Biofuel versus Ketahanan Pangan
                                                                                terus  berlangsung,  karena  terjadi  perebutan  komoditas  untuk  kepentingan produksi   bahan  bakar  dan  kepentingan  pangan.  Dilemma  krisis  energi  ini  amat
terasa  bagi  negara-negara  berkembang  dan  negara  yang  memiliki  populasi penduduk  padat.  Seperti  di  Indonesia,  jumlah  penduduk  yang  besar  dan
kemiskinan yang merajarela menjadi faktor pendorong utama rentannya persoalan ketahanan pangan. Badan Pusat Statistik,  2008 menunjukkan bahwa kecepatan
pertambahan produksi pangan masih tertinggal jauh di belakang laju pertumbuhan penduduk  Indonesia  yang  rata-rata  mencapai  1.3  persen  per  tahun  .  Contohnya
laju  pertumbuhan  produksi  padi  periode  2000-2005  masih  relatif  rendah,  yakni 0.82 persen. Selain itu, masalah kemiskinan juga memicu kerawanan pangan. Dari
laporan  Badan  Pusat  Statistik,  hingga  Maret  2006  jumlah  orang  miskin  di Indonesia sudah mencapai 39.05 juta jiwa atau 17.75 persen  dari total penduduk
sebesar  220  juta jiwa  . Angka  itu  meningkat  sebesar    3.95 juta  orang  dari  tahun sebelumnya, dan 63.4 persen dari jumlah warga miskin tersebut ada di pedesaan .
Wacana  yang  berkembang  di  Tanah  Air  hanya  berkutat  pada  apakah  Indonesia perlu  impor  atau  tidak.  Kenyataannya,  kebijakan  impor  pangan  justru
menimbulkan  kerugian  bagi  petani.  Akibat  impor  pangan  ini,  harga  di  pasar domestik perlahan-lahan hancur, sehingga pendapatan petani semakin berkurang.
Sekedar diketahui, Indonesia mengimpor rata-rata 1.5 juta ton beras per tahunnya . Fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor
sebesar  1.5  juta  ton  kedua  terbesar  di  dunia  atau  40  persen  dari  konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai sebesar 1.3 juta ton terbesar di
dunia  yang  menutup  45  persen  konsumsi  kedelai  nasional.  Sedangkan  volume impor  untuk  jagung  berjumlah  tidak  kurang  dari  1  juta  ton.  Indonesia  juga
mengimpor buah-buahan dan sayur, seperti apel, jeruk, pir, kentang, bawang, dan lain-lain.  Tampak  ironis  ketika  situasi  ini  membuat  Negara  yang  pernah
mengklaim diri sebagai Negara agraris, justru masuk menjadi Negara pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.
Di  sisi  lain,  ketahanan  energi  Indonesia  juga  bukan  tanpa  masalah. Berdasarkan  laporan  Bappenas  ,  pemenuhan  energi  di  dalam  negeri  masih
menemui  kendala.  Selama  ini,  terjadi  ketergantungan  yang  tinggi  terhadap penggunaan  energi  primer,  seperti  minyak  bumi  54.4  persen,  gas  bumi  26.5
persen,  batubara  14.1 persen;  sedangkan  sumber-sumber  energi  lainnya  hanya sekitar 4.8 persen. Pemanfaatan energi akhir juga masih bertumpu pada beberapa
jenis, yaitu Bahan Bakar Minyak 63 persen, gas bumi 17 persen, dan listrik 10 persen. Konsumsi energi ini juga dinilai relatif lebih boros dibandingkan negara-
negara  lainnya.  Data  ASEAN  Association  of  Southeast  Asian  Nations  Energy Review
menunjukkan bahwa pada tahun 1993 rumah tangga dan sektor komersial Indonesia  mengkonsumsi  energi  sebesar  52  persen  dari  konsumsi  energi  total
yang dikonsumsi oleh rumah tangga dan sektor komersial di ASEANAssociation of  Southeast  Asian  Nations
.  Sementara  konsumsi  energi  negara  lainnya  seperti Thailand  sebesar  20.9  persen,  Malaysia  11.2  persen,  Philipina  10.6  persen,
Singapura  4.7  persen,  dan  Brunei  hanya  0.8  persen.  Konsumsi  energi  ini  akan semakin  besar  bila  ditambah  dengan  konsumsi  dari  sektor  industri  dan
transportasi.  Sehubungan  dengan  hal  itu,  pemenuhan  kebutuhan  energi  dalam negeri  dihadapkan  pada  tiga  tantangan  yaitu    :  pertama,  mempercepat  pencarian
sumber energi sebagai upaya peningkatan cadangan sumber daya energi nasional. Kedua, meningkatkan proses produksi dan penciptaan nilai tambah produksi, dan
ketiga, menyediakan energi kepada masyarakat dalam jumlah yang cukup dengan harga  yang  terjangkau.  Di  samping  itu,  demi  mengurangi  ketergantungan  yang
tinggi  terhadap  Bahan  Bakar  Minyak,  maka  pemerintah  mulai  menggalakkan pemanfaatan energi alternatif, khususnya biofuel.
Timbulnya  Persaingan  Kepentingan  Energi  dan  Pangan  adalah
suatu pandangan yang dangkal dan prematur bila gencarnya peningkatan produksi minyak Bahan Bakar Nabati BBN, dipandang sebagai kebijakan yang bijaksana.
Tidak  menafikan  pula  bahwa  Bahan  Bakar  Nabati  bersifat  renewable.  Beberapa pihak  yang  berpandangan  optimis  berpendapat  bahwa  strategi  peningkatan
produksi  Bahan  Bakar  Nabati  tersebut  mempunyai  banyak  dampak  posistif, seperti  ramah  lingkungan,  bahan  baku  berasal  dari  sumber  daya  domestik,
membuka  lapangan  kerja  baru  di  pedesaan,  sampai  dengan  argumen  ketahanan energi  untuk  negara.  Jika  harga  minyak  global  tetap  tinggi,  diperkirakan  produk
biofuel  ini  memang  akan  tetap  kompetitif;  dan  beberapa  negara  telah  lebih  dulu memproduksi  biofuel  dalam  jumlah  besar.  Diantaranya,  Brazil  memproduksi
bioetanol dengan bahan baku jagung dan tebu, Amerika menggunakan kedele dan jagung,  Filipina  menggunakan  kelapa,  dan  Cina  menggunakan  jagung  dan
gandum. Disadari  atau  tidak,  kondisi  ini  berpotensi  memperburuk  proses
penyediaan  komoditas  pangan.  Terutama  bagi  negara-negara  yang  melakukan impor  bahan  pangan  dan  negara-negara  dengan  jumlah  penduduk  yang  relatif
banyak,  termasuk  Indonesia.  Dampak  awal  yang  terjadi  adalah  kenaikan  harga gula. Harga gula di Bursa Berjangka London yang semula sekitar 300 dollar AS
melonjak  menjadi  hampir  490  dollar  AS  per  ton.  Kenaikan  ini  terjadi  karena
produsen  gula  seperti Brazil  memilih  mengonversi komoditas  itu  menjadi etanol untuk menggantikan atau menyubstitusi bahan bakar minyak . Lain halnya dengan
Amerika.  Sejak  Amerika  Serikat  AS  mengumumkan  hasil  risetnya  yang menyebutkan  komoditas  jagung  lebih  ekonomis  dibanding  gula  dalam  produksi
etanol,  kontan  harga  gula  langsung  anjlok  ke  harga  400  dollar  AS.  Sebaliknya harga  jagung  melonjak  dari  sekitar  135  dollar  AS  per  ton  pada  bulan  Agustus
menjadi 210 dollar AS per ton sampai di pelabuhan Indonesia pada bulan Oktober 2006.
Amerika  Serikat  telah  memutuskan  memproduksi  etanol  dengan menggunakan  jagung,  bukan  gula.  Selama  setahun,  yakni  dari  Oktober  2005
hingga  Oktober  2006,  AS  mulai  membangun  54  pabrik  etanol.  Direktur  Earth Policy  Institute
Lester  R  Brown  memperkirakan,  dengan  lama  konstruksi  satu pabrik  sekitar  14  bulan,  semua  pabrik  akan  berproduksi  pada  akhir  2007.  Jika
semuanya beroperasi akan dihasilkan empat miliar galon etanol. Produksi ini akan membutuhkan 39 ton komoditas biji-bijian yang dipastikan hampir semuanya dari
jagung .