BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam dapat dikatakan sebagai “lumbung” dalam setiap referensi mengenai ilmu. Islam secara doktrinal sangat mendukung pengembangan
ilmu, sebagaimana dalam Alquran surat al-Alaq: 1-5 yang berintikan dorongan bagi umat Islam muslimin untuk mengembangkan dan menggunakan akal
pikirannya atau dengan kata lain untuk menuntut ilmu. Motivasi lain agar umat Islam menuntut ilmu juga ditekankan dalam hadis nabi.
1
Dengan demikian Alquran dan Hadis merupakan sumber bagi pengembangan ilmu, baik ilmu-ilmu agama ataupun ilmu-ilmu umum.
Pengembangan pendidikan dengan ciri Islam merujuk pada sumber Alquran dan Hadis. Sebagaimana halnya dengan pendidikan pada umumnya,
pendidikan Islam juga melibatkan aspek-aspek normatif. Oleh sebab itu, pendidikan Islam juga mengarah kepada pembinaan moral akhlaq, juga
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia hablum min an nas dan hubungan manusia dengan Tuhannya hablum min Allah.
Dari pemaparan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Alquran dan Hadis merupakan sumber bagi ilmu-ilmu Islam. Menurut Prof.
DR. Azyumardi Azra, MA., selain sebagai sumber pokok Islam Alquran dan Hadis juga memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan
ilmu-ilmu. Setidaknya ada dua peran yang disandarkan kepada Alquran dan
1
“Menuntut ilmu itu fardhu wajib bagi muslimin dan muslimat” HR Bukhori dan Muslim
Hadis, yaitu: Pertama, prinsip-prinsip seluruh ilmu dipandang kaum muslim terdapat dalam Alquran. Kedua, Alquran dan Hadis menciptakan iklim yang
kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apapun berujung pada
penegasan tauhid Azra, 1999:13. Disinilah para pendidik harus menyusun konsep pendidikan Islami
yang sesuai dengan perubahan zaman beserta tantangannya dan mampu menatap masa depan. Dengan asumsi bahwa Islam memiliki daya terhadap
berbagai perubahan apalagi dalam dunia era globalisasi dewasa ini dan di masa mendatang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial
budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam pada khususnya. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa masyarakat muslim tidak
bisa menghindar diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif .
Pendidikan Islami yang diterapkan selayaknyalah menempatkan manusia sesuai dengan Alquran surat Adz-Zariyat 51 : 56 yang berbunyi:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepada-Ku” Al-Hikmah. 1980:326
Dari ayat tersebut di atas, maka tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang taat sepenuhnya kepada Allah dalam gerak-gerik,
tingkah laku, tindakan, dan kegiatan hidupnya Thalib, 2001: 17. Oleh karena itu, tidak ada perbuatan atau tingkah lakunya yang menyimpang dari perintah
atau larangan Allah dan ia selalu melaksanakan apa yang menjadi anjuran Allah untuk dikerjakannya selama hidup di dunia Thalib, 2001: 17.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan abdullah hamba Allah. Untuk
mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi di dalam dirinya.
Al-Ghazali menegaskan bahwa manusia diciptakan dari tubuh luar dan makna batin ma’ni-yi bathin. Yang terakhir dinamakan
nafs jiwa, jan ruh, dil hati Takashita, 2005: 112. Dalam pandangan Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Prof. DR.
Sutrisno, M.Ag, pendidikan Islam dipahami sebagai proses untuk menghasilkan manusia ilmuwan integratif, yang padanya terkumpul sifat-
sifat kritis, dinamis, inovatif, progresif, adil, dan jujur Sutrisno, 2008: 42. Pendidikan dalam pegertian ini, sebagaimana pendidikan pada umumnya,
memiliki berbagai faktor, seperti peserta didik, pendidik, kurikulum, sarana, dan lingkungan.
Dengan mendasarkan pada Alquran, tujuan pendidikan Islam menurut Rahman adalah untuk mengembangkan manusia—sedemikian rupa—sehingga
semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memunginkan manusia untuk memanfaatkan
sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia Sutrisno, 2008:42.
Kedepannya pendidikan agama Islam selayaknyalah diorientasikan pada upaya membangun mentalitas yang berkarakter. Obyeknya adalah
pembangunan manusia-manusianya, bukan hanya pembangunan insfrastruktur yang serba mewah, melainkan pada konstruksi mentalitas manusia-
manusianya, agar selaras dengan nilai-nilai yang menjadi acuan nilai-nilai agama Mu’arif, 2008: 54.
Mengapa pendidikan agama yang berorientasi pada pembangunan mentalitas perlu dikedepankan? Adanya panutan nilai, moral, dan norma
dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu.
Oleh karena itu, pendidikan agama yang mengarah pada pembentukan moral yang sesuai dengan norma-norma kebenaran menjadi sesuatu yang esensial
bagi pengembangan manusia utuh dalam konteks sosialnya. Ini mengingat bahwa dunia afektif yang ada pada setiap manusia harus selalu dibina secara
berkelanjutan, terarah, dan terencana sehubungan dengan sifatnya yang labil dan kontekstual.
Untuk dapat melakukan pendidikan agama tersebut, tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan oleh guru saja. Pendidikan moral dapat
dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Meskipun demikian, umumnya disebut tiga lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan
pendidikan moral, yakni lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat.
Dari pemikiran di atas, maka pendidikan Islam merupakan proyek masa depan dalam rangka membangun mentalitas bangsa yang berkarakter.
Dalam konteks sekarang, pendidikan agama Islam harus melakukan instrospeksi diri dan memperbarui sistemnya. Sistem yang diterapkan haruslah
sistem yang dinamis, mengikuti alur perubahan zaman akan tetapi tetap mempunyai karakter keislaman yang jelas. Juga dalam hal metode
pembelajarannya yang seringkali mengundang kritik karena kurang bersahabat dalam pespektif pendidikan kritis. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang
dilaksanakan masih banyak yang menerapkan sebatas proses transformasi pengetahuan belaka.
Metode pembelajaran
pendidikan Islam
setidaknya harus
memperhatikan dan mengakomodir kepentingan-kepentingan murid dalam rangka pengembangan potensi-potensi mereka. Disamping itu juga harus ada
keseimbangan antara pengetahuan agama moral dan orientasi dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian pendidikan
Islam yang dilaksanakan dapat dijadikan sebagai pendidikan alternatif dalam upaya mengantisipasi krisis moralitas bangsa yang semakin hari semakin
kronis. Pendidikan sebagai perisai moral, menempatkan posisi guru agama
Islam menjadi semakin sentral.Guru menempati posisi strategis bagi lahirnya generasi baru sebagaimana cita-cita sebuah bangsa dan masyarakat. Citra guru
berkembang dan berubah sesuai perkembangan dan perubahan konsep dan perubahan persepsi manusia terhadap pendidikan. Perubahan menjadi penting
untuk terjadi, manakala pendidikan dipandang sebagai usaha menguasai pengetahuan baik teotitik maupun praktis. Seluruh komponen pendidikan
diarahkan untuk maksud tersebut dan profesi guru dikonsep sebagai kemampuan memberi dan atau mengembangkan pengetahuan peserta didik,
tidak terkecuali pebgetahuan tentang moral—secara teoritik—dan mampu mewujudkan perilaku moral yang praktis.
Guru yang jabatannya dalam bidang studi moral dan agama akhlak mempunyai posisi yang lebih berat—dalam kacamata masyarakat—
dikarenakan menjadi ujung tombak dalam mengembangkan pengetahuan anak mengenai moral teoritis dan perilaku keseharian anak didik, baik di sekolah,
keluarga, dan masyarakat. Oleh karena itu, cara pandang seperti menempatkan guru terbebabni dengan kewajiban yang cukup berat. Padahal untuk
mewujudkan keberhasilan suatu pendidikan diperlukan seluruh elemen yang terkait dengan pendidikan tersebut.
Praktik pendidikan seperti ini telah menjadikan kepribadian seseorang anak didik menjadi tanggungjawab penuh para guru moral dan agama.
Karena itulah setiap kasus perilaku buruk dari peserta didik selalu dikembalikan pada tanggungjawab moral dan agama tersebut. Terlepas dari itu
semua, guru yang ideal harus terus meningkatkan kecakapan profesi sekaligus memperkaya informasi mengenai perkembangan pengetahuan dan berbagai
dinamika kehidupan modern Mulkhan, 2003: 248. Dengan cara seperti tersebut, akan menjadikan guru moral dan agama semakin siap dengan
tanggungjawab yang diembannya yaitu, melakukan pendidikan agama dan
mampu mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Jangka panjangnya adalah, dengan ketrampilan mengajar yang dimiliki serta kompetensi
pengetahuan yang ada akan semakin mempermudah dalam pembinan moral peserta didik, baik di sekolah, lingkungan keluarga, atau dalam masyarakat.
Berangkat dari hal tersebut, maka penulis mengajukan judul dalam penelitian ini adalah: ”PENDIDIKAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN
AGAMA ISLAM Perbandingan di SMP Muhammadiyah dan MTs. NU Kota Salatiga”
B. Fokus Penelitian