Teknik Analisis Data METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK PUTROE NENG

4.1 Strukturasi Novel Putroe Neng

Putroe Neng sebagai karya yang lahir dengan latar belakang sebuah subjek kolektif di ujung barat Indonesia telah tercipta dengan tema yang memadukan berbagai sisi kehidupan baik percintaan, nasionalisme, religi, norma, sejarah, feminisme, bahkan mitos. Novel Putroe Neng sejatinya beralur maju dengan mengawali kisah kematian tragis Meurah Johan sebagai bagian prolog. Diangkat dari sebuah cerita rakyat Putroe Neng terdiri atas puluhan nama tokoh dengan klasifikasi tertentu. Ada sekitar 55 tokoh yang terdapat dalam novel Putroe Neng dan ada sejumlah tokoh yang paling berpengaruh dengan klasifikasi penokohanperwatakan yang berbeda, setidaknya ada sekitar sebelas nama yang dipaparkan berikut. Pertama, tentu saja sang tokoh utama yaitu Putroe Neng dengan nama asli Nian Nio Liang Khie putri seorang Laksamana Liang Khie yang berasal dari Tiongkok berlayar menuju pulau seberang lautan Aceh dengan harapan dapat menaklukkannya dan mendirikan kerajaan baru. Tidak lama berada di pulau yang baru mereka tempati Laksamana Liang Khie meninggal dan meregenerasi kepemimpinan pada putrinya Nian Nio Liang Khie. Nian Nio Liang Khie adalah wanita berparas cantik, berkulit putih seperti sutra, ditakuti lawan dan disegani kawan, cerdas, tangkas, ambisius, dan cukup bijaksana. Memiliki 100 orang suami dengan suami pertama adalah Meurah Johan diikuti Sambo, Ahmadi Samarkilang, Aman Lebuh, Gundala Pati, Utih Jebing dan seterusnya sampai suami ke-100 Syekh Syiah Hudam. “Militer laut Kerajaan Seudu dipimpin oleh Laksamana Nian Nio Liang Khie, putri dari Maharani Liang Khie yang masih sangat muda. Seperti ibundanya, Nian Nio Liang Khie adalah seorang perempuan berkulit kuning lembut seperti sutra. Di bawah sinar matahari, kulitnya terlihat berkilauan oleh keringat yang membuat prajurit muda itu seperti hendak menetes air liurnya” hlm. 85 “Kita semua tahu, Nian Nio seorang bekas maharani dengan wilayah kekuasaan yang luas. Dia juga memiliki kemampuan tempur yang tidak ada tandingannya. Dia sudah merobohkan seratus laki-laki di medan perang.” hlm. 278 Bersama seorang sepupu yang ahli mengayun pedang Perwira Kun Khie berusia 21 tahun, berambut panjang, memiliki pedang yang paling mematikan yang diberi nama Shiwu, Kun Khie sangat ditakuti. Dengan kepribadiannya pemimpin pasukan Tiongkok itu dan ribuan pasukan terlatih lain tidak heran mampu melumpuhkan kerajaan Indra Jaya dengan mudah. Kemudian Indra Jaya diberi nama Kerajaan Seudu dengan Panton Bie sebagai pusat pemerintahan. Ketiga, Meurah Johan anak ketiga raja Lingga dan keempat, Syekh Abdullah Kana’an atau Syekh Syiah Hudam. Meurah Johan adalah pria yang memiliki kecerdasan yang tinggi, tampan, menawan, ahli pedang dan siasat, taat beribadah, dan awalnya dipersiapkan sebagai penerus Kerajaan Lingga. Namun perjuangannya menghantarkan dirinya menjadi raja Kerajaan Darut Donya Aceh Darussalam. “Wakil pasukan tersebut bernama Meurah Johan yang dilukiskan sebagai seorang perwira gagah perkasa arif bijaksana.” hlm. 166 “Tapi, otot-ototnya kuat. Urat-urat di tangannya terlihat menonjol seperti akar-akar pohon jalar. Dia menguasai ilmu pedang dengan baik dan mengajarkannya kepada para prajurit kita. Dia bisa bertarung pedang di atas punggung kuda sebaik bertarung di atas tanah. Kata Bitra, Pangeran Meurah Johan bisa memainkan pedang dengan tangan kanan dan kiri sekaligus atau memadukannya dengan tombak. Jarang sekali ada prajurit yang memiliki kemampuan seperti itu.” hlm. 168-169 “Lelaki yang awalnya dipersiapkan menerima warisan Kerajaan Lingga, akhirnya malah menjadi penguasa Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, sebuah nama yang lahir dari penyatuan Indra Purba, Indra Patra, Indra Puri, dan seudu. Meurah Johan ditetapkan sebagai sultan