Sosial NASKAH AKADEMIK: RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA MEMPERKUAT HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS DI KOTA YOGYAKARTA

Perda Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta 18 Pada kasus-kasus paraplegi membutuhkan layanan kesehatan yang berkelanjutan karena memang rawan terhadap decubitus. Layanan informasi untuk personal hygine bagi penderita paraplegi atau keluarganya sangat terbatas. Hal ini menjadikan perlunya penekanan pada aspek yang bersifat preventif dan promotif. Pendidikan selama kehamilan, imunisasi, pengetahuan tentang tumbuh kembang merupakan informasi wajib bagi semua anggota masyarakat. Para petugas kesehatan di Rumah Sakit juga belum didik untuk memahami bahasa isyarat atau menyediakan jasa sign language interpreter untuk tuna rungu. Hal ini berdampak pada akurasi pemeriksaan kesehatan bagi pasien penyandang disabilitas. Terkait kebutuhan alat bantu, belum semua penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta memiliki alat bantu mobilitas yang memadahi. Meskipun difabel sudah memiliki kartu jaminan kesehatan namun mereka tidak serta merta bisa memanfatkan kepesertaanya karena hambatan mobilitas yang miliki menuju pusat layanan kesehatan. Misalnya terjadi pada difabel paraplegi yang menggunakan kursi roda tidak mudah untuk mengakses transportasi umum. Selain itu, prosedur pelayanan di RS masih kurang efektif dan aksesibel.

e. Sosial

Hasil FGD menunjukan bahwa penanganan penyandang disabilitas yang berusia lanjut jompo masih sangat terbatas. Sebagaimana mandat Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997, maka penyandang disabilitas berhak mendapatkan rehabilitasi sosial, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Rehabilitasi sosial dilaksanakan melalui pelatihan ketrampilan dan layanan pendampingan psiko sosial. Bantuan sosial diberikan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan dasar maupun pemberian alat bantu. Sedangkan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diwujudkan dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar. Rehabilitasi sosial diselenggarakan dengan model berbasis institusi dan berbasis masyarakat. Rehabilitasi berbasis insitusi berbentuk panti sosial merupakan model konvensional justru semakin menegaskan stigma dan marginalisasi terhadap penyandang disabilitas itu sendiri. Institusionalisasi ini bertolak belakang dengan prinsip-prinsip inklusi. Pelembagaan berarti melakukan segregasi dan menghambat Perda Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta 19 penyandang disabilitas untuk membaur hidup bersama lingkungannya. Sumber Daya Manusia di pusat rehabilitasi panti rehabilitasi masih kurang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Petugas panti idelanya adalah the helping professions, misalnya psikologpekerja sosial yang memiliki ilmu dan skills yang memadai bagaimana intervensi terhadap penyandang disabilitas. Pendampingan psiko social justru menjadi substansi rehabilitasi yang belum banyak diperhatikan meskipun skema rehabilitasi social juga menyertakan kegiatan bimbingan mental dan bimbingan social. Personal development yang harusnya menjadi tujuan dari rehabilitasi sosial belum diperhatikan, termasuk upaya mengeliminasi persoalan stigma dan diskriminasi. Advokasi dan pengembangan kapasitas keluarga dan masyarakat juga belum banyak dilakukan. Dalam hal pelayanan sosial, belum ada layanan bagi penyandang disabilitas berat yang keluarganya memiliki keterbatasan untuk memeliharanya. Penanganan penyandang disabilitas berat memerlukan perhatian khusus, karena berkebutuhan yang kompleks termasuk pada aspek pembiayaan. Hal ini berpotensi untuk tidak ada penanangan memadahi apabila keluarganya memiliki keterbatasan kapasitas termasuk dalam hal pendapatan. Dalam hal ini, pemerintah harus mengambil alih sebagai bagian dari pelaksanaan konstitusi.

f. Aksesibilitas