Analisis kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan industri kelapa sawit nasional

(1)

TESIS

ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PERKEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT NASIONAL

(Studi Kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara)

Oleh:

DINI BAYU ARTI F351050021

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

ABSTRACT

DINI BAYU ARTI. Analysis of Government Strategies and Policies in The Palm Oil Industrial Development In Indonesia (Case Study in PT Perkebunan Nusantara IV, Medan, North Sumatera). Under direction of Tajuddin Bantacut andJono M. Munandar.

This study was aimed to analyse the government policies and strategies related to development of palm oil industry in Indonesia using system approach. The policies and strategies was designed to meet the optimal solutions based on various stakeholders needs.

Confict of interest was solved using Analytical Hierarchy Process (AHP) model through application of Fibonacci optimization technique and heuristic simultaneous equation. Strategic planning process was conducted using Exponential Comparative Methods (ECM) and AHP. The data was gained from experts survey and simulation.

This study was performed to investigate the government strategies to establish industrial palm oil. Major factors related to palm oil agroindustrial development were TBS (fresh bunch fruits) pricing, technology selection, labours wages, tax policy and industrial waste utilization.

Analysis using AHP technique concluded that critical factors were local community welfare and increasing of farmers income. Major policies to achieve these factors were business financing and provision of market infrastructures. This study recommended the policies to optimize TBS price, improve regional labour wages (UMR) and equal tax distribution for local government and institutional restructuring.


(3)

RINGKASAN

DINI BAYU ARTI. Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Perkembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus di PTPN IV, Medan Sumutera Utara) Dibimbing oleh Tajuddin Bantacut dan Jono M. Munandar.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peranan sektor ini masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik. Sektor ini akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional dan penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk penciptaan nilai tambah di sektor industri dan jasa. Subsektor perkebunan diharapkan tetap memainkan peran penting dalam penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan wilayah terutama di luar Jawa

Produk pertanian dan agroindustri meningkat perannya dalam pembangunan nasional, terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997. Kondisi tersebut mendorong pengambangan ekonomi berbasis bahan baku dalam negeri sebagai komoditi andalan ekspor penghasil devisa. Selain itu pertanian dan agroindustri juga berperan dalam menyerap tenaga kerja, mendorong pemerataan pembangunan, memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dan mendorong pembangunan wilayah.

Globalisasi pembangunan perdagangan dan tingkat persaingan yang ketat menuntut pengembangan keunggulan komparatif agroindustri kelapa sawit kearah keunggulan komperatif. Untuk itu diperlukan perbaikan kebijakan dan pengelolaan yang profesional pada seluruh mata rantai sistem dari pembibitan, budidaya, pascapanen, pengolahan, transportasi, distribusi dan pemasaran.

Proses desentralisasi kewenangan melalui UU nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan pertanian. Dengan demikian, kebijakan pengembangan agoindustri kelapa sawit perlu semakin memperhatikan kondisi dan keinginan daerah setempat termasuk faktor sosial dan budaya untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi daerah yang berkelanjutan. Kebijakan hendaknya bersifat “local specific”, partisipatif, transparan, dan mengutamakan akumulasi kemampuan masyarakat.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem penunjang keputusan pengembangan agroindustri kelapa sawit untuk perekonomian daerah. Tujuan


(4)

spesifik penelitian ini ; (1) Melakukan identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan industri kelapa sawit nasional (studi kasus di PTPN IV Sumatera Utara). (2) Mengidentifikasi strategi kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam pengembangan industri kelapa sawit (studi kasus di PTPN IV Sumatera Utara). (3) Melakukan analisis kebijakan untuk meyusun perioritas penyelesaian konflik kepentingan aktor dan pihak yang terkait. (4) Merekomendasi strategi kebijakan pengembangan agroindustri kelapa sawit yang menyerasikan kepentingan daerah, pelaku usaha, dan pemerintah pusat untuk mengantisipasi persaingan global.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data tentang kebutuhan pelaku dan pihak berkepentingan diperoleh melalui observasi lapang dan wawancara. Data primer tentang perioritas instrumen kebijakan, kriteria keputusan, dan penataan kelembagaan diperoleh melalui wawancara pakar yang dilakukan dengan teknik purposive sampling.

Hasil analisis fakor yang mempengaruhi pengembangan industri kelapa sawit yakni : Keamanan Berusaha, tekhnologi produktivitas, investasi (pendanaan), pemberdayaan masyarakat kebun, daya saing, sarana prasarana ,situasi politik ekonomi (meliputi Harga TBS dan CPO).

Berdasarkan hasil analisis AHP diperoleh hasil bahwa dalam Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit, faktor yang paling berperan adalah Tekhnologi dan Produktivitas (0,480), Sarana Prasarana (0,242), Sumber Daya Alam (0,117), Sumber Daya Manusia (0,083) dan Investasi (0,077).

Hasil analisis kebutuhan dari pihak berkepentingan terhadap agroindustri kelapa sawit, aktor yang paling berperan adalah Direktur PTPN IV (0,240), Departemen Perindustrian dan Perdagangan (0,202), Dirjen Perkebunan (0,160), Kelembagaan (0,071), Pengusaha (0,066), dan Petani (0,059).

Pada perumusan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit, tujuan yang paling penting adalah meningkatkan pendapatan pengusaha perkebunan dan usaha perkebunan (0,449), meningkatkan pendapatan tenaga kerja yang bekerja pada pabrik CPO/PKO (0,226), meningkatkan kualitas lingkungan (0,120), Meningkatkan kinerja pabrik pengolahan kelapa sawit (0,105) dan Meningkatkan pendapatan Pemerintah daerah dibidang pertanian (0,087).

Alternatif kebijakan dalam perumusan Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan Industri Kelapa Sawit, alternatif yang paling dipentingkan adalah Penetapan kebijakan harga TBS (0,445), Pemerintah menetapkan kebijakan tentang pajak ekspor secara berkala agar pelaku usaha dan pemerintah


(5)

sama-sama mendapat keuntungan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat (0,193), menetapkan kebijakan tentang pemupukan cadangan penyangga minyak kelapa sawit (0,137), Menetapkan pola usaha dan tata cara pemasaran produk berbasis kelapa sawit agar merata (0,127), dan Kebijakan distribusi lahan (0,082). Dari hasil analisis kebutuhan masing-masing factor, aktor dan tujuan diperoleh bahwa strategi kebijakan yang paling dominan dan sangat menentukan adalah penentuan harga TBS . Selain itu harga pupuk, besaran pajak, pendapatan tenaga kerja, dampak lingkungan juga menjadi sumber konflik. Untuk itu maka diperlukan kebijakan yang saling menguntungkan terhadap harga TBS, teknologi, pajak dan diversivikasi produk, pemasaran produk yang merata sehingga dapat terwujud keadilan dalam pengambangan agroindustri kelapa sawit.

Untuk mengantisipasi pengembangan sistem agroindustri yang semakin menghendaki tranparansi dalam pengambilan kebijakan, desentralisasi kewenangan pemerintah, dan mengantisipasi persaingan global, strategi yang dapat di tempuh adalah: (1) menerapkan kebijakan yang dapat memberikan solusi optimum bagi semua pihak, (2) melakukan penataan kewenangan kelembagaan pemerintah (pusat dan daerah) dan fungsi kelembagaan rakyat pekebun, (3) melakukan debirokratisasi dan desentralisasi kewenangan penetapan kebijakan dan (4) meningkatkan posisi tawar rakyat pekebun melalui pembentukan kelompok usaha bersama dalam bentuk koperasi.


(6)

ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PERKEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT NASIONAL

(Studi Kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara)

Oleh : DINI BAYU ARTI

F351050021

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(7)

Judul TESIS : Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara)

Nama : DINI BAYU ARTI

NRP : F351050021

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, Msc Dr. Ir. Jono M. Munandar, Msc

Ketua Anggota

Mengetahui :

Ketua Program Studi A.n. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Industri Pertanian Sekretaris Program Magister

Dr. Ir. Machfud, Msc Dr. Ir. Naresworo Nugroho, Msi


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memberikan kekuatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul Analisis Strategi Dan Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Pengembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus di PT. Perkebunan Nusantara IV Medan Sumatera Utara). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan tesis pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat terbuka dalam menerima

kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penulisan selanjutnya. Penulis mengucapkan segenap rasa terima kasih, secara khusus kepada

Bapak Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.sc yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik.

Bogor, 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan (Sumatera Utara) tanggal 23 Mei 1981, putrid dari Bapak Haji Samadi dan Ibu Hajjah Hardiany (alm). Lulus Sekolah Dasar pada tahun 1993. Kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 6 Medan dan lulus pada tahun 1996. Tahun 1999 lulus dari Sekolah Menengah Atas di Binjai dan melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Sumatera Utara Medan pada tahun yang sama jurusan Tekhnologi Hasil Pertanian.

Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Sumatera Utara pada tahun 2003 dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

RINGKASAN... ii

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah Penelitian... 4

3. Tujuan Penelitian... 5

4. Manfaat Penelitian... 5

5. Ruang Lingkup Penelitian... 6

II. NILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT 1. Pendahuluan ... 8

2. Perkembangan Industri Sawit Nasional... 11

3. Revitalisasi Perkebunan ... 13

4. Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia... 15

5. Posisi Sumatera Utara Dalam Persawitan Nasional ... 17

6. Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan... 19

III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT 1. Pendahuluan ... 26

2. Pola Pengembangan Perkebunan... 26

3. Kebijakan dan Strategi Pemerintah di Bidang Persawitan Nasional ... 30


(11)

4. Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS)... 34

5. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Ekspor CPO ... 37

IV. METODOLOGI PENELITIAN 1. Kerangka Pemikiran Konseptual... 38

2. Tata Laksana ... 39

2.1 Tahapan Penelitian ... 39

3. Pendekatan Sistem... 41

V. PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV (PTPN IV) 1. Kondisi Umum PTPN IV Medan Sumatera Utara ... 51

2. Kebijakan Berbasis Industri ... 54

VI. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Industri Sawit... 60

VII. ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN BERBASIS INDUSTRI 1. Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Pengembangan Industri Kelapa Sawit dengan AHP ... 66

1. Hasil Pengolahan Data Secara Horizontal dalam AHP... 68

2. Hasil Pengolahan Data Secara Vertikal dalam AHP... 74

2. Analisis Sensitivitas AHP Strategi Kebijakan Pemerintah... 80

3. Implikasi Manajerial Analisis dan Strategi Kebijakan Pemerintah ... 91

VIII. ANALISIS PENETAPAN TBS 1. Pendahuluan ... 93


(12)

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan ... 97

2. Saran ... 99

3. Rekomendasi ...100

DAFTAR PUSTAKA...101


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sebaran Area Perkebunan Kelapa Sawit di Sumut... 11

2. Grafik Pola Konsumsi CPO ... 17

3. Diagram Pohon Industri Kelapa Sawit ... 18

4. Proses Kebijakan Publik dan Proses Analisa Kebijakan Publik ... 24

5. Lingkungan Eksternal yang Mempengaruhi Industri Kelapa Sawit. 41 6. Kerangka Kerja Analisis Kebijakan ... 51

7. Kerangka Pemikiran Konseptual... 52

8. Struktur Hirarki Lengkap... 81

9. Struktur Hirarki Pemilihan Strategi Kebijakan Pemerintah... 89

10. Diagram Batang Analisis Sensitivitas level Faktor ... 95

11. Preferensi terhadap Aspek Daya Saing (72%) ... 96

12. Preferensi terhadap Daya saing (100%)... 96

13. Diagram Batang Analisis Sensitivitas pada level Aktor... 97

14. Prefensi terhadap aktor Direktur PTPN ditingkatkan 70,2%... 97

15. Preferensi terhadap aktor Petani ditingkatkan 70,2%... 98

16. Preferensi terhadap aktor Pengusaha ditingkatkan 70,2%... 98

17. Preferensi terhadap aktor Dirut PTPN ditingkatkan 100% 99 18. Preferensi terhadap aktor Petani ditingkatkan 100%... 99

19. Preferensi terhadap aktor Pengusaha ditingkatkan 100%... 99

20. Diagram Batang Analisis Sensiitivitas pada level tujuan ... 100

21. Preferensi terhadap tujuan ditingkatkan 70,2%... 101


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Ketersediaan Lahan Komoditi Kelapa Sawit di Indonesia... 9

2. Ketersediaan Lahan Komoditi Kelapa Sawit di Sumut ... 11

3. Jumlah Pabrik Kelapa Sawit dan kapasitas terpasang di Indonesia ... 13

4. Matriks Kebijakan Pemerintah untuk Produk Kelapa Sawit ... 46

5. Nilai Skala Banding Berpasangan ... 61

6. Matriks Pendapat Individu ... 62

7. Matriks Pendapat Gabungan ... 62

8. Indeks Acak... 64

9. Alat Produksi, Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Terpakai PTPN IV ... 68

10. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal Antar Elemen pada Tingkat 3 ...77

11.Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal Antar Elemen pada tingkat 4... 85

12. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal pada Elemen Alternatif ... 87

13. Bobot dan Prioritas faktor-faktor Penyusun Strategi Pengembangan Industri Kelapa Sawit ...90

14. Bobot dan prioritas aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit ...92

15. Bobot dan Prioritas tujuan yang berperan dalam pengambilan keputusan strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Pengembangan industri kelapa sawit ...92


(15)

16. Bobot dan prioritas alternatif kebijakan yang berperan dalam pengambilan keputusan strategi kebijakan pemerintah terkait

pengembangan industri kelapa sawit ...93 17. Bobot Peringkat Dampak dalam Pengembangan Industri Kelapa Sawit....93 18. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja

menjadi skala prioritas utama (70,2%)... 102 19. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Tenaga Kerja

menjadi skala prioritas utama (100%)... 102 20. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Pemerintah

menjadi skala prioritas utama (70,2%)... 103 21. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pendapatan Pemerintah

menjadi skala prioritas utama (100%)... 104 22. Uji Sensitivitas pada level tujuan kualitas Lingkungan menjadi skala

prioritas utama (70,2%)... 104 23. Uji Sensitivitas pada level tujuan kualitas Lingkungan menjadi skala

prioritas utama (100 %)... 105 24. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pabrik Kelapa Sawit

menjadi skala prioritas utama (70,2%)... 105 25. Uji Sensitivitas pada level tujuan Peningkatan Pabrik Kelapa Sawit


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pembobotan Faktor dengan Metode MPE ...120

2. Hasil Pembobotan Aktor dengan Metode MPE ...121

3. Hasil Pembobotan Faktor dengan Teknik MPE ...122

4. Hasil Pembobotan Tujuan dengan Teknik MPE...123

5. Hirarki Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait Perkembangan Industri Kelapa Sawit ...124

6. Hasil Pengolahan Horizontal dalam Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait Perkembangan Industri Kelapa Sawit ...125

7. Hasil Pengolahan Vertikal dalam Analisis Kebijakan Pemerintah Terkait Perkembangan Industri Kelapa Sawit ...127


(17)

107 I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Di bandingkan dengan komoditi lainnya pada sub-sektor perkebunan, kelapa sawit (Elaeis guineensis J.) merupakan salah satu komoditas yang pertumbuhannya paling pesat pada dua dekade terakhir. Pada era tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an, industri kelapa sawit berkembang sangat pesat. Pada periode tersebut, areal meningkat dengan laju sekitar 11% per tahun. Sejalan dengan perluasan areal, produksi juga meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Konsumsi domestik dan ekspor juga meningkat pesat dengan laju masing-masing 10% dan 13% per tahun (Barlow et al., 2003; Ditjenbun, 2004; Depperin, 2007). Indonesia bahkan secara mengejutkan berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai pemasok CPO terbesar dunia sejak 2006, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai produsen CPO dunia meningkat tajam dari 40,5 persen pada 2004 menjadi 44,3 persen pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 45,3 persen menjadi 40,9 persen pada periode yang sama (Nuryanti, 2008; Miranti, 2010).

Pengembangan kelapa sawit berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh perkembangan investasi, output dan devisa. Industri berbasis kelapa sawit berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan dalam hal pendapatan dan aset. Sekitar Rp. 5 juta – 11 juta atau lebih dari 63% pendapatan rumah tangga berasal dari usaha kelapa sawit. Peran dalam pengentasan kemiskinan tercermin dari jumlah penduduk miskin yang kurang dari 10% dari masyarakat yang mengusahakan kepala sawit. (Susila, 2004a; Oladipo, 2008; World Growth, 2009). Sektor ini juga berperan dalam menyediakan kesempatan kerja lebih dari 3.5 juta orang, menghasilkan devisa, menyediakan bahan baku kebutuhan industri minyak goreng nasional (sekitar 5 juta ton) (GAPKI, 2010).


(18)

108 Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan produksi mencapai 19,8 ton pada tahun 2010. Luas lahan kelapa sawit pada tahun 2010 diperkirakan 7,85 hektar dengan rincian 42,4% perkebunan rakyat, 7,9% Perkebunan Besar Nasional dan 49.8% Perkebunan Besar Swasta (Ditjenbun, 2010). Pada tahun 2009, kontribusi devisa dari CPO dan produk kelapa sawit lainnya adalah USD 12.3 milyar (GAPKI, 2010). Kontribusi produksi CPO Indonesia adalah 44.5% dari produksi CPO dunia, disusul Malaysia (41.3%), Nigeria 3.0%, Thailand, 2.7%, Kolumbia 1.9% dan selebihnya (7.4%) diproduksi Pantai Gading Ekuador dan Papua Nugini (USDA, 2009).

Indonesia dan Malaysia menguasai lebih dari 85% pangsa pasar CPO dunia. Indonesia mampu mengekspor 40,34 %dalam bentuk CPO dan 59,66 % dalam bentuk produk olahan CPO, sedangkan Malaysia mengekspor 16,38 % dalam bentuk CPO dan 83,62 % dalam bentuk produk olahan CPO. Indonesia lebih unggul dari Malaysia dalam hal ekspor bahan bakunya (CPO) tetapi Malaysia unggul dalam hal produk turunannya yang mempunyai nilai tambah jauh lebih tinggi daripada CPO nya (Depperin, 2009). Kedepan diperkirakan peran Malaysia baik sebagai eksportir maupun produsen CPO dunia akan terus menurun mengingat sudah semakin terbatasnya lahan untuk pengembangan kebun kelapa sawit di negara tersebut (Miranti, 2010).

Pada tahun 2010/2011 diperkirakan bahwa bahwa minyak sawit (termasuk

PKO) akan memasok 36% total edible oil dengan penggunaan 74% untuk

konsumsi dan 26% untuk industri. Adapun total permintaan minyak makan dunia pada tahun 2010/2011 diperkirakan sebagai berikut: minyak sawit (52,3 juta ton), minyak kedelai (41,3 juta ton), rapeseed oil (22,3 juta ton), sunflower oil (11,3 juta ton), dan minyak lainnya (16,6 juta ton) (USDA, 2010). Konsumsi CPO dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, dan Uni Eropa (Miranti, 2010).


(19)

109 Sejumlah kajian (Arisman, 2002; Basiron, 2002; Barlow et al., 2003; Susila, 2004b; Tryfino, 2006; Abidin, 2008; Nuryanti, 2008; Dou, 2009; Gumbira-Sa’id, 2010; Teoh, 2010) menyimpulkan bahwa peluang pengembangan industri minyak sawit Indonesia masih sangat terbuka terutama karena ketersediaan dan kesesuaian lahan serta didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat.

Walaupun industri CPO Indonesia memiliki prospek yang sangat baik di tahun-tahun mendatang, industri ini juga menghadapi tantangan yang tidak mudah dilalui. Tantangan tersebut antara lain (Didu, 2001; Arisman, 2002; Susila, 2004a; Miranti, 2004; Tambunan, 2006; Tadjoeddin, 2007; Gumbira-Sa’id, 2010; Miranti, 2010; Syaukat, 2010):

1. Adanya tuntutan yang semakin tinggi terhadap produk olahan CPO yang memenuhi standar mutu terkait dengan isu lingkungan dan kesehatan produk.

2. Peningkatan produktivitas, efisiensi usaha serta dukungan kebijakan

pemerintah terhadap industri ini, terutama jika dibandingkan dengan negara pengekspor CPO lainnya.

3. Masih kurangnya inovasi produk untuk meningkatkan nilai tambah oleh pelaku bisnis karena tidak ada koordinasi aktivitas produksi dan pemasaran dari lembaga riset serta lemahnya dukungan lembaga penelitian.

4. Kebijakan pemerintah yang tidak mendorong pengembangan sawit seperti penerapan pajak ekspor sebesar 5,5 USD/ton CPO sejak Desember 2005, ditambah dengan pajak progresif, sementara Malaysia malah membebaskan pajak ekspor CPO. Sejumlah peraturan yang ada banyak yang membebani industri minyak sawit maupun menghambat investasi di industri minyak sawit. 5. Struktur pasar dalam negeri yang belum efisien mulai dari penyediaan bahan baku TBS (Tandan Buah Segar), pergudangan, transportasi dan pasar produk akhir dari industri ini dan harga CPO dan produk olahannya yang cenderung fluktuatif.

6. Belum adanya kebijakan yang jelas mengenai pengembangan industri hilir serta keterkaitan industri hulu-hilir kelapa sawit serta arah pengembangan yang belum sepenuhnya difahami oleh para pemangku kepentingan di


(20)

110 samping sejumlah kebijakan yang dianggap belum mengakomodir kepentingan semua pihak terkait.

7. Belum sepenuhnya terjalin kemitraan antara perusahaan inti dengan plasma sehingga sering menimbulkan konflik terutama pada pemilikan lahan.

8. Dukungan infrastruktur berupa jalan serta pelabuhan laut yang belum memadai untuk perdagangan antar pulau.

9. Isu kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam pembebasan

lahan kelapa sawit.

Di bidang lingkungan, CPO Indonesia menghadapi tantangan berat di pasar ekspor terutama di pasar Uni Eropa (UE) yang sangat ketat. Saat ini di UE terdapat aturan EU Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca yang akan diberlakukan pada 2011. Dalam aturan tersebut negara UE tidak bisa mengimpor CPO karena dianggap komoditas tersebut tidak memenuhi ketentuan mengenai pembatasan emisi mereka. Akibatnya, CPO tidak bisa masuk ke pasar UE. UE menerapkan aturan tersebut karena penguasaan pasar CPO lebih besar daripada minyak nabati lainnya seperti seperti rapeseed, minyak kedelai, maupun minyak bunga matahari (Susila, 2004a; ICN, 2009a; Syaukat, 2010).

Areal perkebunan sawit di Sumatera pada tahun 2005 mencapai 4.280.094 ha atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Provinsi Riau tercatat memiliki areal terbesar yaitu 1.383.477 ha diikuti provinsi Sumatera Utara seluas 964.257 ha (ICN, 2009a). Data dari PTPN IV (2009) menyebutkan bahwa luas lahan sawit di Sumaatera Utara adalah 1,9 juta ha dengan rincian satu juta ha perkebunan rakyat, 500 ribu ha PBN dan 400 ribu ha dikelola oleh PTPN, sementara luas areal di propinsi Riau adalah 1.611.361 ha (BPS Provinsi Riau, 2008). Sumatera Utara sendiri meski memiliki perkebunan sawit cukup luas, namun hanya bisa menghasilkan CPO, sehingga yang mendapatkan nilai tambah justru daerah lain, sementara propinsi ini sendiri sering kekurangan minyak sayur yang menjadi kebutuhan masyarakat setiap hari (ICN, 2009b).

Kajian terhadap sejumlah kebijakan dan strategi pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit dengan melibatkan berbagai pihak


(21)

111 diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap kebijakan pemerintah di masa-masa mendatang.

2. Perumusan Masalah

Dengan ketersediaan dan kesesuaian lahan, Indonesia masih memiliki peluang untuk mengembangkan industri kelapa sawit jika didukung oleh kebijakan dan strategi yang tepat, jaminan keamanan berusaha, penyediaan sumber dana yang memamdai serta kejelasan tataniaga TBS dan CPO. Sejauh ini, kebijakan yang ada dirasa belum sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua pemangku kepentingan yang ditandai oleh adanya sejumlah masalah bahkan konflik antar pelaku. Untuk itu diperlukan perbaikan sejumlah kebijakan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dan terkena dampak langsung maupun tidak langsung kebijakan yang dibuat pemerintah melalui kajian yang komprehensif.

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan

industri kelapa sawit nasional khususnya di PTPN IV Sumatera Utara.

2) Mengetahui strategi kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam

pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Sumatera Utara.

3) Menganalisis pengaruh strategi kebijakan pemerintah serta menentukan pengaruh masing-masing strategi terhadap pengembangan industri kelapa sawit di PTPN IV Sumatera Utara.

4) Merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis kinerja perusahaan dan


(22)

112 4. Manfaat Penelitian

1) Bagi perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan dan pertimbangan dalam menentukan strategi kebijakan perusahaan dalam pengembangan industri kelapa sawit

2) Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan dalam pembuatan strategi kebijakan pemerintah untuk pengembangan industri kelapa sawit nasional.

3) Penelitian ini juga diharapkan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.

5. Ruang Lingkup Penelitian

1) Kajian yang dilakukan adalah menganalisis strategi kebijakan pemerintah terkait pengembangan industri kelapa sawit nasional dengan studi kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara

2) Analisis difokuskan pada perkebunan dan industri pengolahan TBS

dengan menganalisis seluruh faktor yang mempengaruhi pengembangan industri kelapa sawit, namun yang dijadikan peubah dalam rancangan kebijakan dibatasi pada faktor yang berpengaruh langsung.

3) Pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian adalah pihak direksi PTPN IV, para petani plasma, koperasi/kelompok tani, serta dinas/instansi terkait.


(23)

113 II. NILAI STRATEGIS INDUSTRI SAWIT

1. Pendahuluan

Komoditas kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor Indonesia pada sub-sektor perkebunan dan merupakan salah satu industri pertanian yang strategis. Prospeknya ditunjukkan oleh peningkatan produksi yang sejalan dengan tingkat permintaannya. Kelapa sawit juga merupakan salah satu dari sedikit komoditas agribisnis Indonesia yang memiliki daya saing di pasar internasional (Manurung, 2001; Susila, 2004b; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008; Gumbira-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010; Widodo et al., 2010). Daya saing di pasar internasional ditunjukkan dengan RCA (revealed comparative advantage) sebesar 14,8 (INDEF, 2007). Nilai RCA merupakan gambaran dari kinerja ekspor suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari 1 (satu) dianggap memiliki kinerja ekspor yang cukup baik (Arisman, 2002).

Sejak tahun 2006, Indonesia juga telah menggeser Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia (ICN, 2009a; Miranti, 2010). Bahkan tahun 2007 saja, produksi Indonesia telah lebih unggul sekitar satu juta ton dibandingkan Malaysia dan menyumbang devisa sebesar 7,9 milyar USD. (Purwantoro, 2008; Teoh, 2008). Namun secara fundamental agroindustri sawit Indonesia tertinggal sangat jauh dari Malaysia akibat produktivitas yang relatif lebih rendah. Minat untuk terus membuka kebun sawit baru, pada tahun-tahun mendatang ini masih akan sangat besar. Ini disebabkan oleh harga CPO di pasar dunia yang masih akan terus naik, mengikuti kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional (Purwantoro, 2008; Nuryanti, 2008). Selain itu, minyak nabati, terutama CPO akan terus dilirik sebagai bahan biodiesel karena harganya jauh lebih murah (Tan et al., 2009).

Meskipun memiliki industri bahan baku yang melimpah, namun perkembangan industri ini masih kalah dibandingkan dengan Malaysia yang kapasitas produksinya mencapai dua kali lipat dari Indonesia. Sebagai gambaran, Indonesia menguasai sekitar 12 persen permintaan oleochemical dunia yang


(24)

114 mencapai enam juta metrik ton per tahun, sementara Malaysia mencapai 18,6 persen. Industri hilir Malaysia mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi, sedangkan Indonesia baru belasan produk. Industri oleokimia merupakan industri yang strategis karena selain keunggulan komparatif yakni ketersediaan bahan baku yang melimpah juga memberikan nilai tambah produksi yang cukup tinggi yakni di atas 40 persen dari nilai bahan bakunya (ICN, 2009a; Rai, 2010).

Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Dari kedua jenis produk ini dapat dihasilkan berbagai jenis produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri hilirnya baik untuk kategori pangan ataupun non pangan. Diantara kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan kosmetik (Depperin, 2009; ICN, 2009a; Gumbira-Sa’id, 2010 ).

Menurut Didu (2003), dari segi nilai tambah, semakin jauh diversifikasi produk dilakukan akan memberikan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk level pertama kelapa sawit berupa CPO akan memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai TBS. Pengolahan selanjutnya akan memberikan masing-masing nilai tambah berbasis TBS sebagai berikut: minyak goreng (50%), asam lemak/fatty acid (100%), ester (150 – 200%), surfaktan atau emulsifier (300 – 400%), dan kosmetik (600 – 1000%).


(25)

115 2. Perkembangan Industri Sawit Nasional

Bisnis CPO Indonesia berkembang pesat pada dekade 1990 – 2000an dengan daya saing yang relatif bagus. Areal kelapa sawit tumbuh dengan laju sekitar 11% dari 1.126 juta ha pada tahun 1991 menjadi 3.584 pada tahun 2001 (Susila, 2004b), meski nilai RCA-nya jauh di bawah Malaysia yang menunjukkan dayasaing CPO Malaysia jauh di atas Indonesia (Arisman, 2002) seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai RCA CPO Indonesia dan Malaysia 1990 – 1998

Tahun Indonesia Malaysia

1990 13.85 65.72

1991 17.11 66.08

1992 17.03 77.86

1993 12.41 33.31

1994 11.95 30.78

1995 10.72 30.08

1996 10.87 27.65

1997 16.29 27.26

1998 9.53 48.29

Sumber: Arisman (2002)

Perkembangan berikutnya (2000 – 2005) pertumbuhan ekspor CPO Indonesia dan dunia selalu positif. Pada periode ini, Malaysia masih lebih dominan daripada Indonesia, meski produksi Indonesia lebih tinggi. Pangsa ekspor CPO Malaysia rata-rata mencapai lebih dari 50% ekspor CPO dunia, sementara pangsa ekspor Indonesia belum mencapai 40% (Nuryanti, 2008)


(26)

116 seperti disajikan pada Tabel 2. Konsistensi peningkatan ekspor ini menurut kajian INDEF (2007) menunjukkan bahwa:

1) Serapan CPO oleh industri domestik masih rendah karena industri hilir kelapa sawit yang tidak berkembang.

2) Nilai tambah tertinggi diperoleh dari produksi CPO, bukan dari produk turunannya. Pengusaha masih lebih tertarik pada industri primer (CPO) yang cenderung padat tenaga kerja, bukan padat modal karena untuk memproduksi produk turunan diperlukan dana investasi yang tinggi.

3) Tersedianya pangsa pasar dunia atas minyak sawit dengan pengembangan industri hilir dan sumber energi alternalif (biodiesel).

Tabel 2. Volume, Persentase dan Pertumbuhan Ekspor Minyak Sawit 2000 – 2005

Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Dunia

Ekspor (000 ton) Persentase (%) Pertumbuhan (%) 13.977,01 100 2,88 16.921,40 100 21,07 18.658,11 100 10,26 21.011,33 100 12,61 23,337,73 100 11,07 26.494,16 100 13,53 Indonesia

Ekspor (000 ton) Persentase (%) Pertumbuhan (%) 4.110,03 29,41 24,58 4.903,22 28,98 19,30 6.333.71 33,95 29,17 6.386,41 30,40 0,83 8.661,65 37,11 35,63 10.376,19 39,16 19,79


(27)

117

Malaysia

Ekspor (000 ton) Persentase (%) Pertumbuhan (%) 8.140,72 58,24 -5,17 10.002,49 59,1 22,87 1.448,74 56,00 4,46 12.079,13 57,49 15,60 11.793,59 50,53 -2,36 13.197,21 49,81 11,90 Lainnya

Ekspor (000 ton) Persentase (%) Pertumbuhan (%) 1.726,26 12,35 1,44 2.01,69 11,91 16,77 1.875,66 10,05 -6,95 2.545,79 12,12 35,73 2.882,49 12,35 13,23 2.920,76 11,02 1,33 Sumber: Nuryanti (2008)

Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, lebih cepat dari yang diproyeksikan semula yaitu tahun 2010. Dalam lima tahun terakhir, peran Indonesia sebagai produsen CPO dunia meningkat tajam menjadi 44,3% pada 2008, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan produksi yang tumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Sebaliknya peran Malaysia turun secara tajam dari 49,8 % pada tahun 2005 menjadi 40,9 % pada tahun 2008 (Miranti, 2010). Menurut Widodo et al.(2010) hal ini juga bisa berdampak negatif yaitu kelangkaan minyak goreng dalam negeri akibat pertumbuhan ekspor serta kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan baru kelapa sawit.

3. Revitalisasi Perkebunan

Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran


(28)

118 hasil. Komoditi yang dikembangkan adalah kelapa sawit, karet dan kakao dengan kegiatan mencakup perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman, seluas 2 juta ha. Untuk pelaksanaan Program Revitalisasi tersebut telah terbit Peraturan Menteri Pertanian No. 33/Permentan/05/06 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK/12/06 serta penunjukan 5 bank pelaksana oleh Menteri Keuangan, yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank Sumut dan Bank Nagari. Untuk menjalankan program ini, pemerintah telah mensubsidi bunga kredit perbankan sehingga petani “hanya” dikenakan bunga maksimal 10% (Ditjenbun, 2007; Nuryanti, 2008).

Dalam revitalisasi perkebunan, pemerintah menyediakan kemudahan pada hal-hal yang berkaitan dengan (Dradjat, 2007):

(1) Investasi dan pembiayaan, seperti penyediaan kredit investasi dan subsidi bunga oleh pemerintah untuk peremajaan, rehabilitasi dan perluasan kebun kelapa sawit, karet, dan kakao.

(2) Manajemen pertanahan dan tata ruang, seperti penetapan dan pemanfaatan lahan produktif untuk pembangunan kebun kelapa sawit di kawasan perbatasan Kalimantan.

(3) Pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, seperti pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam partisipatif.

(4) Infrastruktur pertanian.

(5) Pengembangan SDM dan pemberdayaan petani.

(6) Insentif dan pendanaan riset dan pengembangan teknologi.

(7) Penyusunan kebijakan perdagangan yang mengedepankan kepentingan

bangsa

(8) Promosi dan pemasaran hasil, dan

(9) Insentif perpajakan dan retribusi berupa keringanan hingga penghapusan beban bagi komoditas pertanian.

Revitalisasi perkebunan merupakan program pemerintah yang

memanfaatkan dana perbankan untuk mendorong pemberdayaan para petani yang memiliki lahan namun pemanfaatannya belum maksimal. Target pengembangan secara nasional, seluas 2 juta hektar sampai tahun 2010 untuk program perluasan,


(29)

119 peremajaan dan rehabilitasi. Pembiayaan yang diberikan kepada petani adalah mulai dari pembelian bibit sampai dengan pasca panen, termasuk biaya pengurusan sertifikat lahan. Subsidi bunga dari pemerintah sebesar 3 s.d 4%, dimana petani hanya membayar bunga kredit 10% selama masa grace period. Besarnya bunga setelah masa tenggang adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bank (BI, 2009). Sasaran dari setiap komoditi secara nasional disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas sasaran revitalisasi pertanian untuk kelapa sawit, karet dan kakao

Komoditas

Perluasan (ha)

Peremajaan (ha)

Rehabilitasi (ha)

Jumlah (ha)

Kelapa sawit 1.375.000 125.000 - 1.500.000

Karet 50.000 250.000 - 300.000

Kakao 110.000 54.000 36.000 200.000

Jumlah 1.535.000 42.000 36.000 2.000.000

Sumber: BI (2009)

Di Sumut, program revitalisasi perkebunan melibatkan 4 bank, yaitu Bank Sumut, BPD Aceh, BNI dan Bank Mandiri. Komoditi yang dikembangkan Kelapa Sawit dengan sistem kemitraan serta Karet dan Kakao dengan sistem non mitra. Realisasi program sampai dengan Mei 2009 disajikan pada Tabel 4.


(30)

120 Tabel 4. Realisasi kemitraan sawit di Sumatera Utara

Luas Areal (Ha) Mitra Usaha KUD

Inti Plasma Total

Jumlah peserta (KK)

PTPN IV 4 15.900 9.000 24.900 4.500

PT Perkebunan

Sumut

2 2.600 900 3.500 450

PT Langkat

Anugerah Makmur

7 12.200 7.800 20.000 2.600

Total 13 30.700 17.700 48.400 7.550

Sumber: BI (2009)

4. Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia

Produksi CPO dunia mengalami lonjakan pertumbuhan yang cukup mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, yakni dari 33,5 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 6,63 persen per tahun. Lonjakan pertumbuhan ini terutama disebabkan produksi CPO Indonesia yang meningkat 5,9 juta ton pada periode yang sama yakni dari 13,6 juta ton menjadi 19,2 juta ton atau bertumbuh rata-rata 9,1 persen per tahun. Produksi CPO dunia diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, yakni mencapai 45,1 juta ton pada 2009 dan 47,1 juta ton pada 2010 yang dipicu oleh semakin meningkatnya permintaan China dan India, konsumen CPO terbesar dunia (Miranti, 2010).

Permintaan minyak kelapa sawit dunia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, total volume perdagangan minyak nabati dunia mencapai 160 juta ton, dimana 48 juta ton (30%) diantaranya berasal dari minyak kelapa sawit, disusul oleh minyak kedelai (23%). Tingginya permintaan minyak kelapa sawit ini terjadi karena banyaknya produk yang dihasilkan dengan menggunakan bahan


(31)

121 baku minyak kelapa sawit (Syaukat, 2010) di samping harga CPO yang jauh lebih murah hingga mencapai 200 USD/ton ketimbang rapeseed oil (Tan et al., 2009).

Konsumsi CPO dunia meningkat pesat dari 29,2 juta ton pada 2004 menjadi 43,3 juta ton pada 2008 atau bertumbuh rata-rata 9,9 persen per tahun, jauh diatas pertumbuhan produksi yang hanya 6,6 persen per tahun. Oil World memperkirakan konsumsi CPO dunia akan terus bertumbuh menjadi 45,3 juta ton pada 2009 dan 47,5 juta ton pada 2010, sejalan dengan meningkat pesatnya permintaan CPO di negara-negara konsumen khususnya China, India, dan Uni Eropa (USDA, 2009; 2010; Miranti, 2010). Perkembangan produksi dan konsumsi CPO dunia disajikan pada Tabel 5.


(32)

122 Tabel 5. Produksi, Konsumsi dan Produsen CPO Dunia 2004 – 2010

Kontribusi Negara Produsen Tahun

Produksi (juta ton)

Konsumsi (juta ton)

Malaysia (%)

Indonesia (%)

Lainnya (%)

2004 33.5 29.2 45.4 40.6 14.0

2005 36.0 32.5 43.1 43.3 13.6

2006 37.3 35.5 41.0 44.5 14.5

2007 41.0 37.8 42.9 43.9 13.2

2008 42.8 42.6 40.9 44.3 14.8

2009 45.1 45.3 38.9 46.3 14.7

2010 47.1 47.5 38.2 47.0 14.8

Sumber: Miranti (2010) diolah.

5. Posisi Sumatera Utara Dalam Persawitan Nasional

Perekonomian Sumatera sangat didominasi oleh Provonsi Sumatra Utara, Sumatera Selatan, dan Riau. Peran industri dan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara sangat dominan demikian pula di beberapa propinsi di Sumatera lainnya. Di Jambi, misalnya, peran industri kelapa sawit diperkirakan sekitar 28% dari perekonomian di provinsi tersebut. Di Provinsi Riau dan Bengkulu, peran kelapa sawit dalam perekonomian juga sangat dominan. Kenaikan permintaan terhadap komoditi kelapa sawit dan komoditi hasil perkebunan lainnya, seperti karet, akan sangat mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah ini (Kadin, 2009).

Hingga tahun 2009, perkembangan perkebunan kelapa sawit Sumatera Utara terus meningkat dengan luas perkebunan sawit mencapai 1,9 juta hektar dengan rincian satu juta ha merupakan perkebunan inti rakyat (PIR) dan 400.000


(33)

123 ha dikelola oleh PTPN dan perusahaan perkebunan nasional 500.000 Ha. Bahkan untuk menjadikan Sumut sebagai barometer perkelapasawitan nasional, pihak PTPN II sudah menyiapkan sedikitnya 8.171,54 ha lahan untuk menambah pengembangan perkebunan kelapa sawit (PTPN IV, 2009). Sebagai salah satu wilayah yang memiliki lahan perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia, Sumut juga menjadikan produk-produk berbasis kelapa sawit sebagai salah satu komoditas andalan ekspor. Pangsa ekspor CPO terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2006, pangsanya mencapai 34,75%, maka pada triwulan I-2009 ekspor CPO kembali mendominasi, dengan pangsa sebesar 47,36% (BI, 2009).

Berdasarkan data Ditjenbun (2010) hingga tahun 2008 luas lahan yang telah digunakan sebagai kebun kelapa sawit di Sumut adalah 1.255.810 ha dengan produksi 2.738.279 ton. Rincian daerah yang telah dikembangkan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas penggunaan lahan di Provinsi Sumatera Utara tahun 2008

Nama Daerah (Kabupaten)

Luas Lahan (Hektar)

Asahan 157.857

Deliserdang 42.950

Karo 1.710

Labuhanbatu 773.404

Langkat 123.131


(34)

124

Pakpakbharat 1.650

Serdang Bedagai 53.629

Simalungun 24.983

Tapanuli Selatan 36.905

Tapanuli Tengah 13.765

Tapanuli Utara 49

Tobasamosir 786

Jumlah 1.255.810

Sumber: Ditjenbun (2010)

Berdasarkan data BI (2010) kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas kelapa sawit di Sumatera Utara terutama adalah ketersediaan infrastruktur (50,00%), diikuti perpajakan (11,11%), distribusi (11,11%), pasokan energi (11,11%) dan kendala lainnya (16,67%). Ke depan, pengembangan areal direncanakan ke arah Pantai Timur Sumatera. Kawasan ini merupakan wilayah yang sangat strategis karena membujur melewati 8 (delapan) provinsi dari Aceh sampai Lampung. Keunggulan letak geografis jalur timur Sumatera antara lain tercermin dari fakta bahwa lebih dari 25% jalur kontainer dunia melewati Selat Malaka yang berada di wilayah ini.

Terkait kebijakan pengembangan, Afifuddin dan Kusuma (2007) merekomendasikan agar Pemerintah Daerah memberikan kemudahan-kemudahan

dengan memperhatikan minat investor agribisnis yang berkehendak

menggalakkan investasi di bidang down stream dari kelapa sawit di Sumatera Utara dengan mengajak investor lokal maupun asing untuk membangun pabrik-pabrik produk turunan dari CPO di Sumatera Utara dengan tidak mempersulit dalam hal perizinan. Sehingga penanganan investasi pada bidang pengolahan


(35)

125 produk turunan CPO dipandang perlu untuk segera dimulai. Dengan banyaknya pabrik produk turunan CPO di Sumatera Utara akan berdampak kepada penyerapan tenaga kerja, PAD, GDP Sumatera Utara dan kesejahteraan masyarakat.

6. Peluang dan Kendala Pengembangan Industri Sawit Berkelanjutan Pengembangan agroindustri akan sangat strategis jika dijalankan secara terpadu dan berkelanjutan. Terpadu artinya ada keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir secara sinergis dan produktif serta ada keterkaitan antar wilayah, antar sektor bahkan antar komoditas (Djamhari, 2004). Berkelanjutan, sebagaimana dirumuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) tahun 1987, adalah “Pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi berikutnya untuk memenuhi kebutuhannya” (Plummer, 2005).

Selain memiliki posisi tawar yang kuat di pasar CPO internasional, peluang untuk pengembangan agribinis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi maupun tenaga ahli. Namun industri minyak dalam negeri belum memiliki kerangka pengembangan yang padu dan menyeluruh (Susila 2004b; Deptan, 2007; Dradjat, 2007; Nuryanti, 2008; Miranti, 2010). Potensi dan kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Potensi dan kesesuaian lahan untuk perkebunan kelapa sawit

Kelas kesesuaian lahan Uraian Luas (Ha)

Berpotensi tinggi S

S/C

Sesuai

Sesuai/sesuai bersyarat

22.914.479 1.964.100 Berpotensi sedang


(36)

126 CS/S

CS/N

Sesuai bersyarat/sesuai Sesuai bersyarat/tidak sesuai

142.600 704.006 Berpotensi rendah

CS CS/N N/S

Sesuai bersyarat

Sesuai bersyarat/tidak sesuai Tidak sesuai/sesuai

7.670.100 10.857.106 121.225

Jumlah 46.904.116

Sumber: Dradjat (2007)

Perbedaan nyata kondisi pengelolaan antara Malaysia dan Indonesia tercermin dari rendahnya daya saing Indonesia dalam bentuk produksi, ekspor, dan fenomena berdirinya pabrik pengolah minyak sawit tanpa kebun sawit. Kondisi ini mengakibatkan produksi CPO, kualitas dan harga tidak bisa dikontrol dengan baik (Nuryanti, 2008; Dou, 2009).

Saat ini masalah yang dihadapi oleh industri CPO nasional terutama infrastruktur termasuk akses jalan dan konektivitasnya dengan pengangkutan di pelabuhan untuk mendukung industri pengolahan CPO. Masalah lain yang dihadapi adalah tidak selaras dengan pertumbuhan industri turunannya. Pertumbuhan industri CPO dan produk CPO selama ini hanya diikuti pertumbuhan industri hulu. Seperti, industri fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esther. Sampai saat ini CPO belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan industri hilir. Produk industri hilir hasil olahan CPO yang pengembangannya masih minim seperti surfactant, farmasi, kosmetik, dan produk kimia dasar organik. Padahal dengan mengembangkan industri hilir, maka nilai mata rantai dan nilai tambah produk CPO akan semakin tinggi. Apalagi, produk turunan CPO mempunyai hubungan dengan sektor usaha dan kebutuhan masyarakat di bidang pangan. Misalnya, pupuk, pestisida, bahan aditif makanan, pengawet makanan, penyedap makanan, kemasan plastik (Afifuddin dan Kusuma, 2007; Dou, 2009; ICN, 2009a).


(37)

127 Pengembangan industri minyak kelapa sawit telah menimbulkan kontroversi di masyarakat internasional. Di satu pihak, pengembangan kelapa sawit dan industri kelapa sawit memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara; di lain pihak ia menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak dapat diabaikan. Beberapa negara Eropa dan Amerika telah memboikot produk kelapa sawit sebagai protes atas dampak negatif sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya. Isu yang mengemuka adalah produksi kelapa sawit yang terus mengalami peningkatan di Indonesia (dan Malaysia) telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain forest conversion, habitat loss, endanger species, serta greenhouse effect and climate change. Isu-isu ini berdampak pada tidak stabilnya harga CPO dunia (Tryfina, 2006; Syaukat, 2010; Widodo et al., 2010). Mulai tahun 2011, Uni Eropa telah memberlakukan EU Directive mengenai ketentuan emisi rumah kaca. Dalam aturan ini disebutkan bahwa EU tidak boleh mengimpor CPO karena komoditas ini dianggap tidak memenuhi ketentuan pembatasan emisi, akibatnya CPO tidak bisa masuk ke pasar Uni Eropa (ICN, 2009a).

Permasalahan utama pengembangan kelapa sawit sebenarnya tidaklah melulu isu lingkungan. Pada mulanya negara-negara Barat (terutama Eropa dan Amerika) membuat kampanye negatif (negative campaign) dengan menyatakan bahwa minyak kelapa sawit tidak baik untuk kesehatan. Misalnya, Center for Science in the Public Interest (CSPI) di Amerika Serikat pada tahun 2005 mengemukakan bahwa minyak kelapa sawit dapat menimbulkan serangan

jantung. Demikian pula dengan World Health Organization yang telah

menyarankan untuk mengurangi konsumsi minyak kelapa sawit karena berpotensi

menimbulkan cardiovascular diseases. Kampanye negatif ini sebenarnya

merupakan ‘perang dagang’ karena terjadinya pergeseran penggunaan sumber minyak nabati: dari minyak jagung, minyak kedelai, minyak biji matahari, dan minyak canola ke minyak kelapa sawit. Peningkatan produksi dan konsumsi minyak kelapa sawit di seluruh dunia telah mengurangi permintaan terhadap minyak nabati konvensional yang selama ini dihasilkan sebagian besar oleh negara-negara barat. Dari aspek produksi, minyak kelapa sawit memiliki biaya produksi yang paling rendah, mengingat tingginya produktivitas kelapa sawit per


(38)

128 satuan luas serta rendahnya biaya pemeliharaan tanaman (Tan et al., 2009; Syaukat, 2010; Sulaiman et al., 2010). Teoh (2010) menyenarai tantangan dan peluang industri CPO dengan ringkasan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Tantangan dan peluang industri CPO

Aspek Tantangan Peluang

Ekonomi • Kesenjangan pendapatan

• Penurunan harga &

kenaikan Biaya

• Pemahaman buruk

tentang CPO

berkelanjutan yang

sudah memperoleh

sertifikasi

• Menutup kesenjangan hasil

• Meningkatkan produktivitas

petani kecil

Lingkungan hidup

• Penebangan hutan

• Hilangnya

keanekaragaman hayati

• Perubahan iklim

• Penggunaan pestisida

dan pupuk

• Moratorium (penghentian

sementara) penebangan

hutan

• Penggunaan lahan

terdegradasi untuk

pemeliharaan kelapa sawit

• Mekanisme pengurangan

emisi gas rumah kaca

Reducing Emissions from

Deforestation and

Degradation (REDD)

• Transformasi pasar

Sosial • Konflik hak atas tanah,

penggunaan tanah dan akuisisi tanah

• Konflik dengan

• Reformasi tanah

berdasarkan hukum

• Mekanisme penyelesaian


(39)

129

Aspek Tantangan Peluang

masyarakat setempat • Petani kecil yang tersisih

• Tenaga kerja murah dan

tenaga kerja anak-anak

• Masalah keamanan

• Dukungan kelembagaan

untuk petani kecil

• Membantu petani kecil

memperoleh sertifikasi

• Penggunaan pabrik lebih

kecil untuk kelompok tani

• Mempromosikan pertanian

terpadu

Tata kelola • Pemerintah

• Lembaga Internasional

• Platform

Multi-stakeholder

• Organisasi Masyarakat

Madani

• Korporasi

• Kemitraan Publik- Swasta- CSO keberlanjutan

• Kebutuhan akan kemitraan

swasta

Sumber: Teoh (2010)

Dalam rangka memenuhi tuntutan internasional agar kelapa sawit dapat diproduksi secara berkelanjutan, maka pada tahun 2004 telah dikembangkan the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang diikuti oleh tujuh kelompok kepentingan, yaitu produsen kelapa sawit, pengolah atau pedagang kelapa sawit, konsumen produk olahan kelapa sawit, pengecer, bank dan investor, NGO bidang lingkungan atau konservasi alam, serta NGO bidang sosial atau pembangunan. Tujuan RSPO adalah untuk mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui standard global yang kredibel dan keterlibatan para pihak. Pada saat ini, anggota-anggota RSPO telah menghasilkan 1.4 juta ton minyak kelapa sawit bersertifikat (RSPO, 2006; Jelsma et al., 2009; Paoli et al., 2010; Gumbir-Sa’id, 2010; Syaukat, 2010).

Menurut Weng (2005) pengembangan industri kelapa sawit yang

berkelanjutan perlu menerapkan best-developed practice (BDP) dengan


(40)

130 (1) Melindungi lingkungan fisik seperti udara, tanah dan air

(2) Memperhatikan dampak lingkungan kimia seperti penggunaan pestisida, keseimbangan nutrisi dan materi organik pada lahan sawit.

(3) Memelihara lingkungan biologis seperti keragaman hayati, mereduksi gulma, hama dan penyakit, perlindungan ekosistem, keamanan dan kelangsungan pangan, memperlambat perubahan iklim melalui stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gas). Hal ini juga berimplikasi pada input energi yang rendah pada sumberdaya seperti pestisida dan pupuk.


(41)

131 III. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAWIT

1. Pendahuluan

Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang menyangkut aparatur negara, tapi juga governance yang menyentuk berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, hingga masyrakat madani (civil society). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara (Ellis, 1994; Suharto, 2007).

Definisi yang lebih sederhana menyebutkan kebijakan publik tidak lebih dari pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu; whatever government choose to do or not to do (Bridgman and Davis, 2004). Setiap peraturan atau perundang-undangan adalah kebijakan, tapi tidak semua kebijakan menjadi peraturan atau menjadi undang-undang. Secara garis besar, kebijakan publik dapat dimaknai sebagai 1) proses pengambilan keputusan, 2) proses manajerial dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan, 3) intervensi pemerintah dan 4) interaksi antara negara dengan rakyat (Nogi, 2003). Dengan dasar klasifikasi di atas, maka efisiensi kebijakan publik dapat dilihat di ranah mana formula kebijakan dibuat (pemerintah, pelaku, masyarakat) sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan sesuai dengan kebutuhan.

2. Pola Pengembangan Perkebunan

Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.357 tahun 2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, pengembangan usaha perkebunan harus menyertakan masyarakat petani perkebunan dengan pola:


(42)

132

a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan; modal usaha 100% dimiliki oleh Koperasi

Usaha Perkebunan.

b. Pola Patungan Koperasi dengan Investor; saham 65% dimiliki koperasi dan 35% dimiliki investor/perusahaan.

c. Pola Patungan Investor Koperasi; saham 80% dimiliki investor/perusahaan dan minimal 20% dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.

d. Pola BOT (Build, Operate and Transfer); pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi.

e. Pola BTN (Bank Tabungan Negara); investor/perusahaan membangun kebun dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminat/pemilik yang tergabung dalam koperasi.

f. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan.

Selanjutnya, pada UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disebutkan Perkebunan diselenggarakan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan serta keadilan (Pasal 2); dan perkebunan mempunyai fungsi: a). ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional; b). ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan c). sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa” (Pasal 4).

Salah satu pola pengembangan perkebunan kelapa sawit yang sesuai dengan undang-undang tersebut dan cukup menarik untuk diaplikasikan saat ini menurut Tryfino (2008) adalah pola Transmigration Corporate Farming (TFC). Pola ini adalah pola penyempurnaan dari pengembangan perkebunan inti plasma sebelumnya, dimana para petani plasma hanya mengerjakan lahannya saja dan tidak melibatkan kepemilikan pemerintah daerah dan pusat. Pada pola TFC ini perusahaan inti wajib memberikan 20% sahamnya berupa lahan kepada petani (2 ha per petani), sehingga petani merasa memiliki perusahaan dan akan bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memaksimalkan hasilnya yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan juga. Pola ini juga mengadopsi kepentingan


(43)

133 pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena perusahaan wajib memberikan 10% sahamnya ke pemerintah daerah. Selain itu di dalam pola ini perusahaan juga memberikan 10% sahamnya ke pemerintah pusat. (Tryfino, 2006).

Kebijakan teknis terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan

telah diatur secara operasional melalui Permentan

No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Di dalam peraturan tersebut (Pasal 5 dan Pasal 6) disebutkan bahwa untuk usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan lahan lebih dari 25 hektar WAJIB memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), sedangkan untuk luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat Tanda Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari Bupati/Walikota.

Menurut Fadjar (2006), pola kemitraan saat ini merupakan perubahan struktur yang belum lengkap dan butuh perbaikan. Struktur kemitraan yang diharapkan adalah struktur yang mampu memperbesar peluang dan manfaat usaha sehingga dapat mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani kecil. Bahkan menurut Syam (2006), bentuk kemitraan usaha yang diarahkan pemerintah untuk memberdayakan UKM tidak efektif karena UKM selalu dipandang sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh pengusaha besar untuk mendapatkan berbagai fasilitas dari pemerintah dengan mengatasnamakan kemitraan. Oleh karena itu diperlukan alternatif pola pengembangan berupa Jejaring Usaha.

Didu (2001) dengan model agrosawit dengan pendekatan sistem menyebutkan bahwa prioritas utama pengembangan agroindustri kelapa sawit adalah peningkatan pendapatan perkebunan dan pendapatan petani. Peran pemerintah daerah masih sangat diharapkan dalam menciptakan kebijakan yang kondusif terutama dalam hal penetapan harga TBS, gaji/upah dan perpajakan.

Basdabela (2001) mengajukan pola Perusahaan Agroindustri Rakyat (PAR) sebagai kelembagaan alternatif lain dari lima pola yang ditawarkan oleh pemerintah yang pada intinya mengupayakan pengembangan kebun dan PKS oleh


(44)

134 koperasi baik seluruhnya atau sebagian melalui patungan dengan investor. Analisis terhadap kelembagaan pola PAR menunjukkan bahwa pola ini mampu menetralisir dikotomi yang terjadi antara plasma dan inti, memberdayakan dan meningkatkan pendapatan petani serta meningkatkan kredibilitas petani di mata perbankan.

Syahza (2010) mengembangkan model agroestate berbasis kelapa sawit (ABK) untuk percepatan pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan. Dalam model ABK ini terdapat dua kegiatan bisnis utama. Pertama, kegiatan bisnis membangun kebun dan pabrik industri serta jika diperlukan permukiman petani peserta yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang, Kedua, bisnis mengelola kebun dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasilnya yang dilakukan oleh badan usaha pengelola yaitu koperasi yang dibentuk oleh petani peserta itu sendiri. Model ABK merupakan konsep pembangunan perkebunan di pedesaan untuk masa datang, konsep ini dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan pengembang.

Wigena et al. (2010) merancang model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan berbasis pendekatan sistem dinamis. Model ini diklaim mampu memenuhi aspek biofisik, ekonomi, sosial dan lingkungan serta peningkata kualitas SDM yang menjamin keberlangsungan usaha industri kelapa sawit..

Friedmann dan Douglass (1978) mengembangkan strategi agropolitan untuk pengembangan agroindustri di negara-negara Asia sebagai pendekatan komprehensif yang menyatukan pengembangan desa-kota dengan mengaitkan perkotaan dengan pengembangan perdesaan. Bahkan Douglass (1998) merekomendasikan strategi ini untuk pengembangan industri pertanian di Indonesia. Tacoli (1998) menggunakan pendekatan serupa dengan istilah urban-agriculture dan non-agricultural rural development. Di Indonesia, konsep agropolitan ini kemudian dituangkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang meski sebenarnya sudah diintroduksi pada tahun 2002. Menurut Nugroho (2008), salah satu kendala penerapan agropolitan di Indonesia adalah jarak. Di Jawa, untuk radius pelayanan 5 – 10 km, dengan jumlah penduduk


(45)

135 antara 50 – 150 ribu jiwa dan kepadatan minimal 200 jiwa/km2 sebagai distrik agropolitan, konsep dan strategi ini mungkin diterapkan, namun sulit untuk daerah-daerah seperti Kalimantan dan Papua.

3. Kebijakan dan Strategi Pemerintah di Bidang Persawitan Nasional

Deptan (2007) telah merumuskan kebijakan, strategi dan program pengembangan agribisnis kelapa sawit untuk tahun 2006 – 2005. Dalam kebijakan jangka menengah (2006 – 2010) disebutkan bahwa kebijakan pengembangan yang akan dilakukan adalah:

1) Peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit; meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan oleh petani pekebun maupun perkebunan besar.

2) Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit; ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga nilai tambah dinikmati di dalam negeri dan meningkatkan kesempatan lapangan kerja baru.

3) Kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu; kebijakan ini diperlukan mengingat rawannya pasar minyak goreng di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini di dalam negeri dan goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia.

4) Dukungan penyediaan dana; tersedianya berbagai kemungkinan sumber

pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non bank. Disamping itu perlu segera dihidupkan kembali dana yang berasal dari komoditi kelapa sawit untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit.

Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia disajikan pada Tabel 9.


(46)

136 Tabel 9. Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit Indonesia.

Tujuan Strategi

Meningkatkan ketahanan pangan masyarakat

• Integrasi vertikal perkebunan kelapa

sawit dan agroindustri yang

menghasilkan produk turunan jenis pangan, seperti minyak goreng dan mentega

• Integrasi horizontal perkebunan kelapa sawit dengan peternakan dan atau tanaman pangan

Menumbuhkembangkan usaha

perkebunan di perdesaan

• Pemberdayaan masyarakat dalam

pengembangan usaha pengolahan

minyak sawit

• Mendorong penyediaan sarana dan

prasarana pengolahan minyak sawit Meningkatkan pemanfaatan sumber

daya perkebunan

• Peningkatan produksi dan produktivitas kebun kelapa sawit melalui inovasi teknologi

• Penyediaan sarana dan prasarana

pendukung, terutama infrastruktur

transportasi di dan ke perkebunan

kelapa sawit dan infrastruktur

pengolahan

• Pengembangan diversifikasi usaha

• Pemberantasan Organisme Pengganggu

Tanaman (OPT) dan perlindungan sumber daya perkebunan kelapa sawit

Membangun kelembagaan

perkebunan yang kokoh dan

mandiri

• Revitalisasi dan mengembangkan

organisasi pelaku usaha pada agribisnis kelapa sawit (kelompok tani, asosiasi petani dan gabungan asosiasi petani


(47)

137

Tujuan Strategi

kelapa sawit, koperasi petani kelapa sawit dan dewan minyak sawit, serta

organisasi lain) melalui inovasi

kelembagaan

• Pengembangan aturan (UU dan aturan

pelaksanaannya) untuk diterapkan di

agribisnis kelapa sawit melalui

harmonisasi regulasi

• Pengembangan sumber daya manusia

sebagai pelaku yang handal pada agribisnis kelapa sawit

Meningkatkan kontribusi sub

sektor perkebunan dalam

perekonomian nasional

• Peningkatan produksi dan kualitas

tandan buah segar dan minyak kelapa sawit serta produk turunannya

• Pengembangan agroindustri yang

mengolah minyak dan limbah kelapa sawit

• Pengembangan pasar minyak kelapa

sawit dan produk turunannya

• Perlindungan usaha dan produk minyak sawit dan turunannya di pasar domestik

• Menjalin sinergi kebijakan antara

lembaga pemerintah dan lembaga

legislatif dan antara pemerintah pusat

dan daerah untuk menjadikan

perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah

Meningkatkan peran birokrasi • Peningkatan kualitas, moral dan etos

kerja aparat yang bertugas pada


(48)

138

Tujuan Strategi

• Menciptakan lingkungan kerja yang

kondusif

• Membangun sistem pengawasan yang

efektif Sumber: Deptan (2007).

Ke depan (2010 – 2014) industri sawit akan diarahkan ke klaster (cluster) industri berbasis CPO dengan tujuan memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri hulunya, mampu meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras sehingga mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumber-sumber daya terbarukan (green product) (Deptan, 2009).

Menurut Hambali (2005), roadmap pengembangan klaster tersebut dibagi dalam empat tahap, yaitu:

1) Industri produk primer difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan baku.

2) Industri produk antara difasilitasi untuk tumbuh di daerah penghasil bahan baku.

3) Industri produk akhir tumbuh di daerah penghasil bahan baku.

4) Produk turunan CPO difasilitasi agar dapat diekspor oleh daerah penghasil bahan baku.

Salah satu provinsi yang saat ini dibangun klaster industri kelapa sawit adalah Provinsi Riau. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai 1,68 juta hektar atau sekitar 27% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2004 dengan luas 1,34 juta hektar (BI, 2009a) dengan skema seperti disajikan pada Gambar 2.


(49)

139 Gambar 2. Skema Model Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit (BI, 2009a)

4. Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS)

Harga CPO di dalam negeri sangat ditentukan oleh keadaan harga di Kuala Lumpur dan Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam sangat terkait dengan situasi permintaan dan penawaran minyak kedelai sebagai bahan substitusi penting minyak goreng asal kelapa sawit. Produk akhir yang paling menentukan gejolak harga dalam indutri kelapa sawit adalah harga minyak goreng. Harga minyak goreng merupakan acuan utama bagi harga CPO, selanjutnya harga CPO merupakan acuan utama bagi harga TBS (Mulyana, 2007).

Berdasarkan peraturan sebelumnya (Keputusan Menhutbun No. 627Kpts-11/1998, penetapan harga TBS adalah sebagai berikut:


(50)

140 Keterangan:

Htbs = Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)

K = Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh

petani (%)

Hcpo = Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang

realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)

Rcpo = Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)

Hpko = Harga inti sawit/PKO ( Rp/Kg)

Ris = Rendemen inti sawit/PKO (%)

Menurut Didu (2001), dalam penerapannya, harga TBS yang diterirna petani dikurangi dengan margin yang diterima oleh PKS yang umumnya berkisar 5%. Penentuan harga TBS berdasarkan persamaan tersebut rnengandung berbagai kelemahan yang merugikan petani, yaitu : (1) PKS mendapatkan keuntungan yang pasti, sementara petani akan rnenanggung berbagai resiko; (2) terdapat berbagai komponen biaya yang tidak dapat dikontrol oleh pemilik TBS (petani), sementara biaya tersebut harus ditanggung oleh petani; (3) penentuan rendemen pabrik dalam penentuan nilai K sulit diketahui oleh petani; dan (4) penentuan nilai K (proporsi yang diterima petani) oleh suatu tim di daerah yang didasarkan pada rendemen riil pabrik kenyataanya harga TBS yang berlaku rnasih lebih rendah dari yang seharusnya diterima oleh petani.

Kebijakan Penetapan harga TBS berlaku sejak tahun 1998 terakhir direvisi dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 395 tahun 2005 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Kebun. Tujuan penetapan harga TBS Kelapa sawit ini adalah untuk memberikan jaminan harga TBS kelapa sawit produksi kebun yang wajar serta menghindari adanya persaingan tidak sehat di antara Pabrik Kelapa Sawit meskipun


(51)

141 substansinya tidak berubah secara signifikan (Mulyana, 2007; KPPU, 2008; Pasaribu, 2010).

Harga pembelian dari perusahaan inti ini diperbaharui berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 627/Kpts.II/1998, dan Peraturan Menteri Pertanian No. 395//Kpts/OT. 140/11/2005. Rumus Harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:

Htbs = K (Hcpo x Rcpo + His x Ris) Keterangan:

Htbs = Harga TBS produksi petani di tingkat pabrik (Rp/Kg)

K = Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh

petani (%)

Hcpo = Harga rerata minyak sawit kasar dari (CPO) tertimbang

realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan pada tahun sebelumnya (Rp/Kg)

Rcpo = Rendemen minyak sawit kasar (CPO) (%)

His = Harga rerata inti sawit tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal dari masing-masing perusahaan pada tahun Sebelumnya ( Rp/Kg)

Ris = Rendemen inti sawit (%)

Kebijakan penetapan harga TBS tersebut pada dasarnya merupakan kebijakan dalam rangka memberikan kesempatan bagi pekebun dalam memperoleh informasi mengenai tingkat harga yang wajar di pasar. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Dalam pelaksanaan pola PIR-kelapa sawit terdapat ketidakserasian hubungan antara petani plasma dan perusahaan inti. Penetapan harga dan rendemen Tandan Buah Segar (TBS) menjadi masalah pokok yang


(52)

142 dipertentangkan dan diduga masih menempatkan posisi petani lebih lemah dan sangat dipengaruhi oleh perilaku perusahaan, meskipun telah merujuk pada peraturan Menteri Pertanian Nomor 395 tahun 2005 (Mulyana, 2007; KPPU, 2008; Pasaribu, 2010).

Mengingat harga CPO dunia yang cenderung fluktuatif, maka Didu (2001) mengajukan agar penetapan harga disesuaikan dengan pasar dunia melalui mekanisme forecasting dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dijadikan input situasional yang berubah menurut waktu. Hasil kajian Mulyana (2007) tentang penetapan harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan dari perspektif pasar monopoli bilateral juga menunjukkan bahwa harga TBS di tingkat petani berdasarkan kebijakan penetapan harga oleh pemerintah lebih rendah 15,23 – 41,73% dibandingkan dengan harga bersaing sempurna.

5. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Dayasaing Ekspor CPO Arisman (2002), Susila (2004c), Dradjat (2007a), Abidin (2008), Chalil (2008), Obado et al. (2009) telah melakukan analisis terhadap sejumlah kebijakan pemerintah terkait industri minyak kelapa sawit Indonesia terutama yang terkait dengan pajak ekspor (PE). Karena merupakan komoditas strategis, maka pemerintah merasa perlu untuk turut mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah terdiri dari 1) pengaturan alokasi CPO, 2) pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik, 3) pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Kebijakan mengenai tata niaga minyak kelapa sawit khususnya CPO dan PKO pertama kali dikeluarkan pemerintah pada tahun 1978 dan terus diperbaharui hingga sekarang. Tujuan utama penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil.

Arisman (2002), Susila (2004c), dan Dradjat (2007) menyatakan penetapan PE sejak Agustus 2004 hingga penetapan pajak ekspor tambahan (PET) sebesar 40% - 70% berdasarkan harga ekspor dan harga dasar berpengaruh besar terhadap berbagai aspek industri seperti investasi, produksi, perdagangan, pendapatan


(53)

143 petani dan distribusi kesejahteraan. Pada tahun 1998 PE-CPO naik dari 40% menjadi 60% sebelum akhirnya berturut-turut turun menjadi 40%, 30% dan 10% pada tahun 1999 dan turun lagi menjadi 5% pada akhir tahun 2000. Dari tahun 2002 – 2007 terjadi fluktuasi nilai PE CPO yaitu 3% (2002), 1,5% (2004) dan 6,5% (2007). Obado et al. (2009) menyatakan kebijakan pajak ekspor CPO selain menurunkan dayasaing industri CPO Indonesia juga memberatkan bagi produsen CPO dan menguntungkan bagi Malaysia yang dapat mengambil alih pangsa pasar dalam negeri Indonesia. Meski demikian, Susila (2004c) dan Obado et al. (2009) merekomendasikan nilai pajak ekspor CPO yang efektif adalah berkisar antara 10,98% – 11,13% guna mencegah larinya CPO ke luar negeri yang mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng dalam negeri. Menurut kajian Abidin (2008), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspor CPO Indonesia secara parsial dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Harga CPO domestik berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia yaitu, dengan koefisien sebesar -3,549 yang artinya jika harga CPO domestik naik sebesar Rp l maka ekspor CPO Indonesia akan turun sebesar 3,549 ton. 2) Harga internasional CPO berpengaruh positif terhadap ekspor CPO

Indonesia dengan koefisien regresi sebesar 6,117 yang artinya jika harga internasional minyak sawit (CPO) naik sebesar 1 Dollar maka ekspor CPOIndonesia akan naik sebesar 6,117 ton konstan dengan koefisisen regresi sebesar -1.578,48 yang artinya jika tidak ada variabel seperti harga CPO domestik, harga CPO internasional, nilai tukar dan harga subsitusi (minyak kelapa) maka Indonesia masih dapat mengekspor CPO meski turun sebesar l.578,48 ton.


(1)

217 Miranti, E. 2004. Potensi Bisnis Kelapa Sawit Indonesia. Buletin Analisis

Perbankan Indonesia, Jakarta.

Miranti, E. 2010. Prospek Pengembangan Kelapa Sawit 2010. Economic Review No. 219 Maret 2010: 1 – 12.

Mulyana, A. 2007. Penetapan Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit di Sumatera Selatan dari Perspektif Pasar Monopoli Bilateral. Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Palembang.

Nakashima, N. 2010. Oil Palm Development and Violence: A Case Study of Communal Land Struggle in Kapar, West Sumatra, Indonesia. Hosei University Repository.

Nugroho, P. 2008. Contesting Values in Agropolitan Development Policy in Indonesia. J. Tata Loka Vol 9 (2) Mei 2008: 201 – 212.

Nuryanti, S. 2008. Nilai Strategis Industri Sawit. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (4) Desember 2008: 378 – 392.

Nogi, H. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. Lukman Offset, Yogyakarta. Obado, J., Y. Syaukat and H. Siregar. 2009. The Impacts Of Export Tax Policy

On The Indonesian Crude Palm Oil Industry. J. of International

Society for Southeast Asian Agricultural Science ( ISSAAS) Vol.

15(2):107-119.

Oladipo, J.A. 2008. Agro-Industry as Strategy for Rural Development: An Impact Assessment of Nigeria Oil-Palm Industry. European Journal of Social Sciences 7 (1): 75 – 87.

Paoli, G.D., B. Yaap, P.L. Wells and A. Sileuw. 2010. CSR, Oil Palm and the RSPO: Translating boardroom philosophy into conservation action on the ground. Opinion Article. Tropical Conservation Science 3 (4): 438 – 446.

Pasaribu, W. 2010. Analisa Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Petani Rakyat Kabupaten Labuhan Batu. Skripsi. Departeman Agribisnis, Fakultas Pertanian, USU, Medan.

Plummer, P. 2005. A Review of Sustainable Development Implementation Through Local Action From An Ecosystem Management Perspective.


(2)

218 PTPN IV. 2009. Sumut Jadi Barometer Industri Sawit Nasional. Berita dan Siaran Pers 10/12/2009. http://www.ptpn4.co.id [diakses 25 Januari 2011]

Purwantoro, R.N. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Rai, S. 2010. Agribusiness Development and Palm Oil Sector in Indonesia.

Economia Vol 61 (1): 45 – 59.

RSPO. 2006. Prinsip dan Kriteria RSPO Untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan. Roundtable on Sustainable Palm Oil, Jakarta.

Sachico, A.W. 2008. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Riau: Sebuah Tafsiran Seputar Pemberdayaan Petani Kebun. Komaba Studies in Human Geography Vol. 19: 1 – 16

Sulaiman, F., N. Abdullah, H. Gerhauser and A. Shariff. 2010. A Perspective of Oil Palm and Its Wastes. Journal of Physical Science 21(1): 67 – 77.

Susila, W.R. 2004a. Contribution of Oil Palm Industry To Economic Growth and Poverty Alleviation Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 23 (3): 107 – 114.

Susila, W.R. 2004b. Peluang Investasi Pada Rehabilitasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Agrimedia 9 (1) Maret 2004: 54 – 63.

Susila, W.R. 2004. Impact of CPO-Export Tax on Several Aspects of Indonesian CPO Industry. Oil Palm Economic Journal 4 (2): 1 – 13.

Suharto, E. 2007. Modal Sosial dan Kebijakan Publik. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung.

Syahza, A. 2010. Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Perdesaan Dengan Model Agroestate Berbasis Kelapa Sawit. Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.

Syaukat, Y. 2010. Menciptakan Dayasaing Ekonomi dan Lingkungan Industri Kelapa Sawit Indonesia. Agrimedia 15 (1) Juni 2010: 16 – 19.

Tacoli, C. 1998. Rural-Urban Interactions: A Guide To The Literature.

Environment and Urbanization, Vol. 10 (1) : 147 – 166.

Tadjoeddin, M.Z. 2007. A future resource curse in Indonesia: The political economy of natural resources, conflict and development. CRISE


(3)

219 Working Paper No. 35. Centre for Research on Inequality, Human Security and Ethnicity (CRISE), University of Oxford, Mansfield Rd, OX1 3TB, UK

Tambunan, T. 2006. Indonesian Crude Palm Oil: Production, Export Performance And Competitiveness. Kadin-Jetro, Jakarta.

Tan, K.T., K.T. Lee, A.R. Mohameda and S. Bhatia. 2009. Palm oil: Addressing issues and towards sustainable development. Renewable and

Sustainable Energy Reviews 13(2), February 2009: 420 – 427.

Teoh, C.H. 2010. Persoalan Keberlanjutan Kunci dalam Sektor Minyak Kelapa Sawit. International Finance Corporation, The World Bank.

Tryfino. 2006. Potensi dan Prospek Industri Kelapa Sawit. Economic Review No. 206 Desember 2006: 1 – 7.

USAID. 2009. Buku Panduan Pabrik Kelapa Sawit Skala Kecil Untuk Produksi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (BBN).

USDA. 2009. Indonesia: Palm Oil Production Prospects Continue to Grow. Foreign Agricultural Service. United States Department of Agriculture, USA.

USDA. 2010. Indonesia: Rising Global Demand Fuels Palm Oil Expansion. Commodity Intellegence Report, 8 Oktober 2010.

Weng, C.K. 2005. Best-Developed Practices and Sustainable Development of The Oil Palm Industry. J. of Oil Palm Research No. 17: 124 – 35. Widodo, K.H., A. Abdullah, K.P.D. Arbita. 2010. Sistem Supply Chain

Crude-Palm-Oil Indonesia dengan Mempertimbangkan Aspek Economical

Revenue, Social Welfare dan Environment. Jurnal Teknik Industri,

Vol. 12 (1) Juni 2010: 4754

Wigena, I.G.P., H. Siregar, Sudradjat dan S.R.P. Sitorus. 2009. Desain Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Sistem Dinamis (Studi Kasus Kebun Kelapa Sawit Plasma PTP Nusantara V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau).

Jurnal Agroekonomi 27 (1) Mei 2009: 81 – 108.

World Growth. 2009. Palm Oil - The Sustainable Oil. A Report by World Growth. September 2009.


(4)

220 Lampiran 1. Hasil Pembobotan dengan Metode MPE

No Faktor Bobot Peringkat

1 Sarana prasarana 4.750 1

2 SDA 4.000 5


(5)

221

4 status kepemilikan lahan 2.250 13

5 SDM 4.650 2

6 sistem informasi 2.600 11

7 Teknologi dan Produktivitas 4.050 4

8 Ketersediaan lahan 3.400 8

9 Pengolahan limbah 3.150 9

10 Bentuk pola usaha 2.250 12

11 Sistem tataniaga TBS 3.050 10

12 Sistem tataniaga produk 3.550 7

13 Sistem tataniaga bibit 3.750 6

Lampiran 2. Hasil Pembobotan Aktor dengan Metode MPE

No Faktor Bobot Peringkat

1 Direktur PTPN 4.750 1


(6)

222

3 Dirjen Perkebunan 4.350 4

4 Tokoh Masyarakat 2.250 11

5 Petani 4.600 2

6 Pengusaha 4.000 6

7 Tengkulak 2.400 9

8 Kelembagaan 4.150 5

9 Perkebunan rakyat 2.750 8

10 Tenaga kerja Agroindustri 2.250 10

11 Tenaga kerja perkebunan 3.150 7

DATA MPE UNTUK BOBOT AK

Di re ktur PTP Dep erin da g

Di rj en Perke bun a To ko h M asyaraka

Pe ta ni Pe ng u sah Te ng kul ak

Ke le mba g aa

Pe rkebu na n ra k

Te nag a ke rj a Ag roi nd Te nag a ke rj a pe rkeb