Menurut Goldmann, metode dan teori yang sesuai untuk menganalisis karya sastra adalah strukturalisme genetik, sebab strukturalisme genetik
memandang karya sastra sebagai gejala-gejala kultural dalam pengertian yang sesungguhnya, antar hubungan yang memiliki kualitas homologi dan simetri
Ratna, 2002: 105. Selanjutnya Jabrohim 2001: 61-62 mengemukakan bahwa strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang
lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Lalu, Ratna 2002: 123 menyebutkan secara definitif strukturalisme
genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya dan sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan
ekstrinsik. Dengan demikian peneliti tentu membutuhkan alat untuk membongkar
asal-muasal suatu karya sastra genetik dan alat itu adalah strukturalisme genetik, setelah membongkar struktur dalam, selanjutnya strukturalisme genetik mengajak
membedah struktur luar pembangun karya sastra. Adapun struktur dalam itu adalah segala unsur yang terdapat dalam karya sastra yang menjadikannya sebagai
sebuah karya otonom, meliputi tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting, gaya bahasa, dan amanat. Adapun struktur luar itu adalah faktor luar yang
mempengaruhi dan melatarbelakangi penciptaan suatu karya sastra yang lahir di luar dari karya itu sendiri, berupa kehidupan sosial pengarang, agama, falsafah
hidup, kondisi politik, norma, tradisi, budaya, profesi pengarang di samping mengarang, motivasi, dan sebagainya. Sehingga struktur luar inilah yang memberi
tendensi dan arah kepengarangan seseorang.
2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran peneliti novel Putroe Neng belum ada yang meneliti secara ilmiah penelitian kompleks, melainkan hanya penelitian
sederhana seperti resensi di surat kabar dan internet. Adapun beberapa di antaranya adalah:
2.3.1 Putroe Neng antara Dongeng dan Mitos
Sebuah resensi berjudul Putroe Neng Antara Dongeng dan Mitos? dalam harian Analisa Minggu, 11 Maret 2012 adalah karya Idris Pasaribu. Menurutnya
kisah atau hikayat yang diceritakan secara turun temurun di Aceh ini adalah sebuah fakta sejarah. Meskipun ada yang menyebut mitos, Idris bertahan mitos
tidak selamanya kebohongan. Hanya saja mitos selalu tak tertulis. Bagi Idris apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah di Aceh ketika datangnya
bangsa-bangsa lain ke negeri Aceh dengan berbagai cara dan berbagai kepentingan. Baik ekonomi dan politik serta kekuasaan. Hal yang menjadi
pertanyaan besar bagi Idris benarkah Putroe Neng berasal dari China? Bukankah tak mungkin dia berasal dari Burma, Korea, Mongolia, Vietnam atau Kambodia?
Melihat namanya yang empat suku kata, Nian Nio Liang Khie adalah marga Nian atau marga Nio bagi orang Tionghoa daratan, bahkan China dan Taiwan,
bukankah mereka memastikan diri, nama mereka hanya tiga suku kata. Kalau Nian adalah sebuah gelar atau titel, maka dia adalah marga Nio?
Ayi Jufridar membawa alam pikiran pembaca berkelana mengitari wilayah bekas berbagai kerajaan di Aceh. Secara lembut Ayi juga memaparkan bagaimana
kearifan lokal dari para genius lokal, terlebih mereka para tuan guru. Keislaman sangat sarat dalam novel ini, menyampaikan pesan-pesan Islam. Seorang Syeikh
Syiah Hudam, ternyata mampu melewati malam pertamanya di atas ranjang bersama Putroe Neng, karena dia seorang ulama besar dari Peureulak. Islam
bukan agama yang mengandung makna kekerasan, namun Islam akan mengulurkan tangannya dengan baik kepada siapa saja, termasuk non Islam jika
mereka memang membutuhkan uluran tangan Islam. Kalau ada yang mengatakan Putroe Neng adalah pelengkap sejarah di
Aceh, bagi Idris novel Putroe Neng adalah bagian dari catatan sejarah Aceh itu sendiri. Tiga kerajaan di Aceh yang cukup kuat yakni Kerajaan Indra Patra, Indra
Jaya, dan Indra Puri sekarang berada di dalam Aceh Besar dan ketiga benteng bekas kerajaan itu masih ada, walau kurang terawat. Benteng kerajaan itu,
membuktikan kalau apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah dengan pendekatan penulisannya gaya mitos. Selama ini di Aceh dalam hikayat,
selalu diceritakan tentang 100 orang suami Putroe Neng. Diceritakan tentang kecantikan Putroe Neng dan keperkasaannya dalam peperangan. Ada yang
percaya ada yang tidak tentang ke 99 suami Putroe Neng. Sekali lagi, ke 99 suami Putroe Neng adalah bumbu penyedap dalam hikayat. Ayi Jufridar justru
mengangkat bagaimana kehebatan peperangan di tiga kerajaan kecil di Aceh itu. Ayi Jufridar mengangkat, bagaimana heroiknya putra-putri Aceh dalam berbagai
peperangan.
2.3.2 Putroe Neng, Pemakan ....
Artikel berjudul Putroe Neng, Pemakan ... judul lengkapnya dapat dilihat di laman
http:media.kompasiana.com diposting oleh Dudi Rustandi dan
diakses oleh peneliti pada tanggal 11 Agustus 2012 pukul 12.20 WIB berisi komentarnya mengenai novel Putroe Neng. Dalam tulisannya Dudi Rustandi