Dampak pengembangan biodiesel terhadap industri turunan kelapa sawit nasional

(1)

DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP

INDUSTRI TURUNAN KELAPA SAWIT NASIONAL

DISERTASI

EDY SUPRIYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:

DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP

INDUSTRI TURUNAN KELAPA SAWIT NASIONAL

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

Edy Supriyadi NRP : A.1610300101


(3)

ABSTRACT

EDY SUPRIYADI. Impact of Biodiesel Development Toward Derivative Product Crude Palm Oil Nasional Industry (Harianto as Chairman, Akhmad Fauzi, dan M. Firdaus as Members of advisory Committee)

The Decreasing petroleum products from time to time will embrace scarcity of petroleum oil for purposes of economy in various sectors of its dedicated transport, industry and electricity sector. To overcome this issue, it is necessary to find an alternative as a substitute for feedstock materials of oil earth-based exploration with the raw material of plant or vegetable earth-based. In this study it is selected palm oil as alternative raw materials, including those in which Indonesia's largest producer in the world. In general, the purpose of research is to analyze the impact of the development of biodiesel from palm oil to palm oil derivative products based on food. To achieve this goal, the econometric approach is used to build models of systems of simultaneous equations consisting of 20 structural equations and an identity equation. These models used 2SLS method. Scenario 1 is made of 20 percent biodiesel development which resulted in the dominant variable is the price of fresh fruit bunches increases 4.72 percent, consumption increases 24.99 percent palm oil, diesel oil imports fell down 5.83 percent, cooking oil demand increases 8.43 percent and rising demand for margarine 10.36 percent. Scenario 2 is the development of biodiesel and 20 percent export tax on palm oil increase 10 percent provides positive effect on the price of fresh fruit bunches 5.09 percent and 25.81 percent consumption of palm oil, diesel oil imports decline in 5.85 per cent and rising demand for palm cooking oil and margarine amounting to 8.41 and 9.46 percent. Scenario 3 is the development of 20 percent biodiesel and 10 percent of world oil prices. The response to rising prices of fresh fruit bunches 6.45 percent, 11.40 percent palm oil consumption, diesel oil imports fell 2.19 percent and cooking palm oil production increase 8.74 percent and 7.64 percent rising demand for margarine. Scenario 4 is the development of 20 percent biodiesel and 10 percent exchange rate. The response of prices of fresh fruit bunches increase 6.01 percent, 11.01 percent of palm oil consumption, imports fall 5.90 percent oil diesel and cooking palm oil demand rises 8.35 percent and demand for margarine increases 9.81 percent.


(4)

RINGKASAN

EDY SUPRIYADI. Dampak Pengembangan Biodiesel Terhadap Industri Turunan Kelapa Sawit Nasional (Harianto sabagai ketua, Akhmad Fauzi, dan M. Firdaus sebagai Anggota Komisi)

Berkurangnya hasil minyak bumi dari waktu ke waktu akan terjadinya kelangkaan keperluan bahan bakar minyak bagi roda perekonomian di berbagai sektor khusus nya sektor transportasi, industri dan kelistrikan.

Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan mencari alternatif sebagai bahan penganti bahan baku miyak bumi yang berbasis eksplorasi dengan bahan baku yang berbasis tanaman atau nabati. Dalam penelitian ini dipilih kelapa sawit sebagai bahan baku alternatif tersebut dimana Indonesia termasuk penghasil terbesar di dunia. Secara umum tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap produk turunan kelapa sawit yang berbasis pangan. Untuk mencapai tujuan ini, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Model ini menggunakan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario kebijakan yang relevan.

Skenario 1 yaitu dilakukan pengembangan biodiesel 20 persen berakibat pada peubah dominan yaitu kenaikan harga tandan buah segar 4.72 persen, konsumsi minyak sawit naik 24.99 persen, impor minyak diesel turun 5.83 persen, permintaan minyak goreng sawit naik 8.43 persen dan permintaan margarin naik 10.36 persen.

Skenario 2 yaitu pengembangan biodiesel 20 persen dan pajak ekspor minyak sawit naik 10 persen berpengaruh positif terhadap peubah harga tandan buah segar 5.09 persen dan konsumsi minyak sawit 25.81 persen, penurunan impor minyak diesel 5.85 persen dan kenaikan permintaan minyak goreng sawit dan margarin sebesar 8.41 dan 9.46 persen.

Skenario 3 yaitu pengembangan biodiesel 20 persen dan harga minyak dunia 10 persen. Adapun respon harga tandan buah segar naik 6.45 persen, konsumsi minyak sawit 11.40 persen, impor minyak diesel 2.19 persen dan produksi minyak goreng sawit naik 8.74 persen dan permintaan margarin naik 7.64 persen.

Skenario 4 yaitu pengembangan biodiesel 20 persen dan penguatan nilai tukar uang 10 persen. Adapun respon harga tandan buah segar naik 6.01 persen, konsumsi minyak sawit 28.22 persen, impor miyak diesel turun 5.90 persen dan permintaan minyak goreng sawit naik 8.35 persen dan permintaan margarin naik 9.81 persen.

Kata Kunci : Minyak kelapa sawit, minyak goreng sawit, margarin, biodiesel, ekonometrika


(5)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(6)

DAMPAK PENGEMBANGAN BIODIESEL TERHADAP

INDUSTRI TURUNAN KELAPA SAWIT NASIONAL

EDY SUPRIYADI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si

Staf Pengajar pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Luckytawati Anggreini SP, M.Si

Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Abuzar Asra, M.Sc

Staf Ahli pada Badan Pusat Statistik 2. Dr. Ir. Demitria Dewi Hendaryati, MM


(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan almarhum Nursyamlukman dan almarhumah Rahmah. Penulis dilahirkan pada 30 April 1954 di Batusangkar, Sumatra Barat. Pada Tahun 1989, Penulis menikah dengan Dra. Lily Yurida dan dikaruniai tiga orang putra bernama Fermita Celsyana Sandikapuri, Muhammad Tesar Sandikapura dan Muhammad Jihad Sandikapura.

Penulis menyelesaian pendidikan D3 Jurusan Statistik di Akademi Ilmu

Statistik dengan bea siswa dari Biro Pusat Statistik, Tahun 1985 melanjutan S1

pada Jurusan Statistik Fakultas MIPA, dan menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor Tahun 1987 melalui bea siswa Biro Pusat Statistik. Pada Tahun 1993 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi S2 di Santo Thomas

University Manila, Pilipina mengambil Master Business Administration melalui beasiswa Universitas Pancasila dan lulus pada Tahun 1995. Kesempatan menempuh S3 diperoleh penulis pada Tahun 2003 melalui beasiswa dari DIKTI.

Setelah lulus D3 pada Tahun 1976 sampai dengan pertengahan Tahun

1989, penulis bekerja sebagai computer programmer di Biro Pusat Statistik dan sejak Tahun 1990 sampai dengan saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Pancasila.


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat-Nya penelitian disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk melakukan penelitian Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak

memberikan masukan dan ide kepada penulis sehingga penulis sampai dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Prof. Dr. Ir. Achmad Fauzi, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan memotivasi penulis untuk tetap bersemangat menyelesaikan menyelesaikan penelitian ini.

3. Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan dukungan untuk menyelesaikan penelitian ini.

4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas dorongan dan bimbingannya selama kuliah sampai dapat menyelesaikan disertasi ini.

5. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si yang telah memberikan masukan pada ujian tertutup demi kesempurnaan disertasi ini.


(11)

6. Dr. Luckytawati Anggreini SP, M.Si yang telah memberikan masukan pada ujian tertutup demi kesempurnaan disertasi ini.

7. Dr. Dedy Budiman Hakim, M.Ec yang telah memberikan masukan pada ujian terbuka demi kesempurnaan disertasi ini.

8. Prof. Dr. Abuzar Asra, M.Sc sebagai penguji luar ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan disertasi ini.

9. Dr. Ir. Demitria Dewi Hendaryati, MM sebagai penguji luar ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan demi kesempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada :

1. Rektor Universitas Pancasila dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila, atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi program doktor.

2. Rekan-rekan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila yang telah memberikan memotivasi penulis hingga selesainya disertasi ini.

3. Rekan-rekan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Presiden yang telah memberikan memotivasi penulis hingga selesainya disertasi ini.

4. Seluruh staff sekretariat Jurusan Ekonomi Ilmu Pertanian Institut Pertanian Bogor Mbak Ruby dan Mbak Yani yang telah membantu dalam penyelesaian studi.

5. Seluruh keluarga, Istri, Mertua, Anak-anak, adik-adik dan Famili yang telah memberikan dukungan dan motivasi penulis agar proposal dapat diselesaikan dengan secepatnya.


(12)

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil semoga Allah SWT membalas segala amalnya dengan segala rahmat dan rahim-Nya.

Bogor, Februari 2012


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

I. PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan ... 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...

1 1 16 17 17 II. III.

TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1. Prospek Biofuel di Indonesia………... 2.2. Potensi Pengembangan Biodiesel dan Bioethanol... 2.2.1. Biodiesel………... 2.2.2. Bioethanol………. ... 2.3. Kebijakan Pemerintah………. ... 2.4. Klasifikasi Sumber Energi ………. 2.5. Tantangan Masa Depan Biofuel ……... 2.5.1. Tantangan Produksi ……….. 2.5.2. Tantangan Biofuel dan Ketahanan Pangan ……….. 2.5.2.1. Biofuel dan Pangan Saling Mendukung … ………. 2.5.2.2. Biofuel VersusKetahanan Pangan ………... 2.5.2.3. Peta Lahan Sebagai Pengembangan Bahan Bakar Nabati ... 2.6. Generasi Bahan Bakar Transportasi ……….. 2.7. Hasil Penelitian Terdahulu ……..………. KERANGKA TEORITIS……….. 19 19 21 21 27 28 33 34 34 35 35 37 41 44 46 63


(14)

3.1. Teori Harga ………. 3.2. Fungsi Produksi Minyak Sawit ………...

63 64 Halaman

3.3. Permintaan Faktor Produks dan Penawaran Minyak Sawit... 3.4. Produksi dengan Dua Keluaran dan Cakupan Eknomis…... 3.5. Fungsi Permintaan Minyak Goreng Sawit Oleh Konsumen... 3.6. Ekspor………... 3.6.1. Pengertian Ekspor ………... 3.6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ekspor …………... 3.7. Dampak Pengembangan Biodisel dari Kelapa Sawit ……... 3.8. Biodiesel dari Kelapa Sawit ………... 3.9. Keterkaitan Pengembangan Biodiesel Dari Kelapa Sawit Terhadap Permintaan dan Harga Tandan Buah Segar…………. 3.10. Dampak Penggunaan Minyak Sawit sebagai biodiesel Terhadap Pangan……… . 3.11. Indeks Harga Konsumen ………. 3.12. Skenario Pengembangan Biodiesel dari Kelapa Sawit ………… 3.13. Model Ekonometrik … ..………..

66 68 70 72 72 72 73 74 77 78 79 80 82 IV. METODOLOGI PENELITIAN ...

4.1. Kerangka Pemikiran………... .. 4.2. Sumber Data………... 4.3. Spesifikasi Model ………... 4.4. Luas Areal Kelapa Sawit ……..……….. 4.5. Produksi Minyak Kelapa Sawit ………. 4.6. Bahan Baku Biodiesel ……… 4.7. Bahan Bakar Biodiesel ……… 4.8. Minyak Goreng Kelapa Sawit ……….. 4.9. Margarin ……….. 4.10. Identifikasi Model………...

83 83 85 85 88 89 91 92 93 95 95


(15)

4.11. Metode Estimasi Model ... 4.11.1. Uji Statisik F dan Uji Statistik t... 4.11.2. Uji Statistk Durbin Watson dan Durbin h ...

97 97 98 Halaman V. VI.

4.11.3. Validasi Model ... 4.11.4. Prosedur Analisis ... 4.12. Simulasi Kebijakan Pengembangan Biodiesel ...

GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT, BAHAN BAKAR BIODIESEL DAN PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT... 5.1. Perkebunan Kelapa Sawit ... 5.2. Minyak Kelapa Sawit ... 5.3. Bahan Baku Biodiesel ... 5.4. Bahan Bakar Biodiesel ... 5.5. Bahan Bakar Diesel ... 5.6. Produk Turunan Minyak Kelapa Sawit Berbasis Pangan ... 5.6.1. Minyak Goreng Sawit ... 5.6.2. Margarin ... PENDUGAAN MODEL PENGEMBANGAN BIODIESEL

TERHADAP PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT... 6.1. Hasil Pendugaan Model Secara Umum ... 6.1.1. Luas Areal Kelapa Sawit ... 6.1.2. Minyak Kelapa Sawit ... 6.1.3. Bahan Baku Biodiesel ... 6.1.4. Minyak Diesel ... 6.1.5. Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 6.1.6. Margarin ... 6.2. Hasil Pendugaan Simulasi ...

99 101 101 105 105 107 110 112 112 115 115 117 119 119 120 122 126 128 132 134 136


(16)

6.2.1. Pengembangan Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit ... 6.2.2. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Kenaikan Pajar Ekspor Minyak Kelapa Sawit sebesar 10 persen ... 6.2.3. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Kenaikan Harga Minyak Bumi sebesar 10 persen ... ....

136 139

142

Halam an

VII.

6.2.4. Pengembangan Biodiesel sebesar 20 persen dan Penguatan Nilai Tukar Uang Rupiah terhadap US Dollar sebesar 10 persen ... KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN ... 7.1. Kesimpulan... 7.2. Implikasi Kebijakan ... 7.3. Saran... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

143 147 147 149 150 155 161


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peranan sektor ini di Indonesia masih dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik karena belum optimalnya penggarapannya sampai saat ini. Masa depan sektor ini akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional dan penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk penciptaan nilai tambah di sektor industri dan jasa. Pada sektor pertanian, subsektor perkebunan diharapkan tetap memainkan peran penting melalui kontribusinya dalam Produk Domestik Bruto, penerimaan ekspor, penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, dan pembangunan wilayah terutama di luar pulau Jawa.

Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peran penting bagi subsektor perkebunan. Pengembangan kelapa sawit antara lain memberikan manfaat dalam peningkatan pendapatan petani dan masyarakat, produksi yang menjadi bahan baku industri pengolahan yang menciptakan nilai tambah di dalam negeri (produksi tahun 2008 sebanyak 18.31 juta ton), ekspor yang menghasilkan devisa (sebesar 12.37 miliar USD) dengan luas areal 7.02 juta Ha (Indonesian Palm Oil Statistic, 2008)

Pengembangan kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1970 terutama periode 1980-an. Semula pelaku perkebunan kelapa sawit hanya terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN)


(18)

namun pada tahun yang sama pula dibuka Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan Rakyat (PR) melalui pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan selanjutnya berkembang pola swadaya. Pada tahun 1980 luas areal kelapa sawit adalah 294 000 ha dan pada tahun 2008 luas areal perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 7.02 juta ha dimana 50.05 persen dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta, 41.48 persen dimiliki oleh Perkebuan Rayat , dan 8.48 persen dimiliki oleh Perkebuna Besar Negara.

Produksi minyak sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24.32 persen dari produksi nasional pada tahun 2008 dan diikuti Sumatra Utara menyumbang minyak sawit sebesar 23.34 persen dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 40.11 persen dari luas lahan nasional.

Minyak kelapa sawit atau crude palm oil merupakan bahan baku yang juga dapat diolah menjadi produk pangan dan non pangan. Beberapa produk non pangan hasil olahannya diantaranya minyak goreng, margarin, shortening, cocoa butter substitutes, vegetable ghee dan emulssifier. Sedangkan beberapa produk olahan non pangan yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa sawit adalah asam lemak, alkohol lemak, gliserin, biodiesel dan surfaktan. Indonesia saat ini baru mampu memproduksi sekitar 23 jenis produk turunan kelapa sawit (Depperin, 2008).

Melihat gambaran perkembangan produk turunan dan ekspor kelapa sawit, ditunjukan pada Tabel 1. yang menyatakan bahwa ekspor kelapa sawit dari tahun ke tahun selalu meningkat dari tahun 2004 sampai 2008 tapi tahun 2009


(19)

terjadi penurunan sedikit. Begitu juga Olein juga terjadi peningkatan hanya pada tahun 2009 terjadi penurunan sedikit. Untuk Stearin mulai tahun 2006, 2008 dan 2009 hampir tetap hanya tahun 2007 terjadi penurunan.

Tabel 1. Perkembangan Ekspor Crude Palm Oil dan Produk Turunannya

(Juta US

$)

Produk 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Crude Palm Oil 1444.4 1593.3 2375.4 3787.7 6561.3 5702.1 Olein, Refined, bleached

deodor

0.0 0.0 1116.9 2525.9 0.0 0.0

Crude Oil of Palm Kernel or babasssu

396.0 449.0 506.0 807.9 1172.2 919.6

Stearin, refined, bleached & deodor ised (rbd)

0.0 0.0 831.2 592.4 882.5 862.0

Palm Oil , refined, bleached & deodor ised (rbd)

0.0 0.0 380.2 562.2 724.5 480.7

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009

Perkembangan kemajuan teknologi dan industri telah memacu pertumbuhan konsumsi enerji yang cukup tinggi selama beberapa dasawarsa terakhir di dunia sehingga mempengaruhi tatanan ekonomi global, regional, maupun ekonomi suatu negara. Penggunaan energi yang berasal dari minyak mineral di dunia diperkirakan mencapai 91.6 million barrels per hari tahun 2010 (International Energy Outlook, 2006). Kebutuhan energi ke depan diperkirakan akan semakin meningkat, sedang faktor penyediaan relatif tetap atau cenderung menurun dengan faktor harga berfluktuasi atau sulit diprediksi.

Masalah tersedianya energi yang terjadi di berbagai dunia mendorong banyak negara untuk terus mencari energi alternatif dalam rangka memenuhi kebutuhan energi mereka. Ketersediaan energi fosil yang terdapat di dalam perut bumi diprediksi semakin menipis, sementara itu konsumsi diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertambahan industri. Akibat semakin menipisnya


(20)

persediaan energi yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia.

Ketika harga minyak bumi melambung pada beberapa tahun yang lampau, semua berusaha membuka lembaran usang dari dokumen-dokumen mengenal energi alternatif untuk segera diimplementasikan sebagai pengganti bahan bakar minyak yang selama ini mendominasi kebutuhan energi sumberdaya angin, air, matahari sampai gelombang air laut mulai dikembangkan kembali. Namun, semua itu belum bisa memberi jawaban yang maksimal mengingat investasi yang diperlukan masih sangat mahal. Hal inilah yang membuat kita menoleh kepada sumber alam lain seperti tanaman untuk dijadikan alternatif penghasil energi, oleh karena itu mulai saatnya harus dipikirkan energi alternatif yang dapat dikembangkan sebagai substitusinya.

Tabel 2. Kondisi Minyak Mentah Dunia

(Juta barel)

Kondisi Minyak 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Produksi 3612 3598 3673 3699 3864 3891 3908 3902 3928

Konsumsi 3551 3571 3605 3672 3810 3861 3894 3839 3927

Sumber : Asean Development Bank, 2009

Tabel 2 menunjukan produksi minyak bumi dari waktu ke waktu menunjukan kenaikan dari tahun 2000 sampai tahun 2008, hanya dari tahun 2000 ke 2001 menunjukan penurunan, dan juga tahun 2006 ke tahun 2007 terjadi penurunan. Begitu juga konsumsi minyak bumi dunia mulai tahun 2000 menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan pemakaian kendaraan dan perkembangan industri yang membutuhkan energi.


(21)

Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2000, kebutuhan enerji yang berasal dari minyak mineral atau fosil nasional juga semakin meningkat, yang mengkibatkan disamping mengekspor, pemerintah masih harus mengimpor 200 000 bph minyak mentah dan 9 juta ton petroleum diesel. Sejak terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 sampai sekarang belum ada investasi baru di bidang eksplorasi minyak mineral. Jika hal ini terus berlanjut diperkirakan konsumsi dan produksi minyak mentah mineral di Indonesia akan mengalami titik impas pada tahun 2010. Harga bahan bakar yang berasal dari minyak mineral masih disubsidi menyebabkan tingginya beban pemerintah dan impor sebagian dari bahan bakar tersebut menyebabkan pengurangan devisa negara yang cukup besar. Dengan kondisi perminyakan di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir tidak lagi menjadi negara eksportir minyak, akan tetapi telah menjadi salah satu negara importir minyak dunia dan kondisi ini dipengaruhi oleh laju peningkatan konsumsi serta terbatasnya kapasitas kilang minyak nasional. Tabel 3. Kondisi Perminyakan di Indonesia

(Juta barrel) Kondisi

Minyak

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Produksi 517.4 489.8 455.7 415.8 400.4 385.4 359.2 348.3 358.7 Konsumsi 383.9 375.6 358.8 373.1 375.4 357.4 349.8 321.3 248.1

Ekspor 225.8 239.9 216.9 211.1 180.2 156.7 114.1 127.1 104.1

Impor 79.2 118.3 121.2 129.7 148.4 120.1 113.5 111.1 48.8

Sumber : Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009

Tabel 3 menunjukkan` bahwa produksi minyak mentah di Indonesia mengalami penurunan dari tahun ketahun. Pada tahun 2000 cadangan minyak Indonesia sekitar 517.4 juta barel dan tahun 2008 menjadi sekitar 358.7 juta barel. Konsumsi minyak mentah dari tahun 2000 sebesar 383.9 juta barel minyak mentah terjadi penurunan dari waktu ke waktu sehingga tahun 2008 terdapat bahwa jumlah sebesar 248.1 juta barel. Sedangkan ekspor minyak Indonesia


(22)

terlihat bahwa jumlah ekspor juga terjadi penurunan mulai tahun 2000 sebesar 225.8 juta barel hingga tahun 2008 sebesar 104.1. Jumlah impor minyak Indonesia kenaikan mulai tahun 2000 sebesar 79.2 juta barel terjadi kenaikan hingga tahun 2005 sebesar 120.1 selanjutnya ketahun berikutnya terjadi penurunan sehingga pada tahun 2008 menjadi sebesar 48.8 juta barel minyak mentah.

Penurunan produksi minyak mentah disebabkan oleh dua faktor utama yaitu eksploitasi minyak selama bertahun-tahun dan minimnya eksplorasi atau survei geologi untuk menemukan cadangan minyak terbaru. Tanpa ditemukan cadangan minyak baru, praktis persedian minyak di Indonesia hanya dapat dieksploritasi sampai sekitar 30 tahunan.

Produksi minyak mentah Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun hingga tahun 2008 yaitu sebesar 358.7 juta barel. Penurunan ini disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi disektor pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing maupun nasional melakukan investasi disektor perminyakan. Sedangkan disisi konsumsi terhadap produk minyak/Bahan Bakar Minyak terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 2004, jika hasil produksi minyak mentah Indonesia di semua kilang dihitung, maka hasilnya tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami defisit sebesar 49.3 ribu barel/hari.

Volume ekspor minyak mentah juga memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun, sebaliknya kegiatan impor minyak mengalami peningkatan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan minyak nasional yang mengalami


(23)

defisit. Kapasitas pengilangan menunjukan tidak adanya penambahan kilang minyak baru, kondisi ini terlihat kapasitas kilang yang tidak berubah selama kurun waktu lima tahun, sebesar 1 057 000 barel/hari.

Besarnya dampak ketergantungan terhadap energi yang bersumber dari bahan bakar fosil terutama minyak bumi dan yang telah dilakukan oleh kesuksesan Brazil dalam pengembangan bioetanol telah membangkitkan banyak negara di dunia termasuk Indoenesia untuk memulai mengembangkan bahan bakar nabati . Untuk pengembangan energi alternatif menggunakan bahar baku nabati pemerintah Indonesia telah menerbitkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengatur mengenai energi mulai dari penguasaan dan peraturan sumberdaya energi sampai dengan penelitian dan pengembangan energi nasional.

2. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Energi Nasional untuk meningkatkan pernggunaan energi alternatif hingga 80 persen dan menurunkan penggunaan Bahan Bakar Minyak hingga kurang dari 20 persen pada tahun 2005.

3. Intruksi Presiden Nomor 1 Tanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain.

4. Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

5. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pengembangan


(24)

Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengyurangan Kemiskinan dan Pengangguran.

Bahan bakar nabati yang dapat dikembangkan di Indonesia salah satunya adalah biodiesel karena memiliki prospek yang cukup baik mengingat ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah. Bahan baku potensial yang dapat dimanfaatkan pada proses produksi biodiesel adalah minyak kelapa sawit. Hal ini mengingat Indonesia saat ini merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia (Aprobi, 2009).

Sebagai Negara yang berpotensi mengembangkan biodiesel terdapat 18 pabrik biodiesel di seluruh Indoenesia. Pabrik yang terbesar adalah PT Wilmar berlokasi di Dumai sebesar 1 206 897 dengan kapasitas produksi kiloleter per tahun. Diikuti pabrik PT Musim Mas dan PT Energi Perkasa di Batam dan Dumai dengan kapasitas sebesar 482 759 dan 459 770 kiloleter per tahun, sedangkan total kapasitas pertahun dari seluruh pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia sebesar 3 184 311 kiloleter pertahun.

Sebaran lokasi dan kapasitas berdasarkan tabel 4 menunjukan beberapa perusahaan berlokasi di Jakarta yaitu P.T. Energi Alternatif Indonsia dan P.T. asedana Biofuels Mandiri dan P.T. Prima Nusa Palma Energi dengan kapasitas masing-masing 8 046, 10 240 dan 24 000 kiloliter per tahun. Daerah Jawa Barat terletak di Bekasi yaitu P.T. Sumi Asih Aleo , PT Darmex Biofuels dan PT Multi Kimia dengan kapasitas 114 943, 172 414 dan 14 000,. sedangkan pabrik yang lain tersebar di Jawa Timur dengan lokasi Gresik dengan kapasitas yatu sebsar 45 977 kiloliter


(25)

Jumlah industri berdasarkan kapasitas ditunjukan pada tabel 5 yang menggambarkan wilayah menurut propinsi di Indonesia yang tersebar di 20 propinsi. Secara umumnya berada di Riau, Sumatra Utara dan Sumatra Selatan sebanyak 128, 87 dan 48 perusahaan. Tapi secara umum pabrik biodiesel tersebar provinsi di seluruh Indonesia.

Tabel 4. Data Pabrik Biodiesel Indonesia, Tahun 2009

(kiloliter)

No Perusahaan Lokasi Kapasitas Produksi

1 P.T. Energi Alternatif Indonesia Jakarta 8 046

2 P.T. Indo Biofuels Energi Merak – Banten 68 966

3 P.T. Anugrah Inti Gemanusa Gresik – Jawa Timur 45 977 4 P.T. Eterindo Nusa Graha Gresik – Jawa Timur 45 977 5 P.T. Eternal Buana Chemical In Tangerang – Banten 45 977 6 P.T. Wilmar Bio Energi Indo. Dumai – Riau 1 206 897 7 P.T. Sumi Asih Oleo – Chemical Bekasi – Jawa Barat 114 943

8 P.T. Darmex Biofuels Bekasi – Jawa Barat 172 414

9 P.T. Pelita Agung Agrindustri Sumatera Utara 229 885

10 P.T. Prima Nusa Palma Energi Jakarta 24 000

11 P.T. Sintong Abadi Sumatera Utara 35 000

12 P.T. Musim Mas Batam – Kep Riau 482 759

13 P.T. Multi Kimia Inti Pelangi Bekasi – Jawa Barat 14 000 14 P.T. Cemerlang Energi Perkasa Dumai – Riau 459 770 15 P.T. Petro Andalan Nusantara Sumatera Utara 150 000

16 P.T. Bioenergi Pratama Jaya Dumai – Riau 75 429

17 P.T. Pura Agung Mojokerto – Jatim 10 500

18 P.T. Pasadena Biofuels Mandiri Jakarta 10 240

Jumlah yang tersedia 3 184 311

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009

Begitu banyaknya perusahaan yang begerak dalam industri biodiesel, menurut Miranti (2008) ada beberapa alasan yang merupakan peluang besar industri kelapa sawit di Indonesia. Diantaranya pertama, permintaan dunia yang semakin meningkat sejalan dengan meningk atnya permintaan di negara-negara importir seperti China, India, dan Uni Eropa.

Kedua, semakin pentingnya posisi minyak sawit sebagai sumber minyak dari tahun ke tahun. Ketiga semakin berkembangnya industri biodiesel sebagai


(26)

bahan bakar alternatif yang menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya yang dapat mendorong peningkatan permintaan minyak sawit. Saat ini bahan bakar biodiesel telah digunakan secara luas di sejumlah negara sejalan dengan

Tabel 5. Jumlah Industri dan Kapsitas Kelapa Sawit Berdasarkan Lokasi Per Propinsi

(Ton Tandan Buah Segar/jam)

No. Provinsi Jumlah Industri

Pengolahan Kelapa Sawit

Kapasitas

1 NAD 13 410

2 Sumatera Utara 87 3 030

3 Sumatera Barat 20 1 080

4 Riau 128 5 645

5 Jambi 31 1 503

6 Sumatera Selatan 48 2 290

7 Bangka Belitung 5 345

8 Bengkulu 12 540

9 Lampung 4 125

10 Jawa Barat 1 30

11 Banten 1 60

12 Kalimantan Barat 20 905

13 Kalimantan Tengah 24 1 290

14 Kalimantan Selatan 3 110

15 Kalimantan Timur 10 510

16 Sulawesi Tengah 3 90

17 Sulawesi Selatan 1 40

18 Sulawesi Barat 4 140

19 Papua 3 90

20 Irian Jaya Barat 2 110

Total 421 18 343 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009

meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan, seperti EU-27, AS, Brazil, Australia, Singapura, Malaysia, dan Thailand yang konsumsinya diperkirakan akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang sejalan dengan meningkatnya kepedulian terhadap lingkungan hidup yang berkelanjutan, seperti EU-27, AS, Brazil, Australia, Singapura, Malaysia, dan


(27)

Thailand yang konsumsinya diperkirakan akan semakin meningkat di masa-masa yang akan datang sejalan dengan kebijakan pemerintah setempat. Sementara di dalam negeri sendiri, pemerintah melalui kebijakan energi nasional telah menargetkan penggunaan biodiesel sebesar 5 persen dari bauran energi nasional. Dengan sejumlah keunggulan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel seperti harga yang lebih murah, memberikan yield per ha yang lebih tinggi, dan tingkat emisi karbon yang lebih rendah dibanding minyak nabati lainnya, akan semakin mendorong penggunaan minyak sawit di industri ini yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan permintaan minyak sawit. Keempat, masih relatif rendahnya konsumsi minyak dan lemak per kapita di negara-negara pengkonsumsi kelapa sawit terbesar seperti China (22.7 kg per kapita), Indonesia (21.7 kg per kapita), dan India (12.5 kg per kapita) dibanding AS (57.3 kg per kapita), dan EU 27 (54.9 kg per kapita) memberi peluang peningkatan permintaan kelapa sawit di masa mendatang di ketiga negara tersebut terutama China dan India yang berpenduduk besar. Kelima, margin keuntungan agribisnis kelapa sawit yang relatif besar baik dari sisi net profit margin, Return Of Asset yang tercermin dari laporan keuangan beberapa perusahaan kelapa sawit besar yang tercatat di bursa seperti Astra Agro Lestari, Sampoerna Agro, Sinar Mas Agro dan Lonsum Sumatera Indonesia.

Dalam menunjang pabrik biodiesel di Indonesia bisa dilihat sejauh mana ketersediaan bahan baku nabati yang bisa dimanfaatkan untuk memproduksi biodisel tersebut yang terdiri dari Jagung, Kelapa Sawit, Singkong dan Tebu digambarkan pada Gambar 1 . Gambar 1 menunjukan kenaikan produksi jagung, singkong, sawit dan tebu dari tahun 2000 sampai 2009, di mana singkong


(28)

yang tertinggi diikuti oleh sawit, jagung, dan tebu. Sebagai usaha dalam mendukung pengembangan energi alternatif biofuel beberapa perusahaan telah membangun kebun bibit dan kebun sumber untuk tumbuhan jarak pagar (Jatropha Cucus Linn.) sebagai salah satu bahan baku BBN.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010

Gambar 1. Produksi Jagung, Singkong, Sawit dan Tebu, Tahun 2000 – 2009

Pengembangan tumbuhan jarak pagar tersebut bertujuan mengganti minyak tanah sebagai Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu keuntungan dari jarak pagar ini adalah ramah lingkungan dan bukan merupakan tumbuhan persaingan dengan kebutuhan pangan.

Singkong juga merupakan tanaman yang sangat mungkin untuk dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia. Penanaman dan pemeliharaan singkong relatif mudah dan memilki tingkat produksi ang sangat tinggi. Tanaman ini mampu menghasilkan sekitar 30-60 ton per ha. Singkong merupakan jenis tanaman yang fleksibel karena dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran

0

5000

10000

15000

20000

25000

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

Tahun

R

ib

u

T

o

n


(29)

rendah maupun dataran tinggi. Hal tidak akan terjadi kompetisi atau perebutan lahan antara budidaya tanaman singkong dan budidaya tanaman singkong.

Seiring dengan pemikiran pengembangan energi alternatif di dunia, muncul dampak negatif yang disebut dengan istilah “silent tsunami” yang akhir-akhir ini booming di skala internasional untuk mengambarkan adanya bahaya krisis pangan yang dialami hampir seluruh dunia. Berdasarkan informasi president Word Bank adapun salah satu penyebab utama kenaikan harga pangan pada tiga tahun terakhir secara potensial mengakibatkan 100 juta penduduk di negara berpendapatan rendah menjadi penduduk sangat miskin, ini disebabkan terjadinya permintaan etanol dan biofuel yang melonjak tinggi.

Masalah pangan meningkat karena naiknya harga pangan. Satu fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir, harga beras naik dari $65 per ton sampai dengan tahun 2000, menjadi sekitar $330 per ton di tahun 2005 dan sekarang $700 per ton; harga gula naik dari $220, $550 dan $700 per ton pada tahun 2000, 2005 dan 2008; harga kedelai naik $320 tahun 2000, $600 per ton sampai satu tahun terakhir; begitu juga gandum naik dari $300 per ton menjadi $700 per ton, hanya kelapa sawit yang semula menunjukan kenaikan $ 220 per ton menjadi $ 1100 per ton dan pada tahun ini terjadi penurunan drastis.

Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama karena penduduk dunia bertambah. Setiap 15 tahun, betambah 15 milyar jiwa. Kedua, karena sebagian komoditas pertanian yang tadinya hanya digunakan untuk keperluan pangan, seperti jagung, tebu dan kelapa sawit juga mulai digunakan secara besar-besaran sebagai energi alternative, biofuel. Amerika serikat di tahun 2007 menggunakan


(30)

48 juta ton jagung untuk bahan etanol. Brazil menggunakan tebu dan Indoensia memanfaatkan minyak kelapa sawit untuk memproduksi biofuel. Ketiga, meningkatnya komoditas pangan juga disebabkan kebutuhan ternak untuk memproduksi ternak yang lebih banyak. Produk pertanian untuk manusia juga digunakan untuk pakan ternak. Keempat, seiring dengan kemunduran di pasar modal dan pasar financial global, banyak investor yang mengalihkan ke sektor lain industri, transportasi. Kelima, disebabkan dinamika ekonomi internasional. Ekonomi Cina dan India yang berpopulasi raksasa tumbuh tinggi, juga menyebabkan orang Cina dan India lebih sejahtera dari sebelumnya.

Penyebab lain peningkatan harga pangan dunia yang berdampak pada potensi gejolak sosial dan kerusuhan, merupakan tantangan globalisasi dan era makanan murah sudah berakhir, masalah tersebut utamanya disebabkan demand side bukan masalah kegagalan panen tetapi tekanan permintaan yang begitu tinggi dari beberapa negara seperti China, India. Salah satu cara yang dianjurkan adalah menghentian subsidi biofuel di negara kaya.

Untuk menjadi alternatif bahan bakar fosil, biofuel harus menghasilkan keseimbangan energi positif, memiliki manfaat lingkungan, secara ekonomi yang layak, dan jumlah produksi kuantitas yang besar tanpa mempengaruhi pada keamanan pangan

Produksi dan menggunakan biofuel memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan meningkatkan kualitas lingkungan, menurunkan emisi rumah hijau, mengembangkan wilayah pedesaan dan menyediakan pekerjaan bagi para petani. Namun tidak ada jaminan bahwa tujuan akan dipenuhi seperti yang diharapkan.


(31)

Runge dan Huang (2007) menunjukkan bahwa produksi generasi pertama biofuel memiliki dampak negatif terhadap ketahanan pangan karena mengkonsumsi banyak makanan. Menggunakan tanaman pertanian non sebagai bahan baku, produksi biofuel generasi kedua tidak akan mempengaruhi ketahanan pangan dan akan meningkatkan lingkungan untuk menjadi lebih baik dari biofuel generasi pertama. Dalam rangka untuk memproduksi biofuel secara berkelanjutan, pergeseran dari produksi biofuel generasi pertama ke biofuels generasi kedua adalah dianjurkan

Di dunia nyata, produksi dan penggunaan biofuel mungkin memiliki dampak positif terhadap lingkungan, tetapi tidak benar-benar hasilnya tergantung pada faktor-faktor tertentu seperti situs, teknologi produksi, pasar dan lainnya. Misalnya Farrel menyimpulkan bahwa untuk produksi dan penggunaan bioethanol membuat kontribusi terhadap kemandirian energi dan perbaikan lingkungan. Sementara Crutzen mengungkapkan bahwa hasil produksi biodiesel dalam peningkatan emisi gas rumah kaca karena penggunaan pupuk nitrogen dan Patzek dan Pemintal menemukan bahwa keseimbangan energi dalam memproduksi etanol dari jagung adalah negatif. Scharlerman dan Laurance menyatakan bahwa perbandingan dengan bahan bakar fosil ada 12 jenis biofuel memiliki dampak lingkungan yang lebih besar daripada bahan bakar fosil, termasuk bioetanol jagung di AS bioethanol tebu dan biodiesel kedelai di Brazil dan minyak sawit di Malaysia.

Untuk menunjang diperlukan untuk mengakses kinerja ekonomi, lingkungan dan energi biodiesel sebelum industri biofuel dikembangkan dalam skala besar, sehingga untuk menghindari risiko dan memberikan dasar untuk


(32)

penentu kebijakan dalam pengembangan industri biofuel. Siklus hidup penilaian (LCA) adalah sebuah metode yang cocok untuk tujuan ini dan secara luas digunakan dalam penilaian dampak yang terkait dengan biofuel.

Berdasarkan uraian di atas untuk mengatasi masalah energi di Indonesia perlu kebijakan yang diambil khususnya dalam pemilihan macam bahan bakar nabati yang sesuai dengan kondisi lahan tersedia. Berdasarkan rencana pemerintah maka akan dipilih sumber tumbuhan yang cocok untuk kondisi Indonesia yaitu tumbuhan singkong, tebu, sawit dan jarak pagar. Dalam penelitian ini sesuai dengan topik akan dipilih bahan baku nabati untuk pengembangan biodiesel adalah kelapa sawit.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, terlihat dengan adanya masalah energi dunia berdampak terhadap kebutuhan energi di Indonesia dan selanjutnya akan berimbas terhadap perkembangan industri turunan kelapa sawit nasional yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya sektor industri dan transportasi.

Untuk menunjang pengembangan produksi biodiesel sudah saatnya aturan wajib menggunakan biofuel bagi industri, pembangkit listrik dan transpotasi umum untuk pasar domestik. Berkaitan dengan mengatasi ketersediaan energi di Indonesia dengan pendukung peraturan pemerintah tentang penggunaan biofuel maka pelaksanaan penelitian mengacu pada beberapa permasalahan :

1. Bagaimana keragaan pasar biodiesel dari industri turunan kelapa sawit di Indonesia ?


(33)

2. Bagaimana dampak pengembangan biodiesel dari kelapa sawit terhadap industri produk turunan kelapa sawit di Indonesia ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis keragaan pasar biodiesel dari industri turunan kelapa sawit di Indonesia

2. Menganalisis dampak pengembangan industri biodiesel dari kelapa sawit terhadap industri turunan kelapa sawit di Indonesia

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan mikro-makro-ekonometrika, yang dikembangkan dengan menitikberatkan pada fungsi sisi permintaan dan penawaran komoditi yang digunakan. Sementara data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series tahunan dengan priode waktu dari tahun 1989 sampai 2009.

Pemilihan komoditi energi alternatif dititikberatkan berdasarkan pada komoditi yang secara strategis berpengaruh terhadap perekonomian nasional dan tersedianya lahan. Untuk komoditi energi alternatif hanya dibatasi pada tanaman kelapa sawit. Hasil produksi yang diharapkan berdasarkan bahan baku yang digunakan berupa biodiesel sebagai produk turunan non pangan. Sedangkan produk turunan industri kelapa sawit berbasis pangan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan output yang dominan terdiri dari Minyak Goreng, Margarin.

Sehubungan tidak tersedianya data biodiesel maka produksi biodiesel di proxi dari produksi olein dan stearin sebagai bahan baku biodiesel (Hartoyo, 2009).


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Prospek Biofuel di Indonesia

Selama lima tahun terakhir, produksi minyak Indonesia telah menurun karena penurunan produksi minyak waduk di sumur. Di lain sisi, peningkatan jumlah penduduk Indonesia telah meningkatkan akan kebutuhan sarana transportasi dan industri serta kegiatan yang menunjukkan meningkatnya konsumsi dan permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan bakar, pemerintah telah mengimpor beberapa bahan bakar. Menurut Dirjen Minyak dan Gas Bumi, impor minyak bumi yang terus meningkat signifikan dari 106.9 juta barel per tahun. Tahun 2002 menjadi 116.2 juta barel pada tahun 2003 dan 154.4 juta barel pada tahun 2004. Dalam hal jenis produk impor minyak bumi, bahan bakar solar penyumbang terbesar volume impor untuk bahan bakar minyak dalam setiap tahun. Pada tahun 2002, impor dari jenis bahan bakar mencapai 60.6 juta barel atau terdiri dari 56.7 persen dari total impor bahan bakar, terjadi kenaikan 61.1 dan 77.6 juta barel pada tahun 2003 dan 2004.

Ketergantungan Indonesia pada impor minyak bumi telah membebani pemerintah ketika harga minyak dunia terus meningkat hingga mencapai di atas USD 70 per barel pada Agustus 2005, untuk menjaga kestabilan ekonomi pemerintah memberikan subsidi terhadap harga Bahan Bakar Minyak. Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi minyak yang diterapkan dalam dua tahap yaitu pada Maret dan Oktober 2005.

Konsekuensi kebijakan ini ditunjukkan oleh penurunan yang signifikan dari konsumsi minyak. Menurut Pertamina data harian total konsumsi minyak


(35)

turun 27 persen setelah promulgating yang harga minyak pada 1 Oktober 2005 yang meningkat dari 191.0 ribu kiloliter per hari menjadi 139.8 ribu kiloleter pe r hari. Bahan bakar diesel yang ditolak 30.3 persen dari 77.0 ribukiloliters ke 53.6 ribu kiloliters per hari. Sementara, yang Premium slumped 36.8 persen dari 53.4 ribu kiloliters ke 33.7 kiloliters per hari. Alasan utamanya ini diperkirakan akan menurun karena berkurangnya daya beli masyarakat dan selektivitas lebih besar dari masyarakat dalam kegiatan sehari-hari memilih untuk menekan mereka menggunakan bensin.

Dengan kondisi di atas, pemerintah telah merencanakan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak dan telah diputuskan oleh Presiden memperkenalkan peraturan Nomor 5, 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan suatu energi alternatif sebagai substitusi untuk bahan bakar minyak.

Pemerintah Indonesia juga telah memberikan perhatian serius dari pengembangan biofuel oleh mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1, 2006 pada 25 Januari 2006 tentang penyediaan dan menggunakan biofuel sebagai energi alternatif. Beberapa Biofuels yang dapat dikembangkan adalah biodiesel dan bioethanol. Indonesia telah potensi yang besar untuk menghasilkan biodiesel dan bioethanol mengingat bahwa kedua biofuels dapat mendapatkan keuntungan dari kondisi geografis serta sumber daya biofuel berasal dari tanaman yang tumbuh di tanah Indonesia. Berdasarkan penelitian di Badan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang memiliki potensi sebagai energi alternatif. Sebagai contoh adalah kelapa sawit, kelapa, kastroli tanaman, Kapuk yang dapat digunakan sebagai biodiesel


(36)

untuk menggantikan bahan bakar solar, dan tebu, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan rumbia yang dapat dibentuk sebagai bioethanol untuk menggantikan bensin. Tabel 6. Macam Tumbuhan dan Energi yang Diperoleh

Tumbuhan Oil Production Barrels of Oil Equivalent Elaies guineensis

(coconut plam)

3 600 - 4 000 33 900 - 37 700 Jatropha(castrol oil plant) 2 100 - 2 800 19 800 - 26 400 Aleurits fordii(kemiri seed) 1 800 - 2 700 17 000 - 25 500 Sacharum officinarum (sugar

cane)

2 450 16 000

Manithot esculenta(Cassava) 1 020 6 600

Ricinus comunis(jarak kepyar) 1 200 - 2 000 11 300 - 18 900 Sumber : Kementrian Energi Sumber Daya Mineral, 2008

Tabel 6 di atas menunjukkan contoh dari tanaman yang menghasilkan energi dengan potensi produksi minyak dalam liter per hektar dan energi setara 2.2. Potensi pengembangan Biodiesel dan Bioethanol

2.2.1. Biodiesel

Biodiesel yang dihasilkan dari bahan bakar bio-minyak yang memiliki kesamaan karakteristik dengan minyak diesel. Biofuel adalah ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang lebih baik dibandingkan dengan minyak diesel dan juga adalah bebas belerang, yang rendah dan jumlah asap tinggi cetane nomor yang jelas membuat pembakaran, memiliki karakteristik pelumas pada mesin piston, dan juga biodegradable sehingga menjadi energi yang tidak beracun. Menurut penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, biodiesel bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel tanpa perlu ada modifikasi mesin atau campuran dengan bahan bakar solar dengan konsentrasi mulai pada 5persen.


(37)

Pengembangan biodiesel yang membutuhkan minyak mentah bio-bahan yang dapat dibentuk dari tanaman yang mengandung asam lemak seperti minyak mentah kelapa sawit, Jatropha curcas , Kelapa, soursop, annona, dan kapuk. Tanah Indonesia yang kaya sumberdaya alam yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel. Crude Palm minyak merupakan salah satu calon bio-sumber untuk bahan baku minyak di Indonesia mengingat bahwa Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit dalam volume yang besar dan meningkat setiap tahunnya.

Sebagai produsen terbesar kedua kelapa sawit di dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi produsen dengan menggunakan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit, baik dari kelapa sawit atau turunannya. Di Indonesia produksi kelapa sawit di tahun 2003 mencapai sekitar 9 juta ton, dan meningkat hingga 15 persen setiap tahun. Hampir seluruh produk kelapa sawit dapat diolah menjadi biodiesel, mulai dari yang terbaik berkualitas dengan gratis Fatty Acid (FFA) kurang dari 5 persen menjadi lebih dari 70 persen dari Palm Distilat Fatty Acid (PFAD). Saat ini, sebagian besar kebutuhan nasional kelapa sawit yang diserap oleh pabrik minyak goreng dengan kebutuhan rata-rata 3.5 juta ton per tahun. Pabrik minyak goreng yang dapat menghasilkan PFAD sekitar 6 persen dari mereka perlukan, sehingga bisa mencapai 0.21 juta ton PFAD dalam satu tahun. Karena harga kelapa sawit masih tinggi (hingga US $ 400/tons), Rekayasa Pusat-PPT telah mengembangkan kelapa sawit Parit atau kelapa sawit Palm dari limbah pabrik minyak yang akan digunakan sebagai bahan baku biodiesel.

Harga limbah kelapa sawit yang relatif murah (sekitar Rp. 500 - Rp. 100 per liter), sehingga bahwa jika sudah ditambahkan dengan biaya produksi, harga


(38)

akhir masih kompetitif dibandingkan untuk harga solar yang masih dapat subsidi dari pemerintah.

Hasil penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, selain kelapa sawit, terdapat lebih dari 40 jenis minyak di biooil Indonesia yang potensial dapat digunakan sebagai bahan baku untuk biodiesel, seperti jarak minyak, minyak kelapa, minyak kedelai dan minyak kapuk. Bahan baku di antara mereka, kastroli tanaman merupakan tanaman unggul untuk pengembangan biodiesel. Tanaman ini adalah sebagai calon bahan baku biodiesel karena dapat tumbuh di lahan kritis dan karakteristik minyak adalah cocok untuk biodiesel. Biaya operasional untuk mengembangkan minyak jarak tanaman lebih ekonomis dari kelapa sawit.

Untuk tujuan perbandingan, Biaya pengembangan dan pemeliharaan kebutuhan tanaman minyak jarak hanya 20 persen sampai 25 persen dari total biaya produksi. Sementara itu, minyak kelapa sawit memerlukan 40 persen menjadi 50 persen. Di Indonesia, masih banyak lahan kritis yang dapat digunakan untuk bahan bakar hijau perkebunan seperti kelapa sawit dan minyak jarak.

Menurut Badan Pusat Statistik (2006) area lahan kritis di Indonesia pada akhir tahun 2006 sekitar 27.1 juta hektar (7.9 juta hektar pada konservasi kawasan hutan dan 14,1 juta hektar hutan di luar kawasan konservasi).

Menurut penelitian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (2006) , jika semua orang infertil tanah ditanam pohon kastroli mereka akan menghasilkan lebih dari 400 ribu barel solar per hari. Sementara itu, hanya kurang dari 10 persen dari tanah yang telah dan akan digunakan. Adalah isyarat bahwa utilisation tanah yang subur namun tidak optimal. Beberapa lembaga telah menanam jarak pagar


(39)

seperti PT Rekayasa Industri dan Bandung Institute of Teknologi (ITB) berlokasi di NTB dengan luas wilayah 12 hektar (30 ribu pohon).

PT Energi Alternatif Indonesia (48 ribu pohon), di Departemen Pertanian NTT (3000 pohon) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia di Indramayu (850 hektar). Pada saat yang sama, Perhutani juga telah menyiapkan 10 ribu hektar di Jawa sejak 2006 selama 5 tahun yang dapat menghasilkan 30 ribu ton biji jarak per tahun atau setara dengan 20 ribu ton minyak jarak. Kudus pemerintah daerah yang juga telah disediakan 35 hektar lahan untuk perkebunan minyak jarak. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Saat ini, total kebutuhan biodiesel mencapai 4.12 juta kiloliter per tahun. Sementara, kapasitas produksi pada tahun 2006 hanya 110 ribu per tahun kilolitre. Dalam kapasitas produksi tahun 2007 berencana untuk naik ke 200 ribu per tahun kilolitres. Produsen lainnya yang akan beroperasi pada tahun 2008, sehingga kapasitas produksi akan berjalan kaki ke sekitar 400 ribu per tahun kilolitres. Cetak biru yang Pengelolaan Energi Nasional telah menetapkan target untuk biodiesel produksi yang 0.72 juta kiloliters pada tahun 2010 untuk menggantikan 29 persen dari diesel bahwa kebutuhan konsumsi 200 ribu hektar perkebunan kelapa sawit dan 25 unit pengolahan dengan kapasitas 30 ribu ton per tahun. Mereka yang memiliki kegiatan nilai investasi sebesar Rp. 1.32 triliun hingga 4.7 juta kilo liter pada tahun 2025 untuk mengganti 5 persen dari konsumsi solar. Perlu 1.34 juta hektar kelapa sawit perkebunan dan 45 unit pengolahan dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun yang memiliki nilai investasi sebesar Rp. 9 triliun.


(40)

Dengan asumsi bahwa dengan penambahan produksi biodiesel sekitar 150 ribu kiloliter per tahun untuk periode 2006-2015, dan meningkat hingga 300 ribu kiloliter per tahun periode 2016-2025, sehingga target produksi biodiesel diproyeksikan sebagai berikut:

Tabel 7. Proyeksi Produksi Biodiesel, Tahun 2006 Sampai 2025

(Juta Kilo liter)

Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2015 2025

Produksi 110.0 262.5 415.0 567.0 720.0 1500 4.700 Rata-rata

tambahan per tahun

152.5 152.5 152.5 152.5 156.0 156.0 320.0

Sumber : Kementrian Pertanian, 2009

Saat ini, pabrik biodiesel yang dimiliki oleh BPPT dengan kapasitas produksi 1.5 ton per hari telah beroperasi di Kawasan Puspitek Serpong, dan diperkirakan pada Juli 2006 kedua pabrik biodiesel milik BPPT juga akan beroperasi dengan kapasitas 3 ton per hari. Kedua pabrik menggunakan berbagai jenis bahan baku seperti minyak kelapa sawit di berbeda kualitas, minyak jarak, dan kualitas minyak yang dihasilkan dari minyak goreng dan kopra limbah pabrik. Pabrik pengolahan biodiesel yang tidak perlu tinggi biaya investasi, sehingga dapat dikembangkan melalui unit kecil dan dikelola oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Sebagai gambaran, pabrik dengan produksi kapasitas 3 ton per hari hanya membutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 3.9 juta dan payback periode hanya sekitar 3 tahun.

Gatot (2003) menyatakan bahwa kondisi Biodiesel di Indonesia dari data-data dan penjelasan mengenai harapan biodiesel diketahui bahwa pemakaian solar di Indonesia sekitar 44 juta kiloliter/tahun. Dari angka ini, 6 juta kiloliter untuk kebutuhan industri dan Perusahaan Listrik Negara 12 juta kiloliter. Jika 20


(41)

persen dari kebutuhan Perusahaan Listrik Negara dan industri dapat diganti biodiesel maka kebutuhan biodiesel mencapai 3.60 juta kiloliter/tahun. Jumlah tersebut akan menjadi 4.12 juta kiloliter/tahun, jika sarana transportasi dengan kebutuhan 26 juta kiloliter solar, dapat memakai biodiesel 2 persen saja. Sementara kemampuan produksi biodiesel pada 2006 baru 110 000 kiloliter/tahun. Pada 2007 baru akan ditingkatkan kapasitasnya sampai 200.000 kiloliter/tahun. Dengan adanya faktor pertimbangan produsen lain pada tahun 2007, maka diperkirakan produksi biodiesel mencapai 400 000 kiloliter/tahun.

Kenyataan di atas sangat tergantung, pada situasi dan kondisi yaitu:

1. Mesin-mesin telah dirancang untuk berbahan bakar solar, apakah jika diganti biodiesel tidak timbul masalah baru berkaitan dengan permesinan ?. Jika timbul masalah baru dan perlu adanya mesin baru berbasis bahan bakar biodiesel maka jelas penggunaan solar tidak dapat ditinggalkan dalam waktu cepat, dan penggunaan biodiesel juga akan bergerak secara perlahan

2. Dari sisi harga, apakah ada jaminan jangka panjang bahwa harga biodiesel selalu lebih murah atau setidaknya sama dengan bahan bakar solar/bahan bakar minyak bumi? Hal ini juga sangat bergantung dari kemampuan memproduksi minyak jarak/kelapa sawit sebagai bahan baku minyak diesel, serta kondisi pasar dunia dengan segala dinamikanya.

3. Kondisi yang menguntungkan dari penggunaan biodiesel ini adalah faktor keamanan lingkungan dan dapat diperbaharui. Bagaimanapun dalam


(42)

masalah budidaya tananaman juga perlu diperhitungkan dampak lain seperti pengubahan fungsi hutan menjadi perkebunan jarak/kelapa sawit.

2.2.2. Bioethanol

Dalam rangka untuk mengganti penggunaan minyak tanah, terdapat gasohol sebagai energi alternatif dihasilkan oleh campuran antara minyak bumi dan bioethanol. Bioethanol adalah sumber dari karbohidrat yang dihasilkan dari potensi bahan baku seperti jagung, manis kentang, cassavas, sagu, dan tebu. Setelah melakukan fermentasi proses, Bioethanol akan dihasilkan. Menurut penelitian BPPT, tanaman jagung adalah sangat unggul bioethanol sebagai bahan baku utama, tidak hanya lebih murah tapi juga volume Bioethanol sebagai hasil lebih besar daripada tanaman lainnya seperti ubi jalar, ubi kayu, sagu dan tebu. Satu ton jagung menghasilkan 400 liter Bioethanol, sedangkan ubi jalar, ubi kayu, sagu dan tebu hanya menghasilkan 166.6, 125, 90, dan 250 liter bioethanol masing-masing. Jagung dapat menghasilkan 99.5 persen atau bahan bakar etanol grade etanol yang dapat digunakan untuk campuran gasohol. BPPT laboratorium yang telah diuji pada kendaraan roda empat dan menunjukkan bahwa sudut emisi karbon dan zat air arang dari Gasohol E-10 yang dibentuk dari campuran minyak bumi dan etanol 10persen lebih rendah dari campuran minyak bumi dan pertamax. Puntiran yang menguji kekuatan dan juga menunjukkan bahwa etanol 10 persen identik atau menampilkan kecenderungan lebih baik daripada pertamax. Etanol 35 persen terdiri dari oksigen, sehingga dapat meningkatkan efisiensi proses pembakaran mesin. Berdasarkan proyeksi dari Badan Pengkajian Penelitian Teknologi, jika pada tahun 2010, 20 persen dari 15 juta kilolitres dari bensin diganti oleh gasohol BE-10, akan diperlukan 100 ribu hektar manis kentang


(43)

perkebunan yang dapat menghasilkan 30 ton ubi jalar per hektar. Peternakan produk ini melibatkan 50 ribu petani. Profit yang dapat diperoleh oleh para petani ubi jalar dari pertanian ke industri pasokan gasohol sekitar Rp. 290 miliar per tahun. Dengan perkiraan permintaan gasohol untuk kendaraan di 2010 akan menjadi 200 ribu kiloliter, sedangkan pada tahun 2915 dan 2020 adalah 600 dan 1.1 kilo liter juta masing-masing. Dalam rangka untuk mencapai target, diperlukan gasohol pengembangan industri yang memiliki kapasitas 200 ribu kiloliter pada tahun 2010.

Menurut Badan Pengkajian Penelitian Teknologi (2006), saat ini terdapat 6 produsen etanol di Indonesia dengan total produksi 174 ribu kiloliter pada tahun 2002. Meski demikian, sebagian besar mereka masih memfokuskan bagaimana untuk memenuhi kebutuhan industri dan ekspor. Sementara, Indonesia Koordinasi investasi Board menyatakan bahwa sampai pertengahan tahun 2005 terdapat sebelas investor yang sudah siap untuk membangun pabrik Bioethanol dan biodiesel di Indonesia dengan kapasitas mulai dari 50 ribu hingga 150 ribu kilolitres per tahun. Tiga perusahaan di antaranya telah disiapkan untuk membangun Bioethanol pabrik di Lampung dan ini diprediksi akan selesai tahun depan dengan total kapasitas sampai kiloliter ke 300 ribu per tahun.

2.3 Kebijakan Pemerintah

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak pemerintah berperan aktif untuk menanggulangi masalah harga minyak yang makin meningkat dan cadangan yang makin menipis. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan biofuel dengan membentu tim nasional pengembangan Bahan Bakar Nabati sebagai upaya untuk mendukung pengembangan bahan bakar


(44)

nabati dengan menerbitkan blue print dan road map untuk mewujudkan pengembangan bahan bakar nabati tersebut. Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak. Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Ditambah dengan penerbitan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tertanggal 25 januari 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuels), sebagai energi alternatif .

Tabel 8. Sumber Energi Terbaharukan di Indonesia

Sumber : Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, 2008

Dalam rangka mengantisipasi kelangkaan energi di masa mendatang, perlu dikaji potensi sumber energi lain terutama energi yang dapat diperbarui. Indonesia diketahui memiliki berbagai macam sumber energi yang dapat diperbaharui seperti energi air, angin, matahari, panas bumi dan energi biomas.

Salah satu sumber energi biomas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah energi biomas yang berasal dari minyak kelapa sawit atau disebut biodiesel, selain itu dapat juga berasal dari jagung untuk menghasilkan

Jenis sumber energi Kapasitas terpasang (MW)

Hidro 4 200.00

Mikrohidro 206.00

Geotermal 807.00

Biomass 302.40

Surya 6.00


(45)

bioethanol. Beberapa bentuk alternatif energi yang dapat menggantikan minyak bumi untuk kebutuhan masyarakat banyak dapat dibagi dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut : Klasifikasi energi sama dengan klasifikasi sumber daya alam, antara lain energi tidak terbarukan dan energi terbarukan. Energi terbarukan merupakan energi yang dapat dihasilkan kembali, secara alami atau dengan bantuan manusia. Sedangkan energi tidak terbarukan merupakan energi yang dapat habis sekali pakai. Klasifikasi ini harus memperhatikan aspek lain, seperti aspek pemakaian (use) dan aspek komersial (commercial). Sumber energi, dilihat dari aspek pemakaian, terdiri atas energi primer dan energi sekunder.

Energi primer adalah energi yang diberikan oleh alam dan dapat langsung dikonsumsi walaupun belum diproses lebih lanjut. Sementara itu, energi sekunder adalah energi primer yang telah diproses lebih lanjut. Sebagai contoh, minyak bumi ketika baru digali dari dalam tanah masih merupakan energi primer. Namun, jika minyak bumi diproses lebih lanjut menjadi bahan bakar, maka bahan bakar ini adalah energi sekunder. Demikian pula bila air terjun dipasang alat pembangkit listrik, maka listrik yang dihasilkan merupakan energi sekunder, sedangkan air terjun itu sendiri disebut energi primer. Bila dilihat dari nilai komersial, maka sumber energi terdiri dari sumber energi komersial, sumber energi non-komersial, dan sumber energi baru. Energi komersial adalah energi sudah digunakan dan diperdagangkan dalam skala ekonomis. Energi non-komersial adalah energi yang sudah dipakai tetapi tidak dalam skala ekonomis. Energi baru adalah energi yang sudah dipakai tetapi masih dalam tahap pengembangan (pilot project). Energi baru belum dapat diperdagangkan karena belum mencapai skala ekonomi.


(46)

Secara ekonomi, jika harga energi fosil di level tingggi, biofuel akan kompetitif. Brazil memproduksi etanol dari tebu dengan biaya produksi hanya $0.16 per liter atau $26 per barrel sedangkan di Amerika Serikat sekitar $59 per barrel. . Namun diperkirakan untuk Indonesia biaya diproduksi di bawah $60 per barrel sehingga diperkirakan biofuel akan menjadi komoditi kompetitif. Dari berbagai sudut pandang tersebut hampir semua mendorong industri biofuel. Bagi sektor pertanian yang redup dan terpinggirkan kembali perlu diperhatikan, selama ini produk pertanian amat tergantung pada pasar tradisional (pangan, pakan dan sandang) dan sekarang mempunyai peluang besar diversifikasi di pasar energi. Dengan menurunnya harga minyak kelapa sawit akhir-akhir ini maka akan menambah kesempatan bagi pengusaha sawit yang mempunyai hasil produksi minyak kelapa sawit 17.2 ton per tahun untuk mengalokasikan sebagian sebagai bahan baku biofuel. Secara nasional kebutuhan Bahan Bakar Minyak Indonesia berbagai sektor cukup besar. Kebutuhan yang demikian besar ini terbentur dengan akses masyarakat terhadap perolehan yang masih terbatas, bukan saja karena kemampuan atau daya beli konsumen yang rendah, tetapi juga karena belum semua potensi sumberdaya energi yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal inilah yang menjadi satu alasan pemerintah untuk memberi subsidi Bahan Bakar Minyak kepada rakyat. Subsidi tersebut meliputi tiga jenis komoditas yaitu premium (20 juta kiloleter), solar (22 juta kiloliter) dan minyak tanah (12 juta kiloleter) yang menempati angka 63 persen dari energi final.

Informasi dari kementrian sumberdaya alam dan energi menyatakan ada beberapa alternatif tanaman yang merupakan prioritas utama dapat dijadikan biofuel yaitu Tanaman tebu, dan Singkong untuk menghasilkan Bioethanol


(47)

sedangkan tanaman sawit dan jarak pagar untuk menghasilkan biodiesel atau solar.

Sumber : Kementrian Ekonomi Sumer Daya Mineral, 2006 Gambar 2 . Bahan Baku Bahan Bakar Nabati

Pada Tabel 9, dapat dilihat tumbuhan yang memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi antara lain alpukat, jarak pagar, kelapa, kemiri dan kelapa sawit. Berdasarkan jumlah kandungan minyak yang dimiliki, alpukat memiliki kandungan minyak yang tertinggi. Kenyataannya, sawit dan jarak pagar memiliki kandungan minyak relatif lebih rendah, merupakan tanaman yang lebih banyak digunakan dalam pembuatan produk biodiesel. Hal ini didasarkan atas ketersediaan bahan baku, serta kemudahan di dalam proses budidaya tanaman itu sendiri. Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit yang terbesar di dunia sesudah Malaysia tentunya kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk menyediaka bahan bakar minyak khususnya bahan bakar minyak diesel atau disebut biodiesel. Sudah banyak pabrik-pabrik yang meproduksi bahan baku minyak kelapa sawit untuk dijadikan minyak diesel. Diharapkan produksi biodiesel ini dapat membantu mengatasi krisis energi yang dalam waktu dekat.


(48)

Tabel 9. Tumbuhan Penghasil Biodiesel Yang Dapat Dikembangkan di Indonesia

No Nama Indonesia Nama Latin Sumber Kadar

persen-Bkr

P/NP

1 Alpukat Hodgsonia

Macrodcarpa

Daging Buah 40-80 P

2 Jagung Zea Mays Germ 33 P

3 Jarak Kaliki Ricinus Comnunis Biji 45-50 P

4 Jarak Pagar Arachis Hypogea Biji 35-55 NP

5 Kapuk/randu Ceiba petandra Biji 24-40 NP

6 Karet Havea Brasiliensis Biji 40-50 P

7 Kayu manis Cinnamomun

burmani

Biji 30 P

8 Kecipir Psophocarpus

tetrag

Biji 15-20 P

9 Kelapa Cocos mucifera Daging Buah 60-70 P

10 Kemiri Aleurites

Moluccana

Inti Biji 57-69 NP

11 Padi Oryza Sativa Dedak 20 P

12 Pepaya Crica Papaya Biji 20-25 P

13 Rambutan Nephellium

lappacean

Inti Biji 37-43 P

14 Randu alas Bombax

malabaricum

Biji 18-26 NP

15 Sawit Elaeis guineensis Daging Buah 46-54 P

Sumber : Majalah Komoditi, 2006 Keterangan :

BKR : kering

P : minyak/lemak pangan (edible fat/oil) NP : minyak/lemak nonpangan(nonedible fat/oil)

2.4. Klasifikasi Sumber Energi

Dari klasifikasi sumber energi pada tabel 10 sesuai dengan rencana pemerintah dalam mengembangkan energi alternatif adalah berasal dari Bahan Bakar Nabati(BBN) atau biofuel. Yang termasuk dalam biofuel adalah biomassa dengan input tumbuhan, hewan dan senyawa organik. Adapun prospek pengembangan biofuel diarahkan pada biodiesel, bioetanol, biooil/biokeosene.

Dari beberapa macam energi baru yang terbarukan berikut biomassal salah satu yang sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia.


(49)

Tabel 10. Klasifikasi Sumber Energi Berdasarkan

ketersediaan

Berdasarkan nilai

komersial Berdasarkan pemakaian 1. Tidak terbarukan

• Minyak bumi • Batubara • Uranium • Bijih mineral 2. Terbarukan

• Tenaga angin • Tenaga air • Panas bumi • Tenaga surya • Samudera • Biomassa

1. Komersial

• Minyak bumi • Gas alam • Batubara • Tenaga air • Panas bumi • Uranium 2. Non komersial

• Kayu bakar • Limbah

pertanian 3. Energi baru

• Tenaga surya • Tenaga angin • Tenaga

Samudera • Biomassa

1. Primer

• Minyak bumi • Gas alam • Batubara • Tenaga air • Panas bumi 2. Sekunder

• Listrik • LPG • BBM • Gas alam • Briket • batubara

Sumber : Ditjen Migas, Kementrian Ekonomi Sumer Daya Mineral 2008 2.5. Tantangan Masa Depan Biofuel

2.5.1. Tantangan Produksi

Pengembangan bioethanol dan biodiesel perlu motor yang bergerak dan modal yang besar untuk keuangan budidaya bahan baku baik dalam hal pengadaan lahan, bibit, fertiliser obat atau aspek. Perusahaan besar yang beroperasi di perkebunan dan peternakan yang diharapkan dapat menjadi motor yang bergerak untuk usaha ini akibat tingginya biaya nya dan pengembangan pertanian.

Pada saat ini, beberapa kendala Bioethanol dan biodiesel untuk pembangunan yang ketersediaan lahan, pasar yang terbatas, dan user itu sendiri. Juga terdapat kemungkinan sosial halangan dalam pengembangan tanaman jarak


(1)

Model POLEIN Dependent Variable POLEIN Label POLEIN

Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 26048262 5209652 51.38 <.0001 Error 15 1520959 101397.3

Corrected Total 20 27569221

Root MSE 318.42939 R-Square 0.94483 Dependent Mean 1800.04762 Adj R-Sq 0.92644 Coeff Var 17.69005

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 263.6772 903.1146 0.29 0.7743 Interc HDSW 1 0.840008 0.601905 1.40 0.1832 HDSW HMGRSW 1 -1.98884 1.307991 -1.52 0.1492 HMGRSW HMGRIN 1 0.121984 0.022432 5.44 <.0001 HMGRIN HMDUNIA 1 10.64253 6.207105 1.71 0.1070 HMDUNIA HDSL 1 1.693001 0.541207 3.13 0.0069 HDSL

Durbin-Watson 2.25669 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation -0.14233 Model PSTRIN Dependent Variable PSTRIN Label PSTRIN Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1277670 255534.1 53.21 <.0001 Error 15 72038.88 4802.592

Corrected Total 20 1349709

Root MSE 69.30074 R-Square 0.94663 Dependent Mean 397.57143 Adj R-Sq 0.92884 Coeff Var 17.43102

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 46.16280 196.5475 0.23 0.8175 Interc HDSW 1 0.180874 0.130994 1.38 0.1876 HDSW HMGRSW 1 -0.42211 0.284662 -1.48 0.1588 HMGRSW HMGRIN 1 0.026796 0.004882 5.49 <.0001 HMGRIN HMDUNIA 1 2.426251 1.350871 1.80 0.0927 HMDUNIA HDSL 1 0.367483 0.117785 3.12 0.0070 HDSL

Durbin-Watson 2.253905 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation -0.14186


(2)

Model PDSL Dependent Variable PDSL Label PDSL Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 156.5370 31.30739 12.22 <.0001 Error 15 38.42511 2.561674

Corrected Total 20 194.9621

Root MSE 1.60052 R-Square 0.80291 Dependent Mean 13.03143 Adj R-Sq 0.73721 Coeff Var 12.28202

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 10.55231 1.054332 10.01 <.0001 Interc HDSL 1 -0.00665 0.003592 -1.85 0.0839 HDSL HMDUNIA 1 -0.09139 0.044714 -2.04 0.0589 HMDUNIA IMDSL 1 0.300451 0.237289 1.27 0.2248 IMDSL SBDL 1 0.000297 0.000169 1.76 0.0993 SBDL tolstr1 1 0.002165 0.000601 3.60 0.0026

Durbin-Watson 1.274424 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.338766 Model KDSL Dependent Variable KDSL Label KDSL

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 545.4984 109.0997 622.12 <.0001 Error 15 2.630519 0.175368

Corrected Total 20 548.1289

Root MSE 0.41877 R-Square 0.99520 Dependent Mean 20.46476 Adj R-Sq 0.99360 Coeff Var 2.04630

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.436494 0.563883 0.77 0.4509 Interct HDSL 1 0.001744 0.001065 1.64 0.1223 HDSL TRDL 1 0.897582 0.134118 6.69 <.0001 TRDL INDL 1 0.648736 0.200816 3.23 0.0056 INDL LISDL 1 1.353896 0.128572 10.53 <.0001 LISDL PDSL 1 0.099736 0.079156 1.26 0.2269 PDSL

Durbin-Watson 1.675462 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.013931 Model HDSL Dependent Variable HDSL Label HDSL


(3)

Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 851063.9 212766.0 10.99 0.0002 Error 16 309723.2 19357.70

Corrected Total 20 1160787

Root MSE 139.13196 R-Square 0.73318 Dependent Mean 337.42857 Adj R-Sq 0.66647 Coeff Var 41.23301

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 8.402205 172.3967 0.05 0.9617 Interc HDSW 1 -0.08882 0.242759 -0.37 0.7193 HDSW KDSL 1 1.546452 9.082042 0.17 0.8669 KDSL HMDUNIA 1 4.942850 2.760936 1.79 0.0923 HMDUNIA HDSLL 1 0.392615 0.224932 1.75 0.1001 HDSLL

Durbin-Watson 2.435773 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation -0.21861 Model IMDSL Dependent Variable IMDSL Label IMDSL

Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 240.3612 80.12039 62.32 <.0001 Error 17 21.85684 1.285697

Corrected Total 20 262.2180

Root MSE 1.13389 R-Square 0.91665 Dependent Mean 7.42000 Adj R-Sq 0.90194 Coeff Var 15.28148

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -2.98733 1.224150 -2.44 0.0259 Interc KDSL 1 0.805406 0.160900 5.01 0.0001 KDSL PDSL 1 -0.58008 0.183510 -3.16 0.0057 PDSL IMDSLL 1 0.207168 0.144709 1.43 0.1704 IMDSLL

Durbin-Watson 1.405911 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.170312 Model PMGRIN Dependent Variable PMGRIN Label PMGRIN

Analysis of Variance Sum of Mean


(4)

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 0.200191 0.100096 108.12 <.0001 Error 18 0.016664 0.000926

Corrected Total 20 0.216855

Root MSE 0.03043 R-Square 0.92316 Dependent Mean 0.33733 Adj R-Sq 0.91462 Coeff Var 9.01965

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.089061 0.032643 2.73 0.0138 Interc HMGRIN 1 0.000016 1.173E-6 13.57 <.0001 HMGRIN HDSW 1 0.000027 0.000051 0.52 0.6091 HDSW

Durbin-Watson 1.747983 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.107675 Model DMGRINT Dependent Variable DMGRINT Label DMGRINT

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 0.154983 0.051661 10.91 0.0003 Error 17 0.080520 0.004736

Corrected Total 20 0.235503

Root MSE 0.06882 R-Square 0.65809 Dependent Mean 0.27633 Adj R-Sq 0.59776 Coeff Var 24.90543

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.167130 0.050824 3.29 0.0043 Interc HMGRIN 1 -0.00001 5.947E-6 -2.50 0.0229 HMGRIN TOLSTR 1 0.000104 0.000025 4.15 0.0007 TOLSTR HMGRK 1 0.000080 0.000034 2.37 0.0296 HMGRK

Durbin-Watson 1.206591 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.392313


(5)

Model HMGRIN Dependent Variable HMGRIN Label HMGRIN

Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 4.7854E8 1.5951E8 9.37 0.0007 Error 17 2.8955E8 17032411

Corrected Total 20 7.681E8

Root MSE 4127.03416 R-Square 0.62303 Dependent Mean 14493.9988 Adj R-Sq 0.55650 Coeff Var 28.47409

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -3906.79 5140.313 -0.76 0.4576 Interc HMDUNIA 1 158.5705 50.14202 3.16 0.0057 HMDUNIA HDSW 1 13.68980 6.639952 2.06 0.0549 HDSW DMGRINT 1 7619.346 11117.37 0.69 0.5024 DMGRINT

Durbin-Watson 0.947199 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.161401

Model PMGRSW Dependent Variable PMGRSW Label PMGRSW

Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 54.91047 27.45524 13.04 0.0003 Error 18 37.89324 2.105180

Corrected Total 20 92.80371

Root MSE 1.45092 R-Square 0.59168 Dependent Mean 4.20571 Adj R-Sq 0.54632 Coeff Var 34.49887

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 -9.62390 2.875308 -3.35 0.0036 Interc HMGRSW 1 0.017070 0.003432 4.97 <.0001 HMGRSW HDSW 1 -0.00306 0.002568 -1.19 0.2488 HDSW

Durbin-Watson 0.838739 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.552735


(6)

Model DMGRSW Dependent Variable DMGRSW Label DMGRSW

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 21.91666 7.305552 184.18 <.0001 Error 17 0.674319 0.039666

Corrected Total 20 22.59097

Root MSE 0.19916 R-Square 0.97015 Dependent Mean 2.04671 Adj R-Sq 0.96488 Coeff Var 9.73085

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.466571 0.564243 0.83 0.4198 Interc HMGRSW 1 -0.00037 0.000742 -0.50 0.6222 HMGRSW tolstr1 1 0.000407 0.000092 4.44 0.0004

DMGRSWL 1 0.544222 0.161859 3.36 0.0037 DMGRSWL

Durbin-Watson 2.303609 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation -0.20084

Model HMGRSW Dependent Variable HMGRSW Label HMGRSW

Analysis of Variance Sum of Mean

Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 132024.8 66012.42 12.97 0.0003 Error 18 91595.82 5088.657

Corrected Total 20 223620.7

Root MSE 71.33482 R-Square 0.59040 Dependent Mean 927.66667 Adj R-Sq 0.54488 Coeff Var 7.68970

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 605.6058 79.52577 7.62 <.0001 Interc HMDUNIA 1 2.751484 0.664844 4.14 0.0006 HMDUNIA HDSW 1 0.297542 0.113247 2.63 0.0171 HDSW

Durbin-Watson 1.012759 Number of Observations 21 First-Order Autocorrelation 0.390547