BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Menurut statistik PBB di tahun 1980-an, diperoleh informasi bahwa: 1 perempuan mengerjakan 23 pekerjaan di seluruh dunia, tetapi hanya menerima
110 dari penghasilan seluruh dunia, 2 dari penduduk dunia yang masih buta huruf 23 adalah perempuan sementara ia mendapat beban “mendidik” anak
keturunannya, dan 3 perempuan di dunia hanya memiliki kurang dari 1100 kekayaan dunia Muniarti,2004:75.
Informasi tersebut juga didukung oleh pendapat Charlton dan Sharma dalam Moore,1998. Charlton menuliskan bahwa sekitar setengah dari kaum
wanita diseluruh dunia hidup dan bertani di negara-negara yang sedang berkembang dan menghasilkan 40 sampai 80 persen dari seluruh produksi
pertanian. Menurut Sharma bahwa dalam hampir setiap rumah tangga dimana kaum kaum laki-laki terlibat dalam pertanian, wanita juga memberikan
sumbangan dalam kapasitas tertentu, sekalipun kaum wanita sendiri dan memang kaum laki-laki memandang sumbangan ini sebagai bagian dari “kerja rumah”.
Menurut Laurel Bossen telah terjadi bias gender dalam kajian antropologi tradisional tentang evolusi sistem mata pencaharian hidup masyarakat tradisional.
Dalam masyarakat pengumpul dan berburu, aktivitas ekonomi wanita diabaikan, wanita dipandang sebagai tanggungan laki-laki. Laki-laki selalu digambarkan
sebagai pemburu dan makanan didominasi oleh daging. Wanita tinggal di tempat
Universitas Sumatera Utara
tinggalnya bersama dengan anak-anak dan laki-laki pulang membawa hasil buruan 1989:318-323.
Daging bukanlah menu utama dalam masyarakat pengumpul dan berburu. Walaupun daging sedikit dikonsumsi tetapi waktu laki-laki sebagian besar
digunakan untuk berburu dan wanita mengumpulkan makanan. Hal ini menyebabkan dikotomi seksual dalam menyumbangkan makanan yang bersumber
dari tanaman dan hewan. Hasil tanaman menjadi menu utama bila hasil buruan tidak ada dan penyedianya adalah wanita bagi anak-anak dan suaminya. Laki-laki
kembali berburu tanpa hasil dapat menyebabkan kelaparan bagi keluarga kecuali bila ada wanita yang menyediakan makanan.
Kaum wanita di seluruh dunia terlibat dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini berbeda-beda dari
satu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan ke dalam empat kelompok: kerja pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga, dan kerja
upahan. Namun, banyak yang menganggap kerja wanita tanpa upah dan sumbangannya pada pendapatan rumah tangga diremehkan. Ada beberapa alasan
penyebabnya, tetapi yang paling penting jelas berkaitan dengan defenisi tentang “kerja” itu sendiri. Kerja bukan hanya sekedar persoalan apa yang dilakukan
orang karena setiap defenisi juga harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu.
Kalau kerja secara konvensional dipahami sebagai ‘kerja upahan di luar rumah’, maka nilai kerja subsistem dan domestik kaum wanita tidak diakui
Moore,1998:82.
Universitas Sumatera Utara
Pembagian nilai tergantung kepada anggapan masyarakat itu sendiri mengenai apa yang dianggap paling berharga dan pantas untuk dimiliki dalam
hidupnya. Sejak kecil, setiap individu telah diresapi nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat melalui proses sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi. Begitu
juga dengan nilai anak dalam suatu masyarakat tergantung dari budaya masyarakat itu sendiri.
Anak dalam masyarakat petani di desa dianggap mempunyai nilai sosial dan ekonomi yang besar, karena dapat menambah gengsi dan hubungan sosial
orang tuanya pada waktu menikahkan anak gadisnya, serta menambah penghasilan rumah tangga apabila dipekerjakan. Sikap mental yang mengganggap
anak dalam rumah tangga hanya sebagai tenaga yang menguntungkan dapat menimbulkan sikap yang melupakan kebutuhan anak akan kesejahteraan dan
kesehatannya dimasa yang akan datang Koentjaraningrat,1984:36. Anak dalam kehidupan suku Nias seperti di suku-suku lainnya secara
umum merupakan berkat atau rezeki yang sangat disyukuri dan dinanti-nantikan oleh sebuah keluarga yang baru terbentuk. Suku Nias menganut patrilineal dalam
melihat garis keturunan sangat mendambakan kehadiran seorang anak laki-laki dalam keluarga. Seorang ibu yang melahirkan anak pertama yaitu perempuan
maka kemungkinan besar keluarga tersebut akan sangat kecewa, sebab yang paling diharapkan lahir adalah anak laki-laki yang dianggap sebagai pembawa
rejeki dan generasi penerus. Perempuan dianggap kurang penting, inferior, dan tidak berkompeten memegang satu jabatan www.museum-nias.net?p=246.
Universitas Sumatera Utara
Kekecewaan yang dialami keluarga akan lahirnya seorang anak perempuan juga dirasakan oleh suku Turkana di Kenya Bagian Selatan. Jika bayi
yang lahir adalah laki-laki, tali pusatnya dipotong dengan sebilah tombak dan pesta diselenggarakan dengan menyembelih empat ekor kambing bagi perempuan
yang melahirkan bayi itu. Ketika perempuan itu bangun dan keluar dari rumahnya setelah empat hari bersalin, tombak itu diambil dulu dan digunakan untuk
membegal seekor lembu jantan, kemudian perempuan itu maupun suaminya memakan daging lembu sembelihan sebagai tanda bahwa sang suami kini telah
memiliki seseorang untuk membantunya mengurus ternak. Tetapi jika bayinya perempuan, digunakan pisau untuk memotong tali pusar, cuma seekor kambing
yang disembelih dan tidak ada pesta Moose,1996:1. Keutamaan anak laki-laki terjadi juga di India, Pakistan dan Banglades.
Perempuan lebih menyukai anak laki-laki karena anak perempuan akan meninggalkan rumah suatu hari nanti, menyedot sebagian kekayaan keluarga
dalam bentuk mas kawin, sementara anak laki-laki menawarkan janji autonomi dan autoritas masa depan atas menantu perempuan serta para cucu. Perempuan
yang melahirkan anak laki-laki akan diperlakukan lebih baik ketimbang perempuan yang hanya melahirkan anak perempuan dan perlakuan semacam ini
berlanjut kepada anak-anaknya. Ada banyak bukti bahwa anak laki-laki disusui lebih sering dan lebih lama dibandingkan saudara perempuannya, anak laki-laki
lebih sering mendapatkan perawatan dokter ketimbang anak perempuan, anak laki-laki diberi makan lebih dahulu sebelum anak perempuan, dan dididik secara
lebih serius Mosse,1996:67.
Universitas Sumatera Utara
Menurut hukum adat, bila orangtua tidak mempunyai anak sendiri, seringkali diangkat seorang anak dengan maksud untuk melanjutkan keturunan
keluarga. Dengan berbagai upacara dan pemberian, serta diketahui oleh kepala- kepala adat, anak yang bersangkutan dilepaskan dari keluarganya sendiri dan
dimasukkan dalam keluarga orang tua yang mengangkatnya. Pengangkatan anak secara resmi berakibat bahwa kedudukan anak angkat itu seperti anak sendiri,
sedangkan hubungan dengan keluarga yang sebenarnya sama sekali terputus, seringkali juga mengenai hak waris. Di samping itu terjadi pula pengangkatan
anak secara tidak resmi, tanpa mengadakan pemberian atau upacara dan tidak dihadapkan kepada kepala adat, misalnya di Sulawesi dan Jawa. Biasanya yang
diangkat anak saudara tetapi pengangkatan anak yang tidak resmi itu juga dianggap sebagai anak sendiri, tetapi mengenai hak waris kedudukannya berbeda
dengan anak kandung. Anak angkat tidak berhak atas harta benda yang diperoleh dari orangtua angkat sebagai warisan dan masih berhak mendapat bagian dari
warisan orangtua sendiri Soewondo, 1984:137. Pada umumnya anak yang diangkat dalam keluarga suku Nias adalah anak
laki-laki. Anak yang diangkat tersebut menjadi penerus keturunan keluarga yang mengangkatnya. Walaupun yang diangkat pada umumnya adalah anak laki-laki,
ada kalanya anak perempuan diangkat sebagai anak. Misalnya di Bali, seharusnya anak laki-laki yang melanjutkan keturunan keluarga dan kelak menjadi kepala
keluarga. Bila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan saja, maka salah satu diantaranya umumnya yang sulung, dapat diangkat sebagai sentana, dengan
segala hak dan kewajiban seperti anak laki-laki yang sulung; sentana perempuan itu akan melangsungkan perkawinan ambil anak. Mengenai pengangkatan anak di
Universitas Sumatera Utara
Bali dapat diterangkan pula bahwa jika permaisuri tidak beranak, maka anak-anak dari istri-istri lain dapat diangkat sebagai anak permaisuri dan dapat melanjutkan
keturunan keluarga dan kedudukan ayahnya. Bagi masyarakat Nias, umumnya yang berada di pedesaan pendidikan
untuk kaum perempuan bukanlah hal yang penting. Anak perempuan banyak yang bekerja di ladang membantu orangtua dan dapat menghasilkan uang. Setelah
cukup umur mereka akan dikawinkan dan berkeluarga. Prioritas pendidikan terdapat pada anak laki-laki dan khususnya anak sulung karena ia merupakan
pengganti kedudukan ayahnya dan penerus keturunan. Menurut Natauli Duha anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya
melanjutkan sekolah di SMPSMU, apalagi ke Perguruan Tinggi. Mereka hanya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orangtua
membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-laki. Salah satu penunjang biaya pendidikan anak laki-laki biasanya dalam keluarga
menurut kebiasaan mereka adalah memelihara babi. Dalam hal ini yang ditugaskan untuk itu adalah anak perempuan. Mereka harus mengurus dan
memelihara ternak babi sampai besar dan setelah besar, lalu dijual. Hasilnya akan diserahkan untuk biaya sekolah anak laki-laki. Hal ini paling menyakitkan, karena
perempuan tidak menikmati hasil jerih payahnya. Akibat dari pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tinggal dalam kebodohan
dengan dalih kodrat www.museum-nias.net?p=246. Menurut Listiani 2002,47 kebanyakan keluarga jika keuangan tidak
mencukupi dan sangat terbatas, dimana harus memilih dalam mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka pilihannya adalah kepada
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki, yang mendapatkan prioritas utama untuk sekolah karena anak perempuan dianggap tidak penting dan tidak layak. Laki-laki adalah kepala
keluarga dan laki-laki yang memberi nafkah keluarga. Ada anggapan bahwa perempuan walau sekolah tinggi-tinggi akan tetap berada di dapur dan jika
menikah nanti akan ikut dengan suami. Keadaan ini sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil yang dilakukan dalam mengambil suatu
keputusan di keluarga. Berkaitan dengan prinsip keturunan garis patrilineal, maka sistem
pembagian warisan mengikuti aturan tersebut. Pada masyarakat Nias, yang mendapat warisan hanyalah anak laki-laki saja, anak perempuan yang sudah
menikah atau belum menikah tidak berhak mendapat warisan. Anak laki-laki yang sulung sia’a selalu mendapat bagian yang lebih dari saudara-saudaranya yang
lain. Anak yang sulung mendapat bagian yang istimewa, karena ia akan menjadi pengganti bapaknya dan membayar hutang-hutang orang tuanya.
Sesuai dengan kebiasaan di Nias, perempuan tidak boleh angkat bicara sekalipun keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri,
seandainya suami tidak ada di rumah sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saat itu juga, maka istri tidak boleh mengambil keputusan sendiri,
melainkan harus menunggu suami pulang. Namun, jika ayah mertuanya ada di rumah, maka itulah yang bisa membantu memberi keputusan. Dalam
musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya menunggu apa yang diputuskan oleh kaum lelaki. Bagi perempuan yang sudah menyandang status
janda dan perawan tua sudah tentu mereka kurang diperhitungkan dan difungsikan dengan alasan kurang mampu apalagi bila kondisi sosial ekonomi yang tidak
Universitas Sumatera Utara
memadai. Begitu juga dengan perawan tua, dalam setiap pesta adat misalnya pesta perkawinan, maka pada saat pembagian jatah makanan urakha nama mereka
tidak pernah disebutkan www.museum-nias.net?p=246. Grafland menuliskan dalam Subadio dan Ihromi,1994:44 pada umumnya
dalam kebanyakan bangsa, dahulu maupun sekarang wanita memiliki tempat kedua dalam masyarakat. Namun demikian bukan tidaklah dapat dipastikan
bahwa dalam pergaulan masyarakat khususnya dalam keluarga, wanita itu jauh lebih rendah kedudukannya dari pria. Walaupun harus diakui bahwa dalam
pergaulan umum wanita itu umumnya muncul di garis belakang, namun pengaruhnya sebenarnya jauh lebih besar daripada yang kelihatan secara nyata.
Menurut Mansyur dalam Listiani,2002:47 permasalahan gender dan kondisi ketidakadilan gender selalu juga dijumpai di lingkungan rumah tangga, bagaimana
proses pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dalam banyak rumah tangga sehari-hari dilaksanakan dengan
menggunakan asumsi bias gender. Oleh karena itu rumah tangga merupakan tempat strategis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender.
Berdasarkan uraian diatas dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa pada masyarakat etnik Nias telah terjadi ketidakadilan gender. Gender adalah
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggungjawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat
istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Maka kesetaraan dan keadilan adalah proses untuk menjadi adil
terhadap laki-laki dan perempuan. Penulis ingin mendeskripsikan bias gender
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi terhadap anak perempuan di Nias dan berusaha untuk menuliskan kontribusi yang diberikan oleh anak perempuan dalam keluarganya.
I.2. Perumusan Masalah