Perda Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta
15
b. Pendidikan
Visi Pembangunan Kota Yogyakarta secara tegas menyangkut mewujudkan pendidikan yang inklusif yakni sistem pendidikan yang mengembangkan kreatifitas
dengan memberikan akses kepada semua orang dalam satu sistem yang mencakup sekolah, program non formalinformal, pendidikan keluarga dan masyarakat serta
melibatkan seluruh masyarakat secara penuh. Temuan lapangan, di Kota Yogyakarta masih menghadapi kendala dalam
pewujudan pendidikan inklusi, diantaranya kendala ketersediaan guru bantu yang kurang yang sesuai dengan keberagaman disabilitas. Dengan alasan tidak memiliki
Sumber Daya Manusia Guru yang memiliki kemampuan mengajar dengan keragaman disabilitas, maka beberapa sekolah dari level PAUD hingga SMP
menolak halus anak difabel untuk mendaftar dan mengarahkan pada sekolah khusus seperti SLB ataupun pada sekolah tertentu meskipun secara teknis menjadi kendala
teknis dan berbiaya mahal dari sisi transportasi karena jarak yang menjadi lebih jauh dari rumah tinggal calon siswa. Impliksinya, banyak anak-anak disabilitas yang
belum terjangkau layanan pendidikan secara memadahi. Ketidakmerataan dalam pewujudkan pendidikan inkluasi juga tidak lepas dari
problem kewenangan daerah dan aturan kebijakan biaya pendidikan seperti dana BOS yang tidak fleksibel untuk pengadaan kebutuhan sarana pendidikan bagi
penyandang disabilitas. Sekarang ini, pengaturan kebijakan sekolah khusus hanya di tingkat provinsi dan sekolah inklusi di tingkat kota.
Upaya pemenuhan kebutuhan untuk menjadikan sekolah inklusi menghadapi kendala kewenangan penyediaan SDM dan penggunaan dana. Pendidikan di sekolah
inklusi masih banyak yang diselenggarakan tidak berdasarkan prinsip inklusi. Adanya guru GPK guru pembimbing khusus yang merupakan guru dari SLB yang
membantu anak-anak sekolah inklusi secara rutin beberapa kali seminggu, tidak sesuai dengan prinsip inklusi. GPK pada prakteknya lebih banyak bertugas secara
teknis, misalnya membraille-kan bahan ajar. Padahal hadirnya GPK idealnya bisa memonitoring dan mengawal pelaksanaan inklusi di sekolah atau mengadvokasi anak
sejauh mana sekolah sudah merespon kebutuhan akademik dan sosial anak. Penyelengaraan pendidikan inkkusi bagi difabel belum mengakomodir kebutuhan
difabel. Idelanya, pihak sekolah melakukan asesmen dan kontrak belajar pada saat di
Perda Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas di Kota Yogyakarta
16
awal penerimaan siswa sehingga bisa merespon kebutuhan siswa difabel. Impliksinya, penyelenggaraan pendidikan penyandang disabilitas di sekolah inklusi
dirasakan masih belum optimal memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas.
c. Ketenakerjaan