Keanekaragaman Serangga Predator Pada Berbagai Tingkatan Umur Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Kabupaten Sarolangun, Jambi.

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PREDATOR PADA
BERBAGAI TINGKATAN UMUR KELAPA SAWIT (Elaeis
guineensis Jacq.) DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

AZRU AZHAR

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Keanekaragaman
Serangga Predator pada Berbagai Tingkatan Umur Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Kabupaten Sarolangun, Jambi” adalah benar karya Saya
dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Azru Azhar
NIM A34100048

ABSTRAK
AZRU AZHAR. Keanekaragaman Serangga Predator pada Berbagai Tingkatan
Umur Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI.
Perkebunan kelapa sawit sering dikaitkan dengan keanekaragaman hayati
yang rendah karena menurunnya kompleksitas habitat yang ada. Keanekaragaman
hayati yang semakin menurun mampu mengakibatkan ledakan hama karena
menurunnya keanekaragaman musuh alami, terutama predator. Salah satu aspek
keanekaragaman yang penting dalam suatu ekosistem adalah adanya serangga
predator, terutama semut. Semut sangat penting karena berpotensi untuk
mengurangi kepadatan serangga herbivor. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari keanekaragaman serangga predator, terutama semut pada berbagai
tingkatan umur kelapa sawit serta mengetahui potensi semut sebagai predator.

Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sarolangun,
Jambi dari Februari hingga April 2014. Perkebunan kelapa sawit dipilih
berdasarkan perbedaan umur, yaitu 4, 6, 8, dan 10 tahun. Di setiap umur kelapa
sawit ditentukan empat plot pengamatan sebagai ulangan. Pengamatan dan
metode pengambilan contoh yang dilakukan pada setiap plot adalah pengambilan
langsung, perangkap pitfall, pemasangan umpan, dan beating tray. Untuk
mengetahui potensi semut dilakukan juga uji predasi khususnya pada semut
dominan yang ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur tidak
berpengaruh terhadap keanekaragaman serangga predator. Famili serangga
predator yang ditemukan adalah Formicidae, Coccinellidae, Carabidae,
Reduviidae, Anthocoridae, Mantidae, Chrysopidae, Staphylinidae, Mantispidae,
dan Libellulidae. Semut (Formicidae) adalah predator yang paling sering
ditemukan. Keanekaragaman semut pada strata pohon relatif lebih tinggi
dibanding pada strata tanah. Meningkatnya aktifitas manusia di perkebunan
kelapa sawit yang lebih tua meningkatkan keberadaan spesies semut tramp,
Anoplolepis gracilipes. Dominansi A. gracilipes mampu memengaruhi komunitas
semut lainnya. Hasil uji predasi menunjukkan bahwa A. gracilipes dan
Crematogaster sp.2 hanya menyerang Pseudococcus sp.
Kata kunci: hama tropika, predasi, semut, transformasi habitat.


ABSTRACT
AZRU AZHAR. Diversity of Insect Predators in Different Age of Oil Palm
Plantation in Sarolangun, Jambi. Supervised by DAMAYANTI BUCHORI
Oil palm plantation is usually associated with low biodiversity due to the
loss of habitat complexities. The loss of biodiversity may have an impact toward
pest outbreaks, since predator diversity and abundance might be low. One aspect
of biodiversity that is important in the ecosystem is the presence of insect
predators, particularly ants. Ants are important since it can potentially reduce
herbivore insects populations. The objective of this research was to study the
diversity of predators, especially ants on different age of oil palm plantation. The
research was conducted in the oil palm plantations in Sarolangun, Jambi from
February until April 2014. Oil palm plantations were selected based on
differences in ages, i.e. 4, 6, 8, and 10 years of age. From each age, four plots
were selected and used as repetition. Insect predators were collected using pitfall
traps, tuna bait, and beatting tray. Direct observations were also used, whereby
ants were directly collected. All specimens were identified to morphospecies at
the family level. To determine the ability of several ants to function as predators, a
predation test was performed for several of the dominant ants. The results of the
research showed that age does not influence the diversity of insect predators. The
predators found were Formicidae, Coccinellidae, Carabidae, Reduviidae,

Anthocoridae, Mantidae, Chrysopidae, Staphylinidae, Mantispidae, and
Libellulidae. Ants (Formicidae) was the most common predators. Diversity of ants
on the tree was relatively higher than on the ground. Increasing human activities
in older oil palm plantations increased the presence of tramp ant species,
Anoplolepis gracilipes. The presence of the dominant ant, A. gracilipes seems to
influence other ant communities. Predation tests that were conducted on A.
gracilipes and Crematogaster sp.2 and showed that these ants only attack
Pseudococcus sp.
Keywords: ants, habitat transformation, predation, tropical pests.

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KEANEKARAGAMAN SERANGGA PREDATOR PADA
BERBAGAI TINGKATAN UMUR KELAPA SAWIT (Elaeis
guineensis Jacq.) DI KABUPATEN SAROLANGUN, JAMBI

AZRU AZHAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul
“Keanekaragaman Serangga Predator pada Perbedaan Tingkatan Umur Kelapa
Sawit (Elaeis gueneensis Jacq.) di Kabupaten Sarolangun, Jambi: Fokus Studi
pada Semut”. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sarolangun, Jambi dan
Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, IPB Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga September 2014.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Taubah, Ibu Suchaela, Aini Hayati serta keluarga besar penulis yang
telah mendoakan dan memberikan dukungan yang luar biasa kepada penulis.
2. Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah banyak memberikan masukan, bimbingan, saran dan motivasi selama
pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.
3. Seluruh dosen dan staff kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas bimbingan, ajaran, serta ilmu yang
telah diberikan selama masa perkuliahan.
4. Dr. Akhmad Rizali, S.P M.Si atas bantuan dan kesediaannya untuk mengecek
ulang specimen dan bantuan identifikasi hingga tingkat morfospesies serta atas
bantuan dan bimbingan selama penelitian di lapangan.

5. Lisa Denmead, M.Sc dan tim CRC 990 – Ecological and Socioeconomic
Function of Tropical Lowland Rainforest Transformation Systems atas
kerjasama penelitian dan segala bantuan sarana dan prasarana yang telah
diberikan.
6. Ria Kartika, S.P, Tri Utami Ningsih, Dery Ramdhan P, Lena Ayu Apriliani,
Bayu Aji Pamungkas, S.P, Zulfahmi, S.P dan M. Nur Huda, S.P atas bantuan,
masukan dan motivasi selama melaksanakan penelitian di Jambi
7. Rekan-rekan Lab Pengendalian Hayati, Bu Adha, Mbak Ratna, Mbak Laras,
Mbak Manda, Kak Cici, Kak Winda, Kak Nika, Kak Rizky serta rekan yang
lainnya yang telah banyak membantu selama penelitian di laboratorium
8. Rekan-rekan Departemen Proteksi Tanaman angkatan 47, khususnya Aulia
Rahman, Ina Rubiatul H, Tri Dasa Angga P, Jayang Arumansyah, Martua
Fransisko S, Arlina Maharatih, Nur Afni Putri, Tri Utami N, Supriyanto dan
Frizka Trianada, yang telah banyak memberi warna kehidupan bagi penulis
selama perkuliahan hingga penelitian ini berakhir.
Semoga kebaikan dan perhatian yang telah diberikan mendapat balasan
yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari skripsi ini tak lepas dari kesalahan,
namun semoga karya ini dapat bermanfaat dan menjadi ilmu bagi siapapun yang
membacanya.
Bogor, Februari 2015

Azru Azhar

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

1
1
3
3

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Survei dan Penentuan Lokasi
Penentuan Unit Pengamatan
Pengambilan Sampel
Pengambilan langsung
Perangkap pitfall
Baiting trap
Beating tray
Identifikasi
Uji Predasi

Analisis Data

4
4
4
4
4
6
6
6
7
7
7
7
8
8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Serangga Predator serta Aktivitas Predasi yang
Ditemukan

Keanekaragaman Semut
Dominansi Spesies Semut
Hasil Uji Predasi Semut pada Hama

9
9
13
15
16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

17
17
17

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP

29

viii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Lokasi dan habitat sekitar perbatasan plot penelitian
Jumlah individu famili serangga predator pada berbagai tingkatan
umur di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Jumlah individu famili serangga predator yang didapat dari tiap
metode yang digunakan
Aktivitas predasi yang ditemukan di lapangan
Kekayaan subfamili dan spesies semut pada berbagai tingkatan umur
kelapa sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi

6
10
12
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Peta plot penelitian di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Ilustrasi plot penelitian
Skema plot penelitian
Kurva akumulasi spesies serangga predator pada berbagai tingkatan
umur kelapa sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Box-plot kekayaan spesies semut pada strata pohon dan tanah di
berbagai umur
Grafik persentase kehadiran semut, (a) spesies semut dominan dan
(b) spesies semut hutan pada tiap umur kelapa sawit

5
6
7
11
15
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Foto spesimen famili serangga predator yang ditemukan di lapangan
Tabel jumlah individu spesies semut yang ditemukan pada berbagai
tingkatan umur kelapa sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Foto spesimen spesies semut dominan dan spesies semut hutan yang
ditemukan di lapangan

22
23
27

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditas perkebunan
yang penting dan sangat berperan dalam peningkatan perekonomian Indonesia
karena permintaan pasar dunia yang semakin tinggi, selain itu kelapa sawit
menjadi produk ekspor terbesar kedua di Indonesia. Produksi minyak sawit di
Indonesia pada tahun 2011 mencapai 22.51 juta ton (Deptan 2013) dan produksi
tersebut menyumbangkan 14.4% ke dalam produksi bruto pada tahun 2010
(World Growth 2011).
Provinsi Jambi merupakan daerah yang mempunyai hutan hujan tropis di
dataran rendah dan juga salah satu daerah penghasil kelapa sawit terbesar untuk
Indonesia setelah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Sumatera
Selatan, dengan kontribusi 6.87% terhadap total produksi minyak kelapa sawit di
Indonesia (Deptan 2013). Selain minyak kelapa sawit, produk hasil olahan kelapa
sawit dapat berupa minyak goreng, produk makanan dan juga kosmetik.
Kelapa sawit pada dasarnya tidak mampu tumbuh baik pada ekosistem
hutan primer dan savana (Corley dan Tinker 2003). Pada tahun 2000, luas areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 4 juta ha dan pada tahun 2011 telah
bertambah luas menjadi 8.91 juta ha (Deptan 2013). Hal itu menyebabkan
semakin banyak transformasi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit
(Fitzherbert et al. 2008).
Permasalahan produksi kelapa sawit tidak pernah lepas dari serangan hama
kelapa sawit. Serangan hama mampu menyebabkan penurunan produksi kelapa
sawit. Ulat api dan ulat kantung merupakan hama penting kelapa sawit yang
mampu menyebabkan kehilangan hasil yang signifikan (Kalshoven 1981).
Serangan hama tersebut mampu menurunkan produksi sebesar 69% pada tahun
pertama dan bertambah hingga 96% setelah tahun kedua (Simanjuntak et al. 2011;
Rozziansha et al. 2011). Serangan hama kelapa sawit dimulai dari masa
pembibitan hingga tanaman menghasilkan, serangan lebih lanjut mampu
menyebabkan kematian tanaman (Corley dan Tinker 2003). Berkaitan dengan hal
itu maka diperlukan teknik pengendalian serangga hama terutama yang berbasis
penerapan teknologi yang ramah lingkungan dan konservasi alam.
Teknik pengendalian serangga hama yang sesuai dengan kesepakatan
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah pengendalian hayati yang
menerapkan teknik pengendalian serangga hama dengan memanfaatkan musuh
alaminya (Fricke 2008). Pada ekosistem dengan keanekaragaman vegetasi yang
rendah, peluang terjadinya dominasi herbivor yang akhirnya menjadi hama, sangat
tinggi (van Emden 1991). Oleh karena itu, perlu dilakukan praktek manajemen
yang dapat menekan populasi herbivor dengan menjaga keanekaragaman hayati
lokal di perkebunan.
Sahari (2012) menyatakan bahwa perbedaan umur kelapa sawit berpengaruh
terhadap struktur komunitas serangga, khususnya Hymenoptera parasitika.
Tingkatan umur yang beranekaragam ini tentu akan mengakibatkan perubahan
terhadap kompleksitas vegetasi yang hidup di dalamnya juga terhadap agens
hayati (Perovic et al. 2010). Usaha yang dapat digunakan untuk mempertahankan

2

keberadaan agens hayati adalah dengan memanipulasi lingkungan agar
mendukung keberlangsungan hidup agens hayati.
Predator merupakan hewan yang membunuh, memangsa dan memakan
seluruh atau sebagian bagian dari mangsanya dan membutuhkan banyak mangsa
untuk terus berkembang (Price et al. 2011). Kelompok serangga predator paling
dominan umunya berasal dari ordo Coleoptera (famili Coccinellidae, Carabidae,
dan Staphylinidae), Neuroptera (famili Chrysopidae), Hymenoptera (famili
Formicidae), Diptera, Hemiptera (famili Reduviidae), Odonata (famili
Libellulidae) dan ordo Mantodea (famili Mantidae) (Borror et al. 1996).
Keanekaragaman serangga predator pada suatu ekosistem sangat penting untuk
diketahui, terutama dalam kaitan penekanan populasi serangga hama melalui
pengendalian hayati. Semakin beragamnya keanekaragaman predator pada suatu
ekosistem mampu menekan kerugian hasil akibat serangga hama (Furlong 2010).
Berdasarkan penelitian Fayle et al. (2009), alih fungsi lahan dari hutan primer
menjadi perkebunan kelapa sawit mampu menyebabkan perubahan
keanekaragaman serangga predator, khususnya semut.
Salah satu agens hayati yang mungkin digunakan untuk pengendalian hama
di perkebunan kelapa sawit adalah semut. Semut (Hymenoptera: Formicidae)
adalah salah satu famili serangga yang penyebarannya sangat luas. Semut
mempunyai peranan penting dalam ekosistem yaitu dapat digunakan untuk
membantu memahami kaidah ekologi dan biomonitoring konservasi, sebagai
polinator dan penyebaran biji dan juga sebagai bioindikator predator pada
serangga herbivor (Rizal et al. 2011). Menurut Ness et al. (2010), semut mampu
mengurangi terjadinya akumulasi embun madu yang menjadi embun jelaga karena
semut memakan embun madu tersebut. Selain mampu menghambat tebentuknya
embun jelaga, semut diketahui juga memiliki kemampuan untuk mengurangi
populasi hama. Semut Oecophylla mampu mengurangi populasi hama pada
mangga di Australia, jeruk di Vietnam dan kakao serta kelapa di Asia dan Afrika,
yang menjadikan semut Oecophylla menjadi predator penting pada pertanaman
tersebut (Peng dan Christian 2010). Semut hitam Dolichoderus thoracicus pada
perkebunan kakao di Sulawesi mampu menekan serangan Helopeltis spp (Anshary
dan Pasaru 2008). Pentingnya semut sebagai predator dalam pertanian semakin
diakui karena semut dapat mengurangi kepadatan larva Lepidoptera pada
agroekosistem kopi (Perfecto dan Vandermeer 2006).
Semut merupakan hewan yang sangat sensitif terhadap perubahan dan
gangguan yang ada pada suatu habitat. Perubahan serta gangguan habitat mampu
mengubah komposisi spesies semut yang ada sehingga berpengaruh terhadap
perubahan interaksi tropik dan jaring makanan yang ada pada ekosistem tersebut
(Philpott et al. 2010). Rubiana (2014) menyatakan bahwa modifikasi serta
transformasi habitat dari hutan menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit
menyebabkan perubahan terhadap struktur komunitas semut. Berdasarkan
penelitian Alamsari (2014), keanekaragaman semut pada perkebunan kelapa sawit
dinilai lebih tinggi dibanding perkebunan karet, hutan sekunder dan hutan primer
serta didominasi oleh semut predator dan omnivor. Keberadaan semut predator
dan omnivor pada suatu ekosistem berpotensi untuk menekan populasi serangga
hama karena semut termasuk predator yang mempunyai kisaran mangsa yang
cukup luas.

3

3

Semut adalah predator yang penting, dan diprediksikan dapat melindungi
tanaman dari hama jika dapat dimengerti dan diteliti dengan benar (Philpott dan
Armbrecht 2006). Untuk itu penelitian yang mempelajari keanekaragaman musuh
alami terutama predator hama kelapa sawit pada berbagai tingkatan umur kelapa
sawit serta potensi semut sebagai predator menjadi kajian sangat penting untuk
pengelolaan sistem pertanian yang berorientasi pada pengendalian terpadu. Hasil
yang diperoleh dapat dijadikan sebagai acuan rekomendasi untuk melakukan
konservasi predator khususnya semut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui keanekaragaman serangga predator,
khususnya semut di berbagai tingkatan umur kelapa sawit; (2) mengetahui
pengaruh umur tanaman kelapa sawit terhadap keanekaragaman serangga
predator; (3) mengetahui potensi semut sebagai predator di perkebunan kelapa
sawit.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh informasi dasar mengenai
keanekaragaman serangga predator, terutama semut di berbagai tingkatan umur
kelapa sawit serta potensi semut yang selanjutnya dapat digunakan untuk
pemodelan pertanian berkelanjutan yang diiringi dengan sistem pengendalian
terpadu
.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di perkebunan kelapa sawit milik rakyat di
Desa Pauh dan Desa Batu Kucing di Kecamatan Pauh, Desa Air Hitam, Desa
Lubuk Kepayang dan Desa Baru di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun,
Provinsi Jambi. Proses identifikasi serangga predator dan semut dilakukan di
Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari hingga September
2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, air sabun dan tuna kaleng. Alat
yang digunakan berupa perangkap pitfall, piring plastik, jaring, selang aspirator,
kain putih ukuran 4 x 2 meter, tali tambang, botol film, kuas, pinset, saringan,
tabung Eppendorf, cawan petri, mikroskop stereo, GPS, kertas, alat tulis, dan
buku identifikasi
Metode Penelitian
Survei dan Penentuan Lokasi
Survei lahan dilakukan untuk mencari lahan perkebunan kelapa sawit yang
mempunyai tingkatan umur yang berbeda di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Survei dilakukan dengan cara mendatangi perkebunan kelapa sawit selanjutnya
diidentifikasi umur tanaman yang akan digunakan, yaitu umur 4, 6, 8, dan 10
tahun. Tiap kategori umur terdiri dari 4 plot yang berfungsi sebagai ulangan.
Setelah lahan yang sesuai dengan kriteria ditentukan selanjutnya, dilakukan
penandaan lokasi lahan pengamatan dengan menggunakan GPS kemudian
digambarkan menjadi peta dengan menggunakan software Quantum GIS.

5

5

Kabupaten Sarolangun

Gambar 1 Peta plot penelitian di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Kode plot B4O3
berarti B: Plot penelitian di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas;
4: umur pertanaman yang digunakan (4 tahun); O: tanaman kelapa
sawit (oil palm); 3: ulangan ketiga pada plot umur tersebut.

6

Tabel 1 Lokasi dan habitat sekitar perbatasan plot penelitian
Plot sampling
4 Tahun
B4O1
B4O2
B4O3
B4O4
6 Tahun
B6O1
B6O2
B6O3
B6O4
8 Tahun
B8O1
B8O2
B8O3
B8O4
10 Tahun
B10O1
B10O2
B10O3
B10O4
a

Habitat sekitar perbatasana
Utara Timur Selatan Barat

Latitude
(LS)

Longitude
(BT)

-2.089919
-2.125599
-2.111147
-2.129133

102.78881684
102.80270289
102.76116938
102.83855262

KS
KS
SM
SU

KS
KS
KR
JR

KS
KS
KS
KS

KS
KS
KR
KS

-2.150268
-2.090283
-2.090477
-2.110139

102.79201722
102.78820714
102.78762041
102.75855121

PM
KS
KS
K

PM
KS
KS
KS

KR
KS
KS
KS

SU
KS
KS
SM

-2.076747
-2.050055
-2.103021
-2.104381

102.77071310
102.75332225
102.76327039
102.75911054

K
KS
KS
KS

K
KS
SM
KS

KS
KS
KS
KS

HS
KS
SM
KS

-2.113808
-2.075559
-2.070779
-2.071093

102.79531340
102.79208000
102.79198998
102.79208344

KS
KS
SM
KS

PM
KS
KS
SM

HS
KS
KS
HS

KR
LT
HS
HS

KS = perkebunan kelapa sawit, SM = semak, KR = perkebunan karet, SU = sungai, JR = jalan
raya, PM= pemukiman warga, HS = hutan sekunder, LT = lahan terbuka.

Penentuan Unit Pengamatan
Setelah didapat lahan perkebunan yang sesuai dengan kriteria umur, maka
ditentukan unit pengamatan. Pada setiap plot dipasang 6 transek, dengan panjang
untuk setiap transeknya adalah 6 pohon kelapa sawit (Gambar 2).

Gambar 2 Ilustrasi plot penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan langsung. Sampel serangga predator yang ada diambil
langsung menggunakan tangan, jaring atau aspirator. Sampel tersebut dikoleksi
dari setiap pohon kelapa sawit yang diamati. Pohon yang diamati adalah pohon

7

7

baris pertama, ketiga, dan kelima (Gambar 3). Pengambilan sampel pada pohon
harus mewakili bagian atas, tengah dan bagian bawah pohon.
Perangkap pitfall. Perangkap pitfall adalah perangkap berbentuk gelas
berdiameter 13 cm yang diletakkan di tanah dan dibenamkan sedalam 10 cm pada
tanah hingga permukaan gelas sama rata dengan permukaan tanah (Bestelmeyer et
al. 2000). Perangkap pitfall diisi dengan larutan alkohol 70% dan air sabun.
Pemasangan perangkap pitfall bertujuan untuk mendapatkan serangga predator
yang ada di tanah. Perangkap yang digunakan berjumlah 10 perangkap pada tiap
plotnya dan diletakkan pada subplot yang telah ditentukan sebelumnya secara
acak (Gambar 3). Perangkap ini dipasang selama dua malam (48 jam). kemudian
diambil untuk diidentifikasi.
Baiting trap. Metode baiting trap adalah metode hasil modifikasi dari
(Bestelmeyer et al. 2000). Alat ini terdiri dari piring umpan yang berdiameter 20
cm yang ditambah dengan umpan berupa tuna. Umpan tuna diletakkan pada
tempat yang berdiameter 2 cm dan terletak di tengah piring. Piring diletakkan
pada batang setiap pohon dengan ketinggian sekitar 20 cm dari tanah dan di
sekitar kanopi, kemudian diikat menggunakan tali. Pohon yang diamati adalah
tiga pohon pada baris kedua, keempat dan keenam (Gambar 3). Pengamatan
dilakukan selama 1 jam dan diidentifikasi setiap 15 menit semut apa yang muncul.
Spesies yang ada diamati dan dihitung jumlahnya.
Beating tray. Beating tray adalah metode pengambilan serangga dengan
cara membentangkan kain putih berukuran 4 x 2 meter di bawah dahan daun
kelapa sawit. Dahan digoyangkan hingga semua serangga yang ada di dahan jatuh
ke atas permukaan kain (Schauff 2001). Kain kemudian ditutup, serangga yang
jatuh dikumpukan dan dimasukkan ke dalam botol film berisi alkohol 70%.
Metode ini hanya dilakukan satu kali di setiap plotnya.

Gambar 3 Skema plot penelitian. Koleksi intensif, baiting trap,
pitfall
trap, beating tray, pohon yang tidak diamati.
Identifikasi
Identifikasi sampel diawali dengan penyortiran serangga hingga tingkat
ordo. Setelah dipisahkan berdasarkan ordo dilanjutkan identifikasi lebih lanjut
dari tingkat famili hingga morfospesies. Data hasil identifikasi selanjutnya dipisah
berdasarkan peranannya sebagai serangga predator. Identifikasi dilakukan dengan
menggunakan buku Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et al. 1996),
Identification Guide to The Ant Genera of Borneo (Hashimoto 2003) dan The Ants
(Hölldobler dan Wilson 1990).

8

Uji Predasi
Uji predasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan pemangsaan/predasi
dari semut yang paling banyak ditemukan di lapangan terhadap serangga herbivor
yg paling banyak ditemukan di lapangan. Uji predasi dilakukan dengan
menggunakan cawan, dengan menggunakan lima individu semut berbanding satu
individu serangga herbivor. Sebelum uji predasi dilakukan, semut dipuasakan
terlebih dahulu selama satu malam (24 jam). Pengamatan dilakukan selama satu
jam untuk melihat apakah terjadi proses predasi atau tidak.
Analisis Data
Data yang diperoleh disusun menjadi database dengan program Microsoft
Excel 2010. Database berisi informasi tentang sampel, baik lokasi pengambilan
sampel, nama ordo, famili, dan spesies, metode yang digunakan hingga
peranannya. Kekayaan famili predator pada umur tertentu diduga dengan
menggunakan incidence-based coverage estimator (ICE) yang merupakan
penduga kekayaan spesies predator berdasarkan data presence-absence. Kurva
akumulasi spesies serangga predator ditampilkan untuk menunjukkan pendugaan
terhadap seluruh spesies predator yang ada pada umur tertentu, nilai yang didapat
berasal dari nilai estimasi S (observasi) (Colwell dan Coddington 1994). Nilai
estimasi S didapat dari pengacakan jumlah spesies serangga predator pada tiap
umurnya sebanyak 100 kali. Untuk proses pengacakan dan menampilkan kurva
akumulasi diolah menggunakan perangkat lunak EstimateS versi 9.1.0. Data
perbedaan strata habitat dibagi menjadi dua, yaitu strata pohon dan tanah. Strata
pohon didapat dari metode pengambilan langsung, baiting trap dan beating tray,
sedangkan strata tanah didapat dari perangkap pitfall. Hasil analisis ragam
ANOVA digunakan untuk mengetahui hubungan antara kekayaan dan kelimpahan
serangga predator dan semut dengan perbedaan umur pertanaman kelapa sawit.
Penyajian grafik data pada berbagai strata menggunakan box-plot yang diolah
menggunakan perangkat lunak MINITAB versi 16.
Keberadaan spesies semut pada umur tertentu dapat digunakan untuk
melihat dominasi spesies semut tertentu pada umur tersebut. Keberadaan spesies
semut pada umur tertentu saat pengambilan sampel dapat ditentukan
menggunakan persamaan:
jumlah pohon ditemukan spesies ke-i pada umur ke-j
×100%
Keberadaan spesies (%) =
jumlah pohon yang diamati

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Serangga Predator serta Aktivitas Predasi yang
Ditemukan
Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan umur kelapa sawit tidak
berpengaruh terhadap kekayaan (F3,12=3.57; P=0.047) dan kelimpahan (F3,12=0.50;
P=0.69) serangga predator. Jumlah total individu serangga predator yang didapat
adalah 3 293 individu yang terdiri dari 10 famili. Tabel 2 menunjukkan bahwa
kekayaan dan kelimpahan spesies terbesar terdapat pada umur 6 tahun. Kekayaan
dan kelimpahan serangga predator dapat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi sekitar
serta ketersediaan mangsa. Sahari (2012) menemukan bahwa perbedaan umur
kelapa sawit mampu memengaruhi struktur komunitas parasitoid yang ada di
dalamnya. Perbedaan lingkungan fisik seperti suhu, kelembaban dan intensitas
cahaya menyebabkan terjadinya perbedaan struktur komunitas parasitoid pada
umur yang berbeda. Pada penelitian ini, kekayaan dan kelimpahan serangga
predator tidak dipengaruhi oleh perbedaan umur kelapa sawit. Kekayaan dan
kelimpahan serangga pedator yang berbeda diduga disebabkan karena faktor
habitat pertanaman. Keberadaan serangga predator akan lebih tinggi pada struktur
habitat yang lebih kompleks dan beragam (Rusch et al. 2010). Bianchi (2006)
menyatakan bahwa keberadaan lahan non-pertanian di sekitar areal pertanaman
mampu meningkatkan kekayaan dan kelimpahan musuh alami, lahan nonpertanian itu dapat berupa hutan, semak-semak, padang rumput, lahan terbuka dan
daerah yang berisi air (sungai atau saluran irigasi).
Famili serangga predator yang paling sering ditemukan adalah Formicidae
(Hymenoptera). Formicidae atau semut adalah serangga sosial yang mudah
ditemukan (Hölldobler dan Wilson 1990), semut juga mempunyai kemampuan
adaptasi yang baik terhadap keadaan lingkungan yang tidak sesuai dengan
kemampuan hidupnya (Rizal et al. 2011) sehingga semut menjadi serangga
predator yang paling dominan diantara serangga lainnya. Selain itu juga
ditemukan serangga dari famili Reduviidae dan Anthocoridae (Hemiptera),
Carabidae, Coccinelidae, dan Staphylinidae (Coleoptera), Chrysopidae dan
Mantispidae (Neuroptera), Mantidae (Mantodea) serta Libellulidae (Odonata).
Famili Reduviidae dan Carabidae juga selalu ditemukan di tiap umur namun,
jumlah individu yang ditemukan tidak sebanyak semut.

10

Tabel 2 Jumlah individu famili serangga predator pada berbagai tingkatan umur
di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Jumlah individu b
Jumlah
Ordo
Famili
total
4 tahun 6 tahun 8 tahun 10 tahun
Anthocoridae
1
0
0
0
1
Hemiptera
Reduviidae
27
19
20
3
69
Carabidae

6

10

7

5

28

Staphylinidae

0

8

9

1

18

Coccinelidae

1

0

4

0

5

783

904

752

726

3 165

Chrysopidae

0

0

1

0

1

Mantispidae

0

1

0

0

1

Mantodea

Mantidae

0

1

1

1

3

Odonata

Libellulidae

1

2

0

1

2

819

945

794

737

3 293

Coleoptera

Hymenoptera Formicidae
Neuroptera

Total
b

Data didapat dari metode pengambilan langsung, perangkap pitfall, dan beating tray.

Berdasar nilai ICE (incidence-base coverage estimator), plot umur 8 tahun
memiliki nilai paling tinggi dibanding umur tanaman lainnya. Pertanaman kelapa
sawit umur 4 tahun memiliki nilai ICE sebesar 65.00%, 6 tahun sebesar 63.90%, 8
tahun sebesar 71.51% dan umur 10 tahun sebesar 48.96%. Nilai ICE berasal dari
persentase perbandingan jumlah spesies yang didapat dari hasil observasi dengan
hasil prediksi spesies predator yang ada pada umur tertentu. Rendahnya nilai ICE
pada umur tertentu dinilai belum cukup untuk menggambarkan keseluruhan famili
serangga predator pada umur tersebut. Nilai prediksi ICE yang sempurna
memungkinkan diperoleh bila dilakukan sensus dengan jumlah unit pengambilan
contoh yang banyak (Colwell dan Coddington 1994).
Kurva akumulasi spesies serangga predator pada setiap umur pertanaman
selalu mengalami peningkatan. Kurva akumulasi spesies serangga predator
menunjukkan jumlah keseluruhan spesies yang didapat dari semua titik
pengamatan yang dilakukan (Gambar 4). Pada pertanaman umur 4 tahun memiliki
spesies sebanyak 61 spesies, pada umur 6 tahun 81 spesies, pada umur 8 tahun 75
spesies dan umur 10 tahun 96 spesies. Belum adanya kejenuhan pada kurva
akumulasi menunjukkan bahwa spesies yang didapat dari hasil observasi belum
menggambarkan keseluruhan spesies predator yang ada di umur tersebut. Hal
tersebut karena kurva masih dapat mengalami peningkatan jika dilakukan upaya
pengambilan sampel tambahan.

11

11

120

100

Jumlah spesies

80

60

40

20

4 tahun

6 tahun

8 tahun

10 tahun

0
1

17

33

49
65
Jumlah titik pengamatan

81

97

113

Gambar 4 Kurva akumulasi spesies serangga predator pada berbagai tingkatan
umur kelapa sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi
Setiap metode pengambilan sampel didapatkan jenis serangga predator yang
berbeda-beda. Tabel 3 menunjukkan jumlah individu famili serangga predator
yang didapat dari metode yang telah dilakukan. Formicidae adalah famili serangga
predator yang paling melimpah dari semua metode pengambilan sampel. Metode
baiting trap dengan umpan tuna adalah metode yang efektif untuk menangkap
semut (Formicidae), karena metode ini telah dimodifikasi dan diharapkan secara
spesifik mampu mendapatkan semut. Menurut Bestelmeyer et al. (2000), metode
baiting trap biasa digunakan untuk mengetahui komposisi spesies semut serta
kekayaan spesies yang ada di suatu habitat, dan mengetahui perilaku semut
terutama dalam mencari makan. Serangga yang didapat dari perangkap pitfall
memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibanding dengan metode pengambilan
langsung ataupun beating tray. Namun, dari metode pengambilan langsung
didapatkan kekayaan famili serangga yang lebih banyak dibandingkan metode
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk melihat kekayaan jenis serangga pada
suatu ekosistem lebih baik jika pengambilan sampel yang digunakan
menggunakan metode pengambilan langsung.

12

Tabel 3 Jumlah individu famili serangga predator yang didapat dari tiap metode
yang digunakan
Metode
Ordo

Hemiptera

Famili
Anthocoridae

Pitfall

0

Beat- Baiting
ing
trap
tray
1
0

Pengambilan
langsung
0

Total
1

Reduviidae

23

6

0

40

69

Carabidae

3

3

0

22

28

Staphylinidae

15

1

0

2

18

Coccinelidae

0

0

0

5

5

2 005

317

19 544

843

22 709

Chrysopidae

0

0

0

1

1

Mantispidae

0

0

0

1

1

Mantodea

Mantidae

0

1

0

2

3

Odonata

Libellulidae

0

0

0

2

2

2 046

329

19 544

918

22 837

Coleoptera

Hymenoptera Formicidae
Neuroptera

Total

Predator merupakan hewan yang membunuh, memangsa dan memakan
seluruh atau sebagian bagian dari mangsanya dan membutuhkan banyak mangsa
untuk terus berkembang (Price et al. 2011). Beberapa aktivitas predasi ditemukan
saat dilakukan pengamatan di lapangan. Aktivitas predasi adalah aktifitas predator
menyerang dan memangsa mangsanya. Tabel 4 menunjukkan aktifitas predasi
yang ditemukan selama pengamatan di lapangan. Spesies yang ditemukan sedang
memangsa serangga herbivor adalah Anoplolepis gracilipes, Sycanus sp.,
Camponotus sp.2 dan Crematogaster sp.2.
A. gracilipes ditemukan di lapangan memangsa ulat jengkal (Lepidoptera:
Geometridae) pada kelapa sawit dan kutu putih Pseudococcus sp.. Ulat jengkal
merupakan ulat pemakan daun kelapa sawit, ulat jengkal merupakan hama
sekunder tanaman kelapa sawit (Chenon dan Susanto 2006). A. gracilipes adalah
semut yang memangsa dengan menyemprotkan asam format pada mangsanya.
Penyebaran A. gracilipes sangat luas, A. gracilipes dapat ditemukan pada tanah,
batang, serta daun kelapa sawit.
Camponotus sp.2 dan Crematogaster sp.2 adalah semut yang ditemukan
memangsa kutu tempurung Cerataphis sp.. Camponotus adalah genus semut yang
berasal dari subfamili Formicinae sedangkan Crematogaster adalah genus semut
yang berasal dari subfamili Myrmicinae. Camponotus sp.2 dan Crematogaster
sp.2 adalah semut omnivora fakultatif. Selain memangsa Cerataphis sp., kedua
spesies ini juga memakan embun madu yang dihasilkan Cerataphis sp. Embun
madu berperan sebagai salah satu sumber energi alternatif untuk semut (Bluthgen
dan Feldhaar 2010).

13

13

Setothosea sp. dan Darna sp. adalah dua spesies ulat api (Lepidoptera:
Limacodidae) yang sering ditemukan di perkebunan kelapa sawit. Serangan ulat
api di perkebunan kelapa sawit mampu menurunkan produksi secara signifikan
(Kalshoven 1981). Larva famili Lymantriidae juga banyak ditemukan di
perkebunan kelapa sawit. Menurut Kalshoven (1981), Sycanus sp. (Hemiptera:
Reduviidae) merupakan predator yang mampu menekan populasi ulat api dan juga
ulat bulu. Spesies ini memiliki potensi sebagai agens hayati karena mempunyai
kisaran mangsa yang luas terutama ordo Lepidoptera.
Tabel 4 Aktivitas predasi yang ditemukan di lapangan
Spesies predator
A. gracilipes
(Hymenoptera: Formicidae)
Sycanus sp.
(Hemiptera: Reduviidae)
Camponotus sp.2
(Hymenoptera: Formicidae)
Crematogaster sp.2
(Hymenoptera: Formicidae)

Mangsa
Ulat jengkal (Lepidoptera: Geometridae)
Pseudococcus sp. (Hemiptera:
Pseudococcidae)
Setothosea sp. (Lepidoptera: Lymacodidae)
Darna sp. (Lepidoptera: Lymacodidae)
Larva Famili Lymantriidae
Cerataphis sp. (Hemiptera: Diaspididae)
Cerataphis sp. (Hemiptera: Diaspididae)

Keanekaragaman Semut
Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan umur tanaman kelapa sawit
tidak memengaruhi kekayaan spesies semut (F3,12=0.54; P=0.66). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kekayaan semut tiap umur kelapa sawit berbeda-beda (Tabel
5). Dari penelitian ini ditemukan 6 subfamili dan 99 spesies semut. Subfamili
yang ditemukan adalah Formicinae, Myrmicinae, Dolichoderinae, Ponerinae,
Dorylinae dan Pseudomyrmicinae. Kelapa sawit umur 4 tahun memiliki kekayaan
spesies paling sedikit karena pada umur tanaman kelapa sawit 4 tahun lebih sering
dilakukan penyemprotan herbisida. Penyemprotan herbisida pada kelapa sawit
lebih banyak dilakukan pada umur muda karena untuk menghindari persaingan
mendapatkan nutrisi antara tanaman kelapa sawit muda dengan gulma dan
tanaman penutup tanah. Keberadaan tanaman penutup tanah juga diperlukan pada
perkebunan kelapa sawit karena keberadaan tanaman penutup mampu mengurangi
run off air di tanah, membantu penyerapan nitrogen ke tanah, menjaga
kelembaban tanah, penyediaan inang alternatif bagi musuh alami hama serta
mengurangi serangan hama terutama Oryctes rhinoceros pada tanaman usia muda
(Corley dan Tinker 2003).

14

Tabel 5 Kekayaan subfamili dan spesies semut pada berbagai tingkatan umur
kelapa sawit di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi
Jumlah spesies (S±SD)*
Subfamili
Total spesies
4 tahun 6 tahun
8 tahun
10 tahun
Dolichoderinae
16±0.9
10±2.5
9±2.8
8±0.9
10±2.4
Formicinae
27±3.9
14±0.9
21±0.9
13±2.2
13±1.3
Myrmicinae
38±3.9
19±1.7
26±2.9
28±2.2
26±2.9
Ponerinae
15±2.5
5±0.9
9±1.3
9±1.7
11±0.9
Pseudomyrmicinae
2±1.0
2±0.5
0±0.0
0±0.0
0±0.0
Dorylinae
1±0.6
0±0.0
1±0.5
1±0.5
0±0.0
Total
99±3.8
56±5.2
65±1.7
59±5.4
61±2.1
*S: Jumlah spesies, SD: standar deviasi

Gambar 5 menunjukkan penyebaran data jumlah spesies semut pada strata
habitat yang berbeda, yaitu pohon dan tanah. Semakin besar luas bidang persegi
yang disajikan maka semakin bervariasi jumlah spesies pada setiap plotnya.
Pertanaman umur 10 tahun mempunyai variasi jumlah spesies yang paling besar
dibanding umur lainnya hal ini karena adanya perbedaan habitat sekitar pada tiap
plot pengamatan. Keadaan habitat pertanaman di sekeliling plot selain umur 10
tahun cenderung lebih homogen sehingga variasi jumlah spesies yang muncul
tidak berbeda jauh. Jumlah spesies semut pada strata pohon kelapa sawit
cenderung lebih banyak dibanding di tanah. Pada strata pohon, semakin tua umur
kelapa sawit maka rata-rata spesies yang ditemukan semakin menurun, berbeda
dengan di tanah.
Penurunan rata-rata jumlah spesies pada strata pohon seiring dengan
pertambahan umur tanaman diduga karena pemanenan yang lebih sering pada
tanaman dengan umur yang lebih tua, selain itu adanya dominasi beberapa spesies
invasif di pohon kelapa sawit pada umur yang lebih tua mampu mengurangi
keberadaan spesies yang ada sebelumnya. Pemanenan yang lebih sering dapat
menyebabkan gangguan pada pertanaman menjadi lebih intensif sehingga
beberapa spesies yang rentan terhadap gangguan tidak mampu bertahan. Selain
itu, gangguan yang disebabkan aktifitas manusia juga mampu meningkatkan
keberadaan spesies tramp yang juga bersifat invasif yang kemudian menjadi
dominan dan memengaruhi keberadaan spesies yang sudah ada sebelumnya
(Schultz dan McGlynn 2000). Anoplolepis gracilipes merupakan spesies semut
tramp dan invasif yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini dan juga
meningkat seiring bertambah tua usia pertanaman kelapa sawit (Gambar 6).
Pheidole spp., dan Paratrechina spp. adalah dua spesies invasif yang juga
ditemukan di penelitian ini.
Peningkatan rata-rata jumlah spesies semut pada strata tanah di tanaman
sawit yang lebih tua dapat disebabkan adanya pengendalian gulma dan tanaman
penutup tanah yang lebih jarang dilakukan pada umur tanaman tua. Selain itu,
pada tanaman umur tua keadaan sarang semut yang ada di dalam tanah lebih stabil
dibanding pada tanaman usia muda. Keadaan tanah yang tertutup gulma dan
tanaman penutup tanah mampu melindungi semut dari sinar matahari juga

15

15

menciptakan iklim mikro yang sesuai untuk kelangsungan semut di permukaan
tanah (Bluthgen dan Feldhaar 2010).

30

Jumlah
Jumlah spesies

25

20

15

10

5
Plot
Strata

Gambar 5

04 tahun 06 tahun 08 tahun 10 tahun
Pohon

04 tahun 06 tahun 08 tahun 10 tahun
Tanah

Box-plot kekayaan spesies semut pada strata pohon dan tanah di
berbagai umur. Rata-rata jumlah spesies pada masing-masing umur
pertanaman kelapa sawit.

Dominansi Spesies Semut
Anoplolepis gracilipes, Crematogaster banduvi, Pheidole sp.2, dan
Crematogaster sp.2 adalah spesies semut yang dominan ditemukan pada
penelitian ini. Gambar 6 menunjukkan persentase kehadiran dari spesies semut
dominan dan spesies semut hutan. Kehadiran spesies A. gracilipes mengalami
peningkatan seiring bertambah tua umur kelapa sawit, berbeda dengan spesies
lainnya yang mengalami kenaikan dan penurunan persentase kehadiran di tiap
umurnya. A. gracilipes merupakan semut tramp yang penyebarannya dipengaruhi
oleh gangguan aktivitas manusia (Rizali 2006). Semakin dominannya A.
gracilipes pada suatu lahan akan berpengaruh terhadap persentase kehadiran
semut lainnya. Echinopla sp.1, Echinopla sp.2, Polyrachis sp.1, dan Tetraponera
sp. yang merupakan semut yang hanya ditemukan di hutan Taman Nasional Bukit
Dua Belas, Jambi (Rubiana 2014). Spesies-spesies tersebut juga ditemukan pada
perkebunan kelapa sawit pada penelitian ini, namun demikian semakin tua umur
kelapa sawit maka semakin turun persentase kehadiran dari spesies semut hutan.
Penurunan kehadiran spesies semut hutan tersebut dapat dikarenakan
kondisi ekosistem yang sudah tidak mendukung untuk kehidupan spesies semut
hutan. Keberadaan spesies semut hutan pada pertanaman umur yang lebih muda
juga diduga karena pada umur pertanaman muda belum muncul dominasi dari

16

spesies semut tertentu. Dominansi dari spesies tertentu pada suatu ekosistem
mampu menurunkan kekayaan spesies yang ada di dalamnya (Parr dan Gibb
2010). A. gracilipes ditemukan sebagai spesies yang dominan serta spesies semut
invasif ternyata mampu mengurangi populasi keberadaan spesies semut hutan
yang ada sebelumnya. Menurut (Wielgoss et al. 2013), keberadaan spesies semut
invasif pada suatu ekosistem dapat mengancam keanekaragaman hayati lokal.
Berdasar penelitian Hill et al. (2003), A. gracilipes dapat memengaruhi komunitas
invertebrata lain bahkan beberapa diantaranya mengalami kepunahan.

Persen kehadiran (%)

100

a

80

Anoplolepis gracilipes

Pheidole sp2

Crematogaster banduvi

Crematogaster sp2

60
40
20

Persen kehadiran (%)

0
100
80

b

Echinopla sp.1

Echinopla sp.2

Polyrachis sp.1

Tetraponera sp

60
40
20
0
4 tahun

6 tahun
8 tahun
Umur kelapa sawit

10 tahun

Gambar 6 Grafik persentase kehadiran semut, (a) spesies semut dominan dan (b)
spesies semut hutan pada tiap umur kelapa sawit
Hasil Uji Predasi Semut pada Hama
Uji predasi dilakukan pada dua spesies semut yang paling sering ditemukan
di lahan penelitian, yaitu A. gracilipes dan Crematogaster sp.2. Uji predasi
dilakukan pada dua serangga herbivor paling sering ditemukan, yaitu larva
Lymantriidae dan Pseudococcus sp.. Setelah dilakukan uji predasi ternyata kedua
spesies semut tersebut tidak menyerang larva Lymantriidae tetapi menyerang
Pseudococcus sp.. Hal ini menunjukkan bahwa A. gracilipes dan Crematogaster
sp.2 tidak berpotensi untuk menekan populasi ulat bulu. Hal ini sesuai pada
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa A. gracilipes dan
Crematogaster sp.2 hanya menyerang beberapa spesies dari ordo Hemiptera dan
Coleoptera yang menyerang kelapa sawit (Bluthgen dan Feldhaar 2010).

17

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa umur tanaman tidak berpengaruh
terhadap kekayaan dan kelimpahan serangga predator dan juga semut. Famili
serangga predator yang ditemukan adalah Formicidae, Coccinellidae, Carabidae,
Reduviidae, Anthocoridae, Mantidae, Chrysopidae, Staphylinidae, Mantispidae,
dan Libellulidae. Semut (Formicidae) adalah predator yang paling sering
ditemukan. Keanekaragaman semut pada strata pohon relatif lebih tinggi
dibanding pada strata tanah. Dominansi A. gracilipes mampu memengaruhi
komunitas semut lainnya. Hasil uji predasi menunjukkan bahwa A. gracilipes dan
Crematogaster sp.2 hanya menyerang Pseudococcus sp.. Sycanus sp. dapat
menjadi predator potensial untuk menekan populasi ulat api dan ulat bulu.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi semut pada semua
serangga herbivor dengan melakukan uji predasi pada setiap spesies, baik semut
ataupun hama, yang ditemukan di lapangan.

18

DAFTAR PUSTAKA

Alamsari W. 2014. Keanekaragaman semut pada berbagai tipe penggunaan lahan
di Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Anshary A, Pasaru F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator
Dolichoderus thoracicus (Smith) (Hymenoptera: Formicidae) untuk
pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di
perkebunan rakyat. Journal Agroland. 15(4):278-287.
Bestelmeyer BT, Agosti D, Alonso LE, Brandao CRF, Brown WL, Delabie JHC,
Silvestre R. 2000. Field techniques for the study of ground-dwelling ants: an
overview, description, and evaluation. Di dalam Agosti D, Majer JD, Alonso
LE, Schultz TR: Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring
Biodiversity. Washington DC (US): Smithsonian Institution Press.hal: 122144.
Bluthgen N, Feldhaar H. 2010. Food and shelter: how resources influence ant
ecology. Di dalam: Lach L, Parr CL, Abbott KL, editor. Ant ecology. Ke-1.
New York (US): Oxford University Press Inc. hal 115-116.
Bianchi FJJA, Booij CJH, Tscharntke T. 2006. Sustainable pest regulation in
agricultural landscapes: A review on landscape composition, biodiversity and
natural pest control. Proc R Soc. 273: 1715-1727.
Borror DJ, Tripelhorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga
Ed ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari: An Introduction to The Study of Insects.
Chenon RD, Susanto A. 2006. Ecological observations on diurnal birds in
Indonesian oil palm. Journal of Oil Palm Research. 2006:122-143.
Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through
extrapolation. Philosophical Transactions: Biological Sciences 345(1311):
101-118.
Corley RHV, Tinker PB. 2003. The Oil Palm. 4th Ed. Oxford (GB): Blackwell
Science.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2013. Informasi Ringkas Komoditas Perkebunan.
Jakarta (ID): Departemen Pertanian. I:1-2.
Fayle TM, Turner EC, Snaddon JL, Chey VK, Chung AYC, Eggleton P, Foster
WA. 2009. Oil palm expansion into rain forest greatly reduces ant
biodiversity in canopy, epiphytes and leaf-litter. Basic Applied Ecology.
11(2010):337-345.
Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, Bruhl CA, Donald PF, Phalan
B. 2008. How will oil palm expansion affect biodiversity?. Trends in Ecology
and Evolution. 23(10):539-545.
Fricke TB. 2008. Prarencana Laporan dan Rekomendasi Strategi Pembangunan
Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan untuk Aceh Green. Jakarta (ID).
Furlong MJ, Zalucki MP. 2010. Exploiting predators for pest management: the
need for sound ecological assessment. Entomologia Experimentalis et
Applicata. 1(35):225-236.
Hashimoto Y. 2003. Identification guide to the ant genera of Borneo. Di dalam:
Hashimoto Y, Rahman H, editor. Inventory and collection: Total protocol for

19

19

understanding of biodiversity. Kota Kinabalu (MY): Research and Education
Component, BBEC Programme (Universiti Malaysia Sabah). 95-137.
Hill M, Holm K, Vel T, Shah NJ, Matyot P. 2003. Impact of the introduced
yellow crazy ant Anoplolepis gracilipes on Bird Island, Seychelles.
Biodiversity and Conservation. 12: 1969-1984.
Hölldobler B, Wilson EO. 1990. The Ants. Cambridge (GB): The Belknap Press
of Harvard University Press.
Kalshoven, LGE. 1981. The Pests Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari de Plagen
van de Culturagewasseen in Indonesie.
Ness J, Mooney K, Lach L. 2010. Ants as mutualists. Di dalam: Lach L, Parr CL,
Abbott KL, editor. Ant ecology. Ke-1. New York (US): Oxford University
Press Inc. hal 97-114
Parr CL, Gibb H. 2010. Competition and the role of dominant ants. Di dalam:
Lach L, Parr CL, Abbott KL, editor. Ant ecology. Ke-1. New York (US):
Oxford University Press Inc. hal 77-96.
Peng R, Christian K. 2010. Ants as biological-control agents in the horticultural
industry. Di dalam: Lach L, Parr CL, Abbott KL, editor. Ant ecology. Ke-1.
New York (US): Oxford University Press Inc. hal 123-124.
Perfecto I, Vandermeer J. 2006. The effect of an ant-hemipteran mutualism on the
coffee berry borer (Hypothenemus hampei) in southern Mexico. Agriculture,
Ecosystems & Environment. 117: 218-221.
Perovic DJ, Gurr GM, Raman A, Nicol HI. 2010. Effect of landscape composition
and arrangement on biological control agents in a simplified agricultural
system: a cost-distance approach. Biological Control 52(3):263-270.
Philpott SM, Ambrecht I. 2006. Biodiversity in tropical agroforest and the
ecological role of ants and ants diversity in predatory function. Ecological
Entomology. 31:369-377.
Philpott SM, Perfecto I, Armbrecht I, Parr CL. 2010. Ant diversity and function in
disturbed and changing habitats. Di dalam: Lach L, Parr CL, Abbott KL,
editor. Ant ecology. ke-1. New York (US): Oxford University Press Inc. 137156.
Price PW, Denno RF, Eubanks MD, Finke DL, Kaplan I. 2011. Insect Ecology,
Behavior, Populations and Communities. Cambridge (GB): Cambridge
University Press.
Rizal S, Falahudin I, Endarsih T. 2011. Keanekaragaman semut predator
permukaan tanah (Hymenoptera: Formicidae) di perkebunan kelapa sawit
SPPN Sembawa Banyuasin. Sainmatika. 8(1):37-42.
Rizali A. 2006. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rozziansha TAP, Sudharto, Sipayung A, Chenon RD, Prasetyo AE, Susanto A..
2011. Informasi Organisme Pengganggu “Mahasena corbetti Tams”. Medan
(ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Rubiana R. 2014. Pengaruh transformasi habitat terhadap keanekaragaman dan
struktur komunitas semut di Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rusch A, Valantin-Morison M, Sarthou JP, Roger-Estrade J. 2010. Biological
control of insect pests in agroecosystems: effects of crop management,

20

farming systems, and seminaturalhabitat at the landscape scale: A review.
Advances in Agronomy. 109:219-259.
Sahari B. 2012. Struktur komunitas parasitoid Hymenoptera di perkebunan kelapa
sawit, Desa Pandu Senjaya, Kecamatan Pangkalan Lada, Kalimantan