Putroe Neng antara Dongeng dan Mitos
Syiah Hudam, ternyata mampu melewati malam pertamanya di atas ranjang bersama Putroe Neng, karena dia seorang ulama besar dari Peureulak. Islam
bukan agama yang mengandung makna kekerasan, namun Islam akan mengulurkan tangannya dengan baik kepada siapa saja, termasuk non Islam jika
mereka memang membutuhkan uluran tangan Islam. Kalau ada yang mengatakan Putroe Neng adalah pelengkap sejarah di
Aceh, bagi Idris novel Putroe Neng adalah bagian dari catatan sejarah Aceh itu sendiri. Tiga kerajaan di Aceh yang cukup kuat yakni Kerajaan Indra Patra, Indra
Jaya, dan Indra Puri sekarang berada di dalam Aceh Besar dan ketiga benteng bekas kerajaan itu masih ada, walau kurang terawat. Benteng kerajaan itu,
membuktikan kalau apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah dengan pendekatan penulisannya gaya mitos. Selama ini di Aceh dalam hikayat,
selalu diceritakan tentang 100 orang suami Putroe Neng. Diceritakan tentang kecantikan Putroe Neng dan keperkasaannya dalam peperangan. Ada yang
percaya ada yang tidak tentang ke 99 suami Putroe Neng. Sekali lagi, ke 99 suami Putroe Neng adalah bumbu penyedap dalam hikayat. Ayi Jufridar justru
mengangkat bagaimana kehebatan peperangan di tiga kerajaan kecil di Aceh itu. Ayi Jufridar mengangkat, bagaimana heroiknya putra-putri Aceh dalam berbagai
peperangan.
2.3.2 Putroe Neng, Pemakan ....
Artikel berjudul Putroe Neng, Pemakan ... judul lengkapnya dapat dilihat di laman
http:media.kompasiana.com diposting oleh Dudi Rustandi dan
diakses oleh peneliti pada tanggal 11 Agustus 2012 pukul 12.20 WIB berisi komentarnya mengenai novel Putroe Neng. Dalam tulisannya Dudi Rustandi
menyebutkan bahwa Aceh ternyata banyak menyimpan wanita-wanita perkasa. Tidak hanya Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan merubuhkan 100
prajurit Portugis dalam medan pertempuran pada tahun 1600-an, juga ada wanita perkasa lainnya yang kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia, Cut Nyak
Dien dan Cut Meutia. Membaca Novel ini kita akan diajak penulisnya berkeliling-keliling ke
wilayah kerajaan Aceh masa lampau, terutama menyampaikan pesan tentang kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di Aceh. Islam bukanlah agama perang,
bahkan seorang muslim akan mengulurkan tangannya kepada nonmuslim jika benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan oleh kerajaan Peureulak dan
Syeikh Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah sesungguhnya yang menjadi daya tarik bangsa lain terhadap Islam seperti ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba.
Penulis dengan baik berhasil menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan bahwa sebuah do’a akan terkabul jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga
mendapat hasil yang sempurna seperti dilakukan oleh murid dan guru Syeikh Syiah Hudam saat melewati malam pertamanya. Jika salah-salah membaca, novel
ini akan dianggap sebagai sejarah Aceh pada masa lampau dengan menjadikan Putroe Neng sebagai pelengkap cerita belaka sebagai salah satu daya tariknya.
Kedua tinjauan di atas telah melengkapi penelitian ini. Namun, yang membedakannya adalah penelitian ini lebih komplek membahas dari dua sudut
pandang yaitu struktur dalam dan struktur luar genetiknya. Penelitian ini menjabarkan struktur pembangun karya sastra dan asal-usul lahirnya Putroe Neng
karya Ayi Jufridar dengan mengkaji strukturasi, subjek kolektif, fakta kemanusiaan, dan pandangan dunia.