga …..………41

III.2.Anak …………..………42

III.2.1. Acara yang dilakukan pra kelahiran anak………42

III.2.2. Acara yang dilakukan pasca kelahiran anak………43

III.2.3. Anak angkat (ono ni sou) .………44

III.3.Kelompok Kekerabatan ……….………45

III.4.Sitem Pelapisan Sosial ……….………48

III.4.1.Mahar untuk tingkatan ke sepuluh .………....51

III.4.1.Mahar untuk tingkatan ke sembilan .………52

III.4.1.Mahar untuk tingkatan ke delapan .………....54

III.5.Harta Warisan ……….………59

BAB IV. NILAI ANAK PEREMPUAN IV.1.Nilai Ekonomi Anak ………61

IV.1.1.Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai sumber tenaga kerja dan penghasilan keluarga .………61

IV.1.2.Anak perempuan dan anak laki-laki Sebagai investasi .………....70

IV.1.3. Beban ekonomi anak …..………...72

IV.2.Nilai Sosial Anak …….………74

IV.2.1.Anak perempuan sebagai pengembang hubungan keluarga ….………....74

IV.2.2.Anak laki-laki sebagai penerus keturunan dan pewaris ………..………...….…...76

IV.3.Nilai Psikologi Anak ……… 80

IV.3.1.Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai Pembawa kebahagiaan ……….80

IV.3.2.Anak sebagai tumpuan harapan orangtua dan tempat bernaung di hari tua ……….…………83

IV.4.Hubungan Nilai Anak dengan Kegiatan Ekonomi Keluarga ……….85


(10)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………....89

V.1.KESIMPULAN .………...89

V.2.SARAN ………91

DAFTAR PUSTAKA ………93

DAFTAR ISTILAH ………96

DAFTAR INFORMAN ………99

INTERVIEW GUIDE ………....103

LAMPIRAN SURAT IJIN PENELITIAN ………..108

PETA LOKASI ………..112


(11)

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel II.2 Komposisi Penduduk Menurut Usia dan Kelompok Pendidikan Tabel II.3 Komposisi Penduduk Menurut Agama

Tabel II.4 Komposisi Penduduk Menurut Lulusan Pendidikan Umum Tabel II.5 Komposisi Siswa SD Sisobambowo Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel II.6 Komposisi Siswa SLTP Negri 4 Mandrehe Berdasarkan Jenis

Kelamin

Tabel II.7 Komposisi Siswa SLTA Negri 2 Mandrehe Berdasarkan Jenis

Kelamin

Tabel II.8 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

TABEL IV.1 Pembagian Kerja dan Curahan Waktu Yang Dihabiskan Oleh Anak

Dalam Mengerjakan Pekerjaan Rumah Tangga (Reproduktif)

TABEL IV.2 Pembagian Kerja dan Curahan Waktu Yang Dihabiskan Oleh Anak


(13)

ABSTRAK

Rukun Sana Rima Hia, 2008. Judul skripsi : Nilai Anak Perempuan Dalam Ekonomi Keluarga Suku Nias (Suatu analisi gender di Desa Sisobambowo, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias) terdiri dari 5 BAB, 107 halaman,10 daftar tabel, daftar pustaka, daftar istilah Nias, daftar informan, interview guide, surat penelitian, peta lokasi dan foto penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga suku Nias. Anak perempuan memiliki posisi nomor dua dalam keluarga dan anak laki-laki yang berada pada posisi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh garis keturunan patrilineal pada suku Nias dalam melihat garis keturunan.

Penelitian ini dilakukan di Desa Sisobambowo, Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias. Penelitian ini merupakan suatu analisis gender dalam kehidupan keluarga suku Nias yang menyangkut pada kontribusi ekonomi yang diberikan oleh anak perempuan.

Nilai anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan nilai anak perempuan. Anak laki-laki adalah penerus keturunan dan marga dari ayah serta penerima harta warisan dalam keluarga. Anak laki-laki adalah pengganti orangtua dalam adat. Anak perempuan adalah pengembang hubungan keluarga dan tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan. Kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan sangat besar dalam kegiatan produktif dan reproduktif. Anak perempuan memberikan kontribusi dari sejak kecil, dewasa dan hingga menikah terhadap keluarganya.

Orangtua lebih mengharapkan kelahiran anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan. Akibatnya, jumlah anak akan semakin besar dan biaya yang dibutuhkan anak-anak akan semakin mahal. Orangtua akan memilih anak yang akan disekolahkan akibat dari kondisi ekonomi yang kekurangan. Pilihan orangtua akan jatuh ke tangan anak laki-laki.

Anak perempuan suku Nias telah mengalami ketidakadilan gender dalam keluarganya. Ketidakadilan tersebut berupa subordinasi (penomorduaan) dan marginalisasi karena adanya pengutamaan terhadap anak laki-laki. Kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan sangat tinggi terhadap keluarganya baik sebagai sumber tenaga kerja dan penghasilan serta mahar yang akan diterima oleh keluarganya bila ia menikah. Walaupun demikian, anak laki-laki yang tetap lebih diutamakan dibanding dengan anak perempuan.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Menurut statistik PBB di tahun 1980-an, diperoleh informasi bahwa: (1) perempuan mengerjakan 2/3 pekerjaan di seluruh dunia, tetapi hanya menerima 1/10 dari penghasilan seluruh dunia, (2) dari penduduk dunia yang masih buta huruf 2/3 adalah perempuan sementara ia mendapat beban “mendidik” anak keturunannya, dan (3) perempuan di dunia hanya memiliki kurang dari 1/100 kekayaan dunia (Muniarti,2004:75).

Informasi tersebut juga didukung oleh pendapat Charlton dan Sharma (dalam Moore,1998). Charlton menuliskan bahwa sekitar setengah dari kaum wanita diseluruh dunia hidup dan bertani di negara-negara yang sedang berkembang dan menghasilkan 40 sampai 80 persen dari seluruh produksi pertanian. Menurut Sharma bahwa dalam hampir setiap rumah tangga dimana kaum kaum laki-laki terlibat dalam pertanian, wanita juga memberikan sumbangan dalam kapasitas tertentu, sekalipun kaum wanita sendiri (dan memang kaum laki-laki) memandang sumbangan ini sebagai bagian dari “kerja rumah”.

Menurut Laurel Bossen telah terjadi bias gender dalam kajian antropologi tradisional tentang evolusi sistem mata pencaharian hidup masyarakat tradisional. Dalam masyarakat pengumpul dan berburu, aktivitas ekonomi wanita diabaikan, wanita dipandang sebagai tanggungan laki-laki. Laki-laki selalu digambarkan sebagai pemburu dan makanan didominasi oleh daging. Wanita tinggal di tempat


(15)

tinggalnya bersama dengan anak-anak dan laki-laki pulang membawa hasil buruan (1989:318-323).

Daging bukanlah menu utama dalam masyarakat pengumpul dan berburu. Walaupun daging sedikit dikonsumsi tetapi waktu laki-laki sebagian besar digunakan untuk berburu dan wanita mengumpulkan makanan. Hal ini menyebabkan dikotomi seksual dalam menyumbangkan makanan yang bersumber dari tanaman dan hewan. Hasil tanaman menjadi menu utama bila hasil buruan tidak ada dan penyedianya adalah wanita bagi anak-anak dan suaminya. Laki-laki kembali berburu tanpa hasil dapat menyebabkan kelaparan bagi keluarga kecuali bila ada wanita yang menyediakan makanan.

Kaum wanita di seluruh dunia terlibat dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan ke dalam empat kelompok: kerja pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga, dan kerja upahan. Namun, banyak yang menganggap kerja wanita tanpa upah dan sumbangannya pada pendapatan rumah tangga diremehkan. Ada beberapa alasan penyebabnya, tetapi yang paling penting jelas berkaitan dengan defenisi tentang “kerja” itu sendiri. Kerja bukan hanya sekedar persoalan apa yang dilakukan orang karena setiap defenisi juga harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu. Kalau kerja secara konvensional dipahami sebagai ‘kerja upahan di luar rumah’, maka nilai kerja subsistem dan domestik kaum wanita tidak diakui (Moore,1998:82).


(16)

Pembagian nilai tergantung kepada anggapan masyarakat itu sendiri mengenai apa yang dianggap paling berharga dan pantas untuk dimiliki dalam hidupnya. Sejak kecil, setiap individu telah diresapi nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat melalui proses sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi. Begitu juga dengan nilai anak dalam suatu masyarakat tergantung dari budaya masyarakat itu sendiri.

Anak dalam masyarakat petani di desa dianggap mempunyai nilai sosial dan ekonomi yang besar, karena dapat menambah gengsi dan hubungan sosial orang tuanya pada waktu menikahkan anak gadisnya, serta menambah penghasilan rumah tangga apabila dipekerjakan. Sikap mental yang mengganggap anak dalam rumah tangga hanya sebagai tenaga yang menguntungkan dapat menimbulkan sikap yang melupakan kebutuhan anak akan kesejahteraan dan kesehatannya dimasa yang akan datang (Koentjaraningrat,1984:36).

Anak dalam kehidupan suku Nias seperti di suku-suku lainnya secara umum merupakan berkat atau rezeki yang sangat disyukuri dan dinanti-nantikan oleh sebuah keluarga yang baru terbentuk. Suku Nias menganut patrilineal dalam melihat garis keturunan sangat mendambakan kehadiran seorang anak laki-laki dalam keluarga. Seorang ibu yang melahirkan anak pertama yaitu perempuan maka kemungkinan besar keluarga tersebut akan sangat kecewa, sebab yang paling diharapkan lahir adalah anak laki-laki yang dianggap sebagai pembawa rejeki dan generasi penerus. Perempuan dianggap kurang penting, inferior, dan tidak berkompeten memegang satu jabatan (www.museum-nias.net/?p=246).


(17)

Kekecewaan yang dialami keluarga akan lahirnya seorang anak perempuan juga dirasakan oleh suku Turkana di Kenya Bagian Selatan. Jika bayi yang lahir adalah laki-laki, tali pusatnya dipotong dengan sebilah tombak dan pesta diselenggarakan dengan menyembelih empat ekor kambing bagi perempuan yang melahirkan bayi itu. Ketika perempuan itu bangun dan keluar dari rumahnya setelah empat hari bersalin, tombak itu diambil dulu dan digunakan untuk membegal seekor lembu jantan, kemudian perempuan itu maupun suaminya memakan daging lembu sembelihan sebagai tanda bahwa sang suami kini telah memiliki seseorang untuk membantunya mengurus ternak. Tetapi jika bayinya perempuan, digunakan pisau untuk memotong tali pusar, cuma seekor kambing yang disembelih dan tidak ada pesta (Moose,1996:1).

Keutamaan anak laki-laki terjadi juga di India, Pakistan dan Banglades. Perempuan lebih menyukai anak laki-laki karena anak perempuan akan meninggalkan rumah suatu hari nanti, menyedot sebagian kekayaan keluarga dalam bentuk mas kawin, sementara anak laki-laki menawarkan janji autonomi dan autoritas masa depan atas menantu perempuan serta para cucu. Perempuan yang melahirkan anak laki-laki akan diperlakukan lebih baik ketimbang perempuan yang hanya melahirkan anak perempuan dan perlakuan semacam ini berlanjut kepada anak-anaknya. Ada banyak bukti bahwa anak laki-laki disusui lebih sering dan lebih lama dibandingkan saudara perempuannya, anak laki-laki lebih sering mendapatkan perawatan dokter ketimbang anak perempuan, anak laki-laki diberi makan lebih dahulu sebelum anak perempuan, dan dididik secara lebih serius (Mosse,1996:67).


(18)

Menurut hukum adat, bila orangtua tidak mempunyai anak sendiri, seringkali diangkat seorang anak dengan maksud untuk melanjutkan keturunan keluarga. Dengan berbagai upacara dan pemberian, serta diketahui oleh kepala-kepala adat, anak yang bersangkutan dilepaskan dari keluarganya sendiri dan dimasukkan dalam keluarga orang tua yang mengangkatnya. Pengangkatan anak secara resmi berakibat bahwa kedudukan anak angkat itu seperti anak sendiri, sedangkan hubungan dengan keluarga yang sebenarnya sama sekali terputus, seringkali juga mengenai hak waris. Di samping itu terjadi pula pengangkatan anak secara tidak resmi, tanpa mengadakan pemberian atau upacara dan tidak dihadapkan kepada kepala adat, misalnya di Sulawesi dan Jawa. Biasanya yang diangkat anak saudara tetapi pengangkatan anak yang tidak resmi itu juga dianggap sebagai anak sendiri, tetapi mengenai hak waris kedudukannya berbeda dengan anak kandung. Anak angkat tidak berhak atas harta benda yang diperoleh dari orangtua angkat sebagai warisan dan masih berhak mendapat bagian dari warisan orangtua sendiri (Soewondo, 1984:137).

Pada umumnya anak yang diangkat dalam keluarga suku Nias adalah anak laki-laki. Anak yang diangkat tersebut menjadi penerus keturunan keluarga yang mengangkatnya. Walaupun yang diangkat pada umumnya adalah anak laki-laki, ada kalanya anak perempuan diangkat sebagai anak. Misalnya di Bali, seharusnya anak laki-laki yang melanjutkan keturunan keluarga dan kelak menjadi kepala keluarga. Bila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan saja, maka salah satu diantaranya umumnya yang sulung, dapat diangkat sebagai sentana, dengan segala hak dan kewajiban seperti anak laki-laki yang sulung; sentana perempuan itu akan melangsungkan perkawinan ambil anak. Mengenai pengangkatan anak di


(19)

Bali dapat diterangkan pula bahwa jika permaisuri tidak beranak, maka anak-anak dari istri-istri lain dapat diangkat sebagai anak permaisuri dan dapat melanjutkan keturunan keluarga dan kedudukan ayahnya.

Bagi masyarakat Nias, umumnya yang berada di pedesaan pendidikan untuk kaum perempuan bukanlah hal yang penting. Anak perempuan banyak yang bekerja di ladang membantu orangtua dan dapat menghasilkan uang. Setelah cukup umur mereka akan dikawinkan dan berkeluarga. Prioritas pendidikan terdapat pada anak laki-laki dan khususnya anak sulung karena ia merupakan pengganti kedudukan ayahnya dan penerus keturunan.

Menurut Natauli Duha anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya melanjutkan sekolah di SMP/SMU, apalagi ke Perguruan Tinggi. Mereka hanya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orangtua membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-laki. Salah satu penunjang biaya pendidikan anak laki-laki biasanya dalam keluarga menurut kebiasaan mereka adalah memelihara babi. Dalam hal ini yang ditugaskan untuk itu adalah anak perempuan. Mereka harus mengurus dan memelihara ternak babi sampai besar dan setelah besar, lalu dijual. Hasilnya akan diserahkan untuk biaya sekolah anak laki-laki. Hal ini paling menyakitkan, karena perempuan tidak menikmati hasil jerih payahnya. Akibat dari pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tinggal dalam kebodohan dengan dalih kodrat (www.museum-nias.net/?p=246).

Menurut Listiani (2002,47) kebanyakan keluarga jika keuangan tidak mencukupi dan sangat terbatas, dimana harus memilih dalam mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka pilihannya adalah kepada


(20)

anak laki-laki, yang mendapatkan prioritas utama untuk sekolah karena anak perempuan dianggap tidak penting dan tidak layak. Laki-laki adalah kepala keluarga dan laki-laki yang memberi nafkah keluarga. Ada anggapan bahwa perempuan walau sekolah tinggi-tinggi akan tetap berada di dapur dan jika menikah nanti akan ikut dengan suami. Keadaan ini sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil yang dilakukan dalam mengambil suatu keputusan di keluarga.

Berkaitan dengan prinsip keturunan garis patrilineal, maka sistem pembagian warisan mengikuti aturan tersebut. Pada masyarakat Nias, yang mendapat warisan hanyalah anak laki-laki saja, anak perempuan yang sudah menikah atau belum menikah tidak berhak mendapat warisan. Anak laki-laki yang sulung (sia’a) selalu mendapat bagian yang lebih dari saudara-saudaranya yang lain. Anak yang sulung mendapat bagian yang istimewa, karena ia akan menjadi pengganti bapaknya dan membayar hutang-hutang orang tuanya.

Sesuai dengan kebiasaan di Nias, perempuan tidak boleh angkat bicara sekalipun keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri, seandainya suami tidak ada di rumah sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saat itu juga, maka istri tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menunggu suami pulang. Namun, jika ayah mertuanya ada di rumah, maka itulah yang bisa membantu memberi keputusan. Dalam musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya menunggu apa yang diputuskan oleh kaum lelaki. Bagi perempuan yang sudah menyandang status janda dan perawan tua sudah tentu mereka kurang diperhitungkan dan difungsikan dengan alasan kurang mampu apalagi bila kondisi sosial ekonomi yang tidak


(21)

memadai. Begitu juga dengan perawan tua, dalam setiap pesta adat misalnya pesta perkawinan, maka pada saat pembagian jatah makanan urakha nama mereka tidak pernah disebutkan (www.museum-nias.net/?p=246).

Grafland menuliskan (dalam Subadio dan Ihromi,1994:44) pada umumnya dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang wanita memiliki tempat kedua dalam masyarakat. Namun demikian bukan tidaklah dapat dipastikan bahwa dalam pergaulan masyarakat khususnya dalam keluarga, wanita itu jauh lebih rendah kedudukannya dari pria. Walaupun harus diakui bahwa dalam pergaulan umum wanita itu umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata. Menurut Mansyur (dalam Listiani,2002:47) permasalahan gender dan kondisi ketidakadilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga, bagaimana proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan menggunakan asumsi bias gender. Oleh karena itu rumah tangga merupakan tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender.

Berdasarkan uraian diatas dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa pada masyarakat etnik Nias telah terjadi ketidakadilan gender. Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggungjawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Maka kesetaraan dan keadilan adalah proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Penulis ingin mendeskripsikan bias gender


(22)

yang terjadi terhadap anak perempuan di Nias dan berusaha untuk menuliskan kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dalam keluarganya.

I.2. Perumusan Masalah

Masyarakat Nias menganut sistem patrilineal yang sangat mengutamakan anak laki-laki baik sebagai penerus keturunan, pewaris dari harta warisan, dan tumpuan harapan orang tua. Sehingga, anak perempuan tidak mendapat tempat didalamnya.

Dipilihnya anak perempuan sebagai objek penelitian didasarkan atas pengamatan bahwa adanya kesenjangan nilai antara anak perempuan dan anak laki-laki. Setiap keluarga akan berusaha dan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan anak laki-laki.

Secara sederhana penelitian ini dilakukan untuk melihat nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga karena diduga kedudukan dan peran anak perempuan lebih rendah dari pada anak laki-laki tetapi kontribusi yang mereka berikan dalam keluarga sangat besar. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

- Bagaimana nilai anak dalam ekonomi keluarga Nias dari segi ekonomis,

sosial dan psikologis. 1. Nilai ekonomis anak:

a. Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai sumber tenaga

kerja dan penghasilan dalam keluarga.


(23)

2. Nilai sosial anak:

a. Anak perempuan sebagai pengembang hubungan keluarga.

b. Anak laki-laki sebagi penerus keturunan dan pewaris dari harta warisan.

3. Nilai psikologis anak:

a. Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai pembawa

kebahagiaan.

b. Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai tumpuan harapan

orangtua dan tempat bernaung di hari tua.

- Bagaimana hubungan atau akibat nilai anak dengan kontribusi yang

diberikan anak dalam kegiatan ekonomi keluarga.

I.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Sisobambowo Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias. Kecamatan Mandrehe merupakan wilayah Kabupaten Nias dan penduduknya masih memegang hukum adat Nias.

Menurut pengamatan penulis, di Desa Sisobambowo kehadiran seorang anak sangat diharapkan dalam keluarga. Bila dalam keluarga masih belum dikaruniai anak (terutama anak laki-laki), maka ada kecendrungan mereka akan mengangkat seorang anak yang nantinya akan dianggap sebagai anak kandung. Anak perempuan mempunyai peran dan tanggungjawab yang besar dalam lingkungan keluarganya. Anak perempuan mulai dari kecil, dewasa hingga menikah pun mereka masih tetap memberikan kontribusi kepada keluarganya.


(24)

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang nilai anak perempuan dalam ekonomi keluarga etnik Nias. Selain itu memberikan data-data berupa informasi tentang sebagian kebudayaan etnik Nias, karena nilai anak tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Nias.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi Gender dan juga menambah kepustakaan budaya etnik Nias.

I.5. Kerangka Teori

Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat. Nilai dapat berfungsi sebagai pedoman orientasi kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Sejak kecil manusia telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Oleh karena itu, untuk mengganti nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu yang lama (Koentjaraningrat,1996:75-76).

Menurut Parsudi Suparlan (dalam Zulkarnain,1995:12) bila berbicara mengenai nilai tentunya tidak terlepas dari hal-hal yang dianggap baik dan pantas untuk dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat yang harus sesuai dengan konsepsi budaya yang dimiliki. Nilai-nilai itu dapat dipandang sebagai realitas


(25)

dalam tata pergaulan manusia dengan sesamanya, baik itu berupa lingkungan fisik maupun biologis. Hal ini menunjukkan bahwa nilai anak merupakan bahagian perwujudan dari konsepsi nilai budaya suatu masyarakat terhadap anak yang dapat mempengaruhi pola pemilikan anak dalam suatu keluarga. Jadi, bila membicarakan tentang nilai seperti nilai anak dalam suatu masyarakat, maka sekaligus harus diperhatikan dari segi konsepsi nilai budaya yang dimiliki suatu masyarakat yakni apa fungsi dan manfaat anak terhadap orang tuanya yaitu menyangkut kebutuhan-kebutuhan orangtua yang akan dipenuhi oleh seorang anak atau setiap anak. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa berupa kebutuhan ekonomis, kebutuhan sosial, dan kebutuhan psikologis yang semuanya akan mempengaruhi pola pemilikian anak pada setiap keluarga dalam suatu masyarakat.

Dalam UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak, pengertian

anak dalam pasal 1 butir (2) UU ini mempergunakan dua kriteria yang sifatnya kumulatif yaitu belum mencapai umur 21 tahun, dan belum kawin (Pusaka Indonesia.htm). Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dinyatakan bahwa yang disebut anak adalah manusia atau seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Zulkarnain menuliskan bahwa anak merupakan semua yang lahir dari seorang ibu, atau wanita sebagai hasil konsepsi antara suami isteri yang biasanya melalui suatu bentuk perkawinan yang sah menurut adat dan hukum (1995:23). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengertian anak menurut Zulkarnain. Hal ini disebabkan karena dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk memberikan deskripsi tentang kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dari sejak kecil, dewasa, hingga menikah.


(26)

Keluarga merupakan kelompok yang terdiri atas wanita, anak-anaknya yang belum berdiri sendiri diatas kaki sendiri, dan setidak-tidaknya seorang laki-laki dewasa, yang terikat karena hubungan perkawinan atau karena sedarah (Haviland,1985:83). Kehidupan keluarga manusia diatur oleh bermacam-macam adat-istiadat dan hukum yang ditentukan oleh kebudayaannya. Dalam kehidupan keluarga itu tiap individu berada dalam urutan kehidupan, misalnya masa bayi, penyapihan, kanak-kanak, remaja, sesudah nikah, hamil, tua dan sebagainya.

Keluarga sebagai suatu kesatuan sosial terdapat kategori-kategori seperti ibu, bapak, anak, saudara, bibi, paman, nenek, kakek, kemenakan, cucu dan sebagainya. Hubungan antara kategori ini diatur oleh sejumlah norma yang melahirkan posisi dan tugas serta hak dan kewajiban tertentu bagi masing-masing anggota keluarga. Posisi dan tugas serta hak ini dinamakan sistem peran sosial. Peran sosial dalam keluarga menimbulkan hubungan-hubungan sosial tertentu, baik yang didasarkan pada pertalian darah maupun sebagai akibat pernikahan, yang dinamakan sistem kekerabatan. Sistem keturunan dapat dibagi atas tiga macam hubungan yaitu patrilineal, matrilineal dan bilineal (Mansur dkk,1988:15).

Masyarakat Indonesia yang menganut paham patriarkhi khususnya di pedesaan seringkali masih ditemukan adanya anggapan bahwa perempuan tidak memiliki peran yang berarti dalam kehidupan manusia pada umumnya. Hal ini dimulai ketika perempuan dilahirkan, dilanjutkan dengan ketika anak perempuan memasuki kanak-kanak, mereka sudah mulai diperlakukan berbeda dengan teman lain yang berkelamin laki-laki. Anak perempuan sudah mulai diperkenalkan dengan permainan yang terarah kepada domestikasi, dimana anak-anak perempuan disodori permainan boneka, masak-memasak dan lain-lain. Menginjak


(27)

remaja perempuan dijejali dengan petuah bahwa bila menjadi perempuan akan dikatakan perempuan yang baik bila dapat membuat senang suami. Masa remaja perempuan mulai diajari bagaimana mempersiapkan diri menjadi wanita yang menyenangkan secara fisik dan dipesan untuk selalu patuh dan taat pada suami. Pemahaman ini selalu terbawa hingga akhir hayat perempuan

Perempuan memiliki semangat yang besar dalam mengupayakan kebutuhan untuk keluarganya, meski dalam kenyataan masyarakat menganggap hanya laki–laki yang menjadi kepala keluarga. Bila ada kekurangan dalam keluarga, perempuan akan berusaha menutupi kekurangan tersebut. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya perempuan memiliki semangat yang besar dalam berusaha untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarganya. Hal tersebut secara tidak langsung akan ikut meningkatkan peredaran uang dalam suatu daerah dan pada gilirannya akan ikut meningkatkan pendapatan perkapita. Potensi-potensi tersebut belum didukung dengan peningkatan upah yang seimbang bila dibanding dengan hasilnya. Potensi tersebut adalah: semangat, tanggung jawab, tekad, ketrampilan, pengetahuan, berani berkorban, berani ambil resiko dan lain-lain.

Budaya yang dibangun selama ini menempatkan perempuan pada kedudukan lapisan ke dua setelah laki-laki sehingga berdampak pula pada perlakuan dan sikap yang diberikan. Salah satu contoh adalah perempuan yang mendapat peran dalam penata laksana di dalam rumah tangga tidak mendapatkan prioritas dalam menikmati hasil yang telah dikerjakan. Dari pembagian dan kesempatan makan, perempuan mendapatkan bagian yang tidak sebanding dengan laki-laki di dalam keluarganya. Apa lagi bila keluarga tersebut dalam kondisi kekurangan, tidak mustahil bila perempuan akan mengalah untuk tidak makan


(28)

karena lebih mengutamakan kebutuhan makan bagi suami dan anak-anaknya berbeda cara yang diambil dalam memutuskan suatu keputusan dan budaya merupakan penghalang yang selalu menempatkan perempuan sebagai mahkluk yang inferior dan banyak ditemui ungkapan-ungkapan yang masih bias gender.

Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Perempuan adalah mitra laki-laki. Tetapi kenyataan di lapangan, laki-laki yang lebih banyak berperan dan mendapat kesempatan pada setiap aspek kegiatan baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain.Terlebih-lebih di daerah Nias yang masih terikat adat dan budaya serta menjunjung tinggi ideologi patriarkat yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kaum lelaki. Tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam peran dan hak-haknya

Collins menerapkan teori Karl Marx dan Engel dalam pola relasi sosial di keluarga yang dijadikan dasar untuk menganalisis kedudukan wanita dalam keluarga dan masyarakat. Kaum pria diibaratkan sebagai kaum borjuis dan kaum wanita sebagai kaum proletar yang tertindas, baik dalam kaitan fungsi ekonomi, seksual dan properti di dalam keluarga. Menurut paradigma konflik sosial yang bersumber dari pemikiran Marx, keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik, dimana ada anggapan bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial yang opresif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme atau patriarkhat (Megawangi,1999:85-91).


(29)

Sejak dahulu kala, tujuan utama perkawinan di Nias adalah untuk meneruskan keturunan dan untuk mengadakan hubungan keluarga dengan pihak orangtua si gadis dengan seluruh kaum famili dan kerabatnya. Dalam kebudayaan manusia, perkawinan berfungsi sebagai pengatur kehidupan kelamin dan dalam kehidupan bermasyarakat manusia yaitu memberi perlindungan kepada anak-anak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu (Koentjaraningrat, 1996:93).

Seorang anak yang telah menikah, akan mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya. Selain menghormati dan mematuhi orangtua, mereka akan dipelihara pada hari tua dengan segala kebutuhannya oleh anak-anaknya. Sehingga, mereka memiliki kewajiban ganda yakni kepada istri dan anak-anak dan kepada orangtuanya (Laiya, 1975:75). Dalam hal ini dapat diketahui bahwa anak laki-lakilah yang bertanggung jawab penuh terhadap orang tuanya pada hari tua.

Pola pemilikan anak juga berkaitan dengan prinsip keturunan yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Misalnya suku Nias yang menganut sistem patrilineal, tentunya sangat mendambakan kelahiran anak laki-laki, dan usaha untuk itu akan selalu dilakukan, seperti dengan memproduksi anak terus-menerus atau kawin lagi dengan wanita lain atau dengan mengadopsi anak saudara laki-lakinya. Keluarga yang mempunyai keinginan yang amat kuat terhadap jenis kelamin anak tertentu atau menginginkan paling tidak ada satu anak laki-laki dan


(30)

satu anak perempuan, mungkin akhirnya mempunyai jumlah anak yang lebih tinggi daripada yang diinginkan semula.

Di masyarakat acap kali adanya stigma bahwa perempuan hanya berfungsi untuk mengerjakan pekerjaan rumah semata. Sehingga dalam rumah tangga pun istri selalu dianggap hanya untuk menjalankan fungsi di dapur, di sumur dan di kasur. Akibat dari stigma ini seringkali terjadi pengabaian terhadap hak-hak perempuan, diskriminasi, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, pengekangan dalam kebebasan berpendapat dan bahkan mendapatkan perlakuan-perlakuan tindak kekerasan. Dengan stigma yang berkembang di masyarakat saat ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kaum perempuan karena selalu tersisihkan. Apabila tindakan ini terus berlangsung maka kaum perempuan akan terus pada posisi yang lemah dan mengalami keterpurukan. Masalah diskriminasi terhadap perempuan, sebenarnya Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya perlindungan dengan meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan UU No. 7 Tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984. Namun perlakuan diskriminasi terhadap perempuan tetap saja terus berlangsung, apakah kondisi ini dipengaruhi oleh kultural (pemberdayaanperempuanbrr.wordpress.com).

Duha menuliskan tanpa disadari telah terjadi ketidaksetaraan gender dalam etnik Nias. Bila bertolak dari pengertian gender maka dari segi tata nilai sosial budaya dan adat istiadat di Nias sudah jelas bahwa semua peran, fungsi, hak dan tanggungjawab lebih di dominasi oleh laki-laki. Jika kita menoleh sejenak ke belakang di bawah tahun delapan puluhan, perempuan di Nias pada umumnya hanya diberi peran sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh anak, memasak


(31)

untuk keluarga, bertindak atas keputusan suami dan berpendidikan sangat rendah. Pada zaman ini perempuan hanya mau mengikuti saja apa yang telah diputuskan oleh ayah/suami. Kesempatan untuk mengungkapkan pendapat tidak diberikan sama sekali. Namun demikian, oleh karena kemajuan pendidikan dan pengalaman, ada juga keluarga yang tidak hanya didominasi oleh laki-laki atau suami/ayah, tetapi jumlahnya masih sedikit (www.museum-nias.net/?p=246).

Secara garis besar bentuk ketidak-adilan gender ada lima yaitu: a. Marginalisasi (peminggiran)

Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Anggapan perempuan bekerja hanyalah untuk dirinya sendiri atau sebagai nafkah tambahan menyebabkan banyak perempuan hanya mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu strategis, baik dari segi gaji, jaminan kerja ataupun status dari pekerjaan yang didapatkan. Juga, karena perempuan dianggap tidak punya kemampuan analitis maka perempuan hanya diserahi pekerjaan yang bersifat teknis dan rutin.

b. Subordinasi (penomorduaan)

Pandangan gender ternyata dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Ada anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional sehingga tidak dapat memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Sebagai contoh, di sebuah rumah tangga masih sering kita dengar jika keuangan mereka sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, maka anak laki-laki akan mendapatkan kesempatan pertama dibandingkan anak


(32)

perempuan. Kenyataan seperti itu sesungguhnya berangkat dari suatu ketidakadilan gender.

c. Stereotipe negatif (pelabelan/pemberian cap negatif pada satu kelompok atau individu)

Banyak sekali ketidakadilan terhadap perempuan yang bersumber pada anggapan yang diberikan pada mereka. Sebagai contoh, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan berstatus janda dianggap sebagai penggoda. Tidak sedikit pula masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan bersolek adalah untuk memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan anggapan ini. Sehingga, bila terjadi perkosaan masyarakat cenderung menyalahkan korban. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi dimana-mana.

d. Beban ganda (double burden)

Perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas domestik seperti membersihkan rumah, memasak, melayani suami dan merawat anak-anak. Ketika perempuan juga bekerja di luar rumah, dan bahkan sering sebagai pencari nafkah utama, beban tugas domestik inipun masih dibebankan padanya. Tugas perempuan menjadi bertumpuk, sangat banyak. Bahkan banyak yang mengatakan tugas perempuan dimulai dari terbitnya matahari sampai “terbenamnya” mata suami.

e. Kekerasan terhadap perempuan

Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender. Kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk


(33)

tindakan kekerasan yang berbasis gender, yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikologis, baik yang terjadi di ruang publik maupun di ruang domestik (pemberdayaanperempuanbrr.wordpress.com; Listiani,2002:17-26;Fakih,1996:12-23).

Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut seperti dua sisi mata uang dalam kehidupan dan pola relasi laki-laki dan perempuan. Kondisi seperti ini sudah sangat lama berlangsung ditengah-tengah masyarakat. Bahkan seluruh element menerimanya sebagai realita budaya yang tidak perlu lagi dievaluasi keberadaannya. Apalagi untuk direkonstruksi ulang dengan memberikan nilai-nilai budaya baru yang lebih adil untuk semua orang. Budaya baru dalam konteks ini adalah dimana posisi perempuan lebih dihargai derajat individu dan derajat sosialnya daripada kondisi sebelumnya. Pada sisi yang lain terlihat secara nyata, bahwa perempuan secara ekonomi dalam keluarga tidak hanya sebagai komplement, akan tetapi hal yang sesungguhnya adalah perempuan menjadi bahagian dari kunci sukses dalam upaya mencapai cita-cita keluarga (Listiani,2002:26).

Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang


(34)

tidak bisa diubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dapat dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan (Fakih,1996:9).

I.6. Kerangka Konsep 1. Nilai Budaya

Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat. Nilai dapat berfungsi sebagai pedoman orientasi kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan. Sejak kecil manusia telah diresapi oleh berbagai nilai budaya yang hidup di dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep budaya itu telah berakar dalam alam jiwanya. Oleh karena itu, untuk mengganti nilai budaya yang telah dimiliki dengan nilai budaya lain diperlukan waktu yang lama (Koentjaraningrat,1996:75-76).

2. Nilai Anak

Nilai anak merupakan konsepsi masyarakat tentang jumlah anak yang dianggap ideal dalam suatu keluarga sesuai dengan kebutuhan orang tua yang akan dipenuhi oleh anak. Nilai anak ini sering tercermin dalam kebutuhan psikologis, ekonomi dan sosial yang juga sebagai perwujudan dari konsepsi hidup suatu masyarakat sesuai dengan tuntutan budaya masyarakat tersebut.

3. Nilai Ekonomis Anak

Nilai ekonomis anak merupakan hal-hal atau sesuatu yang dianggap berharga dan menguntungkan yang dapat diperoleh oleh orangtua dari setiap


(35)

kelahiran anak. Nilai ekonomis anak biasanya akan diperoleh setelah berada di atas usia sekolah. Dalam usia seperti ini seorang anak telah biasa diharapkan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, memasak, dan menjaga adik-adiknya yang masih kecil dan pekerjaan lainnya (Zulkarnain,1995:24).

4. Nilai Sosial Anak

Nilai sosial anak merupakan hal yang dapat diharapkan dari setiap kelahiran anak. Nilai sosial anak dapat berupa penerus keturunan keluarga, dan sebagai pewaris dari harta warisan. Dalam etnik Nias, anak perempuan dapat menjadi pengembang hubungan keluarga.

5. Nilai Psikologis Anak

Nilai psikologis anak merupakan sesuatu yang dapat diperoleh dari setiap

kelahiran anak, yakni semacam kepuasan bathin yang diperoleh para suami istri. Kepuasan tersebut adalah dengan mempunyai anak, maka orangtua tidak akan merasa kesepian melainkan merasa hidup sangat berarti, keluarga terasa menjadi lengkap dan sebagai tugas suami istri dapat terpenuhi secara psikologis (Zulkarnain,1995:24).

6. Anak

Anak (Zulkarnain,1995:23) merupakan semua yang lahir dari seorang ibu, atau wanita sebagai hasil konsepsi antara suami isteri yang biasanya melalui suatu bentuk perkawinan yang sah menurut adat dan hukum.


(36)

7. Rumah Tangga

Dengan menikah, sepasang suami isteri membentuk suatu kesatuan sosial yang disebut rumah tangga, yaitu kesatuan yang mengurus ekonomi rumah tangganya. Rumah tangga biasanya terdiri dari suatu keluarga inti, tetapi mungkin juga terdiri dari 2 sampai 3 keluarga inti. Selama satu keluarga muda belum mampu mengurus ekonomi rumah tangganya sendiri, dan masih turut makan dari dapur orangtua, maka keluarga seperti itu belum dikatakan membentuk rumah tangga. Dapur merupakan lambang dari suatu rumah tangga (Koentjaraningrat,1996:77).

I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain.

Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif digunakan untuk mendapatkan deskripsi atau gambaran mengenai nilai anak perempuan dalam keluarga, serta kontribusi atau sumbangan yang diberikan oleh anak perempuan dari sejak kecil, dewasa dan setelah menikah dalam kegiatan ekonomi keluarganya.


(37)

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dan observasi (pengamatan). Wawancara mendalam (depth interview) dan wawancara biasa digunakan untuk memperoleh informasi mengenai nilai anak perempuan dan anak laki-laki serta kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dalam kegiatan ekonomi keluarganya. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dan dibantu alat tulis untuk mencatat hasil wawancara. Selain itu digunakan alat perekam seperti tape recorder untuk merekam hasil wawancara sehingga dapat menghindari kelupaan dalam menulis laporan.

Informan dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Sisobambowo Kecamatan Mandrehe Kabupaten Nias. Peneliti mengadakan pengkategorisasian informan menjadi informan pangkal, informan kunci, dan informan biasa.

Menurut Koentjaraningrat (1989:30) dalam suatu masyarakat baru, tentu kita harus lebih dahulu memulai dari keterangan seorang informan pangkal yang dapat memberikan berbagai keterangan lebih lanjut yang kita perlukan. Informan-informan serupa itu sebaiknya orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai sektor dalam masyarakat, dan yang mempunyai kemampuan untuk mengintroduksikan kita sebagai peneliti kepada informan lain yang merupakan ahli tentang sektor-sektor masyarakat atau unsur-unsur kebudayaan yang ingin kita ketahui. Sehingga informan pangkal dalam penelitian ini adalah kepala desa karena peneliti beranggapan bahwa kepala desa mengetahui siapa-siapa saja yang dapat diwawancarai untuk mendapatkan informasi.


(38)

Informan kunci merupakan orang-orang yang ahli tentang unsur-unsur kebudayaan yang ingin diketahui. Dalam penelitian ini, informan kunci adalah tokoh-tokoh adat dan masyarakat, dan keluarga yang memiliki anak perempuan dan anak laki-laki. Dari informan kunci ini akan diperoleh informasi yang lebih jelas tentang bagaimana kedudukan dan peranan anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga, serta kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dalam ekonomi keluarganya.

Selain informan pangkal dan informan kunci dalam penelitian ini dibutuhkan informan biasa. Informan biasa dapat diambil dari keluarga yang tidak memiliki anak perempuan atau sebaliknya tidak memiliki anak laki-laki. Informan ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai apa pengaruh tidak memiliki anak perempuan atau anak laki-laki dalam keluarga. Selain itu, anak perempuan di desa ini juga dapat dijadikan sebagai informan biasa untuk menambah kelengkapan data atau informasi dalam penelitian.

Selain wawancara penelitian ini juga akan menggunakan observasi (pengamatan) untuk mendapatkan gambaran perilaku atau aktivitas-aktivitas anak perempuan dan anak laki-laki dalam keluarga. Dalam hal ini, peneliti akan mencoba mengamati mereka tanpa mengganggu aktivitas yang mereka lakukan.


(39)

I.7.3. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikannya. Dalam penelitian ini, data-data yang sudah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif. Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu melalui wawancara dan observasi.

Setelah data dipelajari dan ditelaah, maka langkah berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan sambil membuat koding. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Kemudian tahap penafsiran data dan diakhiri dengan penulisan laporan yang bersifat deskriptif.

Menurut hasil pengamatan sementara, telah terjadi ketidakadilan gender dalam keluarga etnik Nias. Ketidakadilan tersebut dialami oleh anak perempuan yaitu berupa penomorduaan atau subordinasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan analisis gender sebagai alat analisisnya. Analisis gender yang digunakan untuk melihat sistem pembagian kerja antara anak laki-laki dan anak perempuan yaitu model/teknik Harvard. Menurut paradigma konflik, setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan merubah posisi dan hubungan.


(40)

Bagi feminsme sosialis penindasan perempuan terjadi di kelas mana pun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Feminisme sosialis menolak visi marxis klasik yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan banyak masalah. Oleh karena itu analisis patriarkhi perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama disertai kritik keadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum perempuan (Fakih,1996:90).


(41)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

II.1.Lokasi dan Letak Desa

Kabupaten Nias adalah salah satu daerah kabupaten di Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Nias berada satu pulau dengan Kabupaten Nias Selatan yang disebut dengan Pulau Nias.

Desa Sisobambowo merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Mandrehe, Kabupaten Nias. Jarak Desa Sisobambowo dengan ibukota kecamatan sekitar 8 Km dan jaraknya ke ibukota kabupaten (Gunungsitoli) 96 Km. Desa Sisobambowo berbatasan dengan:

- sebelah Utara : Desa Iraono Geba

- sebelah Selatan : Desa Mazingo

- sebelah Barat : Desa Fulolo Sibohou

- sebelah timur : Desa Hilidaura.

Waktu yang diperlukan untuk dapat tiba di desa ini dari ibukota kecamatan sekitar 30 menit dengan menggunakan kendaraan umum (bus) dan biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp.5000,00. Sedangkan dari Desa Sisobambowo ke ibukota kabupaten Nias (Gunungsitoli) diperlukan waktu sekitar 3 jam dengan menggunakan jasa bus dan ongkos Rp.35.000,00 per orang.

Alat transportasi lain yang melintasi Desa Sisobambowo adalah kendaraan beroda dua yang disebut oleh penduduk dengan “RBT”. Alat transportasi ini kebanyakan beroprasi pada saat pekan di kecamatan. Dalam seminggu pekan


(42)

dilaksanakan dua kali yaitu pada hari Rabu dan Sabtu. Adapun ongkos yang harus dibayar bila menggunakan jasa “RBT” ini sekitar 15 ribu sampai 20 ribu rupiah.

II.2.Sejarah Desa

Menurut sumber tradisi, adapun nenek moyang suku Nias pertama bertempat tinggal di Gomo, Nias Bagian Tengah. Begitu juga dengan penduduk desa yang asli suku Nias, nenek moyang mereka barasal dari Gomo. Sebelum tiba di Desa Sisobambowo, mereka telah tinggal untuk sementara waktu di beberapa tempat.

Adapun daerah-daerah yang pernah mereka lalui dan tinggal di daerah tersebut yaitu Desa Hilimbuyuwu, Hilimburune, Onozitoli dan Hiligafia. Daerah-daerah yang mereka lalui tersebut sekarang berada dalam wilayah administratif Kecamatan Mandrehe. Mereka berpindah-pindah bukan disebabkan karena ada masalah atau perang tetapi karena hidup mereka dahulu berpindah-pindah dan mengisi daerah yang masih kosong. Yang termasuk dalam kawasan Hiligafia saat ini yaitu Desa Sisobambowo, Desa Iraonogeba, dan Desa Lolohia. Ketiga desa ini (Sisobambowo, Iraonogeba, dan Lolohia) bergabung hanya sampai 25 generasi, kemudian masing-masing berpisah dan membentuk daerah (desa) masing-masing.

Desa Sisobambowo hingga saat ini telah didiami oleh penduduknya selama 12 generasi. Walaupun demikian diantara penduduknya masih belum pernah terjadi perkawinan. Di daerah lain seperti Lahemi (Sirombu) sudah terjadi. Hal ini disebabkan karena penduduknya masih mengganggap mereka masih bersaudara.


(43)

Kepala Desa yang memimpin Desa Sisobambowo sudah enam orang hingga sekarang. Kepala Desa tersebut yaitu (1)Ama Galõ’õ Hia masa jabatannya

25 Tahun, (2)Ama Raima Hia masa jabatannya 1 Tahun karena meninggal, (3)Ama Hese Hia masa jabatannya 30 Tahun, (4)Ama Aro Hia masa jabatannya 34 Tahun, (5)Ama Soni Hia masa jabatannya 18 Tahun, (6)Ama Reta Hia masa jabatannya dari tahun 2003-2007. Sekarang, belum ada pengganti kepala desa yang resmi, sehingga jabatan kepala desa dijabat untuk sementara waktu oleh seorang pegawai kantor camat Mandrehe (PJS).

II.3.Keadaan Alam

Desa Sisobambowo terletak pada ketinggian 25 M dari permukaan laut. Daerah ini termasuk pada kategori daerah dataran rendah. Produktivitas tanah dapat dikatakan baik untuk lahan pertanian. Luas daerah atau wilayah Desa sisobambowo adalah 1000 HA, yang dipergunakan untuk pemukiman atau perumahan, bangunan umum seperti sekolah dan rumah ibadah, pekuburan, sawah dan ladang, serta jalan.

Tanah di daerah ini sangat subur dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk ditanami tanaman pertanian dan lahan persawahan. Walaupun penduduk memperoleh hasil dari lahan pertanian, mereka juga memelihara ternak seperti ayam dan babi.

Desa ini dilalui oleh sungai Moro’o. Letak sungai tidak jauh dari pemukiman penduduk yang bermukim disekitar pinggir jalan raya. Sungai tersebut digunakan penduduk untuk mandi dan menyuci. Sungai akan semakin ramai bila musim kemarau tiba karena sumur di rumah penduduk sudah mulai


(44)

kering sehingga harus menghemat pemakaian air agar persediaan air untuk dikonsumsi tetap tersedia. Sungai dimanfaatkan oleh penduduk baik anak-anak maupun orangtua. Anak perempuan yang paling sering membantu ibunya untuk menyuci di sungai, walaupun ada beberapa anak laki-laki yang juga ikut membantu. Selain mandi dan menyuci aktivitas lain yang dilakukan oleh anak-anak adalah bermain dan berenang hingga kadang kala mereka lupa waktu untuk pulang ke rumah. Pada musim hujan tiba dan hujan tidak berhenti dalam jangka dua sampai tiga hari, maka air sungai akan meluap dan dapat mengakibatkan banjir di beberapa ruas jalan yang ada di desa ini bahkan sampai ke rumah penduduk.

II.4.Kependudukan II.4.1.Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Desa Sisobambowo secara keseluruhan adalah 1124 jiwa yang terdiri dari 206 KK (Kepala Keluarga). Berdasarkan jenis kelamin penduduk terdiri dari laki-laki sebanyak 567 jiwa dan perempuan sebanyak 557 jiwa. Komposisi penduduk Desa sisobambowo dapat dilihat pada Tabel II.1 dibawah ini.


(45)

Tabel II.1

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (Jiwa)

Laki-laki 567

Perempuan 557

Jumlah 1124

Sumber: Monografi Desa,2007

Tabel II.2

Komposisi Penduduk Menurut Usia dan Kelompok Pendidikan

Umur (Tahun)

Jumlah (Jiwa)

Persentase (%)

0 - 3 136 12,10

4 – 6 81 7,12

7 – 12 63 5,60

13 – 15 66 5,87

16 – 18 138 12,28

19 - keatas 640 56,94

Jumlah 1124 100,00


(46)

Dari tabel II.2 diatas dapat diketahui berapa jumlah penduduk berdasarkan usia dan kelompok pendidikan. Secara umum, mereka menamatkan pendidikan dasarnya di SD yang ada di desa ini dan untuk SLTP dan SLTA di luar Desa Sisobambowo. Dua tahun yang lalu telah dibuka penerimaan siswa baru untuk SLTA dan tahun ajaran 2007 yang lalu juga telah diterima siswa SLTP.

Pada saat anak-anak berada dalam usia pendidikan, mereka secara tidak langsung telah membantu orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Setelah pulang sekolah, ada yang menyusul orang tuanya ke sawah dan juga mengambil makanan ternak di kebun. Selain itu ada juga yang tinggal di rumah untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah seperti menyapu rumah, menyuci pakaian dan memasak makanan untuk makan malam keluarga.

II.4.2.Agama

Agama yang dianut oleh penduduk Desa Sisobambowo yaitu agama K.Protestan dan K.Khatolik. Penganut K.Protestan lebih banyak daripada penganut K.Khatolik.

Tabel II.3

Komposisi Penduduk Menurut Agama

Agama Jumlah (jiwa) Persentase (%)

K.Protestan 994 88,43

K.Khatolik 130 11,57

Jumlah 1124 100,00


(47)

Anak-anak sejak kecil telah diajarkan oleh orang tua masing-masing untuk beribadah pada hari minggu di gereja masing-masing. Mereka beribadah terpisah dari ibadah orang tua (orang dewasa) dan dilaksanakan pada pagi hari. Ibadah anak (Sekolah Minggu) dilaksanakan pada pagi hari yakni pada pukul 08.00 wib, sedangkan ibadah orang dewasa sekitar pukul 11.00 wib.

Seluruh kegiatan keagamaan seperi perayaan hari-hari besar agama dilaksanakan di gereja seperti ibadah Minggu dan perayaan Natal serta Paskah. Persekutuan diadakan di rumah-rumah penduduk pada hari dan jam yang telah ditentukan terlebih dahulu. Anak-anak ikut ambil bagian dalam mengisi acara setiap perayaan yang diadakan di gereja.

II.4.3.Pendidikan

Pada umumnya kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan di daerah pedesaan masih rendah. Hal ini juga dapat ditemui di Desa Sisobambowo, dimana lulusan SD sangat banyak, sementara itu lulusan tingkat SLTP, SLTA dan Akademi serta Sarjana jumlahnya masih sedikit.


(48)

Tabel II.4

Komposisi Penduduk Menurut Lulusan Pendidikan Umum

No Pendidikan Jumlah (jiwa)

1 T.Kanak-kanak 0

2 SD 330

3 SMP/SLTP 196

4 SMU/SLTA 57

5 Akademi/D1-D3 21

6 Sarjana (S1-S3) 25

Jumlah 629

Sumber: Monografi Desa,2007

Berdasarkan tabel diatas lulusan tingkat pendidikan desa ini masih sangat rendah. Jumlah lulusan sarjana dan SMU masih sedikit, sedangkan lulusan SD adalah jumlah yang terbesar. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya biaya untuk pendidikan dan kesadaran penduduk yang kurang akan pentingnya pendidikan. Beberapa orang ada yang sempat melanjutkan pendidikannya di tingkat SMP/SMU, tetapi tiba-tiba berhenti sekolah dan kerap kali pergi merantau ke luar daerah Nias.


(49)

Tabel II.5

Komposisi Siswa SD Sisobambowo Berdasarkan Jenis Kelamin

Kelas Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

I 23 21

II 23 19

III 16 14

IV 11 11

V 13 8

VI 9 11

Jumlah 95 84

Sumber: SDN Sisobambowo,2007

Tabel II.6

Komposisi Siswa SLTP Negri 4 Mandrehe Berdasarkan Jenis Kelamin

Kelas Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

VIIA 34 16

VIIB 32 17

Jumlah 66 33


(50)

Tabel II.7

Komposisi Siswa SLTA Negri 2 Mandrehe Berdasarkan Jenis Kelamin

Kelas Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

X A 23 18

X B 23 17

X IPA 12 17

X IPS 27 10

Jumlah 85 62

Sumber: SLTA Negri 2 Mandrehe,2007

Dari Tabel II.5,II.6,II.7 dapat diketahui bahwa jumlah siswa laki-laki lebih banyak dibanding dengan jumlah siswa perempuan. Dalam Tabel II.5 tidak terlalu jauh perbandingan antara siswa SD laki-laki dengan siswa SD perempuan. Pada Tabel II.6 dan Tabel II.7 terlihat perbedaan jumlah yang jauh antara siswa laki-laki dan perempuan, terutama komposisi siswa SLTPN 4 Mandrehe.

II.5.Sistem Perekonomian

Pekerjaan sebagai petani merupakan jumlah yang terbesar yaitu 319 orang (80,15 %) dari seluruh mata pencaharian yang ada di desa ini. Petani-petani di desa ini berangkat pada pagi hari untuk bekerja dan kembali ke rumahnya pada petang hari. Ada juga yang bekerja hanya sampai siang hari dan kembali ke rumahnya untuk makan siang dan beristrahat.


(51)

Petani di Desa Sisobambowo menghasilkan padi (beras), karet, kelapa (kopra), biji pinang dan biji coklat. Petani pada umumnya menanam padi di sawah miliknya sendiri, tetapi ada juga yang menyewa lahan persawahan untuk dikelola. Padi yang ditanam petani sangat beragam jenisnya dan mereka akan membuat kesepakatan waktu untuk menanam padi tersebut. Setelah panen, padi akan dijual sebagaian untuk kebutuhan keluarga dan sebagian lagi disimpan agar persediaan beras tetap tersedia.

Tabel II.8

Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian No Mata

Pencaharian

Jumlah ( jiwa)

Persentase (%)

1 Karyawan:

- PNS - ABRI - Swasta 12 1 5 3,01 0,25 1,26

2 Wiraswasta/Pedagang 10 2,51

3 Tani 319 80,15

4 Pertukangan 15 3,77

5 Buruh Tani 30 7,54

6 Pensiunan 1 0,25

7 Jasa 5 1,26

Jumlah 398 100,00


(52)

Petani yang memiliki kebun karet biasanya berangkat pada pagi hari. Bila mereka memiliki sawah maka yang bertugas untuk menyadap karet adalah anak-anaknya. Ketika musim hujan karet tidak akan disadap. Dalam satu bulan, petani memperkirakan karet boleh disadap hanya dua minggu. Hal ini disebabkan karena hujan diperkirakan dua minggu dalam sebulan.

Petani yang memiliki kebun kelapa akan memetik buahnya dan dijadikan kopra. Selain kopra, buah kelapa tersebut dapat dijual perbutir di pekan yang diadakan dua kali dalam seminggu di kecamatan. Buah kelapa tersebut dijual Rp.1000,00/butir. Hasil produksi biji pinang tidak begitu banyak karena pohon pinang jumlahnya tidak banyak dan biji pinang yang masih muda digunakan untuk bahan sirih.

Sekitar lima atau enam tahun yang lalu, penduduk mulai menanam tanaman coklat. Biji coklat harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum dijual oleh petani kepada toke yang ada di desa ini. Seterusnya, toke akan membawa hasil produksi pertanian tersebut ke Gunungsitoli untuk dijual. Harga hasil produksi pertanian selalu dihitung tiap Kilogram dan harganya tidak stabil.

Uang yang dihasilkan dari penjualam produksi pertanian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Untuk bahan makanan seperti gula, telur, indomie dan sebagainya dapat diperoleh di kedai yang ada di desa ini. Untuk dapat mengkonsumsi ikan segar, penduduk harus menunggu penjual ikan yang menggunakan sepeda dan sepeda motor dari Kecamatan Sirombu.

Selain sebagai petani, ada juga penduduk yang bematapencaharian sebagai pedagang, tukang, PNS dan lain-lain. Mereka umumnya juga memiliki lahan pertanian yang diolah sendiri. Setelah pulang dari kantor (misalnya PNS), mereka


(53)

akan ke sawah atau ke kebun miliknya. Walaupun mata pencaharian penduduk beragam, tetapi mereka juga ikut bertani untuk menambah penghasilan.

Anak-anak ikut membantu orang tuanya bekerja setelah pulang dari sekolah. Mereka akan pergi ke sawah, menyadap karet dan mengambil makanan ternak. Ada juga anak yang tinggal dirumah untuk menyiapkan makanan untuk makan malam keluarga, menyuci piring, membersihkan rumah dan sebagainya.


(54)

BAB III

SISTEM KEKERABATAN

III.1.Keluarga

Penduduk Desa Sisobambowo merupakan penduduk asli suku Nias, sehingga kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh adat-istiadat Nias. Keluarga pada masyarakat suku Nias dibentuk melalui ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan tidak hanya melibatkan kedua mempelai, tetapi juga melibatkan kaum kerabat dari pengantin laki-laki dan kaum kerabat dari pengantin perempuan.

Perkawinan yang ideal bagi suku bangsa Nias adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan anak saudara laki-laki ibunya (mangawuli ba nuwu). Mangawuli ba nuwu pada saat ini bukan lagi keharusan hanya saja orangtua yang menganjurkan kepada anak-anaknya untuk kawin dengan anak pamannya. Orangtua tidak akan memaksa bila anaknya tidak mau. Syarat menikah di Nias adalah dengan emas kawin (bõwõ).

Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah sangambatõ yaitu sebuah

keluarga batih, tetapi kelompok yang penting adalah sangambatõ sebua, yakni keluarga luas virilokal (virilocal extended fammily), yang terdiri dari keluarga batih senior ditambah lagi dengan keluarga-keluarga batih putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa suatu rumah tangga (household) dan satu kesatuan ekonomis.

Gabungan-gabungan dari sangambatõ sebua dari satu leluhur disebut mado. Mado dapat disamakan dengan marga orang Batak, yakni klen besar


(55)

patrilineal. Fungsi mado terutama adalah untuk mengurus dalam hal pembatasan

jodoh dalam perkawinan. Di Nias berlaku exsogami marga dalam batas-batas

tertentu, artinya seorang boleh juga kawin dengan orang semarga, asalkan ikatan kekerabatan leluhurnya sudah mencapai sepuluh angkatan ke atas.

Adat menetap sesudah menikah di daerah Nias adalah Virilokal yaitu tinggal bersama orangtua si laki-laki, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk tinggal terpisah dari orangtua dan tinggal di tempat lain (neolokal). Perempuan yang telah menikah akan menjadi anggota keluarga suaminya. Anak-anak yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya karena garis keturunan yang dianut oleh masyarakat Nias ialah sistem patrilineal.

III.2.Anak

Anak merupakan berkat atau anugrah yang sangat diharapkan dalam sebuah keluarga yang baru terbentuk. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh keluarga sebelum dan sesudah kelahiran seorang anak.

III.2.1. Acara yang dilakukan sebelum kelahiran seorang anak (pra kelahiran)

Seorang perempuan yang telah menikah dan sedang mengandung, akan dibawa ke rumah orang tuanya oleh mertua dan suaminya. Usia kandungan pada saat ini yaitu tiga sampai lima bulan. Acara ini disebut fangoroma’õ beto (upacara memperlihatkan kandungan). Tujuan dari acara ini adalah untuk memohon doa restu atas kehamilan sang istri dan agar kandungan dapat berkembang serta lahir dengan selamat.


(56)

Pada acara ini, mereka akan membawa seekor anak babi dan tefe-tefe idanõ. Anak babi tersebut akan dipotong dan digunakan pada acara tersebut. Tefe-tefe idanõ merupakan acara dimana orangtua dari pihak perempuan akan meletakkan tangannya di piring yang telah diisi air dan dipiring tersebut diletakkan uang logam. Ia akan mengibaskan tangannya ke arah perempuan (anaknya) yang sedang mengandung beserta kandungannya. Air yang berasal dari kibasan tangan tersebut akan mengenai perempuan yang sedang mengandung dan kandungannya. Dahulu kala, yang digunakan untuk tefe-tefe idanõ ini bukanlah uang logam tetapi perak (firõ). Agar nilai perak tersebut sama dengan uang logam yang diletakkan di piring, maka di bawah piring tersebut diletakkan sejumlah uang sesuai dengan kesanggupan keluarga yang datang. Makna tefe-tefe idanõ yaitu fangokafu (menyejukkan) agar selalu terberkati.

III.2.2.Acara yang dilakukan setelah kelahiran anak (pasca kelahiran)

Perempuan yang melahirkan biasanya dibantu oleh seorang dukun beranak (solohe). Setelah anak lahir, maka perempuan yang telah melahirkan tersebut memberikan persembahan khusus sebagai ucapan terimakasih kepada solohe. Ucapan terimakasih tersebut diberikan dalam bentuk uang yang diletakkan dalam amplot. Jumlah uang tergantung kerelaan dan kesanggupan keluarga.

Setelah melahirkan dan keadaan sang ibu mulai pulih, diadakan upacara pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Nama diberikan oleh orang tuanya atau oleh kakek neneknya. Pada saat ini, nama yang diberikan kepada bayi yang baru lahir banyak berasal dari luar dan menggunakan bahasa Indonesia. Pada saat acara pemberian nama (lafatõrõ tõi), akan disembelih dua ekor babi. Satu ekor


(57)

disembelih untuk saudara/kerabat yang hadir pada saat acara tersebut dan seekor lagi untuk dukun yang menolong kelahiran bayi.

Bayi yang baru berumur beberapa bulan, akan dibawa ke rumah pamannya (la’ohe khõ sibaya). Pada saat acara ini terjadi perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bayi laki-laki akan membayar utangnya (ibu’a gõmõ ndraono)

sebesar sara balaki (satu pon emas) kepada pamannya. Bayi perempuan tidak

akan membayar utangnya pada saat acara tersebut. Utang akan dibayarkan pada saat ia menikah nanti. Mereka juga akan membawa seekor anak babi dan tefe-tefe idanõ. Ketika bayi pulang bersama orang tuanya, maka pamannya akan memberikan seekor ayam dan baju untuk sibayi.

III.2.3.Anak angkat (Ono ni sou)

Keluarga yang belum memiliki anak atau tidak memiliki anak dapat melakukan pengangkatan anak. Anak yang diangkat tersebut posisinya sama dengan anak kandung. Ia akan menjadi penerus keturunan dan pewaris dari keluarga yang mengangkatnya.

Ada beberapa hal yang akan dilakukan oleh keluarga yang melakukan pengangkatan anak, yaitu:

- Adanya pemberitahuan kepada kaum kerabatnya (ibe’e wanõngõni khõ

talifusõ). Keluarga atau orangtua yang melakukan pengangkatan anak tersebut meminta pengesahan dari saudara-saudaranya atas anak yang diangkatnya. Keluarga tersebut akan memberikan satu ekor babi sebesar 4 alisi1

1

Alisi adalah satuan ukuran asli Nias untuk mengukur lingkaran dada babi. Sistem ukuran ini disebut dengan afore. Cara mengambil ukurannya adalah dengan mempergunakan pita dari daun


(58)

- Adanya pemberitahuan kepada orang sekampung. Orang kampung akan diundang pada acara ini sehingga keluarga menyediakan satu ekor babi sebesar 2 alisi.

- Orangtua angkat menyalam orangtua kandung anak yang diangkat sebagai

tanda bahwa orangtua kandung mengiklaskan anak tersebut. Orangtua angkat memberikan sara balaki (satu pon emas) kepada orangtua kadung anak tersebut.

- Adanya persetujuan dari paman kandung anak yang diangkat. Maka

orangtua yang mengangkat anak memberikan setengah pon emas dan tefe-tefe idanõ serta satu ekor anak babi.

Setelah keluarga yang mengangkat anak tersebut melakukan beberapa hal di atas, barulah dibawa dalam doa sesuai dengan agama Kristen yang dianut dan anak tersebut sah menjadi anaknya.

III.3.Kelompok Kekerabatan

Dalam upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Nias terdapat beberapa kelompok kekerabatan yang ikut hadir. Misalnya, dalam suatu pesta perkawinan, ada yang menjadi sowatõ, sirege, uwu, dan fadono. Sowatõ merupakan keluarga yang mengadakan upacara. Dalam upacara perkawinan, pihak perempua disebut sebagai sowatõ, sementara itu pihak laki-laki disebut sebagai tome (tamu).

Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ayah pengantin perempuan disebut sebagai sirege dalam upacara perkawinan. Dalam kehidupan sehari-hari


(59)

mereka disebut sebagai talifusõ (saudara). Sirege akan mendapatkan bagian dari mahar yang diberikan oleh pihak laki-laki.

Uwu merupakan kelompok kekerabatan dari pihak ibu. Uwu merupakan

sumber hidup anak dalam suatu keluarga. Sehingga, uwu selalu mendapatkan

penghargaan dan penghormatan yang tinggi dari keluarga. Keluaga yang memberikan (pemberi) istri kepada seorang laki-laki disebut sebagai sitenga bõ’õ.

Fadono merupakan anak perempuan yang telah menikah beserta

keluarganya. Kelompok ini merupakan pekerja dalam upacara perkawinan. Fadono memiliki sejumlah utang adat bila keluarga asalnya membuat suatu upacara seperti upacara perkawinan. Utang adat tersebut harus dibayar terus-menerus sampai tiga generasi. Pada generasi ke empat, tergantung kesadaran dan masih terjalinnya hubungan yang baik diantar mereka. Utang fadono tersebut akan berkurang setiap generasi. Utang adat pada generasi pertama yaitu satu ekor babi ukuran 8 alisi minimal 6 alisi. Utang adat pada generasi kedua yaitu satu ekor babi ukuran 6 alisi minimal 4 alisi. Utang adat pada generasi ketiga yaitu satu ekor babi ukuran 4 alisi minimal 2 alisi.


(60)

Skema Kelompok Fadono

Keterangan:

C Merupakan fadono, ia akan berutang bila A meninggal dan B menikah. Bila C dan suaminya meninggal, maka utang tersebut dilanjutkan oleh D. Bila D meninggal,maka utang dilanjutkan oleh E. F tidak akan ikut membayar utang tersebut karena ia berasal dai keturunan laki-laki. G tergantung kesadarannya apakah ia akan membayar atau tidak. H akan membayar utang adat, bukan melanjutkan. Bila H dan suaminya meninggal maka I melanjutkan utang tersebut, dan K akan meneruskannya bila I meninggal. J dan keturunannya juga akan membayar utang adat.


(61)

III.4.Sistem Pelapisan Sosial

Masyarakat Nias mengenal pelapisan sosial menurut umur, dimana setiap individu yang lebih muda usianya wajib dan harus menghormati individu yang lebih tua dan yang dituakan. Sistem pelapisan sosial lainnya adalah adanya perbedaan kedudukan antara orang yang sudah kawin dengan orang yang belum kawin. Orang yang belum kawin biasanya secara adat dianggap belum dewasa, belum memiliki hak dan kewajiban dalam adat. Sebaliknya orang-orang yang sudah menikah meskipun usianya relatif muda sudah dianggap dewasa dan telah berhak mencampuri hal-hal yang berhubungan dengan adat. Misalnya anak laki-laki berhak memberikan persetujuan untuk menetukan jodoh dari saudara perempuannya bila ayahnya telah meninggal. Berikut ini adalah kelompok kekerabatan vertikal (pemanggilan nama): kakek (tua), nenek (awe), ayah (ama), ibu (ina), anak (ono), cucu (ma’uwu), cicit (maho).


(62)

Skema Sistem Kekerabatan

Keterangan:

a: Kakek (tua) e: Anak (ono)

b: Nenek (awe) f: Cucu (ma’uwu)

c: Ayah(ama) g: Cicit (maho)

d: Ibu (ina)

Selain pelapisan sosial menurut umur, pelapisan sosial juga dapat dilihat menurut bosi. Bosi merupakan tingkatan atau tahta dalam suatu wilayah adat. Desa Sisobambowo termasuk dalam Ori Moro’o (wilayah atau negri adat Moro’o) yang terdiri dari lima marga (si lima ina) yaitu Gulo, zebua, Waruwu, Hia, dan Zai. Yang berkedudukan dalam bosi tidak diberikan karena umur yang paling tua


(63)

atau lebih tua tetapi bersifat turun-temurun. Dalam Ori Moro’o si lima ina terdapat tiga tingkatan bosi yang dikenal yaitu:

- Bosi Zi Fulu (tingkat ke sepuluh)

Bosi Zi Fulu diduduki oleh ketua adat dari lima marga di Ori Moro’o. Misalnya Tuha Ombu-Ombu dari Desa Iraonogambo.

- Bosi Zi Siwa (tingkat ke sembilan)

Bosi Zi Siwa diduduki oleh empat orang dalam tiap marga. Yang berada dalam bosi yang ke sembilan ini dari marga Hia yaitu:

a. Ama Sori Hia (Desa Iraonogeba),

b. Alm.Ama Sari Hia (Desa Sisobambowo),

c. Ama Etika Hia (Desa Sisobambowo),

d. Ama Tini Hia (Desa Lolohia). - Bosi Zi Walu (tingkat ke delapan)

Bosi Zi Walu diduduki oleh satua mbanua (tokoh-tokoh masyarakat) dalam satu desa.

Pelapisan sosial menurut bosi mempengaruhi besarnya mahar yang akan

dibayar pada waktu menikahi seorang perempuan. Makin tinggi kedudukan ayah si perempuan, maka mahar yang dibayar akan semakin besar. Mahar dibayar sesuai dengan tingkatan orangtua pengantin perempuan. Berikut ini adalah jenis-jenis mahar berdasarkan tingkatan bosi orangtua perempuan.


(64)

III.4.1.Mahar untuk tingkatan ke sepuluh

Bosi mbõwõ ba zifulu mobõli : lima gana’a ba lima mbawi

(Mahar untuk tingkatan yang ke sepuluh) (lima pon emas dan lima ekor babi)

Mahar yang diterima oleh orangtua perempuan (So’ono):

- Siakhi zi walu = 3 x 4 alisi2

- õba bulu ndru’u = 1,5 x 4 alisi babi

- sulõ mbõra = 1,5 x 4 alisi babi

- sangawuli = 1,5x 4 alisi babi

- kola = 4 x 4 alisi babi

- su’a mbawi = 2 x 4 alisi babi

- tõla naya mbanua = 2 x 4 alisi babi

- aya dua = 2 x 4 alisi babi

- sitatalu zi walu = 4 x 4 alisi babi

- sa’a zi walu = 6 x 4 alisi babi

- famoloi manu = 4 x 4 alisi babi

- sia’a mbõwõ bõli niha = 12x 4 alisi babi

- aya nina = 10 x 4 alisi babi

- fanunu manu = 1,5 x 4 alisi babi

babi

2

Bila yang tertulis dalam bagian mahar 3x4 alisi babi, maka babi yang diberikan adalah 3 ekor babi yang ukurannya 4 alisi. Sementara itu, bila yang tertulis dalam bagian mahar 1,5x4 alisi babi, maka babi yang diberikan adalah 1 ekor babi ukuran 4 alisi dan 1 ekor lagi ukuran 0,5x4 alisi (2 alisi). Harga babi ditentukan berdasarkan per lahare. Misalnya 1 alisi=9 lahare, dst. Jadi, harga babi tersebut yaitu 9xRp.36.000,-=Rp.324.000,-(Rp.36.000,- merupakan harga babi ketika peneliti


(65)

Mahar yang diterima oleh sirege:

- Famatõrõ = 2 x 4 alisi babi

- õba sebua = 3 x 4 alisi babi

- sanulo ana’a = 1,5 x 4 alisi babi

- sanu’a bawi = 2 x 4 alisi babi

- bulu sidua = 2 x 4 alisi babi

- howu-howu zatua = 2 x 4 alisi babi

- fanika gera-era = 1,5 x 4 alisi babi

Mahar yang diterima oleh uwu/nga’õtõ nuwu:

- tawi naya nuwu = 1,5 x 4 alisi babi

- adu ba nuwu = 2 x 4 alisi babi

- tõla naya nuwu = 8 x 4 alisi babi

- nga’õtõ nuwu simatonga ba nuwu (Untuk pamannya paman,setengah

bagian dari paman)

III.4.2.Mahar untuk tingkatan yang ke sembilan

Bosi mbõwõ ba zisiwa mobõli : lima gana’a ba õfa mbawi

(Mahar untuk tingkatan yang ke sepuluh) (lima pon emas dan empat ekor

babi)

Mahar yang diterima oleh orangtua perempuan (So’ono):

- Siakhi zi walu = 3 x 4 alisi babi


(66)

- sulõ mbõra = 1,5 x 4 alisi babi

- sangawuli = 1,5x 4 alisi babi

- kola = 4 x 4 alisi babi

- su’a mbawi = 2 x 4 alisi babi

- tõla naya mbanua = 2 x 4 alisi babi

- aya dua = 2 x 4 alisi babi

- sitatalu zi walu = 4 x 4 alisi babi

- sa’a zi walu = 6 x 4 alisi babi

- sia’a mbõwõ bõli niha = 12x 4 alisi babi

- aya nina = 10 x 4 alisi babi

- fanunu manu = 1,5 x 4 alisi babi

Mahar yang diterima oleh sirege:

- Famatõrõ = 2 x 4 alisi babi

- õba sebua = 3 x 4 alisi babi

- sanulo ana’a = 1,5 x 4 alisi babi

- sanu’a bawi = 2 x 4 alisi babi

- bulu sidua = 2 x 4 alisi babi

- howu-howu zatua = 2 x 4 alisi babi

- fanika gera-era = 1,5 x 4 alisi babi

Mahar yang diterima oleh uwu/nga’õtõ nuwu:

- tawi naya nuwu = 1,5 x 4 alisi babi


(67)

- tõla naya nuwu = 8 x 4 alisi babi

- nga’õtõ nuwu simatonga ba nuwu (Untuk pamannya paman,setengah

bagian dari paman)

III.4.3.Mahar untuk tingkatan yang ke delapan

Bosi mbõwõ ba ziwalu mobõli : õfa gana’a ba õfa mbawi

(Mahar untuk tingkatan yang ke delapan) (empat pon emas dan empat ekor

babi)

Mahar yang diterima oleh orangtua perempuan (So’ono):

- Siakhi zi walu = 2 x 4 alisi babi

- õba bulu ndru’u = 1 x 4 alisi babi

- sulõ mbõra = 1 x 4 alisi babi

- sangawuli = 1 x 4 alisi babi

- kola = 3 x 4 alisi babi

- su’a mbawi = 1,5 x 4 alisi babi

- tõla naya mbanua = 2 x 4 alisi babi

- aya dua = 1,5 x 4 alisi babi

- sitatalu zi walu = 3 x 4 alisi babi

- sia’a mbõwõ bõli niha = 8 x 4 alisi babi

- aya nina =8 x 4 alisi babi


(68)

Mahar yang diterima oleh sirege:

- Famatõrõ =1,5 x 4 alisi babi

- õba sebua = 3 x 4 alisi babi

- sanulo ana’a = 1,5 x 4 alisi babi

- sanu’a bawi = 2 x 4 alisi babi

- bulu sidua = 2 x 4 alisi babi

- howu-howu zatua = 2 x 4 alisi babi

- fanika gera-era = 1,5 x 4 alisi babi

Mahar yang diterima oleh uwu/nga’õtõ nuwu:

- tawi naya nuwu = 1 x 4 alisi babi

- adu ba nuwu =1,5 x 4 alisi babi

- tõla naya nuwu = 6 x 4 alisi babi

- nga’õtõ nuwu simatonga ba nuwu (Untuk pamannya paman,setengah

bagian dari paman).

Dari tiga jenis mahar di atas, terdapat perbedaan mahar menurut bosi orangtua perempuan. Namun, ada kalanya mahar akan bertambah besar bila anak perempuan tersebut telah sarjana dan memiliki pekerjaan yang tetap. Tetapi hal itu tergantung kepada orangtua perempuan tersebut.

Selain jenis-jenis mahar diatas yang harus dibayar, ada tambahan mahar sebagai tanda penghormatan. Tambahan mahar tersebut yaitu:


(69)

- famokai danga nina = 1,5 x 4 alisi babi (diterima oleh ibu pengantin perempuan)

- sigu-sigu nomo = 1,5 x 4 alisi babi

(diterima oleh yang punya rumah/tempat diadakan pesta)

- fanaitagõ mbalõ gõmõ = 2 x 4 alisi babi

(diterima oleh orang-orang yang ikut menghitung mahar)

- famalali dawi guri = 2 x 4 alisi babi

(diterima oleh orangtua pengantin perempuan)

- famatõ mbulu nohi safusi = 2 x 4 alisi babi

(diterima sebelum penghitungan mahar, untuk mengambil daun kelapa)

- diwo nama = 2 x 4 alisi babi

(diterima oleh ayah pengantin perempuan)

- diwo nina = 2 x 4 alisi babi

(diterima oleh ibu pengantin perempuan)

- diwo gawe = 2 x 4 alisi babi

(diterima oleh nenek pengantin perempuan)

- diwo nono sia’a = 2 x 4 alisi babi

(diterima oleh saudara laki-laki yang sulung pengantin perempuan)

- diwo nono sitatalu = 1,5 x 4 alisi babi

(diterima oleh saudara laki-laki yang tengah/kedua pengantin perempuan)

- diwo nono siakhi = 2 x 4 alisi babi


(70)

- famafali mbalõ halõwõ = 2 x 4 alisi babi (diterima oleh saudara laki-laki ayah pengantin perempuan, yang membantu terlaksananya pesta)

- balõ ndrela = 1 x 4 alisi babi

(diterima oleh penghubung antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan)

- mbolo-mbolo = 1 x 4 alisi babi

(sebagai pemberitahuan kepada penduduk desa)

- diwo nuwu = 1 x 4 alisi babi

(diterima oleh paman pengantin perempuan)

- babi untuk pesta yang berada di tingkat ke sepuluh dan ke sembilan = 1 ekor ukuran 9 alisi, 1 ekor ukuran sepuluh alisi, dan 1 ekor yang 8 alisi sebagai tarawatõ (babi yang dimasak dan dibagi-bagikan waktu pesta) - babi untuk pesta yang berada di tingkat ke delapan dan ke sembilan = 1

ekor ukuran 9 alisi dan 1 ekor ukuran 10 alisi, dan 1 ekor ukuran 6 alisi sebagai tarawatõ (babi yang dimasak dan dibagi-bagikan waktu pesta).

Mahar janda (lakha) yang akan menikah lagi sangat berbeda dengan mahar anak perempuan yang belum pernah menikah. Mahar janda akan semakin mahal bila yang menikah dengannya semakin jauh dari hubungan kerabat suaminya yang pertama. Janda pada masyarakat Nias disebabkan karena kematian suami bukan akibat perceraian. Berikut ini adalah mahar untuk janda:


(1)

- Mengapa terjadi pengangkatan anak? - Bagaimana posisi anak angkat dan cara

pengangkatannya? Kelompok

kekerabatan

Identifikasi kelompok-kelompok kekerabatan wawancara Tokoh adat dan penduduk desa.

Sistem pelapisan sosial

- Identifikasi pelapisan sosial menurut umur,

- Identifikasi pelapisan sosial menurut bosi,

- Identifikasi mahar yang akan dibayar menurut tingkatan bosi,

- Identifikasi mahar seorang perempuan yang telah janda.

wawancara Tokoh adat dan penduduk desa.

Harta warisan - Identifikasi siapa yang berhak menerima harta warisan dalam keluarga,

- Identifikasi cara pembagian harta warisan,

- Identifikasi apakah ada warisan yang

wawancara Tokoh adat dan Informan kunci


(2)

diterima oleh anak perempuan. Nilai anak

perempuan

Nilai ekonomi anak

- Mengapa anak perempuan dan anak laki-laki disebut sebagai sumber tenaga kerja dan penghasilan keluarga,

- Apa kontribusi anak perempuan dan anak laki-laki dalam kegiatan produksi dan reproduksi,

- Anak perempuan dan anak laki-laki sebagai investasi.

Wawancara dan observasi

Informan kunci dan informan biasa

Nilai sosial anak - Mengapa anak perempuan dianggap sebagai pengembang hubungan keluarga,

- Mengapa anak laki-laki dianggap sebagai penerus keturunan dan pewaris.

Wawancara dan observasi

Tokoh adat dan Informan kunci

Nilai psikologis anak

- apakah anak membawa kebahagiaan bagi orangtua

- apakah anak menjadi tumpuan harapan dan tempat bernaung di hari tua.

Wawancara dan observasi

Tokoh adat dan Informan kunci


(3)

FOTO PENELITIAN

Gambar 1.Seorang informan anak perempuan yang sedang menyuci kain dan piring.

Gambar 2.Seorang anak laki-laki yang sedang memarut kelapa dengan menggunakan parutan kelapa tradisional.


(4)

Gambar 3.Seorang anak laki-laki sedang menyusun kayu bakar.

Gambar 4.Seorang anak perempuan yang sedang mempersiapkan tungku untuk memasak.


(5)

Gambar 5. Seorang informan (Beriang Hia) yang sedang membelah kayu bakar.


(6)

Gambar 7.Pengantin perempuan yang ditandu pada acara famasao.

Gambar 8.Seorang informan (Rawati Gulo) ketika diwawancarai sedang mengolah jantung pisang menjadi sayur.