Dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia

(1)

DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA

SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN

DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

DI INDONESIA

DISERTASI

RAFIAN JONI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul “DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL

DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN

DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA”, merupakan gagasan

atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

Rafian Joni Nrp. H361064184


(3)

ABSTRACT

RAFIAN JONI. Impact of Palm Oil Based Biodiesel Development on Poverty, Unemployment and Growth in Indonesia (HARIANTO, as Chairman, E. GUMBIRA SA’ID and NUNUNG KUSNADI, as Members of the Advisory Committee)

Crude oil price increase can disturb Indonesian macroeconomic indicators such as growth, unemployment and poverty. As the biggest crude palm oil producer in the world, Indonesia can develop palm oil based biodiesel to reduce the negative impact of crude oil price increase on growth, unemployment and poverty in Indonesia. This study aimed to analyse impact of palm oil based biodiesel development on growth, unemployment and poverty in Indonesia that combined with government policy using simultaneous equation econometric models that consist of 35 structural equations and 7 identity equations. This model used 2SLS’s method. This study found that palm oil based biodiesel development can create a growth, reduce unemployment and poverty in Indonesia. Simulation may be applied to know the impact of policy on growth, unemployment and poverty in Indonesia by palm oil based biodiesel development. The result of this simulation can be used to formulate the best policy to develop palm oil based biodiesel. It shows that the export tax increase, rupiah exchange rate decrease, rise of palm oil plantation area, bank interest decrease and increase of government expenditure in agriculture, infrastructure and industry will give higher positive impact on growth, unemployment and poverty but the moratorium of palm oil plantation area expansion give a negative impact. In line with this study, if crude palm oil base biodiesel development can be synergized with the export tax increase and increase of government exppenditure in agriculture, infrastructure and industry then growth, unemployment and poverty reducing in Indonesia will be more better and qualify. Rupiah exchange rate decrease should be observed by the government carefully because its impact can reduce production of crude palm oil, palm oil plantation area and agricultural production. Export tax for crude palm oil products still can be applied in the long run but it should be allocated to support palm oil plantation productivity improvement programs.

Keywords : Crude Palm Oil, Biodiesel, Growth, Unemployment, Poverty, Econometric Model


(4)

RAFIAN JONI. Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (HARIANTO, sebagai Ketua, E. GUMBIRA SA’ID dan NUNUNG KUSNADI, sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Kenaikan harga minyak bumi dapat mengganggu indikator makroekonomi Indonesia seperti pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia dapat mengembangkan biodiesel dari minyak kelapa sawit untuk mengurangi dampak negatif dari kenaikan harga minyak bumi terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang dipadukan dengan kebijakan pemerintah. Untuk mencapai tujuan ini, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri atas 35 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Model ini diduga dengan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit berdampak positif karena dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia melalui pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hasil simulasi digunakan untuk merumuskan kebijakan terbaik untuk pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan kebijakan kenaikan pajak ekspor, penguatan nilai tukar Rupiah, peningkatan luas areal kebun kelapa sawit, penurunan suku bunga perbankan dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pertanian, infrastruktur dan industri memberikan dampak yang lebih positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan jumlah penduduk miskin di Indonesia dengan dampak terbaik dihasilkan oleh peningkatan produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan peningkatan pengeluaran pemerintah. Peningkatan produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan kebijakan moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit berdampak negatif karena menurunkan kinerja pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan kemiskinan.

Mengingat Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan kecenderungan meningkatnya harga minyak bumi maka sudah seharusnya Indonesia semakin fokus dan serius mengembangkan biodiesel dari minyak kelapa sawit.

Sejalan dengan hasil penelitian, pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit yang dikombinasikan dengan kenaikan pajak ekspor dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pertanian, infrastruktur dan industri memberikan


(5)

ii

dampak yang semakin baik terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia maka pemerintah sebaiknya terus mendorong pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit dan meningkatkan pengeluaran pemerintah terutama untuk mendukung riset-riset pertanian dan industri hilir kelapa sawit serta peningkatan infrastruktur jalan, pembangkit tenaga listrik dan pelabuhan.

Penguatan nilai tukar rupiah perlu diperhatikan secara seksama oleh pemerintah mengingat dampaknya yang dapat menurunkan ekspor minyak kelapa sawit secara signifikan, menurunkan luas perkebunan kelapa sawit, menurunkan produksi tandan buah segar kelapa sawit dan pada akhirnya menurunkan nilai produksi sektor pertanian.

Penerapan pajak ekspor secara umum dapat terus diberlakukan karena tidak memberikan dampak yang negatif baik terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan maupun terhadap industri minyak kelapa sawit, industri minyak goreng sawit dan perkebunan kelapa sawit. Untuk mewujudkan asas keadilan, penerimaan hasil pungutan pajak ekspor sebaiknya digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan pengembangan industri kelapa sawit nasional terutama dalam hal peningkatan produktivitas yang masih kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia dan pengembangan industri hilir kelapa sawit untuk menghasilkan nilai tambah yang lebih baik.

Kebijakan moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit patut untuk ditinjau ulang karena berpotensi menurunkan kinerja pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Kebijakan ini juga berpotensi untuk menurunkan kinerja produksi minyak kelapa sawit nasional sehingga target produksi pada tahun 2020 yang ditetapkan sebesar 40.25 juta ton tidak akan tercapai. Kebijakan ini juga dapat menurunkan produksi tandan buah segar kelapa sawit sehingga nilai produksi sektor pertanian juga ikut turun.

Perluasan perkebunan kelapa sawit terutama pada lahan-lahan kritis yang didedikasikan untuk pengembangan biodiesel dari kelapa sawit layak dipertimbangkan mengingat kebijakan ini juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan. Perluasan lahan yang didedikasikan untuk pengembangan biodiesel, dengan dukungan insentif pemerintah secara jangka panjang dapat mengurangi potensi konflik yang mungkin terjadi terkait perebutan lahan untuk pangan atau energi.

Kata kunci : Minyak Kelapa Sawit, Biodiesel, Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Kemiskinan, Model Ekonometrika


(6)

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor


(7)

DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA

SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN

DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

DI INDONESIA

RAFIAN JONI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec

Staf Pengajar Program Studi Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka:

1. Prof. (riset) Dr. Ir. Wayan Rusastra, MSc.

Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)

2. Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. Guru Besar pada Universitas Lampung


(9)

Judul Disertasi : DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT TERHADAP KEMISKINAN, PENGANGGURAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : RAFIAN JONI

Nomor Pokok : H361064184

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id. MA.Dev Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS

Anggota Anggota

Mengetahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.


(10)

Penulis lahir pada tanggal 8 Januari 1971 di Padang, sebagai anak ke-enam dari 14 bersaudara, dari pasangan Rivai Rajo Batuah (almarhum) dan Yulinar (almarhumah). Penulis beristrikan Retno Dwiwahju Harijani dengan putra-putri Raditya Bagus Wirawan dan Rivana Syahira Maharani.

Penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada tahun 1995. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan S-2 di Magister Manajemen Agribisis Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Manajemen Agribisnis pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis menempuh pendidikan S-3 di bidang Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pengalaman kerja profesional yang pernah dijalani penulis adalah selaku Project Engineer tahun 1995-1996 di P.T. Hutama Prima yang merupakan sebuah perusahaan konstruksi dan rekayasa sipil yang berlokasi di Jakarta. Penulis kemudian mengikuti program Management Trainee tahun 1996-1997 di Perum Perumnas yang merupakan sebuah perusahaan pengembangan perumahan dan permukiman milik pemerintah (Badan Usaha Milik Negara). Tahun 1997-2003 penulis bekerja di P.T. Anugrah Jaya Agung (owner Hotel Salak The Heritage Bogor) selaku Project Coordinator dan Finance & Accounting Manager. Pada tahun 2003 penulis mendapatkan pengalaman baru melalui penugasan menjadi

General Manager selama hampir satu tahun pada TAC Pertamina – Buana Sadpetra Sebasa, Ltd., yang merupakan sebuah perusahaan pengelola lapangan minyak bekerja sama dengan P.T. PERTAMINA. Pada tahun 2003-2006 penulis


(11)

ix

kembali ditugaskan di P.T. Anugrah Jaya Agung (Hotel Salak The Heritage Bogor) selaku Chief Executive Officer (CEO)

Pada tahun 2007, penulis mulai mencoba belajar menjadi pewirausaha setelah lebih dari 10 tahun menjadi karyawan. Pada tahun 2007 penulis menjadi salah satu pemegang saham P.T. Rawa Danau Ekowisata (Sempur Park Hotel-Bogor) dan membantu membangun serta mengembangkan kembali Sempur Park Hotel yang sempat terbengkalai selama hampir 10 tahun. Pada tahun 2007-2009 penulis menjadi salah satu Direksi di P.T. Rawa Danau Ekowisata (Sempur Park Hotel-Bogor).

Pada tahun 2007 sampai sekarang penulis juga menjadi salah satu pemegang saham merangkap Direktur Utama P.T. Liza Herbal International yang berlokasi di Bogor. P.T. Liza Herbal International merupakan perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang pengembangan produk kesehatan berbasis herbal asli Indonesia yang dikemas dalam bentuk kapsul, teh dan minuman kesehatan.

Sejak tahun 2010 sampai sekarang, penulis diangkat menjadi Direktur Utama Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Darma Putra Kertaraharja Kabupaten Kuningan. PDAU Darma Putra Kertaraharja merupakan Badan Usaha Milik Daerah Kabupaten Kuningan yang dibentuk pada tahun 2009 dan resmi beroperasi sejak tahun 2010 untuk mengembangkan berbagai macam potensi usaha mulai dari sektor pariwisata, pertanian, energi, kesehatan, industri, perdagangan, telekomunikasi dan berbagai jasa lainnya dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat.


(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya penulisan disertasi ini. Tema yang penulis pilih adalah Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran dan Kemiskinan di Indonesia.

Pengembangan bahan bakar nabati terutama yang berbasis sumber daya alam unggulan Indonesia seperti biodiesel dari kelapa sawit sudah sangat mendesak dilaksanakan. Ini semakin mutlak harus dilakukan seiring dengan naiknya harga minyak bumi sebagaimana telah diperkirakan oleh para ahli. Kenaikan harga minyak bumi tidak hanya membebani anggaran pemerintah namun juga berdampak pada penurunan kesejahteraan masyarakat.

Data indikator makroekonomi menunjukkan bahwa angka kemiskinan masih relatif besar di Indonesia begitu juga jumlah pengangguran. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan dan membuka banyak lapangan kerja ternyata belum sesuai dengan kenyataan. Kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah terutama di sektor pertanian dan industri terutama pengembangan energi terbarukan tampaknya perlu dilakukan perubahan.

Penelitian ini secara khusus ingin menjawab apakah pengembangan biodiesel dari kelapa sawit yang dipadukan dengan beberapa kebijakan pemerintah dari sisi suku bunga, investasi, pajak ekspor, nilai tukar dan pengeluaran mampu memperbaiki indikator makroekonomi Indonesia terutama dalam hal peningkatan produksi, pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan dan pengangguran. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel dari kelapa sawit yang dipadukan dengan kebijakan pemerintah yang tepat dapat memperbaiki indikator makroekonomi Indonesia terutama dalam hal pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan kemiskinan.

Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian dan penyempurnaan hasil penelitian ini. Jika masih terdapat kesalahan yang mungkin terjadi tetap menjadi tanggung jawab penulis. Penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para pembimbing, yaitu: Dr. Ir. Harianto, M.S., sebagai ketua komisi pembimbing; Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id MADev dan Dr. Ir. Nunung Kusnadi, M.S. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Arahan dan masukan yang diberikan oleh komisi pembimbing selama penelitian dan penulisan sangat membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas S3-EPN. Dedikasi para dosen EPN-IPB yang sangat tinggi telah menjadikan penulis mampu mengikuti perkuliahan dengan baik.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan IPB yaitu Rektor IPB (Prof. Dr. Ir. Herry Sudaryanto), Dekan Sekolah Pascasarjana (Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.), dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S3.


(13)

xi

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS dan Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec. sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan saran dan kritik untuk penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Prof. (riset) Dr. Ir. Wayan. Rusastra, MSc. dan Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, MSc. sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan saran, masukan dan kritikan yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas S3-EPN Khusus Angkatan 3 atas dorongan dan kerjasamanya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai lembaga yang menyediakan data yang diperlukan untuk disertasi ini, yaitu BPS, Deptan, Depperin, BI, Depdag, Depnakertrans, Pertamina. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Indra, Rina Hartini dan Aan Komarudin yang telah membantu dalam masalah komputasi dan pengolahan data.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor yang telah merekomendasikan sehingga penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa dari Eka Tjipta Foundation (Yayasan Sinar Mas Group). Penulis juga menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Eka Tjipta Foundation (Yayasan Sinar Mas Group) yang telah memberikan beasiswa yang membantu biaya pendidikan penulis selama mengikuti program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini hingga selesai.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada H. Aang Hamid Suganda, selaku Bupati Kuningan yang terus memberikan dukungan dan semangat serta perhatian agar penulis segera dapat menyelesaikan pendidikan di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada istri (Retno Dwiwahju Harijani) dan putra-putri (Raditya Bagus Wirawan dan Rivana Syahira Maharani) atas kasih dan dukungan selama penulis menjalani hari-hari yang telah mengambil alokasi waktu kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan istri dan anak-anak tercinta, mustahil penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Pada akhirnya, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini hanya penulislah yang bertanggungjawab. Tuhan akan memberi balasan berkah yang setimpal kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis.

Bogor, Februari 2012


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN... xxii

I. PENDAHULUAN ..………. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 17

1.4 Manfaat Penelitian ... 17

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 18

II. TINJAUAN PUSTAKA...……….. 20

2.1 Pembangunan Pertanian ... 20

2.2 Pengangguran dan Kemiskinan ... 22

2.3 Pertumbuhan Ekonomi ... 26

2.4 Peranan Energi Dalam Pembangunan ... 27

2.5 Pengembangan Bahan Bakar Nabati ... 29

2.6 Biodiesel dari Kelapa Sawit ... 31

2.7 Tinjauan Studi Terdahulu ... 33

2.7.1 Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi .. 33

2.7.2 Energi dan Pengembangan Bahan Bakar Nabati ... 36

III. KERANGKA TEORITIS ...………. 41

3.1 Pengukuran Kemiskinan ... 41

3.2 Tingkat Pengangguran .………...….. 44

3.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi ...………….…... 47

3.4 Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit ... 53

3.4.1 Hubungan Produksi Biodiesel dengan Harga Minyak Bumi ... 53

3.4.2 Biodiesel dari Kelapa Sawit ... 53


(15)

xiii

Halaman

3.5 Teori Produksi ... 58

3.5.1 Tandan Buah Segar Kelapa Sawit... 58

3.5.2 Minyak Kelapa Sawit ... 59

3.5.3 Olein... 60

3.5.4 Minyak Goreng Sawit ... 61

3.5.5 Stearin ... 62

3.5.6 Biodiesel dari Kelapa Sawit ... 63

3.6 Keterkaitan Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi... 64

IV. METODE PENELITIAN ...………... 69

4.1 Kerangka Pemikiran Konseptual ...……….……... 69

4.2 Hipotesis Penelitian ………...………...….... 72

4.3 Sumber Data ……….……….. 72

4.4 Spesifikasi Model ………... 73

4.4.1 Produk Minyak Kelapa Sawit dan Bahan Bakar ... 75

4.4.2 Produksi dan Permintaan... 80

4.4.3 Indikator Ekonomi ... 83

4.5 Prosedur Analisis Data ... 87

4.5.1 Identifikasi Model ... 87

4.5.2 Metode Pendugaan Model ... 88

4.5.3 Validasi Model ... 89

4.5.4 Simulasi Model ... 90

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT... 94

5.1 Produk Kelapa Sawit...…………...…….…….... 94

5.1.1 Minyak Kelapa Sawit ... 94

5.1.2 Minyak Goreng Sawit ... 99

5.1.3 Perkebunan Kelapa Sawit ... 101

5.2 Bahan Bakar Biodiesel ...…………...…….…….... 104


(16)

Halaman

5.2.2 Bahan Bakar Biodiesel ... 105

5.2.3 Bahan Bakar Diesel ... 107

5.3 Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian …………...…. 109

5.3.1 Sebaran Produksi Kelapa Sawit di Indonesia ... 109

5.3.2 Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Lapangan Kerja ... 110

5.3.3 Kontribusi Kelapa Sawit Terhadap Pengurangan Kemiskinan ... 111

VI. DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT : HASIL ANALISIS PARSIAL... 113

6.1 Analisis Umum Model Dugaan ...……….……... 113

6.2 Dugaan Parameter Persamaan Struktural ...………...…. 115

6.2.1 Minyak Kelapa Sawit ... 115

6.2.2 Bahan Baku Biodiesel ... 124

6.2.3 Minyak Goreng Sawit ... 125

6.2.4 Kelapa Sawit ... 129

6.2.5 Bahan Bakar Diesel ... 134

6.2.6 Produksi Nasional ... 140

6.2.7 Permintaan Agregat ... 144

6.2.8 Tenaga Kerja ... 151

6.2.9 Upah ... 155

6.2.10 Indikator Makro Ekonomi ... 159

6.2.11 Kemiskinan ... 160

VII. INDIKATOR MAKROEKONOMI : SIMULASI SKENARIO KEBIJAKAN DAN PEMBAHASAN ... 164

7.1 Validasi Model ...………...……….……... 164

7.2 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit...…. 165

7.3 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen... 168

7.4 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Penguatan Nilai Tukar Rupiah 10 Persen... 170

7.5 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Moratorium Perluasan Kebun Kelapa Sawit... 173


(17)

xv

Halaman 7.6 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan

Peningkatan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit 10 Persen... 176

7.7 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Penurunan Suku Bunga 10 Persen... 179

7.8 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit dan Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen... 181

7.9 Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit, Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen dan Kenaikan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen... 186

7.10 Rekapitulasi Hasil Simulasi ... 189

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 191

8.1 Kesimpulan ...………...……….…….... 191

8.2 Implikasi Kebijakan dan Saran...…...………...…. 194

DAFTAR PUSTAKA ……….. 199

LAMPIRAN ... 206


(18)

D A F T A R T A B E L

Nomor Halaman

1. Kontribusi Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto dan

Lapangan Kerja di Indonesia ...…... 4

2. Jumlah Orang Miskin di Indonesia ... 5

3. Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Orang Bekerja dan Pengangguran... 6

4. Harga Minyak Bumi dan Subsidi Bahan Bakar ... 10

5. Kebijakan Makro Energi Nasional Indonesia ... 13

6. Target Proporsi Penggunaan Energi Indonesia …..…... 13

7. Kapasitas Produksi Terpasang Biodiesel di Indonesia ... 14

8. Negara-Negara Potensial Sebagai Produsen Biodiesel ... 33

9. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia (Juta Ton) ... 95

10. Target Produksi Bahan Bakar Hayati dan Biodiesel Sejumlah Negara... 106

11. Produksi Minyak Kelapa Sawit dan Kemiskinan di Indonesia Per Propinsi Tahun 2007 ... 112

12. Dugaan Persamaan Struktural Model Ekonomi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit ... 114

13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 116

14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 118

15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Domestik Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ...…..…... 120

16. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 122

17. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 123


(19)

xvii

Nomor Halaman

18. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Olein Indonesia

Tahun 1988 – 2009 ...…..…... 124 19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Stearin Indonesia

Tahun 1988 – 2009 ... 125 20. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Goreng

Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 126

21. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Minyak Goreng Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 …..…... 127 22. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Minyak Goreng

Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 128 23. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Areal Kebun Kelapa

Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 129 24. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Tandan Buah Segar

Kelapa Sawit Tahun 1988 – 2009 ...…... 131 25. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Tandan Buah Segar

Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 133 26. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Diesel

Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 135 27. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi Minyak Diesel

Indonesia Tahun 1988 – 2009 ...…... 137 28. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Minyak Diesel

Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 138 29. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Minyak Diesel

Indonesia Tahun 1988 – 2009 ... 140 30. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Produksi Sektor

Pertanian Tahun 1988 – 2009 ... 141 31. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Produksi Sektor

Industri Tahun 1988 – 2009 ... 142 32. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Nilai Produksi Sektor


(20)

Nomor Halaman 33. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Konsumsi

Tahun 1988 – 2009 ...…..…... 145 34. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Sektor Pertanian

Tahun 1988 – 2009 ... 146 35. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Investasi Sektor Industri

Tahun 1988 – 2009 ... 147 36. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor

Tahun 1988 – 2009 ...…..…... 149 37. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor

Tahun 1988 – 2009 ... 150 38. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penawaran Tenaga Kerja

Tahun 1988 – 2009 ...…..…... 151 39. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Tenaga Kerja

Sektor Pertanian Tahun 1988 – 2009 ... 152 40. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Tenaga Kerja

Sektor Industri Tahun 1988 – 2009 ... 153 41. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Tenaga Kerja

Sektor Lainnya Tahun 1988 – 2009 ...…... 155 42. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Rata-Rata Sektor

Pertanian Tahun 1988 – 2009 ... 156 43. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Rata-Rata Sektor

Industri Tahun 1988 – 2009 ... 157 44. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Upah Rata-Rata Sektor Lain

Tahun 1988 – 2009 ...…..…... 158 45. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Indeks Harga Konsumen

Tahun 1988 – 2009 ... 160 46. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kemiskinan di Perkotaan

Tahun 1988 – 2009 ... 161 47. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Kemiskinan di Perdesaan


(21)

xix

Nomor Halaman

48. Hasil Validasi Model Ekonomi Dampak Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit Terhadap Indikator Makroekonomi ... 165 49. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit... 166 50. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit dan Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen... 168 51. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit dan Penguatan Nilai Tukar Rupiah 10 Persen... 171 52. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit dan Moratorium Perluasan Kebun Kelapa Sawit... 174 53. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit dan Peningkatan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit

10 Persen... 177 54. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit dan Penurunan Suku Bunga 10 Persen... 179 55. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit dan Peningkatan Pengeluaran Pemerintah Untuk

Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen... 182 56. Hasil Simulasi Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa

Sawit, Kenaikan Pajak Ekspor 10 Persen dan Kenaikan Pengeluaran Pemerintah Untuk Pertanian, Infrastruktur dan Industri 10 Persen... 187 57. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Pengembangan Biodiesel dari


(22)

D A F T A R G A M B A R

Nomor Halaman

1. Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia ... 12 2. Reaksi Transesterifikasi Untuk Biodiesel ... 32 3. Hubungan Kekakuan Upah dengan Jumlah Pengangguran ... 45 4. Diagram Sederhana Produk Turunan dari Minyak Kelapa Sawit ... 55 5. Dampak Penggunaan Minyak Kelapa Sawit Sebagai Bahan Baku

Biodiesel... 66 6. Alur Kerangka Pemikiran Konseptual ... 71 7. Diagram Keterkaitan Antar Blok Persamaan Dalam Model Biodiesel

Dari Kelapa Sawit dan Indikator Makroekonomi ... 74 8. Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit ... 94 9. Perkembangan Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik ... 96 10. Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit ... 97 11. Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sawit Domestik ... 97 12. Perkembangan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit ... 98 13. Perkembangan Produksi Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 99 14. Perkembangan Permintaan Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 100 15. Perkembangan Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 100 16. Perkembangan Harga Minyak Goreng Kelapa ... 101 17. Perkembangan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit ... 102 18. Perkembangan Produksi TBS Kelapa Sawit ... 102 19. Perkembangan Harga TBS Kelapa Sawit ... 103 20. Perkembangan Produksi Olein ... 104


(23)

xxi

Nomor Halaman

21. Perkembangan Produksi Stearin ... ... 105 22. Perkembangan Produksi Biodiesel di Indonesia ... 105 23. Perkembangan Produksi Minyak Diesel ... 107 24. Perkembangan Konsumsi Minyak Diesel ... 108 25. Perkembangan Impor Minyak Diesel ... 108 26. Perkembangan Harga Minyak Diesel ... 109 27. Sebaran Produksi Kelapa Sawit Indonesia ... 110


(24)

D A F T A R L A M P I R A N

Nomor Halaman

1. Hasil Pendugaan Parameter Model Ekonomi Dampak

Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit ... 207 2. Hasil Validasi Model Ekonomi Dampak Pengembangan

Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit... 225


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan pertanian memiliki arti yang sangat strategis sehingga mendapatkan perhatian dan perlindungan yang sangat serius baik dari negara-negara berkembang maupun negara-negara maju. Pembangunan pertanian yang umumnya dilakukan di perdesaan merupakan hal yang penting bagi suatu negara. Ini dikarenakan pertanian pada suatu negara memiliki peranan yang sangat luas seperti menghasilkan bahan pangan untuk kehidupan seluruh rakyatnya, menyediakan sumber pendapatan dan lapangan kerja terutama bagi penduduk perdesaan, menyediakan sumber bahan baku yang diperlukan bagi sektor industri, menghasilkan sumber devisa bagi negara dalam bentuk ekspor, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan regional dan menjaga kelestarian lingkungan melalui konservasi lahan, mencegah banjir dan penyedia udara yang sehat (Todaro dan Smith, 2006).

Perkembangan teknologi kemudian memungkinkan pertanian memiliki peran baru sebagai sumber energi bagi kehidupan. Pertanian mampu menyediakan energi dalam bentuk bahan bakar yang sering disebut dengan bahan bakar nabati atau biofuel untuk menggerakkan mesin dan peralatan, baik untuk rumah tangga maupun industri. Produk pertanian dalam bentuk bahan bakar nabati dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar fosil yang selama ini menjadi sumber energi utama di seluruh dunia (Raswant et al., 2008)

Penggunaan produk pertanian sebagai bahan bakar nabati telah dimulai oleh Brazil tahun 1970-an pada saat terjadinya krisis minyak bumi yang berdampak


(26)

pada memburuknya perekonomian Brazil. Tingginya harga minyak bumi pada saat itu telah mendorong Brazil untuk mengembangkan bahan bakar alkohol dari tetes tebu, yang sekarang populer disebut bioetanol sebagai bahan bakar alternatif untuk substitusi bahan bakar fosil. Pengembangan bioetanol dari tetes tebu di Brazil didukung oleh ketersediaan bahan baku tanaman tebu yang melimpah dan telah menjadi komoditas ekspor utama di Brazil. Dengan biaya awal US$ 4 Milyar dan serangkaian subsidi pemerintah, sampai dengan sekarang program bahan bakar bioetanol Brazil telah menghasilkan penghematan lebih dari US$ 100 Milyar dan menjadikan Brazil sebagai negara eksportir bioetanol terbesar di dunia (Raswant et al., 2008).

Besarnya dampak ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari bahan bakar fosil terutama minyak bumi dan diilhami oleh kesuksesan Brazil dalam pengembangan bioetanol telah menyadarkan banyak negara di dunia termasuk Indonesia untuk mulai mengembangkan bahan bakar nabati. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari minyak bumi pemerintah Indonesia telah menyiapkan serangkaian kebijakan dengan menerbitkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi

yang mengatur mengenai energi mulai dari penguasaan dan pengaturan sumber daya energi sampai dengan penelitian dan pengembangan energi nasional.

2. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan penggunaan energi alternatif hingga 80 persen dan


(27)

3

menurunkan penggunaan BBM hingga kurang dari 20 persen pada tahun 2025

3. Instruksi Presiden No. 1 Tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (bio fuel) sebagai Bahan Bakar Lain. 4. Keputusan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. 5. Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional

Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.

Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan di Indonesia salah satunya adalah biodiesel karena memiliki prospek yang cukup baik mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah. Bahan baku potensial yang dapat dimanfaatkan pada proses produksi biodiesel di Indonesia adalah minyak kelapa sawit. Hal ini mengingat Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (APROBI, 2009).

Produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2009 mencapai sekitar 21.511 juta ton. Kebutuhan domestik minyak kelapa sawit Indonesia untuk produksi minyak goreng, oleokimia dan industri hilir lainnya sekitar 6.2 juta ton sementara sisanya diekspor dalam bentuk minyak kelapa sawit curah (TAMSI-DMSI, 2010).

Berdasarkan data di atas, terdapat potensi minyak kelapa sawit sekitar 15.3 juta ton yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi produk turunan minyak kelapa sawit di Indonesia tanpa mengganggu pasokan untuk kebutuhan industri pangan domestik. Pemerintah juga telah memberikan dukungan pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit dalam bentuk penetapan klaster industri hilir


(28)

minyak kelapa sawit yang bertujuan untuk meningkatkan produk turunan minyak kelapa sawit yang dapat dihasilkan di Indonesia (Litbang Kompas, 2010). Pengembangan industri hilir minyak kelapa sawit termasuk biodiesel ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk minyak kelapa sawit bagi Indonesia, yang selama ini sebagian besar hanya dinikmati oleh negara lain.

Pengembangan industri hilir kelapa sawit, termasuk biodiesel dari kelapa sawit tentu dapat meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia. Sektor pertanian Indonesia memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi perekonomian sejak tahun 1970-an. Dengan pangsa sekitar 41 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) total seperti terlihat pada Tabel 1, pertanian Indonesia pada tahun 1970 mampu menyerap lapangan kerja sebesar 66.4 persen.

Tabel 1. Kontribusi Pertanian Terhadap Produk Domestik Bruto dan Lapangan Kerja di Indonesia

(%)

Sub Sektor Kontribusi Terhadap PDB Pertanian

1970 1980 1990 1996 1999 2002 2006 Tanaman Bahan Makanan 61.3 60.7 60.6 52.8 52.34 50.64 49.61 Tanaman Perkebunan 17.2 18.8 16.7 16.2 16.49 16.65 14.57

Peternakan 5.8 6.1 10.4 11.2 10.09 11.08 11.93

Perikanan 9.3 5.4 7.8 9.8 11.00 11.85 16.97

Kehutanan 6.4 9.0 4.5 10.0 9.68 9.78 6.97

Pangsa Pertanian Thd Total PDB 41.0 30.7 21.5 15.4 19.6 17.5 12.90 Pangsa Lapangan Kerja Pertanian 66.4 54.8 53.9 44.0 43.2 44.3 43.3 Sumber : BPS, 2007

Dalam perkembangan selanjutnya, pangsa sektor pertanian terhadap total PDB Indonesia terus menurun dimana pada tahun 2002 tinggal 17.5 persen dibandingkan dengan tahun 1970 yang masih 41 persen. Bahkan pada tahun 2006 pangsa pertanian Indonesia terhadap PDB tinggal 12.90 persen (BPS, 2007).


(29)

5

Menurunnya pangsa sektor pertanian tersebut merupakan dampak dari serangkaian kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah yang lebih berpihak pada sektor non pertanian (Todaro dan Smith, 2006).

Penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB bukan berarti menjadikan sektor pertanian di Indonesia menjadi tidak penting lagi karena dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian masih memiliki kontribusi yang cukup penting. Pada tahun 2006 sektor pertanian Indonesia dengan pangsa yang tinggal 12.9 persen tersebut masih mampu menyerap lapangan kerja sebesar 43.3 persen dari seluruh sektor yang ada (BPS, 2007).

Tabel 2. Jumlah Orang Miskin di Indonesia

Tahun Jumlah Orang Miskin (Juta Orang)

Perkotaan Perdesaan Nasional

1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 10.0 8.3 9.5 9.3 9.3 9.7 9.4 8.7 9.4 17.6 15.6 12.3 8.60 13.30 12.20 11.40 12.40 14.49 13.56 12.77 11.91 44.2 38.9 32.8 31.3 25.7 20.3 17.8 17.2 24.6 31.9 32.3 26.4 29.30 25.10 25.10 24.80 22.70 24.81 23.61 22.19 20.62 54.2 47.2 42.3 40.6 35.0 30.0 27.2 25.9 34.01 49.5 48.0 38.7 37.90 38.40 37.30 36.10 35.10 39.30 37.17 34.96 32.53

Sumber : BPS, 2009

Selama hampir 40 tahun pembangunan yang telah dilaksanakan di Indonesia terutama pembangunan sektor pertanian, ternyata jumlah orang miskin


(30)

masih tetap tinggi terutama di perdesaan, tempat dimana sebagian besar kegiatan pertanian berlangsung. Data statistik seperti terlihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2009, orang miskin di perdesaan masih sebanyak 20.62 juta orang sedangkan di perkotaan sebanyak 11.91 juta orang sehingga total jumlah orang miskin di Indonesia adalah 32.53 juta orang atau sekitar 14.08 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Ini merupakan potret angka kemiskinan yang cukup memprihatinkan di Indonesia.

Selain tingginya angka kemiskinan di Indonesia, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah jumlah pengangguran terbuka. Pertumbuhan ekonomi yang di atas 5 persen sejak tahun 2004, mampu meningkatkan jumlah orang bekerja yang pada tahun 2004 masih 93.72 juta orang dan pada tahun 2008 dapat ditingkatkan sehingga mencapai 102.05 juta orang, bahkan menjadi 104.49 juta orang pada tahun 2009 sebagaimana terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Orang Bekerja dan Pengangguran

Periode Pertumbuhan Ekonomi (%)

Jumlah Orang Bekerja (Juta)

Pengangguran Terbuka Jumlah (Juta) %

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 3.44 3.66 4.10 5.05 5.60 6.11 5.91 6.50 4.40 90.81 91.65 92.81 93.72 94.95 95.18 101.94 102.05 104.49 8.00 9.13 9.82 10.25 10.85 11.11 10.29 9.40 9.25 8.10 9.06 9.50 9.86 10.26 10.44 9.19 8.39 8.14

Sumber : BPS, 2009

Peningkatan jumlah orang yang bekerja di atas tetap belum mampu secara signifikan menurunkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia. Jumlah orang yang tidak bekerja atau pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2009 masih cukup besar yang mencapai 9.25 juta orang atau sekitar 8.14 persen dari


(31)

7

total angkatan kerja. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berhasil diraih selama periode 2004 – 2008 masih belum cukup untuk menyerap penambahan tenaga kerja yang ada pada periode yang sama.

Untuk menurunkan angka kemiskinan dan jumlah pengangguran terbuka di atas, diperlukan upaya-upaya yang lebih keras dan sistematis dari pemerintah, selain pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas. Upaya-upaya keras dan sistematis serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, konsisten dan berkualitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan menciptakan banyak lapangan kerja sehingga semakin banyak jumlah orang yang bekerja dan mendapat pekerjaan di Indonesia yang pada akhirnya dapat menurunkan jumlah pengangguran dan angka kemiskinan.

1.2 Rumusan Masalah

Kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi terutama di negara-negara berkembang berhubungan erat dengan ketersediaan dan akses terhadap energi. Jika pasokan atau akses ke pelayanan energi berkurang maka akan terjadi kenaikan biaya yang dapat menekan perekonomian, mendorong meningkatnya kemiskinan dan pengangguran serta mengganggu prospek-prospek pembangunan lainnya (Nkomo, 2007).

Energi, baik yang berupa penerangan, panas, tenaga mekanika atau listrik, merupakan hal pokok pada masyarakat dan memainkan peran kunci dalam perspektif pembangunan, terutama untuk negara-negara miskin dan negara-negara sedang berkembang (Domac et al, 2005). Energi juga memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan untuk


(32)

terlaksananya pembangunan berkelanjutan dan mendukung kegiatan-kegiatan nasional (Schubert et al., 2007).

Secara global kebutuhan energi dunia diperkirakan akan terus mengalami pertumbuhan rata-rata 1.7 persen per tahun hingga tahun 2030. Pertumbuhan kebutuhan energi tersebut, terutama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di banyak negara, yang sekitar 90 persennya masih dipasok atau bersumber dari bahan bakar fosil (Prihandana dan Hendroko, 2007).

Konsumsi energi di Indonesia sendiri juga meningkat cukup cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan populasi. Indonesia hingga saat ini juga masih tergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama. Sumber energi fosil yang dimiliki Indonesia walaupun bervariasi (minyak bumi, gas, batu bara) namun jumlahnya terbatas. Data cadangan energi fosil dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (Prihandana dan Hendroko, 2007) menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi yang terbukti tinggal sekitar 9 milyar barrel dan jika diproduksi rata-rata 500 juta barrel per tahun, cadangan tersebut diperkirakan akan habis pada tahun 2023. Gas bumi dengan potensi cadangan 182 TSCF dengan tingkat produksi 3 TSCF per tahun akan habis pada tahun 2065. Batu bara dengan cadangan sekitar 19.3 milyar TCE dan laju pemanfaatan 130 juta TCE per tahun akan habis pada tahun 2155.

Indonesia sendiri masih mengalami ketimpangan dalam proporsi penggunaan energi secara nasional atau energy mix (Prihandana dan Hendroko, 2007). Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral menyatakan bahwa sekitar 63 persen kebutuhan energi Indonesia masih bergantung pada minyak bumi, sementara fasilitas produksi minyak nasional terbatas dan kapasitas produksi


(33)

9

secara bertahap terus mengalami penurunan. Hal inilah yang menyebabkan untuk memenuhi konsumsi energi domestik maka Indonesia harus mengimpor minyak mentah dan produk minyak jadi lainnya. Indonesia yang semula merupakan salah satu negara produsen minyak bumi menjadi sangat tergantung pada pasokan minyak dari luar negeri untuk memenuhi kenaikan konsumsi energi domestiknya.

Meningkatnya konsumsi minyak bumi tidak didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan penggunaan energi yang boros di Indonesia. Ini tercermin dari tingginya perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional atau elastisitas energi (Prihandana dan Hendroko, 2007). Elastisitas energi Indonesia sekitar 1.84, angka yang relatif tinggi, dibandingkan dengan elastisitas energi Jepang dan Amerika Serikat yang 0.10 dan 0.26 yang sudah terkenal sebagai negara yang efisien dalam penggunaan energi.

Indonesia yang semula adalah negara pengekspor minyak bumi,sejak tahun 2000 telah resmi berubah menjadi negara pengimpor minyak bumi. Pada tahun 2003, data dari Pertamina menunjukkan impor bersih minyak bumi Indonesia mencapai 0.336 juta barrel per hari. Impor bersih di atas diperkirakan akan terus meningkat dengan makin menurunnya produksi lapangan-lapangan minyak Indonesia dan meningkatnya konsumsi bahan bakar minyak penduduk Indonesia, apalagi jika tidak berubahnya perilaku boros dalam penggunaan energi di Indonesia.

Kenaikan harga minyak bumi internasional cukup membebani anggaran pemerintah terutama dalam hal penyediaan subsidi yang terkait dengan bahan bakar minyak. Walaupun subsidi yang terkait dengan bahan bakar minyak sempat


(34)

turun menjadi Rp. 39.8 Trilyun pada tahun 2005, namun pada tahun 2006 dan seterusnya, kecenderungannya terus naik sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Pada tahun 2008, dengan harga minyak bumi rata-rata US$ 101.31 per barel, realisasi subsidi bahan bakar minyak yang harus dikeluarkan pemerintah mencapai Rp. 139.1 Trilyun. Suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran Indonesia. Prihandana dan Hendroko (2007) menyatakan bahwa jika harga minyak bumi berkisar pada angka US$ 60 per barrel dengan kebijakan subsidi tidak berubah maka pemerintah harus menyediakan anggaran minimal sekitar Rp. 89 Trilyun hanya untuk subsidi bahan bakar minyak.

Tabel 4. Harga Minyak Bumi dan Subsidi Bahan Bakar

Tahun Harga Minyak Mentah (US$/Barrel)

Subsidi Bahan Bakar (Rp. Trilyun)

2004 36.00 72.9

2005 51.81 39.8

2006 61.08 64.2

2007 69.69 91

2008 101.31 139.1

2009 61.58 102.4

Sumber : Kementerian Keuangan RI, 2009

Besarnya beban subsidi di atas dapat menurunkan kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program pembangunan pada sektor-sektor penting lainnya seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan dasar masyarakat dan infrastruktur baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penurunan kemampuan pembiayaan program-program pembangunan tersebut menyebabkan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan optimal untuk mendorong produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang dapat menurunkan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.


(35)

11

Mengingat cadangan terbukti minyak bumi dunia pada tahun 2004 yang diperkirakan tinggal 1.27 trilyun barrel, maka jika tidak ada penemuan baru diperkirakan minyak bumi akan habis dalam 44.6 tahun ke depan (Prihandana dan Hendroko, 2007). Jika mengikuti hukum permintaan dan penawaran, diperkirakan harga minyak bumi dunia akan terus meningkat seiring naiknya permintaan minyak bumi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sementara penawaran relatif tetap.

Leeb dalam Prihandana dan Hendroko (2007) memperkirakan harga minyak bumi dunia akan terus meningkat bahkan dapat mencapai US$ 200 per barrel. Jika harga minyak bumi mencapai US$ 200 per barrel atau lebih maka diperkirakan beban anggaran yang harus ditanggung pemerintah untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap penduduk miskin dan perekonomian Indonesia akan semakin besar jumlahnya.

Setelah krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia pada tahun 1997-1998, harga minyak bumi cenderung terus meningkat, yang mendorong meningkatnya inflasi dan tingkat kemiskinan di Indonesia serta membuat pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Jika harga minyak bumi terus meningkat sebagaimana terlihat pada Gambar 1, dikhawatirkan kinerja indikator makroekonomi Indonesia juga akan mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan dan inflasi dikhawatirkan akan meningkat tajam sementara pertumbuhan ekonomi semakin melambat bahkan bisa kembali negatif seperti waktu krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Jika hal ini terjadi maka dampaknya akan buruk bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.


(36)

Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia -30,00 -20,00 -10,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Pe rs e n 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 US $ /Ba rr el

Tingkat Kemiskinan Pertumbuhan Ekonomi Inflasi Harga Minyak Bumi

Gambar 1. Harga Minyak Bumi dan Indikator Makroekonomi Indonesia

Sumber : BPS, 2009

Untuk menurunkan dampak kenaikan harga minyak bumi terhadap perekonomian Indonesia, pemerintah telah menyusun kebijakan makro energi nasional sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum, kebijakan makro energi nasional tersebut diarahkan untuk menjamin pasokan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan dan menjadi panduan pengelolaan energi nasional dalam rangka usaha-usaha untuk memenuhi ketahanan energi nasional. Kebijakan makro energi nasional di atas mengamanatkan pelaksanaan diversifikasi energi berupa pengembangan energi alternatif terutama yang dapat diperbaharui dengan potensi yang cukup besar di Indonesia, dimana salah satunya adalah bahan bakar nabati.


(37)

13

Tabel 5. Kebijakan Makro Energi Nasional Indonesia

No. Kategori Sisi Pasokan Sisi Penggunaan

1 Kebijakan Utama • Eksplorasi produksi

• Konservasi energi

• Optimalisasi produksi

• Efisiensi Energi

• Diversifikasi Energi

• Harga energi secara berkala berubah sesuai harga keekonomian

• Mempertimbangkan faktor lingkungan 2 Kebijakan

Pendukung

• Pembangunan infrastruktur energi

• Kebijakan subsidi untuk rakyat miskin

• Skema kemitraan pemerintah dan sektor swasta

• Pemberdayaan masyarakat

• Promosi riset dan pengembangan

• Koordinasi antara stakeholders terkait

Sumber : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009

Berdasarkan kebijakan makro energi nasional Indonesia di atas maka pemerintah kemudian menetapkan target proporsi penggunaan energi secara nasional Indonesia pada tahun 2025 dengan acuan kondisi awal pada tahun 2004. Target proporsi penggunaan energi nasional Indonesia tersebut menurunkan porsi penggunaan minyak bumi dan mendorong penggunaan sumber energi lain sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Target Proporsi Penggunaan Energi Indonesia

(%)

No Energi Proporsi Penggunaan Energi

2004 Target 2025

1 Minyak Bumi 52.50 ≤ 20

2 Gas 19.04 ≥ 30

3 Batu Bara 21.52 ≥ 33

4 Bahan Bakar Nabati 0.00 ≥ 5

5 Geothermal 3.01 ≥ 5

6 Energi terbarukan lainnya (biomassa, matahari, angin, nuklir, hidro)

3.93 ≥ 5

7 Batu Bara Cair 0.00 ≥ 2

Sumber : Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2009

Selain geothermal, biomassa, angin, matahari dan sumber energi terbarukan lainnya, kebijakan energi nasional juga secara jelas menyatakan bahwa bahan bakar nabati sebagai salah satu sumber energi terbarukan ditargetkan mampu


(38)

memenuhi paling kurang lima persen dari total konsumsi energi nasional pada tahun 2025. Jika harga minyak bumi internasional kembali meningkat seiring pulihnya permintaan terhadap bahan bakar minyak diperkirakan permintaan akan bahan bakar nabati juga semakin besar. Ini juga didorong oleh semangat untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan menurunkan dampak pemanasan global yang semakin dirasakan akhir-akhir ini.

Tabel 7. Kapasitas Produksi Terpasang Biodiesel di Indonesia

No Nama Perusahaan Kapasitas

(kl/thn) No Nama Perusahaan

Kapasitas (kl/thn) 1 P.T. Energi Alternatif 8 046 10 P.T. Prima Nusa Palma

Energi

24 000 2 P.T. Indo Biofuels Energi 68 966 11 P.T. Sintong Abadi 35 000 3 P.T. Anugrah Inti Gemanusa 45 977 12 P.T. Musim Mas 482 759 4 P.T. Eterindo Nusa Graha 45 977 13 P.T. Multi Kimia Inti Pelangi 14 000 5 P.T. Eternal Buana Chemical

Industries

45 977 14 P.T. Cemerlang Energi Perkasa

459 770 6 P.T. Wilmar Bio Energi Indonesia 1 206 897 15 P.T. Petro Andalan Nusantara 150 000 7 P.T. Sumi Asih Oleo Chemical 114 943 16 P.T. Bioenergi Pratama Jaya 75 429 8 P.T. Darmex Biofuels 172 414 17 P.T. Pura Agung 10 500 9 P.T. Pelita Agung Agrindustri 229 885 18 P.T. Pasadena Biofuels

Mandiri

10 240

Sumber : APROBI, 2009

Sejak pengembangan bahan bakar nabati dimulai pada tahun 2004 di Indonesia, telah berdiri banyak industri biodiesel di berbagai wilayah di Indonesia. APROBI (2009) telah mencatat sampai dengan tahun 2009, telah beroperasi 18 perusahaan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas terpasang total sekitar 3184311 kiloliter/tahun seperti terlihat pada Tabel 7. Dari kapasitas produksi terpasang industri biodiesel dari kelapa sawit tersebut, baru sekitar 10 persen atau 318431 kiloliter/tahun yang terpakai. Rendahnya pemanfaatan kapasitas produksi terpasang industri biodiesel dari kelapa sawit ini disebabkan oleh hambatan harga jual biodiesel dari kelapa sawit yang tidak menguntungkan buat produsen.


(39)

15

Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit sebagai bagian dari pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia, beberapa tahun terakhir terkendala oleh masalah harga jual biodiesel dalam negeri yang harus bersaing dengan minyak diesel bersubsidi. Subsidi yang diberikan pemerintah pada minyak diesel (sebesar Rp2000/liter) menyebabkan harga jual biodiesel menjadi tidak kompetitif dan juga tidak feasible terutama untuk dipasarkan di dalam negeri.

Pada tanggal 23 Oktober 2009, telah terbit Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu, sebagai revisi Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa biodiesel pada tahun 2009 dan 2010 diberikan subsidi jika harga biodiesel domestik lebih rendah dari indeks harga biodiesel internasional di Argus (APROBI, 2009). Ini berarti jika harga minyak bumi meningkat sehingga harga biodiesel domestik sama atau lebih besar dari indeks harga Argus maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk biodiesel dari kelapa sawit. Ini juga berarti subsidi untuk biodiesel ini bersifat sementara atau bukan realokasi subsidi yang akan memberatkan anggaran pemerintah. Terbitnya Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2009 tersebut telah memberikan insentif bagi produsen untuk kembali memproduksi biodiesel dari kelapa sawit dengan mengoptimalkan kapasitas terpasang yang sudah ada. Hasil produksi biodiesel dari kelapa sawit tersebut dapat dipasarkan tidak hanya untuk pasar domestik namun juga untuk pasar ekspor.

Meningkatnya permintaan terhadap biodiesel dari kelapa sawit dan berkembangnya industri biodiesel dari kelapa sawit di Indonesia akan berdampak terhadap indikator makroekonomi Indonesia. Berkembangnya biodiesel dari


(40)

kelapa sawit diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan petani di perdesaan melalui kenaikan harga tandan buah segar kelapa sawit. Kenaikan pendapatan petani dapat meningkatkan kesejahteraan para petani sehingga berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan Indonesia yang merupakan sumber bahan baku untuk biodiesel dari kelapa sawit.

Pada sisi lain, pengembangan biodiesel dari kelapa sawit diperkirakan dapat menyebabkan harga domestik minyak kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng sawit mengalami kenaikan. Kenaikan harga input ini menyebabkan harga minyak goreng sawit sebagai bahan pangan mengalami kenaikan. Kenaikan harga minyak goreng sawit ini menurut Susila dan Munadi (2008) dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin terutama yang ada di perkotaan karena naiknya harga bahan pangan tersebut.

Berkembangnya industri biodiesel dari kelapa sawit ini diharapkan dapat meningkatkan substitusi bahan bakar fosil terutama untuk minyak solar sehingga dapat menurunkan beban impor bahan bakar minyak. Dengan potensi bahan baku yang berlimpah, pengembangan biodiesel dari kelapa sawit dapat juga diarahkan untuk memenuhi pasar ekspor (Kennedy et al, 2002). Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit yang dapat menurunkan beban impor, peningkatan ekspor dan meningkatkan nilai produksi sektor pertanian dan industri berdampak pada peningkatan output nasional atau pertumbuhan ekonomi yang dapat membuka banyak kesempatan kerja sehingga mampu menyerap banyak orang-orang yang tidak bekerja sehingga tingkat pengangguran berkurang.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut :


(41)

17

1. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan di Indonesia ?

2. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap pengangguran di Indonesia ?

3. Bagaimana pengaruh pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari penjelasan pada bagian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Merumuskan implikasi kebijakan berdasarkan hasil analisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian mengenai dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap makroekonomi Indonesia (kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi) ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan kebijakan pengembangan bahan bakar nabati, khususnya biodiesel dari kelapa sawit.


(42)

2. Sebagai bahan pertimbangan tambahan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah terkait indikator makroekonomi (kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi).

3. Sebagai referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian yang terkait dengan bahan bakar nabati selanjutnya khususnya biodiesel dari kelapa sawit.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mengkaji mengenai dampak kebijakan pengembangan bahan bakar nabati khususnya biodiesel dari minyak kelapa sawit terhadap indikator makroekonomi (kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi) Indonesia. Studi ini mencakup wilayah agregat nasional dan komoditas dibatasi pada biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit. Batasan komoditas minyak kelapa sawit karena industri biodiesel yang sudah berkembang di Indonesia menggunakan minyak kelapa sawit dan minyak kelapa sawit merupakan bahan baku unggulan yang dimiliki Indonesia, dibandingkan minyak kelapa dan minyak jarak pagar (APROBI, 2009).

Analisis kuantitatif menggunakan data periode 1988 – 2009. Periode tersebut digunakan dengan pertimbangan ketersediaan data terutama yang terkait dengan data produksi industri hilir kelapa sawit. Analisis kuantitatif pada penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan.

Keterbatasan utama dalam penelitian ini berkaitan dengan belum tersedianya data yang lengkap untuk biodiesel dari minyak kelapa sawit di Indonesia. Untuk data biodiesel dari minyak kelapa sawit, penulis menggunakan


(43)

19

data produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel dari minyak kelapa sawit sebagai indikator produksi biodiesel dari minyak kelapa sawit. Hal ini dikarenakan hanya data produksi olein dan stearin yang cukup lengkap diperoleh. Ketidaklengkapan data lainnya yang terkait dengan olein dan stearin seperti data harga olein dan stearin serta data yang terkait dengan produk hilir minyak kelapa sawit lainnya merupakan keterbatasan lain yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian ini.


(44)

2.1 Pembangunan Pertanian

Pembangunan pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam perekonomian suatu negara karena sektor pertanian memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pembangunan pertanian menjadi penting karena kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam bentuk kontribusi produk, kontribusi pasar, kontribusi faktor-faktor produksi dan kontribusi devisa (Blank, 2003).

Dalam perkembangannya, Todaro dan Smith (2006) menilai peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi semakin pasif dan lebih bersifat penunjang semata. Pembangunan ekonomi diidentikkan sebagai transformasi struktural dari pembangunan yang bertumpu pada aktivitas pertanian menjadi perekonomian berbasis industri dan jasa dengan dukungan sumber tenaga kerja dan bahan pangan murah dari pertanian. Memburuknya kinerja sektor pertanian di negara-negara berkembang dipercaya karena terabaikannya sektor tersebut dalam perumusan prioritas pembangunan dari para pemimpinnya (Rickman, 2007).

Sektor pertanian dalam struktur perekonomian Indonesia memiliki posisi yang cukup penting dalam hal kontribusinya terhadap PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Yudhoyono (2004) menyatakan bahwa pembangunan pertanian layak mendapatkan perhatian yang luas dalam pembangunan ekonomi ke depan, baik dalam bentuk investasi yang terus meningkat, pengembangan infrastruktur sampai pengelolaan pasar domestik. Pembangunan pertanian Indonesia berarti pembaruan penataan pertanian yang dapat memberikan


(45)

21

sumbangan yang nyata pada upaya mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran.

Pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada prioritas pertanian dan ketenagakerjaan menurut Todaro dan Smith (2006) paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar berikut :

1. Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian teknologi, institusional dan insentif harga yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil

2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya pembinaan ketenagakerjaan

3. Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah perdesaan yang bersifat padat karya non pertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh pertanian.

Kebijakan pembangunan pertanian yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat terutama di perdesaan harus dimulai dari perbaikan sumber-sumber pokok kemajuan pertanian (Todaro dan Smith, 2006). Sumber pokok kemajuan pertanian adalah kemajuan teknologi dan inovasi, kebijakan ekonomi pemerintah yang tepat dan terbentuknya kelembagaan sosial yang menunjang. Dengan terciptanya sumber-sumber pokok kemajuan pertanian yang baik dan sesuai, pembangunan pertanian dapat membantu memperbaiki taraf hidup masyarakat terutama meningkatnya pendapatan, total produksi dan produktivitas.

Sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia merupakan salah satu sektor ekonomi yang berbasis sumber daya domestik dan dikuasai oleh sebagian


(46)

besar rakyat. Pembangunan sektor pertanian dan aktivitas-aktivitas ekonomi yang banyak menggunakan produk pertanian dapat menjadi cara yang efektif dan efisien dalam membangun sumber daya alam sambil menyerap tenaga kerja di kawasan perdesaan (Yudhoyono, 2004).

Islam dan Braun (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dapat memberikan stimulus pada sektor ekonomi non pertanian yang terdapat di perdesaan dan kota-kota kecil. Setiap kenaikan sebesar US$ 1 nilai tambah yang tercipta pada sektor pertanian akan dapat menghasilkan kenaikan nilai tambah pada sektor non pertanian antara US$ 0.50 – US$ 1. Inilah yang menyebabkan pembangunan sektor pertanian sangat penting dilakukan dan diperhatikan dengan baik oleh setiap negara.

2.2 Pengangguran dan Kemiskinan

Dua masalah utama yang sedang dihadapi oleh banyak negara berkembang di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah masalah pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Orang yang menganggur atau tidak punya pekerjaan biasanya juga miskin. Orang-orang yang miskin umumnya disebabkan karena tidak punya pendapatan akibat menganggur atau tidak punya pekerjaan (Aktar et al, 2009).

Pengangguran sendiri terjadi ketika pertambahan tenaga kerja baru lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap tahunnya baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Pengangguran adalah suatu situasi dimana orang-orang yang memiliki kemampuan bekerja dan juga keinginan untuk bekerja tidak memperoleh pekerjaan. Situasi tersebut disebabkan


(47)

23

oleh banyak faktor antara lain pertumbuhan populasi yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang tidak memadai, pekerjaan yang bersifat musiman dan lambatnya pembangunan industri. Mankiw (2007) menyatakan beberapa alasan munculnya pengangguran. Pertama, diperlukan waktu untuk mencocokkan antara para pekerja dengan pekerjaan karena pekerja dan seluruh pekerjaan tidak identik sehingga orang yang kehilangan pekerjaan tidak segera mendapatkan pekerjaan barunya. Kedua, adanya kekakuan upah yang menyebabkan upah tidak segera menyesuaikan ketika terjadi perubahan permintaan dan penawaran tenaga kerja, sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya.

McEachern (2000) membedakan empat jenis pengangguran berdasarkan atas sumbernya. Ke empat jenis pengangguran tersebut adalah : (1). Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang muncul karena adanya waktu yang diperlukan untuk menyesuaikan antara kualifikasi pekerja dengan pekerjaan yang tersedia. (2). Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang muncul karena keterampilan yang diminta pemberi pekerjaan tidak sesuai dengan keterampilan penganggur atau penganggur tidak berlokasi sama dengan tempat pekerjaan. (3). Pengangguran musiman, yaitu pengangguran yang timbul karena adanya perubahan permintaan dan penawaran tenaga kerja musiman. (4). Pengangguran siklikal, yaitu pengangguran yang terjadi karena fluktuasi pengangguran yang disebabkan oleh siklus bisnis.

Pengangguran di Indonesia merupakan masalah yang cukup serius. Data BPS (2007) menunjukkan sebelum krisis ekonomi 1997 tingkat pengangguran umumnya di bawah 5 persen, namun setelah itu terus meningkat sampai dengan 11.2 persen pada 2005. Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia merupakan


(48)

masalah ekonomi yang perlu diperhatikan karena menyangkut pemborosan sumberdaya. Pemborosan tersebut menimbulkan kerugian yang ditanggung negara, masyarakat dan individu menyangkut biaya pemeliharaan keamanan dan stabilitas kehidupan masyarakat.

Saunders (2002) menyatakan bahwa pengangguran merupakan suatu hal yang tidak baik untuk ekonomi sehingga lapangan kerja harus diletakkan pada pusat sistem kesejahteraan dan menolak kesejahteraan untuk orang-orang yang tidak ingin bekerja atau tidak ingin melibatkan diri dalam aktivitas yang diharapkan mengarah pada terciptanya pekerjaan. Pengangguran akan menjadi biaya bagi perekonomian karena secara keseluruhan barang dan jasa yang dapat diproduksi menjadi berkurang. Output yang hilang ditambah dengan kerugian ekonomis dan psikologis yang dialami individu dan keluarga merupakan biaya pengangguran (McEachern, 2000).

Yudhoyono (2004) menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi dapat menimbulkan kelompok masyarakat yang pasrah total pada keadaan. Pengangguran yang persisten dapat meningkatkan jumlah orang miskin yang berlanjut pada kemiskinan struktural jika pemerintah dan lembaga terkait tidak berhasil menciptakan peluang dan kemampuan yang memadai untuk mengangkat kelompok tersebut mencapai tingkat kehidupan yang layak.

Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang mencapai standar hidup minimal. Kemiskinan menurut BPS (2007) ditentukan oleh kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum yang mengacu kepada kebutuhan minimum makanan sebesar 2100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan


(49)

25

kebutuhan dasar seseorang yang meliputi papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan rumahtangga dan individu mendasar lainnya. Nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum di atas disebut garis kemiskinan.

Orang-orang yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan, disebut penduduk miskin karena ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar minimumnya. Untuk standar internasional dari Bank Dunia, batas penduduk dengan kategori miskin adalah yang berpenghasilan USD 1.00 per hari untuk negara berpendapatan rendah, USD 2.00 per hari untuk negara berpendapatan sedang dan USD 14.00 per hari untuk negara berpendapatan tinggi.

Kemiskinan juga disebabkan oleh orang-orang yang dikelompokkan miskin tersebut dalam proses produksi terutama yang ada di perdesaan hanya menerima nilai lebih ekonomi awal yang kecil sekali (Fisher, 2005). Mereka tidak terlibat dalam proses produksi lebih lanjut karena ketiadaan modal. Para pemilik modal yang melakukan proses produksi lebih lanjutlah yang akhirnya menikmati nilai lebih ekonomi dari proses produksi di atas (Yudhoyono, 2004).

Kemiskinan kadang dibedakan ke dalam dua jenis yaitu kemiskinan absolut (absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty). Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki seseorang atau suatu keluarga (Ingwe, 2009). Kemiskinan relatif diperoleh dengan membandingkan tingkat pendapatan atau keadaan seseorang atau suatu keluarga dengan keadaan masyarakat sekitarnya, dimana seseorang masih dianggap miskin jika pendapatan atau keadaannya masih jauh lebih rendah dari keadaan masyarakat sekitarnya.


(50)

Kemiskinan juga sering dihubungkan dengan kondisi wilayah. Untuk wilayah dengan sumberdaya alam yang subur, secara umum masyarakatnya dapat hidup cukup sejahtera, sebaliknya untuk wilayah yang kurang subur umumnya hidup dalam belitan kemiskinan (Gambi, 2003).

Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar. Besarnya jumlah penduduk miskin, yang jika tidak tertangani dengan baik oleh pemerintah menurut Yudhoyono (2004) dapat mengakibatkan : (1) besarnya beban sosial masyarakat, (2) rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (3) rendahnya partisipasi aktif masyarakat, (4) menurunnya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (5) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang.

2.3 Pertumbuhan Ekonomi

Salah satu indikator kemajuan pembangunan pada suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran kemampuan suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat dari tingkat pertumbuhan penduduknya (Dalgaard et al, 2004). Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan pendapatan atau kesejahteraan pada periode tertentu (Mankiw, 2007).

Pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian (Dollar

et al, 2004). Pertumbuhan ekonomi tercapai ketika tingkat produk domestik bruto (PDB) riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Dornbusch et al. (2004) menyatakan tumbuhnya PDB riil dipengaruhi oleh tersedianya sumber


(51)

27

daya modal dan tenaga kerja dan efisiensi dalam penggunaan faktor produksi atau produktivitas.

PDB sendiri menurut Mankiw (2007) terdiri dari empat komponen sebagai berikut : (1). Konsumsi, terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga dimana tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan disposable

atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. (2). Investasi, terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan, dimana tingkat investasi dipengaruhi oleh tingkat bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi. (3). Pembelian Pemerintah, berupa barang dan jasa yang dibeli oleh pemerintah pusat dan daerah yang dibiayai oleh pendapatan pemerintah dari pajak dan pinjaman. (4). Ekspor Neto, merupakan nilai barang dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang diimpor dari negara lain yang menunjukkan pengeluaran neto dari luar negeri atas barang dan jasa domestik, yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik.

2.4 Peranan Energi Dalam Pembangunan

Energi memiliki peranan yang besar dalam pembangunan suatu perekonomian negara. Akses terhadap pelayanan energi modern sangat penting dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan seperti penurunan kemiskinan, perbaikan pendidikan dan keberlanjutan lingkungan (USAID, 2007). Ketersediaan energi di tingkat lokal sangat penting untuk mendukung pertanian yang intensif karena pembangunan pertanian itu sendiri sangat penting dalam menurunkan kemiskinan (Raswant et al., 2008). Sektor pertanian sebagai salah satu sektor dalam perekonomian memerlukan energi pada setiap tingkat produksi


(1)

The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS % Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square

QCPO 21 0.4291 20.9429 1.8298 29.0026 2.1171 34.2184 0.8363

CCPO 21 0.0246 13.7391 0.9798 38.6747 1.2504 52.9206 -.1288

DCPO 21 9.7478 4.7034 164.1 24.6856 221.9 33.2320 -1.295

PXPO 21 13118.6 6.9731 325183 42.5634 457025 58.7952 -1.753

XCPO 21 -0.0229 23.9423 2.5601 78.3517 3.3541 126.1 0.4970

QOL 21 204.1 20.6168 310.9 23.4308 338.6 26.7830 0.9127

QST 21 13.1927 11.9231 52.1794 16.8350 63.3413 20.3814 0.9372

QMGR 21 0.6643 33.6511 1.2613 41.9017 1.5735 59.5881 0.4390

DMGR 21 0.000570 1.5475 0.2556 15.9048 0.3176 21.2762 0.9059

PMGR 21 8.1847 2.4263 121.6 13.5422 179.6 20.2397 -.7592

AREA 21 0.1305 15.1486 0.5165 22.5066 0.6251 31.2256 0.9069

QTBS 21 2.4984 15.5107 7.3011 21.3312 8.5009 23.9779 0.8836

PTBS 21 2.6103 8.7703 108.6 49.8767 153.0 64.4628 -.7361

QDSL 21 0.7850 8.6138 1.2069 11.4241 1.6034 19.5328 0.7230

CDSL 21 0.0888 0.6700 0.3248 1.7925 0.3918 2.3117 0.9941

PDSL 21 -0.0370 6.0684 75.7754 22.4664 107.6 29.7204 0.7909

MDSL 21 -0.5198 -7.9646 0.9754 14.7066 1.2920 18.0603 0.8663

SEM 21 -0.3489 -0.3788 0.8182 0.8837 0.9507 1.0398 0.9932

DEMA 21 0.0137 0.2130 1.3199 3.3375 1.6748 4.3005 0.4583

DEMI 21 0.3616 4.8435 0.8174 8.8149 1.0027 11.9365 0.6204

DEML 21 2.4222 7.3974 2.5405 7.6404 2.8713 9.1622 0.8119

UPOV 21 0.6167 5.6543 2.2323 22.0936 3.0063 30.9356 -.2381

RPOV 21 -1.0773 -5.3858 3.7636 18.3398 4.8946 24.8837 0.0979


(2)

0.0594

GDPA 21 1.7544 5.2045 5.1460 10.2495 6.9791 13.5890 0.6051

GDPI 21 10.0357 19.8285 13.0929 21.8012 15.6247 29.6549 0.8329

GDPO 21 29.2186 19.9158 33.0646 20.8285 40.0747 26.7449 0.7391

C 21 0.0687 0.0119 5.2809 2.7951 6.6003 3.5837 0.9941

INVA 21 3.0767 240.1 3.2911 242.8 3.9929 527.5 -.1854

INVI 21 4.0843 23.5667 8.2923 33.1296 10.0819 61.1292 0.0071

X 21 0.6565 2.2250 8.6626 9.0777 10.8668 11.0867 0.9269

M 21 3.0536 7.5659 10.9310 13.9773 12.8631 16.6211 0.8490

CPI 21 18.2675 19.5677 52.9976 25.7213 64.6211 36.1214 0.9379

DEM 21 2.7974 3.3059 2.7974 3.3059 3.0812 3.7260 0.8684

UNM 21 3.1464 79.6823 3.1464 79.6823 3.3425 108.1 -.0009

TPOV 21 1.6945 5.8063 5.4628 18.1036 7.5159 25.8656 -.0053

TINV 21 7.1668 25.2707 10.2060 29.7687 12.9682 50.7671 0.3653

AS 21 41.0087 16.8447 47.2785 17.9009 55.0442 22.4893 0.8031

EGRO 21 0.3093 16.0882 7.1893 109.1 11.3808 156.7 -2.074

INF 21 0.4184 86.5308 10.2175 142.3 17.3599 299.3 -.3192


(3)

The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

QCPO 21 4.4820 0.95 0.04 0.39 0.57 0.55 0.41 0.2172 0.1106

CCPO 21 1.5635 0.35 0.00 0.22 0.78 0.02 0.98 0.4037 0.2032

DCPO 21 49251.6 0.22 0.00 0.58 0.41 0.06 0.94 0.3224 0.1585

PXPO 21 2.089E11 0.24 0.00 0.66 0.34 0.13 0.87 0.5724 0.2725

XCPO 21 11.2497 0.72 0.00 0.04 0.96 0.04 0.96 0.4694 0.2422

QOL 21 114670 0.98 0.36 0.10 0.54 0.15 0.48 0.1587 0.0773

QST 21 4012.1 0.98 0.04 0.32 0.64 0.42 0.54 0.1346 0.0679

QMGR 21 2.4760 0.75 0.18 0.03 0.79 0.26 0.56 0.3347 0.1616

DMGR 21 0.1009 0.95 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1385 0.0695

PMGR 21 32252.4 0.24 0.00 0.46 0.54 0.01 0.99 0.1932 0.0960

AREA 21 0.3907 0.97 0.04 0.31 0.64 0.44 0.52 0.1463 0.0737

QTBS 21 72.2646 0.95 0.09 0.16 0.76 0.28 0.64 0.1832 0.0916

PTBS 21 23418.6 0.38 0.00 0.51 0.49 0.06 0.94 0.6259 0.3022

QDSL 21 2.5709 0.89 0.24 0.00 0.76 0.07 0.69 0.1198 0.0584

CDSL 21 0.1535 1.00 0.05 0.03 0.91 0.05 0.90 0.0186 0.0093

PDSL 21 11568.1 0.89 0.00 0.00 1.00 0.06 0.94 0.2615 0.1330

MDSL 21 1.6694 0.94 0.16 0.00 0.84 0.01 0.83 0.1572 0.0812

SEM 21 0.9038 1.00 0.13 0.01 0.86 0.00 0.86 0.0100 0.0050

DEMA 21 2.8050 0.68 0.00 0.00 1.00 0.16 0.84 0.0416 0.0208

DEMI 21 1.0054 0.84 0.13 0.11 0.76 0.35 0.52 0.0932 0.0460

DEML 21 8.2441 0.98 0.71 0.12 0.16 0.15 0.14 0.0763 0.0371

UPOV 21 9.0379 0.68 0.04 0.52 0.43 0.19 0.77 0.2600 0.1311

RPOV 21 23.9566 0.73 0.05 0.43 0.52 0.14 0.81 0.2164 0.1095


(4)

0.1511

GDPA 21 48.7078 0.80 0.06 0.01 0.93 0.18 0.76 0.1335 0.0660

GDPI 21 244.1 0.98 0.41 0.37 0.22 0.43 0.16 0.1621 0.0786

GDPO 21 1606.0 0.95 0.53 0.11 0.36 0.18 0.29 0.1885 0.0896

C 21 43.5640 1.00 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.0287 0.0144

INVA 21 15.9433 0.72 0.59 0.00 0.41 0.06 0.35 0.6307 0.2662

INVI 21 101.6 0.44 0.16 0.02 0.81 0.17 0.67 0.2645 0.1270

X 21 118.1 0.96 0.00 0.01 0.99 0.04 0.95 0.0977 0.0489

M 21 165.5 0.93 0.06 0.11 0.83 0.25 0.69 0.1327 0.0660

CPI 21 4175.9 0.98 0.08 0.26 0.66 0.35 0.57 0.1344 0.0675

DEM 21 9.4941 0.99 0.82 0.05 0.12 0.06 0.11 0.0349 0.0172

UNM 21 11.1724 0.97 0.89 0.05 0.06 0.04 0.08 0.4600 0.2689

TPOV 21 56.4881 0.74 0.05 0.50 0.45 0.20 0.75 0.2204 0.1114

TINV 21 168.2 0.78 0.31 0.07 0.63 0.29 0.40 0.2454 0.1168

AS 21 3029.9 0.98 0.56 0.23 0.22 0.28 0.17 0.1532 0.0735

EGRO 21 129.5 0.55 0.00 0.77 0.23 0.39 0.61 1.1695 0.4501

INF 21 301.4 0.03 0.00 0.24 0.76 0.13 0.87 0.9055 0.5163


(5)

The SAS System

The SIMNLIN Procedure Dynamic Simultaneous Simulation

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions

Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

QCPO 21 0.1514 0.33 0.37 0.57 0.06 0.34 0.29 2.4720 0.6054

CCPO 21 0.3300 0.57 0.01 0.20 0.79 0.00 0.99 0.8979 0.4470

DCPO 21 0.1442 0.48 0.01 0.71 0.28 0.28 0.71 1.6537 0.5723

PXPO 21 0.4954 0.38 0.01 0.75 0.24 0.29 0.70 1.8765 0.6190

XCPO 21 1.2755 0.32 0.03 0.89 0.09 0.53 0.44 2.7993 0.6884

QOL 21 0.0908 0.38 0.58 0.33 0.09 0.13 0.29 1.9147 0.5319

QST 21 0.0538 0.38 0.33 0.52 0.16 0.20 0.47 1.4741 0.4798

QMGR 21 0.3696 0.34 0.31 0.59 0.10 0.30 0.39 2.8036 0.6806

DMGR 21 0.0477 0.52 0.00 0.61 0.38 0.19 0.81 1.2503 0.4939

PMGR 21 0.0409 0.51 0.01 0.53 0.47 0.11 0.88 1.2477 0.5130

AREA 21 0.1148 0.37 0.24 0.64 0.12 0.32 0.44 1.9994 0.5727

QTBS 21 0.0736 0.38 0.41 0.48 0.12 0.21 0.38 1.7234 0.5133

PTBS 21 0.4315 0.40 0.01 0.83 0.16 0.42 0.57 2.2954 0.6544

QDSL 21 0.0331 0.57 0.20 0.36 0.44 0.06 0.74 1.1532 0.4617

CDSL 21 0.000606 0.92 0.08 0.09 0.83 0.01 0.91 0.3252 0.1556

PDSL 21 0.1650 0.60 0.01 0.28 0.71 0.01 0.98 0.9243 0.4361

MDSL 21 0.0310 0.79 0.29 0.10 0.61 0.00 0.71 0.7556 0.3761

SEM 21 0.000113 0.71 0.14 0.01 0.85 0.07 0.79 0.4306 0.2389

DEMA 21 0.00174 0.69 0.00 0.08 0.92 0.02 0.98 0.7554 0.3957

DEMI 21 0.0171 0.60 0.15 0.60 0.26 0.27 0.58 1.4344 0.4916

DEML 21 0.00886 0.59 0.64 0.16 0.20 0.03 0.33 1.5438 0.5008

UPOV 21 0.0940 0.47 0.06 0.49 0.46 0.09 0.86 1.2951 0.5439

RPOV 21 0.0609 0.44 0.06 0.52 0.42 0.10 0.84 1.3857 0.5626


(6)

0.6621

GDPA 21 0.0143 0.55 0.11 0.07 0.82 0.05 0.84 0.9047 0.4689

GDPI 21 0.1065 0.40 0.44 0.50 0.07 0.29 0.27 2.5450 0.6113

GDPO 21 0.0803 0.10 0.55 0.38 0.08 0.13 0.32 2.5290 0.6239

C 21 0.00139 0.80 0.00 0.00 1.00 0.14 0.86 0.3797 0.1991

INVA 21 22.5825 0.84 0.25 0.73 0.02 0.66 0.09 3.5834 0.6662

INVI 21 0.1403 0.78 0.19 0.27 0.55 0.06 0.75 0.8250 0.3557

X 21 0.0145 0.65 0.03 0.39 0.58 0.08 0.89 0.8302 0.3657

M 21 0.0331 0.55 0.18 0.42 0.40 0.10 0.72 1.1480 0.4464

CPI 21 0.1555 0.26 0.29 0.58 0.14 0.23 0.49 2.0573 0.5936

DEM 21 0.00141 0.55 0.79 0.03 0.18 0.00 0.20 1.4495 0.4707

UNM 21 1.3170 0.10 0.57 0.39 0.04 0.20 0.23 4.6314 0.8719

TPOV 21 0.0658 0.43 0.06 0.56 0.38 0.13 0.81 1.4589 0.5734

TINV 21 0.1530 0.68 0.30 0.31 0.39 0.08 0.62 1.1450 0.4480

AS 21 0.0572 0.24 0.56 0.38 0.07 0.16 0.28 2.4575 0.6042

EGRO 21 6.5011 0.71 0.03 0.79 0.18 0.51 0.46 1.6381 0.5115

INF 21 13.3682 0.44 0.04 0.76 0.20 0.36 0.60 1.8881 0.5917