I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi pertanian di Indonesia adalah dengan cara ekstensifikasi pertanian, diantaranya dengan pemanfaatan
tanah ultisol yang merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas yaitu mencapai 47,5 juta ha Subagyo et al. 2004, terutama yang
berasal dari bahan dasar sedimen seperti pada tipe hapludults Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2000. Tipe tersebut memiliki pH tanah yang sangat
rendah berkisar pada pH 4 dan memiliki kandungan aluminium tinggi Prasetyo Suriadikarta 2006. Bentuk Al
3+
banyak ditemui pada tanah dengan pH berkisar 4 dimana konsentrasi Al dalam larutan air tanah dapat melebihi 100 µM Okada
Wissuwa 2004. Keberadaan Al dalam tanah, terutama dalam bentuk Al
3+
akan sangat berbahaya dan merupakan racun bagi tanaman, karena akan mengganggu
perpanjangan akar dan menghalangi daya tukar kation lain misalnya Ca
2+
, Mg
2+
, dan K
+
. Salah satu cara untuk mengatasi kandungan Al yang sangat tinggi tersebut
adalah dengan melakukan perakitan tanaman yang memiliki ketahanan terhadap keracunan Al. Untuk itu, pencarian sumber daya genetik untuk gen-gen yang
menyebabkan tanaman toleran terhadap Al perlu dilakukan. Tanaman yang dapat menjadi sumber gen toleransi terhadap keracunan Al antara lain berasal dari famili
Melastomataceae yang dapat ditemui terutama di daerah tropis. Menurut Jansen et al.
2002, Melastomataceae merupakan tanaman akumulator unsur logam termasuk Al. Sebagai contoh Melastoma malabraticum yang mampu
mengakumulasi lebih dari 10000 mg Alkg daun tua dan lebih dari 7000 mg Alkg daun muda tanpa mengalami keracunan Watanabe et al. 2003. Analisis
akumulasi Al pada Melastoma affine L. yang mendapat cekaman 3,2 mM Al pada pH 4 dalam media cair menunjukkan bahwa M. affine L. mampu mengakumulasi
8,81 mg Alg daun tua setelah 2 bulan Mutiasari 2008. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman ini memiliki mekanisme toleransi terhadap Al sehingga dapat
menjadi salah satu sumber gen ketahanan terhadap cekaman pH rendah dan Al tinggi.
Menurut Hall 2002, terdapat beberapa mekanisme seluler untuk toleransi terhadap logam yang berbahaya, dan salah satunya dengan memproduksi
metallothionein. Metallothionein MT merupakan protein yang banyak mengandung sistein dan berfungsi sebagai peptida pengikat logam metal binding
peptides . Cobbett dan Goldbrough 2002 membagi MT menjadi empat macam
berdasarkan pada susunan residu sistein cys yang dimiliki, yaitu MT tipe 1, MT tipe 2, MT tipe 3 dan MT tipe 4. MT tipe 1 MT1 tersusun atas enam motif Cys-
Xaa-Cys Xaa menunjukkan asam amino selain cystein yang terdistribusi pada dua wilayah secara seimbang. MT tipe 2 memiliki dua wilayah yang kaya Cys,
dengan motif susunan cystein berupa Cys-Cys pada asam amino ke tiga dan keempat dari protein ini. Selain itu MT tipe 2 MT2 memiliki motif Cys-Gly-
Gly-Cys pada akhir N-terminal dari wilayah cystein-rich dan pada wilayah C- terminal terdapat 3 motif Cys-Xaa-Cys. MT tipe 3 MT3 hanya terdiri dari empat
residu Cys yang ada pada wilayah N-terminal. Tiga residu pertama membentuk motif Cys-Gly-Asn-Cys-Asp-Cys. Sedangkan residu yang keempat membentuk
motif tersendiri yaitu Gln-Cys-Xaa-Lys-Lys-Gly. MT tipe 4 MT4 berbeda dari kelompok MT tanaman yang lainnya karena memiliki tiga wilayah cystein-rich
yang masing-masing memiliki 5 sampai 6 residu cystein yang biasanya membentuk motif Cys-Xaa-Cys.
Menurut Duncan et al. 2006, motif dan susunan residu cys yang dimiliki oleh MT diduga berkaitan dengan kemampuan MT mengikat logam dan
kestabilan protein. Pada hewan, logam akan terikat pada residu cys dalam formasi logam-cys-thiolate dengan cara pertukaran ion logam misalnya ion Zn
tergantikan dengan ion Cu, Cd, atau Hg Duncan et al. 2006 dan bisa juga terjadi pengikatan logam yang berbeda pada saat bersamaan seperti yang terjadi pada
alga coklat Fucus vesiculosus yang mampu mengikat Cu dan Cd sekaligus Zimeri et al. 2005. Hasil penelitian Zimeri et al 2005, menunjukkan bahwa
pada arabidopsis, pemberian Cd akan meningkatkan stabilitas MT1. Namun mekanisme pertukaran ion logam dan pengikatan ion logam tersebut masih belum
diketahui secara pasti. Selama ini, penelitian terhadap jenis logam yang mampu menginduksi
ekspresi MT masih sangat terbatas, yaitu hanya pada tembaga Cu, seng Zn,
kadmium Cd, dan aluminium Al Robinson et al. 1993; Hall 2001; Snowden Gardner, 1993; Snowden et al, 1995. Pada tanaman Silene vulgaris Hoof et al.
2001 dan arabidopsis Murphy Taiz, 1995, ekspresi MT2 terinduksi oleh Cu dan keberadaan gen penyandi MT2 membuat mutan kapang yang sensitif terhadap
Cu mampu tumbuh dengan penambahan Cu pada medianya Hoof et al, 2001. Selain terinduksi oleh logam, ekspresi gen MT terinduksi oleh cekaman oksidatif
pada jaringan gabus Mir et al, 2004, terekspresi saat fase senesen pada daun Buchanan-Wallaston, 1994, dan saat pematangan buah Davies Robinson,
2000. Beberapa gen yang ekspresinya diinduksi oleh Al telah berhasil diisolasi
dan dikarakterisasi dari gandum, diantaranya adalah gen penyandi MT Snowden Gardner, 1993; Snowden et al, 1995. Suharsono et al 2009 telah mengisolasi
cDNA gen penyandi MT2 dari Melastoma affine L MaMt2. MaMt2 diduga berperan dalam toleransi M. affine terhadap cekaman Al. Untuk mengetahui
peranan MaMt2 terhadap Al, maka analisis ekspresi MaMt2 di M. affine L. yang mendapat cekaman Al sangat penting dilakukan.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ekspresi gen penyandi MT2 dari Melastoma affine L. yang mendapat cekaman pH rendah dan
Al.
1.3 Hipotesis Penelitian
- Ekspresi gen penyandi MT2 pada daun dan akar Melastoma affine L. akan
meningkat bila mendapat cekaman pH rendah. -
Ekspresi gen penyandi MT2 pada daun dan akar Melastoma affine L. akan meningkat bila mendapat cekaman Al.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mekanisme Toleransi Terhadap Aluminium Al