Putroe Neng Karya Ayi Jufridar: Kajian Strukturalisme Genetik

(1)

PUTROE NENG KARYA AYI JUFRIDAR:

KAJIAN STRUKTURALISME GENETIK

SKRIPSI

OLEH

CUT IDA AGUSTINA

080701038

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya ini bukanlah karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi oleh orang lain dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang diacu ditulis dalam naskah ini dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi.

Medan, April 2013 Penulis,

Cut Ida Agustina 080701038


(4)

Putroe Neng Karya Ayi Jufridar:

Kajian Strukturalisme Genetik

Cut Ida Agustina

Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya USU

ABSTRAK

Kisah sejarah bukanlah karya sastra tetapi karya sastra dapat kisah sejarah. Artinya karya sastra dapat kisah atau peristiwa yang benar-benar pernah terjadi. Begitulah makna mimetis secara sempit. Penelitian ini berjudul Putroe Neng Karya Ayi jufridar: Kajian Strukturalisme Genetik. Latar belakang penelitian ini beranjak dari ketertarikan terhadap karya sastra yang berlatar sejarah. Meskipun sejarah yang dimaksud tidak dapat dilacak dalam buku-buku sejarah namun dapat dilacak pada masyarakat pemilik sejarah itu. ada empat hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) strukturasi, (2) subjek kolektif, (3) pandangan dunia, dan (4) fakta kemanusiaan. Tujuan penelitian adalah melacak, mengungkapkan, dan mendeskripsikan keempat masalah tersebut secara utuh. Adapun manfaatnya adalah memberikan gambaran yang padu mengenai keempat masalah sampai muncul gambaran genetis (asal-usul) lahirnya karya sastra berjudul Putroe Neng. Teori atau alat bedah penelitian ini adalah strukturalisme genetik yaitu gabungan antara struktural dan aspek eksternal yang diperkenalkan oleh Goldmann. Karya sastra di samping otonom juga memiliki latar belakang sejarah yang menjadi unsur ekstrinsik. Setelah membongkar unsur dalam baru beranjak ke pembedahan struktur luar karya sastra yang meliputi pengarang dan masyarakat yang disebutkan dalam karya sastra tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, yaitu data-data berbentuk deskripsi dan bukan angka-angka. Hasil penelitian menunjukkan beberapa simpulan: (1) strukturasi novel Putroe Neng menunjukkan beberapa data yang merupakan fakta (dapat dilacak kebenaran dan keberadaannya) seperti subjek kolektif dan latar tempat, (2) subjek kolektif Putroe Neng ada masyarakat Peureulak, masyarakat Indra Purba, dan masyarakat keturunan Tiongkok (berkedudukan di Seudu), (3) ada tiga pandangan dunia yang dihadirkan oleh pengarang berdasarkan subjek kolektifnya, (4) ada nilai-nilai, norma, budaya, dan filosofi yang bergeser antara pandangan dunia dengan fakta kemanusiaan.

Kata Kunci: Strukturasi, subjek kolektif, pandangan dunia, dan fakta kemanusiaan


(5)

PRA KATA

Puji syukur kepada Allah Swt., atas berkah nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada penulis sehingga karya ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw, atas suri teladannya memanusiakan manusia sebagaimana tugasnya telah menghantarkan penulis pada titik manusia sesungguhnya.

Mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu mewujudkan impian saya menyelesaikan studi dengan baik, yaitu:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya yang telah memimpin dan membina Fakultas Ilmu Budaya.

2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si. selaku Ketua dan Drs. Haris Sutan Lubis, M. SP. Selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara atas kontribusinya.

3. Drs. Isma Tantawi, M.A. selaku Dosen Pembimbing I dan Drs. Haris Sutan Lubis, M.SP. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan kritik, saran, dan ilmu yang sangat bermanfaat.

4. Alm. Drs. Ismed Nur dan Drs. Amhar Kudadiri selaku dosen pembina akademik.

5. Staf Pengajar dan Administrasi di Departemen Sastra Indonesia dan umumnya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

6. Orang tua tercinta Ayahanda Munir Syuib dan Ibunda Cut Fauziah S.Sos. Kakanda Cut Aya Sophiati, S.Pd, Cut Ayi Wahyuni, S. Pd, Cut Ira Rizka, SP, Cut Hafidzah, Abangda Muhammad Khalil serta keluarga besar yang


(6)

dengan luar biasa telah mencurahkan segala asa, semangat, dorongan moril dan materil demi mewujudkan cita-cita tertinggi saya menjadi seorang sarjana.

7. Sahabat-sahabat saya di KBSI, Badan Ta’mirul Mushola (BTM) Al-Iqbal FIB USU, Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) Ad-Dakwah USU terutama Lembaga Jurnalistik (LJ), dan Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Tanah Rencong (IPTR) komisariat USU. Penulis banyak belajar berdinamika. Keluarga besar kos 448 A , Murabbi saya Kak Linda Gustina, S.S., Kak Renna Kinnara Arlotas, S.Psi., Kak Mimi, S.Sos, Kak Siti Aisyah Siregar, S.S., Kak Wina, S.Kep., serta teman-teman liqo yang menginspirasi. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, semoga bantuan dan dukungannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, namun penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan.

Medan, April 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

PRA KATA ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Batasan Masalah ... 4

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Konsep ... 6

2.1.1 Strukturasi ... 6

2.1.2 Subjek Kolektif ... 7

2.1.3 Pandangan Dunia ... 8

2.1.4 Fakta Kemanusiaan ... 8

2.2 Landasan Teori Strukturalisme Genetik ... 9

2.3 Tinjauan Pustaka .... ... 11

2.3.1 Putroe Neng antara Dongeng dan Mitos ... 11


(8)

BAB III METODE PENELITIAN ... 14

3.1 Metode ... 14

3.2 Sumber Data ... 15

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 15

3.3 Teknik Analisis Data ... 16

BAB IV ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK PUTROE NENG 17

4.1 Strukturasi Novel Putroe Neng ... 17

4.2 Subjek Kolektif ... 21

4.3 Pandangan Dunia ... 22

4.3.1 Pandangan Islam dan Masyarakat Peurelak ... 23

4.3.2 Pandangan Animisme Indra Purba ... 32

4.3.3 Pandangan Tiongkok Seudu ... 34

4.4 Fakta Kemanusiaan ... 36

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Simpulan ... 41

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

Putroe Neng Karya Ayi Jufridar:

Kajian Strukturalisme Genetik

Cut Ida Agustina

Departemen Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya USU

ABSTRAK

Kisah sejarah bukanlah karya sastra tetapi karya sastra dapat kisah sejarah. Artinya karya sastra dapat kisah atau peristiwa yang benar-benar pernah terjadi. Begitulah makna mimetis secara sempit. Penelitian ini berjudul Putroe Neng Karya Ayi jufridar: Kajian Strukturalisme Genetik. Latar belakang penelitian ini beranjak dari ketertarikan terhadap karya sastra yang berlatar sejarah. Meskipun sejarah yang dimaksud tidak dapat dilacak dalam buku-buku sejarah namun dapat dilacak pada masyarakat pemilik sejarah itu. ada empat hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) strukturasi, (2) subjek kolektif, (3) pandangan dunia, dan (4) fakta kemanusiaan. Tujuan penelitian adalah melacak, mengungkapkan, dan mendeskripsikan keempat masalah tersebut secara utuh. Adapun manfaatnya adalah memberikan gambaran yang padu mengenai keempat masalah sampai muncul gambaran genetis (asal-usul) lahirnya karya sastra berjudul Putroe Neng. Teori atau alat bedah penelitian ini adalah strukturalisme genetik yaitu gabungan antara struktural dan aspek eksternal yang diperkenalkan oleh Goldmann. Karya sastra di samping otonom juga memiliki latar belakang sejarah yang menjadi unsur ekstrinsik. Setelah membongkar unsur dalam baru beranjak ke pembedahan struktur luar karya sastra yang meliputi pengarang dan masyarakat yang disebutkan dalam karya sastra tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif, yaitu data-data berbentuk deskripsi dan bukan angka-angka. Hasil penelitian menunjukkan beberapa simpulan: (1) strukturasi novel Putroe Neng menunjukkan beberapa data yang merupakan fakta (dapat dilacak kebenaran dan keberadaannya) seperti subjek kolektif dan latar tempat, (2) subjek kolektif Putroe Neng ada masyarakat Peureulak, masyarakat Indra Purba, dan masyarakat keturunan Tiongkok (berkedudukan di Seudu), (3) ada tiga pandangan dunia yang dihadirkan oleh pengarang berdasarkan subjek kolektifnya, (4) ada nilai-nilai, norma, budaya, dan filosofi yang bergeser antara pandangan dunia dengan fakta kemanusiaan.

Kata Kunci: Strukturasi, subjek kolektif, pandangan dunia, dan fakta kemanusiaan


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Proses penciptaan karya sastra dipengaruhi oleh latar belakang zaman, sejarah, dan sosial masyarakat. Keberadaan pengarang dalam suatu masyarakat tertentu turut mempengaruhi karyanya sehingga lahirlah suatu karya sastra tertentu pula. Suatu masyarakat yang telah melahirkan pengarang mampu memengaruhi kepengarangan seseorang. Artinya masyarakat tempat pengarang dan karya itu lahir turut andil dalam memengaruhi baik isi, bentuk atau struktur karya sastra. Begitulah yang terjadi dengan novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar. Karya sastra yang mengambil sebuah latar daerah dan latar waktu tertentu (fase sejarah) ini dilahirkan dengan dominasi budaya suatu masyarakat yang begitu kental.

Sejalan dengan Taine (dalam Fananie, 2001: 117) Sastra tidak hanya sekadar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi, melainkan dapat pula merupakan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya itu dilahirkan. Selanjutnya karya sastra yang demikian itu dapat dilakukan penelitian sebagaimana yang ditawarkan Lucien Goldmann, seorang Marxis adalah orang yang kemudian mengembangkan fenomena hubungan tersebut dengan teorinya yang dikenal dengan strukturalisme genetik (Fananie, 2001: 117).

Novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar adalah sebuah novel yang lahir dari cerita rakyat yang diyakini masyarakat pemiliknya (Aceh) sebagai kisah nyata, meskipun ada mitos yang membumbuinya. Bahkan bagian cerita yang menurut


(11)

beberapa tokoh sejarah adalah mitos itu jelas tidak dapat dibuktikan atau salah penafsiran, di antaranya mengenai 100 suami Putroe Neng.

Adapun alasan peneliti mengangkat novel Putroe Neng sebagai objek kajian, karena bagi peneliti kisah Putroe Neng akan memiliki fungsi dan manfaat tersendiri bagi masyarakat pembaca khususnya masyarakat Aceh atau yang lebih dikenal dengan sebutan ureung Aceh (orang Aceh), mengingat sebelumnya kisah tersebut belum dibukukan, diperbanyak, dan disebarluaskan ke seantero negeri. Padahal menurut beberapa tokoh sejarah (Aceh) kisah Putroe Neng adalah fakta sejarah yang seharusnya diketahui oleh masyarakat luas. Meskipun kisah sejatinya tidak seperti yang digambarkan Ayi Jufridar. Ironisnya masyarakat asal cerita tersebut dewasa ini sudah banyak yang lupa dan tidak mengetahui kisah ini. Sehingga patut untuk diapresiasi karya Ayi Jufridar tersebut sebagai salah satu usaha melestarikan budaya jenis cerita rakyat dan dengan menilik strukturalisme genetik pembangun karya sastra Putroe Neng sebagai alat bedah.

Selain itu, novel Putroe Neng juga inspiratif karena menggambarkan eksistensi perempuan Aceh sejak dahulu sebagai (perempuan) yang diakui keberadaannya, yaitu di antaranya digambarkan sebagai prajurit bahkan perwira dalam organisasi kemiliteran dan dalam perang. Hal ini membuktikan bahwa sosok perempuan Aceh adalah perempuan yang kuat dan tangguh.

Strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara unsur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan pengarang. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti


(12)

penelitian sastra menjadi pincang (Endraswara, 2008: 57). Beranjak dari pendapat tersebut pula peneliti berpikir bahwa novel Putroe Neng sangat tepat dikaji dengan strukturalisme genetik. Masyarakat Aceh sebagai pemilik kisah dan latar novel tersebut sudah tentu akan mendapat porsi tersendiri dalam penelitian ini, dan mengingat pengarangnya merupakan masyarakat tempat cerita tersebut lahir, maka pengarang dapat mewakili pandangan dunia sosial masyarakat.

“Oleh karena pandangan dunia pengarang itu suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, maka dia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur suatu karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya disebut strukturalisme genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya (Endraswara, 2008: 57).”

Dengan demikian, jelas bahwa strukturalisme genetik mengedepankan aspek struktur, baik struktur dalam maupun struktur luar karya sastra, karena keduanya dianggap sebagai unsur terpenting bagi proses memahami karya sastra. Endraswara (2008: 60) mengemukakan bahwa penelitian strukturalisme genetik meliputi tiga hal, yaitu: (1) aspek intrinsik teks sastra, (2) latar belakang pencipta, dan (3) latar belakang sosial budaya serta sejarah masyarakatnya.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian adalah usaha memecahkan masalah, karena masalah adalah sasaran penelitian. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah strukturasi novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar? 2. Bagaimanakah subjek kolektif yang terdapat dalam novel Putroe Neng? 3. Bagaimanakah pandangan dunia dalam novel Putroe Neng ?


(13)

1.3Batasan Masalah

Penelitian yang baik adalah penelitian yang terfokus dan tidak kabur. Salah satu upayanya adalah dengan membuat batasan masalah. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Strukturasi novel Putroe Neng.

2. Deskripsi subjek kolektif dalam novel Putroe Neng. 3. Deskripsi pandangan dunia dalam novel Putroe Neng. 4. Deskripsi fakta kemanusian novel Putroe Neng.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian

Segala upaya yang dilakukan pasti memiliki tujuan dan manfaat yang jelas. Adapun tujuan dan manfaat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan strukturasi novel Putroe Neng. 2. Mengungkapkan subjek kolektif novel Putroe Neng.

3. Mengungkapkan pandangan dunia dalam novel Putroe Neng. 4. Mengungkapkan fakta kemanusiaan Putroe Neng.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat:

1. Memberikan gambaran mengenai strukturasi dan pandangan dunia novel Putroe Neng.


(14)

2. Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dalam memahami novel Putroe Neng.

3. Memberikan gambaran genetik (asal usul) lahirnya novel Putroe Neng. 4. Menambah referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Penelitian membutuhkan pemahaman yang memadai mengenai istilah-istilah yang dipakai di dalamnya. Istilah-istilah-istilah tersebut merupakan konsep pedoman atau panduan bagi peneliti. Adapun konsep-konsep yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

2.1.1 Strukturasi

Secara etimologis struktur berasal dari kata structura, bahasa Latin, yang berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2008: 88). Selanjutnya strukturasi adalah proses pembentukan struktur karya sastra menjadi bentuk baru yang utuh dengan tidak menghilangkan makna sebenarnya. Bentuk yang baru tersebut memiliki makna yang padu dan koheren, atau strukturasi adalah usaha membuat struktur karya sastra menjadi ‘bangunan’ wacana baru yang memiliki makna yang tidak berubah dengan karya sastra itu, karena strukturasi dibangun berdasarkan unsur-unsur yang dikandung oleh karya sastra itu sendiri.

Struktur karya sastra terdiri atas struktur dalam atau intrinsik dan struktur luar atau ekstrinsik. Unsur intrinsik sastra misalnya tulisan serta aspek bahasa dan struktur wacana dalam hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat, sedangkan unsur ekstrinsik antara lain berupa biografi pengarang, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial budaya yang menunjang kehadiran teks sastra (Aminuddin, 2000: 34).


(16)

2.1.2 Subjek Kolektif

Menurut Goldmann (Faruk, 1994: 15) Subjek kolektif itu dapat kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya.

“Pengarang adalah bagian dari masyarakat. Dalam pandangan strukturalisme genetik individu bukanlah agen bebas dari masyarakatnya. Aspirasi, pendapat, maupun pandangan individu, termasuk pengarang, diikat oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Pengarang dengan demikian sebagai subjek sekaligus kolektifitas atau subjek kolektif. Pengarang sebagai individu dapat dipandang sebagai produk sosial dari kelompok sosialnya. Sebagai produk sosial dari kelompok sosial tertentu, pengarang dalam hidupnya cenderung mempresentasikan kelompok sosialnya. Karya sastra yang ditulisnya pun merupakan representase pengarang dalam memperjuangkan kelompok sosialnya di hadapan kelompok sosial yang lain. Kerja pengarang adalah kerja sosial sebagai perwujudan subjek kolektif seorang pengarang, (Sitepu, 2009: 38).”

Artinya bahwa apapun yang ditulis pengarang Putroe Neng adalah lahir dari pengalamannya dalam suatu kelompok sosial masyarakat (Aceh) sekaligus mewakili masyarakat itu. Konsep subjek kolektif dimanfaatkan dalam penelitian ini untuk mengetahui latar kehidupan sosial pengarang (Ayi Jufridar) yang tampak jelas mewakili masyarakat Aceh untuk menyampaikan pada dunia (pembaca) mengenai sebuah kisah sejarah yang mereka yakini pernah ada. Tentu saja pemikiran pengarang mengenai tujuannya membuat karya tersebut harus diselidiki dengan cermat, mulai dari lingkungan keluarga, hobi, agama, prinsip hidupnya, teman pergaulannya, buku-buku yang dibaca, dan pengalaman hidup yang telah dilewatinya yang telah berkontribusi (berpengaruh) bagi proses kreatif penciptaan karya sastranya.


(17)

2.1.3 Pandangan Dunia

Bagi Goldmann (Endraswara, 2008: 58) pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dan sesamanya dengan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran hakiki masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Ia juga menambahkan (dalam Faruk, 1994: 16) pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain.

“Menurut Goldmann, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia pengarang atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat berarti penelitian sastra menjadi pincang (Endraswara, 2008: 57).”

Ratna (2005: 166) berpendapat bahwa pandangan dunia harus dicari dengan cara mengungkap pandangan dasar kelas sosial, menelusurinya ke masa lampau, dengan cara melibatkan peranan multidisiplin.

2.1.4 Fakta Kemanusiaan

Menurut Faruk (1994: 12) fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial


(18)

tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra. Goldmann (dalam Fananie, 2001: 117) mengemukakan:

“... bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktifitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi atau percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya. Sesuatu yang dihasilkan merupakan fakta hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dengan dunia sekitarnya. Dalam hal ini, manusia selalu mempunyai kecenderungan perilaku yang bersifat alami karena manusia berusaha untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang merupakan satu proses hubungan timbal balik.”

Selanjutnya Goldmann (dalam Faruk, 1994: 13) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Yang dimaksudkannya adalah bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai sruktur tertentu dan arti tertentu. Sehingga fakta-fakta kemanusiaan harus dipahami dengan mempertimbangkan struktur dan artinya.

2.2 Landasan Teori Strukturalisme Genetik

Penelitian ini menggunakan landasan teori studi strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra yang tak murni. Ini merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya. Konvergensi penelitian struktural dengan penelitian yang memperhatikan aspek-aspek eksternal karya sastra, dimungkinkan lebih demokrat (Endraswara, 2008: 55).

Dalam beberapa analisis novel, Goldmann selalu menekankan latar belakang sejarah. Karya sastra, di samping memiliki unsur otonom juga tidak bisa lepas dari unsur ekstrinsik. Teks sastra sekaligus merepresentasikan kenyataan sejarah yang mengkondisikan munculnya karya sastra (Endraswara, 2008:56).


(19)

Menurut Goldmann, metode dan teori yang sesuai untuk menganalisis karya sastra adalah strukturalisme genetik, sebab strukturalisme genetik memandang karya sastra sebagai gejala-gejala kultural dalam pengertian yang sesungguhnya, antar hubungan yang memiliki kualitas homologi dan simetri (Ratna, 2002: 105). Selanjutnya Jabrohim (2001: 61-62) mengemukakan bahwa strukturalisme genetik adalah sebuah pendekatan di dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme murni yang antihistoris dan kausal. Lalu, Ratna (2002: 123) menyebutkan secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya dan sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik.

Dengan demikian peneliti tentu membutuhkan alat untuk membongkar asal-muasal suatu karya sastra (genetik) dan alat itu adalah strukturalisme genetik, setelah membongkar struktur dalam, selanjutnya strukturalisme genetik mengajak membedah struktur luar pembangun karya sastra. Adapun struktur dalam itu adalah segala unsur yang terdapat dalam karya sastra yang menjadikannya sebagai sebuah karya otonom, meliputi tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting, gaya bahasa, dan amanat. Adapun struktur luar itu adalah faktor luar yang mempengaruhi dan melatarbelakangi penciptaan suatu karya sastra yang lahir di luar dari karya itu sendiri, berupa kehidupan sosial pengarang, agama, falsafah hidup, kondisi politik, norma, tradisi, budaya, profesi pengarang di samping mengarang, motivasi, dan sebagainya. Sehingga struktur luar inilah yang memberi tendensi dan arah kepengarangan seseorang.


(20)

2.3 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan penelusuran peneliti novel Putroe Neng belum ada yang meneliti secara ilmiah (penelitian kompleks), melainkan hanya penelitian sederhana seperti resensi di surat kabar dan internet. Adapun beberapa di antaranya adalah:

2.3.1 Putroe Neng antara Dongeng dan Mitos

Sebuah resensi berjudul Putroe Neng Antara Dongeng dan Mitos? dalam harian Analisa (Minggu, 11 Maret 2012) adalah karya Idris Pasaribu. Menurutnya kisah atau hikayat yang diceritakan secara turun temurun di Aceh ini adalah sebuah fakta sejarah. Meskipun ada yang menyebut mitos, Idris bertahan mitos tidak selamanya kebohongan. Hanya saja mitos selalu tak tertulis. Bagi Idris apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah di Aceh ketika datangnya bangsa-bangsa lain ke negeri Aceh dengan berbagai cara dan berbagai kepentingan. Baik ekonomi dan politik serta kekuasaan. Hal yang menjadi pertanyaan besar bagi Idris benarkah Putroe Neng berasal dari China? Bukankah tak mungkin dia berasal dari Burma, Korea, Mongolia, Vietnam atau Kambodia? Melihat namanya yang empat suku kata, Nian Nio Liang Khie adalah marga Nian atau marga Nio bagi orang Tionghoa daratan, bahkan China dan Taiwan, bukankah mereka memastikan diri, nama mereka hanya tiga suku kata. Kalau Nian adalah sebuah gelar atau titel, maka dia adalah marga Nio?

Ayi Jufridar membawa alam pikiran pembaca berkelana mengitari wilayah bekas berbagai kerajaan di Aceh. Secara lembut Ayi juga memaparkan bagaimana kearifan lokal dari para genius lokal, terlebih mereka para tuan guru. Keislaman sangat sarat dalam novel ini, menyampaikan pesan-pesan Islam. Seorang Syeikh


(21)

Syiah Hudam, ternyata mampu melewati malam pertamanya di atas ranjang bersama Putroe Neng, karena dia seorang ulama besar dari Peureulak. Islam bukan agama yang mengandung makna kekerasan, namun Islam akan mengulurkan tangannya dengan baik kepada siapa saja, termasuk non Islam jika mereka memang membutuhkan uluran tangan Islam.

Kalau ada yang mengatakan Putroe Neng adalah pelengkap sejarah di Aceh, bagi Idris novel Putroe Neng adalah bagian dari catatan sejarah Aceh itu sendiri. Tiga kerajaan di Aceh yang cukup kuat yakni Kerajaan Indra Patra, Indra Jaya, dan Indra Puri sekarang berada di dalam Aceh Besar dan ketiga benteng bekas kerajaan itu masih ada, walau kurang terawat. Benteng kerajaan itu, membuktikan kalau apa yang ditulis oleh Ayi Jufridar adalah sebuah sejarah dengan pendekatan penulisannya gaya mitos. Selama ini di Aceh dalam hikayat, selalu diceritakan tentang 100 orang suami Putroe Neng. Diceritakan tentang kecantikan Putroe Neng dan keperkasaannya dalam peperangan. Ada yang percaya ada yang tidak tentang ke 99 suami Putroe Neng. Sekali lagi, ke 99 suami Putroe Neng adalah bumbu penyedap dalam hikayat. Ayi Jufridar justru mengangkat bagaimana kehebatan peperangan di tiga kerajaan kecil di Aceh itu. Ayi Jufridar mengangkat, bagaimana heroiknya putra-putri Aceh dalam berbagai peperangan.

2.3.2 Putroe Neng, Pemakan ....

Artikel berjudul Putroe Neng, Pemakan ... (judul lengkapnya dapat dilihat di laman

*

diposting oleh Dudi Rustandi dan diakses oleh peneliti pada tanggal 11 Agustus 2012 pukul 12.20 WIB berisi komentarnya mengenai novel Putroe Neng. Dalam tulisannya Dudi Rustandi


(22)

menyebutkan bahwa Aceh ternyata banyak menyimpan wanita-wanita perkasa. Tidak hanya Syeikh Keumala Hayati yang mampu melawan merubuhkan 100 prajurit Portugis dalam medan pertempuran pada tahun 1600-an, juga ada wanita perkasa lainnya yang kerap menjadi ikon pejuang wanita Indonesia, Cut Nyak Dien dan Cut Meutia.

Membaca Novel ini kita akan diajak penulisnya berkeliling-keliling ke wilayah kerajaan Aceh masa lampau, terutama menyampaikan pesan tentang kearifan bangsawan Islam yang tumbuh di Aceh. Islam bukanlah agama perang, bahkan seorang muslim akan mengulurkan tangannya kepada nonmuslim jika benar-benar membutuhkannya seperti dilakukan oleh kerajaan Peureulak dan Syeikh Syiah Hudam. Kearifan Islam inilah sesungguhnya yang menjadi daya tarik bangsa lain terhadap Islam seperti ditunjukan oleh kerajaan Indra Purba. Penulis dengan baik berhasil menggambarkannya. Novel ini pun mengajarkan bahwa sebuah do’a akan terkabul jika dibarengi dengan ikhtiar fisik sehingga mendapat hasil yang sempurna seperti dilakukan oleh murid dan guru (Syeikh Syiah Hudam) saat melewati malam pertamanya. Jika salah-salah membaca, novel ini akan dianggap sebagai sejarah Aceh pada masa lampau dengan menjadikan Putroe Neng sebagai pelengkap cerita belaka sebagai salah satu daya tariknya.

Kedua tinjauan di atas telah melengkapi penelitian ini. Namun, yang membedakannya adalah penelitian ini lebih komplek membahas dari dua sudut pandang yaitu struktur dalam dan struktur luar (genetiknya). Penelitian ini menjabarkan struktur pembangun karya sastra dan asal-usul lahirnya Putroe Neng karya Ayi Jufridar dengan mengkaji strukturasi, subjek kolektif, fakta kemanusiaan, dan pandangan dunia.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dipadu dengan metode wawancara. Metode kualitatif deskriptif berupa data-data yang diperoleh dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005: 6)

Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pecandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Secara harfiah penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat pecandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Sekaligus merupakan akumulasi data dasar dengan cara deskriptif (lihat Suryabrata, 1994: 18)

Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara (Fathoni, 2006: 105). Selanjutnya data-data wawancara diolah, dideskripsikan, dan dianggap sebagai data sekunder pendukung data primer.


(24)

3.2 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer, yaitu buku yang secara langsung berkaitan dengan objek material penelitian, sedangkan sumber data sekunder, yaitu sumber data yang berupa buku-buku serta kepustakaan yang berkaitan dengan objek material (Kaelan, 2005: 148).

Data primer :

Judul Novel : Putroe Neng Pengarang : Ayi Jufridar Penerbit : PT Grasindo

Jumlah Hlm : xvi+384 halaman (terdiri atas 27 bagian + epilog) Cetakan : Pertama

Tahun Terbit : 2011

Sampul : Warna Merah dominan Desain Sampul: Hagung Sihaq

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah membaca heuristik. Rahmat Djoko Pradopo (dalam Jabrohim, 2001: 84) menjelaskan, metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan. Cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan. Selain itu, teknik simak dan catat


(25)

juga diterapkan pada penelitian ini, yaitu peneliti melakukan kegiatan membaca dan menyimak dengan teliti kemudian mencatat hal-hal yang penting dan disimpulkan. Teknik simak dan catat lebih dikenal dengan istilah teknik pustaka (lihat Subroto, 1992: 42)

3.4 Teknik Analisis Data

Penelitian strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagi sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra (Endraswara, 2008: 56).

Secara sederhana penelitian dengan metode strukturalisme genetik dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik karya sastra, baik parsial maupun secara keseluruhan berupa: tema, plot, setting, serta tokoh dan penokohan.

2. Mendeskripsikan latar belakang kehidupan sosial pengarang.

3. Mendeskripsikan latar belakang sosial dan sejarah yang turut andil mengkondisikan karya sastra saat diciptakan. (lihat Jabrohim, 2001: 64-65)


(26)

BAB IV

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK PUTROE NENG

4.1 Strukturasi Novel Putroe Neng

Putroe Neng sebagai karya yang lahir dengan latar belakang sebuah subjek kolektif di ujung barat Indonesia telah tercipta dengan tema yang memadukan berbagai sisi kehidupan baik percintaan, nasionalisme, religi, norma, sejarah, feminisme, bahkan mitos. Novel Putroe Neng sejatinya beralur maju dengan mengawali kisah kematian tragis Meurah Johan sebagai bagian prolog. Diangkat dari sebuah cerita rakyat Putroe Neng terdiri atas puluhan nama tokoh dengan klasifikasi tertentu. Ada sekitar 55 tokoh yang terdapat dalam novel Putroe Neng dan ada sejumlah tokoh yang paling berpengaruh dengan klasifikasi penokohan/perwatakan yang berbeda, setidaknya ada sekitar sebelas nama yang dipaparkan berikut.

Pertama, tentu saja sang tokoh utama yaitu Putroe Neng dengan nama asli Nian Nio Liang Khie putri seorang Laksamana Liang Khie yang berasal dari Tiongkok berlayar menuju pulau seberang lautan (Aceh) dengan harapan dapat menaklukkannya dan mendirikan kerajaan baru. Tidak lama berada di pulau yang baru mereka tempati Laksamana Liang Khie meninggal dan meregenerasi kepemimpinan pada putrinya Nian Nio Liang Khie. Nian Nio Liang Khie adalah wanita berparas cantik, berkulit putih seperti sutra, ditakuti lawan dan disegani kawan, cerdas, tangkas, ambisius, dan cukup bijaksana. Memiliki 100 orang suami dengan suami pertama adalah Meurah Johan diikuti Sambo, Ahmadi Samarkilang, Aman Lebuh, Gundala Pati, Utih Jebing dan seterusnya sampai suami ke-100 Syekh Syiah Hudam.


(27)

“Militer laut Kerajaan Seudu dipimpin oleh Laksamana Nian Nio Liang Khie, putri dari Maharani Liang Khie yang masih sangat muda. Seperti ibundanya, Nian Nio Liang Khie adalah seorang perempuan berkulit kuning lembut seperti sutra. Di bawah sinar matahari, kulitnya terlihat berkilauan oleh keringat yang membuat prajurit muda itu seperti hendak menetes air liurnya” (hlm. 85)

“Kita semua tahu, Nian Nio seorang bekas maharani dengan wilayah kekuasaan yang luas. Dia juga memiliki kemampuan tempur yang tidak ada tandingannya. Dia sudah merobohkan seratus laki-laki di medan perang.” (hlm. 278)

Bersama seorang sepupu yang ahli mengayun pedang Perwira Kun Khie berusia 21 tahun, berambut panjang, memiliki pedang yang paling mematikan yang diberi nama Shiwu, Kun Khie sangat ditakuti. Dengan kepribadiannya pemimpin pasukan Tiongkok itu dan ribuan pasukan terlatih lain tidak heran mampu melumpuhkan kerajaan Indra Jaya dengan mudah. Kemudian Indra Jaya diberi nama Kerajaan Seudu dengan Panton Bie sebagai pusat pemerintahan.

Ketiga, Meurah Johan anak ketiga raja Lingga dan keempat, Syekh Abdullah Kana’an atau Syekh Syiah Hudam. Meurah Johan adalah pria yang memiliki kecerdasan yang tinggi, tampan, menawan, ahli pedang dan siasat, taat beribadah, dan awalnya dipersiapkan sebagai penerus Kerajaan Lingga. Namun perjuangannya menghantarkan dirinya menjadi raja Kerajaan Darut Donya Aceh Darussalam.

“Wakil pasukan tersebut bernama Meurah Johan yang dilukiskan sebagai seorang perwira gagah perkasa arif bijaksana.” (hlm. 166)

“Tapi, otot-ototnya kuat. Urat-urat di tangannya terlihat menonjol seperti akar-akar pohon jalar. Dia menguasai ilmu pedang dengan baik dan mengajarkannya kepada para prajurit kita. Dia bisa bertarung pedang di atas punggung kuda sebaik bertarung di atas tanah. Kata Bitra, Pangeran Meurah Johan bisa memainkan pedang dengan tangan kanan dan kiri sekaligus atau memadukannya dengan tombak. Jarang sekali ada prajurit yang memiliki kemampuan seperti itu.” (hlm. 168-169)

“Lelaki yang awalnya dipersiapkan menerima warisan Kerajaan Lingga, akhirnya malah menjadi penguasa Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam, sebuah nama yang lahir dari penyatuan Indra Purba, Indra Patra, Indra Puri, dan seudu. Meurah Johan ditetapkan sebagai sultan


(28)

pertama pada hari pertama bulan Ramadan dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah.” (hlm. 280)

Syekh Syiah Hudam adalah guru Meurah Johan keturunan Arab, berjanggut, tinggi, bijaksana, sangat disegani karena ilmunya yang tinggi, ahli siasat, bijaksana, dan seorang alim.

“Menurut kabar yang dibawa utusan, pasukan tersebut dipimpin Syekh Abdullah Kana’an yang juga seorang guru besar di Zawiyah cot Kala.” (hlm. 166)

“Syekh Syiah Hudam bukan hanya memperkenalkan dan mengajarkan cara menanam, tetapi juga mengisahkan sejarah penemuan berbagai tanaman tersebut sehingga rakyat Indra Purba menjadi terang benderang pengetahuannya seperti bulan purnama.” (hlm. 194)

“Ia dikabarkan datang dari sebuah negeri di Timur Tengah bersama 100 orang dalam sebuah rombongan yang dipimpin nakhoda khalifah. Rombongan tersebut terdiri dari orang Persia, Arab, dan Gujarat.” (hlm. 182)

Kelima, Raja Indra Sakti (raja Kerajaan Indra Purba) memiliki seorang permaisuri dan dua orang putri yang cantik. Salah satu putrinya yaitu Putri Indra Kesuma adalah istri pertama Meurah Johan. Raja Indra Sakti adalah seorang yang disegani oleh rakyatnya, cerdas, tanggap, dan cukup bijak.

“Namun di dalam istana, Raja Indra Sakti membuat kebijakan khusus. Ia memerintahkan lumbung selalu penuh untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. (PN: 29)”

““Dengan cara demikian gudang makanan akan tetap aman,” tegas Raja Indra Sakti yang tidak terbantahkan. (PN: 30)”

“Raja Indra Sakti mengingatkan kepala tukang istana agar tidak ada korbandalam pembangunan lumbung tersebut. (PN: 31)”

“Raja Indra Sakti mempersilakan seluruh keluarga istana dan rakyat Indra Purba untuk memegang keyakinannya msing-masing, tetapi tetap menghargai dan menghormati keyakinan kaum yang lain. (PN: 202)”

Keenam, Barata Yudha seorang prajurit terbaik Kerajaan Indra Purba. Dia juga pemimpin rombongan perwira Kerajaan Indra Purba yang dilatih di Peureulak sekaligus suami putri sulung Raja Indra Sakti yaitu Putri Nila Kesuma. Tertarik pada Islam dan kemudian menjadi muallaf.


(29)

“Maaf Baginda Raja. Sejak beberapa bulan lalu, saya dan sejumlah prajurit kita sudah memeluk agama mereka. Saya mohon Baginda tidak murka dengan pilihan kami ini,” ujar Barata Yudha.... (PN: 197)”

Ketujuh, Annisa adalah prajurit wanita rombongan Laskar Syiah Hudam yang berasal dari Peureulak yang tidak lain adalah keponakan Raja Peureulak Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah. Annisa adalah wanita yang cerdas, taktis, dan berani.

“Sementara Annisa bersama sejumlah perwira lainnya, mengajarkan ilmu pengobatan dengan memanfaatkan berbagai tumbuhan yang ada di sekitar. (PN: 195)”

“Bagaimanapun juga Annisa adalah keponakan Sultan. (PN: 208)”

“Selama ini Annisa ternyata bukan diculik. Mereka sengaja menyusup ke wilayah Indra Patra justru untuk menawan Sri Ranarendra.... Pertempuran akan berlangsung lebih lama lagi seandainya Annisa gagal menyusup ke istana Indra Patra dan menawan Sri Ranarendra. (PN: 224)”

Selanjutnya Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah, yaitu Raja Kerajaan Peureulak. Dikenal sangat bijaksana, hangat, dan alim. Ada pula Yupie Tan seorang tangan kanan Putroe Neng yang paling setia menemaninya hingga akhir cerita. Yupie Tan juga mencatat seluruh perjalanan Putroe Neng. Namun sayang catatan tersebut jatuh ke tengah samudera dalam badai di perjalanan laut mereka. Kesepuluh, ada Latifah sahabat Annisa yang termasuk dalam laskar Syiah hudam. Kesebelas, Lilian Chen. Dia adalah prajurit perempuan Putroe Neng. Lilian Chen adalah pengkhianat bagi Putroe Neng. Ia berdusta kepada Kun Khie sehingga pihak Seudu mengalami kekalahan.

Kesebelas tokoh di atas telah mewarnai cerita Putroe Neng dengan penokohan yang sangat detil dan beragam. Tokoh-tokoh tersebut sejatinya adalah tokoh utama yang kerab disebut-sebut sepanjang alur novel. Meskipun memiliki watak atau karakter yang berbeda, namun para tokoh tersebut telah membuat novel Putroe Neng menjadi sangat berdinamika.


(30)

Ada hal menarik lain yang perlu dibicarakan yaitu latar. Latar tempat dan nama kerajaan yang disebutkan pengarang sebagian besar dapat ditelusuri keberadaannya, seperti Kerajaan Lingga, Lamuri, Indra Jaya, Kerajaan Seudu, Panton Bie, Kerajaan Indra Purba, Indra Patra, Indra Puri, Kerajaan Samaindra, dan Kerajaan Samudra Pasai, Gunung Geureutee, Lingga atau Linge, Gunung Burni Telong dan Danau Laut Tawar, Negeri Saba, Seureule, Peunaron, Isaq, Sungai Jemer, Kuala Naga, Benteng Indra Kesumba, Rima, Lambaro Nejib, Ateuk, Lampeuneureut, Bukit Barisan Eumpe Awee, Blang Bintang, Lambaro, Lamsayun, Lamgarot, Ketapang Dua, Puni, Peunayong, Lamprik, dan Lingke, Neusu, Lamseupeung, Lung Bata, Lambhuk, Lampineung, Kuta Podiamat, Krueng Naga, dan Kuta Raja.

Selain itu ada pula nilai-nilai penting yang digambarkan pengarang sebagai amanat, yaitu nilai-nilai religius dan kemanusiaan, toleransi beragama, kesetaraan gender, ilmu pengetahuan dan penyebaran peradaban, strategi perang, kebijaksanaan, dakwah dan sebagainya. Semua nilai ini digambarkan dalam diri atau sosok yang heroik dan patut diteladani pada diri sang tokoh.

4.2 Subjek Kolektif

Strukturalisme genetik memandang pengarang sebagai wakil dari subjek kolektif atau bagian dari masyarakat yang dibicarakannya. Ia adalah hasil dari kelompok sosial yang melahirkan dan telah mempengaruhi kepengarangannya. Sehingga karyanya merepresentasikan diri dan kelompok sosialnya. Aspirasi atau ide-ide yang dituangkan pengarang dalam karyanya bukanlah semata-mata lahir dari dirinya sebagai individu, melainkan sebagai kolektif yang diwakilinya.


(31)

Subjek kolektif yang melahirkan gagasan-gagasan yang digambarkan pengarang yang terdapat dalam novel Putroe Neng secara garis besar ada tiga kelompok. Meskipun ketiganya pada kenyataannya pula, dan pada akhirnya melahirkan sebuah kelompok besar yang kini menjadi kelompok sosial tempat pengarang berada. Ketiganya diklasifikasikan berdasarkan keyakinan, budaya, dan latar tempat mereka berada. Hingga akhirnya keyakinan, budaya, dan latar tempat mereka lahir dan ada melahirkan sebuah sistem, gagasan, aspirasi, perasaan, falsafah kehidupan yang mereka jalani secara bersama-sama sesuai kelompoknya. Adapun ketiganya adalah masyarakat Peureulak dengan Islamnya, Indra Purba dengan Animismenya, dan Seudu dengan gagasan Tiongkoknya.

4.3 Pandangan Dunia

Karya sastra menunjukkan nilai-nilai yang dikandungnya melalui pandangan dunia dan sekaligus menyampaikan maknanya. Disamping itu pula pandangan dunia adalah identitas suatu kolektif dengan kesadaran tertentu. Meskipun demikian pandangan dunia bukanlah suatu fakta empiris melainkan terdiri atas gagasan, aspirasi, dan perasaan yang menyebabkan bersatunya suatu kelompok sosial masyarakat tertentu.

Novel dianggap sebagai genre yang paling memadai untuk menerjemahkan kompleksitas struktur sosial (Ratna, 2002: 104). Merujuk pada pernyataan Ratna tersebut sesuai dengan situasi yang terdapat dalam novel Putroe Neng Ayi Jufridar menggambarkan begitu banyak situasi yang menunjukkan pandangan dunia sebuah subjek kolektif. Pandangan dunia yang dimaksud adalah pemaparan situasi cerita dengan menghadirkan nilai-nilai religi, pendidikan, pesan moral, filosofi, norma-norma, adat, tradisi, karakter, dan budaya yang dimiliki


(32)

subjek kolektifnya digambarkan oleh pengarang baik eksplisit maupun inplisit atau baik dalam bentuk narasi maupun dalam bentuk dialog para tokohnya.

Pandangan dunia yang dimiliki oleh subjek kolektif satu dengan yang lainnya menjalankan aspirasi, gagasan, dan apa yang mereka yakini secara bersama-sama sesuai kelompoknya. Antara masyarakat Peureulak dalam hal ini adalah masyarakat penganut Islam (sebagai gagasan yang diyakini) dengan ilmu agamanya dan masyarakat Indra Purba penganut Hindu (dimungkinkan menganut agama Hindu karena tidak disebut secara eksplisit, namun Dewa yang disebut yaitu Dewa Baruna adalah Dewa Hindu yaitu Dewa penjaga laut, ditambah pula dengan tradisi sesajen) (lihat PN: 12-19), serta masyarakat Tiongkok (diwakili oleh sekitar dua ribu orang) dengan filosofi, kemajuan seni dan kerajinannya.

1. Pandangan Islam dan Masyarakat Peureulak

Salah satu subjek kolektif yang paling dominan dalam Putroe Neng adalah masyarakat Kerajaan Peureulak yang menganut sistem Islam sekaligus merupakan komunitas yang memengaruhi lahirnya masyarakat pribumi Aceh sekarang dengan pola pikir, filosofi, karakter, pendidikan, keyakinan, dan sistem atau cara hidup yang mereka lakukan. Karena memiliki karakter keislaman dan keyakinan yang kuat terhadap Islam masyarakat Peureulak pun hidup dengan petunjuk Islam. Sehingga pandangan Islam memenuhi ruang gerak masyarakat Peurelak termasuk pendidikan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2007: 262) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan mempunyai pengertian: proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau


(33)

kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, dan cara mendidik. Dalam hal pendidikan Islam mengenal sistem dakwah yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan dan mensyiarkan syariat Islam itu sendiri kepada setiap manusia.

Sebagai subjek kolektif yang menganut sistem Islam dan sudah mengenal dunia luar masyarakat Peureulak ditampilkan begitu bersahaja, cerdas, religius, dan disiplin. Hal tersebut tergambarkan dalam novel Putroe Neng sebagai berikut:

Data 1

“Laskar Syiah Hudam tidak saja mengajarkan ilmu peparangan kepada prajurit dan pemuda Indra Purba, tetapi mereka mengajarkan ilmu pertanian terutama menanam lada. (PN: 194)”

Data 2

“Selain lada, Laskar Syiah Hudam juga mengajarkan rakyat Indra Purba menanam kopi di daerah-daerah yang tanahnya cocok, kelapa, pala, dan sebagai tanaman lainnya yang sebagian besar tidak pernah diketahui rakyat Indra Purba. Bahkan, ada yang tidak tahu bahwa di dunia ini terdapat tanaman-tanaman tersebut, yang bermanfaat untuk berbagai kebutuhan. (PN: 194)”

Dalam cuplikan narasi di atas mengungkapkan dengan jelas bahwa masyarakat Peureulak adalah telah berperadaban yang cukup tinggi dan berilmu pengetahuan setidaknya kemampuan untuk bertahan dengan ilmu perang dan bertahan dengan bercocok tanam. Mengingat tanaman yang diajarkan untuk ditanami adalah tanaman rempah yang pada masa lalu adalah harta karun negeri yang berada di daratan Asia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Peureulak menyadari potensi dari tanaman seperti rempah dan kopi untuk kesehatan dan perdagangan internasional.

Data 3

“Syekh Syiah Hudam bukan hanya memperkenalkan dan mengajarkan cara menanam, tetapi juga mengisahkan sejarah penemuan berbagai


(34)

tanaman tersebut sehingga rakyat Indra Purba menjadi terang benderang pengetahuannya seperti bulan purnama. (PN: 194-195)”

“Laskar Syiah Hudam juga mengajarkan bahasa Arab kepada rakyat Indra Purba baik secara tutur maupun dalam bentuk tulisan. Sementara Annisa bersama sejumlah perwira lainnya, mengajarkan ilmu pengobatan dengan memanfaatkan berbagai tumbuhan yang ada di sekitar. (PN: 195)”

Selanjutnya dakwah adalah metode pendidikan Islam yaitu menyampaikan pengetahuan walau satu ayat yang coba diterapkan oleh pengarang. Memperkenalkan dan mengajarkan cara menanam dan ilmu pengobatan adalah bentuk dakwah, yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan dan kebaikan.

Data 4

“Ketaatan Laskar Syiah Hudam juga membuat kagum seluruh rakyat Indra Purba. Ketika mereka sedang berlatih di lapangan dan sudah tiba waktu asar, maka serta-merta latihan dihentikan dan seluruh prajurit mendirikan salat dengan Syiah Hudam sebagai imamnya yang kadang bergantian dengan Meurah Johan. (PN: 196)”

Islam mengajarkan disiplin. Ibadah wajib dan beberapa ibadah sunnah telah diatur cara dan waktu pelaksanaannya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah sebuah agama dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Karena sedari awal kemunculannya Islam sudah memperkenalkan yang disebut dengan ‘jadwal’. Sehingga masyarakat Peureulak (dalam hal ini adalah salah satu subjek kolektif yang terdapat dalam novel Putroe Neng) memiliki atau menganut budaya disiplin karena pengaruh Islam. Seperti ibadah shalat yang sudah diatur cara dan waktu pelaksanaannya. Bagi yang melanggar tentu ada sanksi yang harus diterima. Selain shalat, Islam mendefinisikan ibadah secara lebih luas dan universal menembus batas perbedaan suku, agama, dan ras. Namun, tetap ada aturan mainnya, ada batas-batas yang harus dijaga. Sebagaimana uraian dialog yang disampaikan Barata Yudha berikut.


(35)

““... Sesungguhnya, semua perbuatan baik yang kita lakukan di dunia ini termasuk ibadah. Itulah mengapa Kerajaan Peureulak bersedia membantu kita meskipun kita menyembah Tuhan yang berbeda.” (PN: 197)”

Islam memandang setiap manusia adalah sama, yang membedakannya adalah keimanannya kepada Tuhan Allah Swt. Sehingga tidak ada batas atau jarak antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Seperti raja dengan rakyat, komandan dengan anggotanya, pemimpin dengan bawahannya, dan lain-lain.

Data 6

“Mereka sangat bangga bisa menyentuh tangan kokoh itu karena dengan Raja Indra Sakti saja mereka tidak pernah merasakan keakraban seperti itu. mereka seperti diingatkan bahwa tiada batas antara seorang raja dengan prajurit biasa. (PN: 186)”

Data 7

““Sampaikan persembahan ini kepada Raja Indra Purba....,” katanya sembari menyerahkan kotak kayu berukir dan gulungan surat.... Biasanya, raja yang lebih kecil yang menyerahkan persembahan kepada raja yang lebih kuat sebagai bentuk penghormatan atau kadang sebagai bentuk rasa takluk. Namun kalau sekarang Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah menyerahkan sesuatu kepada Raja Indra Sakti― selain penyerahan pasukan bantuan ― tentulah itu bukan isyarat takluk. Hanya penguasa yang berjiwa besar yang mampu melakukan itu dengan sebuah keyakinan hanya Allah saja Penguasa sekalian alam sehingga seluruh makhluk ciptaan-Nya tidak harus menyombongkan diri. (PN: 186-187)” Di samping nilai-nilai di atas, Islam telah mendidik umatnya dengan penuh kesahajaan, cerdas, dan bermartabat. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah dari Peureulak digambarkan sebagai sosok yang sangat mewakili seorang muslim yang memiliki karakter muslim sejati. Layaknya apa yang dipikirkan oleh Barata Yudha berikut:

Data 8

“Dia merasakan setiap perkataan yang keluar dari mulut Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah mengandung makna yang kuat. Penuh kehormatan dan wibawa, kendati disampaikan dengan tekanan yang datar, kecuali di beberapa kalimat sangat penting ia memberikan penekanan yangt tajam. (PN: 130)”


(36)

Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah pun menunjukkan kebesaran hatinya sebagai seorang raja yang penuh perhatian bahkan kepada prajurit biasa sekalipun.

Data 9

““Berjuanglah untuk Indra Purba kalau ingin membalas jasa rakyat Peureulak. Pertahankan Indra Purba, dan tegakkan agama Allah dan jadilah syuhada di jalan Allah. Jangan takut mati, sebab seorang mujahid yang terbunuh di jalan Allah bukan mati. Pada hakikatnya mujahid tetap hidup,” Sultan Makhdum Alaiddin menepuk-nepuk bahu Barata Yudha seolah sedang melepaskan putranya di medan pertempuran. (PN: 186)”

Selanjutnya, toleransi adalah kata yang tepat bagi masalah yang dipaparkan di atas. Sejalan dengan yang pengarang sebutkan bahwa salah satu nilai yang ia ingin perkenalkan bagi pembaca adalah nilai toleransi. Toleransi antar agama, toleransi antar budaya yang tentunya berakar dari toleransi terhadap perbedaan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa ibadah dalam Islam terdefinisi secara luas namun ada batas-batas dan aturan yang berlaku bagi terlaksananya ibadah yang dimaksud. Misalnya, ketika Kerajaan Peureulak memutuskan untuk membantu Kerajaan Indra Purba yang notabene berbeda keyakinan dan budaya hal ini merupakan ibadah yaitu “menolong atau membantu” sesama dan yang demikian disebut bentuk toleransi. Sehingga toleransi menjadi bagian dari ibadah dalam Islam. Dalam bertoleransi juga ada hal-hal yang perlu diperhatikan, salah satu contohnya seperti kutipan berikut.

Data 10

““... Prinsipnya, kami tidak keberatan prajurit Indra Purba belajar di Peureulak, baik ilmu perang maupun ilmu lainnya terutama akhlak. Namun, ada beberapa keputusan yang telah disepakati Dewan Kerajaan dan Dewan Syura. Salah satunya, seluruh prajurit Indra Purba harus mengahargai dan menghormati agama dan budaya rakyat Peureulak.


(37)

Karena kita berbeda agama, mungkin budaya kita juga berbeda. Kami akan menghargai dan menghormati agama yang dianut prajurit Indra Purba, dan kami berharap prajurit Indra Purba bersikap sama.” (PN: 129-130)”

Sikap-sikap toleransi dan bertanggung jawab adalah sikap yang sangat dibutuhkan pada masa itu sehingga mampu meredam gejolak dalam masyarakat.

Data 11

“Misalnya ketika mereka meminta semua prajurit Indra Purba menghormati orang tua kendati beberapa di antaranya bersikap menjengkelkan, mereka menunjukkan contoh bagaimana seharusnya menghadapi orang yang lebih tua usianya. Dengan cara seperti itulah para prajurit Peureulak membangun kehormatannya sehingga membuat prajurit Indra Purba yang berguru kepada mereka menjadi lebih patuh. (PN: 196)” Selanjutnya pendidikan akhlak adalah poin penting lainnya dalam Islam. Akhlak adalah kata yang sepadan dengan etika atau moral, begitulah yang dipaparkan oleh Dr. Mohd. Harun, M.Pd. (dosen sastra di UNSYIAH sekaligus pemerhati sastra dan budaya Aceh) dalam wawancaranya kepada penulis. Hal ini menegaskan bahwa masyarakat Peureulak hadir dengan Islamnya yang bersahaja. Mereka dituntun menjadi jujur, berbudi pekerti luhur, taat dan bertoleransi tinggi terhadap perbedaan khususnya perbedaan keyakinan dan budaya.

Data 12

“Selain kemiliteran dan siasat perang, seluruh prajurit juga dibekali dengan pelajaran akhlak sebagai bekal menjdi prajurit sejati. Seluruh prajurit dididik bersikap jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang lain, dan jujur kepada Allah. Pendidikan akhlak itu bukan bagian dari penyebaran agama, tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan militer di Zawiyah Cot Kala. (PN: 180)”

Disamping toleransi harus diingat bahwa Islam adalah agama dengan misi dakwah dalam arti bahwa Islam wajib disebarluaskan kepada seluruh umat manusia, namun penyebarannya tidak dilakukan dengan paksaan melainkan dengan damai. Apabila ikhtiar untuk berdakwah telah dilakukan selebihnya Tuhan


(38)

yang menentukan dengan hidayah. Itulah yang dijelaskan tokoh Syekh Syiah Hudam dalam data 13 dan 14.

Data 13

“Syekh Syiah Hudam sejak awal mengingatkan bahwa tempat pelatihan para prajurit dan rakyat Indra Sakti tersebut bukan tempat penyebaran agama. “Namun, bila mendapat hidayah dari Allah untuk memeluk keyakinan yang sama dengan kami, maka kami akan menerimanya dengan tangan terbuka sebagaimana Raja Indra Sakti menyambut kami dulu, ... (PN: 202)”

Data 14

““Kalaupun sebagian besar prajurit Indra Purba kemudian memutuskan menjadi saudara seiman dengan kita, itulah hidayah dari Allah dan tidak ada paksaan untuk itu. sejak zaman Rasulullah, Islam disebarkan dengan cara damai, bukan dengan pedang seperti fitnah yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam!” (PN: 180)”

Perang acapkali menjadi jalan keluar terakhir bagi dua pihak yang bertikai. Perang pun dimaknai berbeda-beda sesuai konteks dan bentuknya. Namun yang jelas perang dengan menggunakan senjata dan menelan korban jiwa adalah perang yang sesungguhnya. Perang terjadi tentu ada sebab dan akibatnya. Misalnya, sebab terjadinya perang adalah sengketa atau perebutan dan perluasan wilayah layaknya yang terjadi dalam Putroe Neng. Akibat yang ditimbulkan ada yang positif dan ada yang negatif tergantung dari sisi mana kita berpihak. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan tokoh Panglima Qaid Amm Asaduddin: Data 15

“Namun, ia mengingatkan bahwa peperangan adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dalam menyelesaikan sebuah masalah kerajaan. Peperangan bukan untuk harta dan kekuasaan, tetapi untuk menegakkan kebenaran. Dia meminta seluruh prajurit untuk mencintai sesama, termasuk kepada musuh-musuh dalam peperangan. Membunuh untuk melampiaskan nafsu sangat dilarang. (PN: 180-181)”

Pola berperang yang semacam itu adalah pola perang yang lahir dalam sistem Islam. Karena Panglima Qaid Amm Asaduddin adalah seorang muslim, maka ia


(39)

pun menerapkan pola atau strategi perang ala Islam. Dalam wawancara singkatnya Dr. Harun pun mempunyai pandangan yang sama terkait perang.

“... jadi kalau dibilang berperang di jalan Allah ya di jalan Allah tidak ada misalnya untuk mencuri atau untuk mendapat harta rampasan itu tidak ada. Apalagi orang-orang yang berperang itu orang kecil. Memang Lillahita’ala mereka. Kalau sekarang mungkin ada beberapa orang yang los. Begitu kan.”

Selain itu, ada pula perihal keikutsertaan perempuan dalam perang. Kerajaan Peureulak yang notabene adalah kerajaan Islam mempunyai prajurit perempuan dalam angkatan perangnya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan gender bagi siapa saja yang hendak menjadi pasukan atau prajurit keamanan negara (kerajaan). Begitu pula tambahan Dr. Harun terkait keikutsertaan perempuan dalam perang. Menurut Dr. Harun silakan saja bagi perempuan yang bersedia ikut berperang selama bukan paksaan. Tetapi apabila negara dalam keadaan darurat atau terdesak maka semua orang harus ikut berjuang.

Ayi Jufridar mencoba menyeimbangkan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam novel ini dengan menunjukkan keceerdasan dan kecekatan Annisa dalam strategi melumpuhkan lawan. Meskipun isu gender bukanlah hal yang utama dalam novel ini namun isu gender cukup menarik, karena pengarang mampu memaparkan peran laki-laki dan perempuan disesuaikan dengan kapasitasnya bukan disesuaikan dengan gender semata. Lebih lanjut Dr. Harun menyampaikan bahwa setiap orang harus diberikan posisi dia sebagaimana kemampuannya. Kalau perempuan bisa jadi pemimpin dan sanggup apa salahnya, bahkan jadi komandan perang sekalipun.

Data 16

“Selama ini Annisa ternyata bukan diculik. Mereka sengaja menyusup ke wilayah Indra Patra justru untuk menawan Sri Ranarendra.... Pertempuran


(40)

akan berlangsung lebih lama lagi seandainya Annisa gagal menyusup ke istana Indra Patra dan menawan Sri Ranarendra. (PN: 224)”

Apa yang dilakukan Annisa di atas menunjukkan bahwa Annisa adalah perempuan yang cerdas, memiliki strategi, berani, dan bertanggung jawab terhadap apa yang diembankan kepadanya. Artinya Annisa telah diberikan porsi yang sepadan dengan potensi dirinya. Memang Annisa bukanlah satu-satunya perempuan dalam novel Putroe Neng yang menjadi prajurit perang. Ada Latifah sahabatnya dan ada pula sekitar 18 perwira dan 75 prajurit perempuan lainnya (Data 17) yang memiliki bakat kemiliteran dan profesi yang sama dengan Annisa. Data 17

““Sultan melepaskan Laskar syiah Hudam dengan doa dan lambaian tangan yang luput dari pandangan Latifah… Laskar tersebut terdiri dari 400 prajurit dan 100 perwira, termasuk di antaranya 18 perwira dan 75 prajurit perempuan….” (PN: 189)”

Setelah membicarakan pandangan Islam yang diyakini masyarakat Peureulak pembahasan berikutnya beranjak ke watak atau karakter orang Aceh yang dalam Putroe Neng diwakili juga oleh masyarakat Peureulak. Dr. Harun memaparkan watak dasar orang Aceh salah satunya seperti yang digambarkan Ayi Jufridar pada data 18 berikut:

Data 18

“Banyak hal dari mereka yang membuat kagum rakyat, bahkan penghuni istana Lamuri. Salah satunya adalah kesesuaian kata dan perbuatan. Ketika prajurit Peureulak mengatakan satu hal, mereka juga berbuat dan bersikap seperti itu. (PN: 195-196)”

Berikut kutipan wawancaranya:

“Tapi saya mengatakan prototype orang Aceh watak dasar orang Aceh itu bagaimana mereka mengatakan begitulah mereka akan mengerjakan sesuatu,....”

2. Pandangan Animisme Indra Purba

Ketiga subjek kolektif yang disebutkan dalam Putroe Neng tidak digambarkan dengan porsi yang sama sehingga data primer masing-masing subjek


(41)

kolektif mengenai karakter ketiganya tidak dapat dihadirkan secara imbang. Pada sub ini akan dibahas masyarakat Kerajaan Indra Purba dengan filosofi dan karakter kelompok yang dimilikinya. Seperti yang telah disebutkan di awal bahwa masyarakat Kerajaan Indra Purba bisa jadi adalah penganut Hindu. Meskipun tidak disebutkan secara tersurat hal tersebut dapat terlihat pada ciri-ciri tradisi dan pandangan hidup yang mereka terapkan. Pada data 18 berikut dapat dilihat ciri-ciri yang dimaksud.

Data 19

“Satu kepala kerbau sudah disiapkan dalam wadah yang dianyam dari kulit bambu (PN: 12).”

“Di belakang kepala kerbau terdapat wadah lain berisi beras ketan yang dimasak dengan kunyit hingga berubah warna menjadi kuning dan mengeluarkan aroma khas setelah ditambahkan beberapa helai daun pandan... (PN: 13).”

“Paling akhir adalah berbagai jenis buah-buahan...(PN: 13).”

“Sebelum Dewa Baruna murka karena isi laut dikuras sepanjang hari sepanjang zama, mereka menggelar upacara persembahan untuk menyeimbangkan alam. (PN: 13).”

“Setelah membasahi ujung tangkai bunga dan rerumputan dengan air, tetua mencipratinya ke barisan para keluarga istana. (PN: 14)”

Dari data 18 dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indra Purba adalah masyarakat dengan kepercayaan animisme. Mereka percaya bahwa laut yang telah memberikan makanan melimpah bagi mereka ada yang menjaganya yaitu Dewa Baruna. Menurut penjelasan pengarang Dewa Baruna adalah dewa penjaga laut yang diyakini umat Hindu berdasarkan observasinya pada penganut Hindu. Selanjutnya ada upacara persembahan sesajen kepada dewa, dan adat yang biasa disebut tepung tawar juga dilakukan masyarakat Indra Purba. Hal ini membuktikan bahwa tradisi pada data 18 adalah tradisi dari Hindu. Sejalan dengan sejarah nusantara bahwa sebelum Islam menduduki nusantara Hindu telah berkembang terlebih dulu.


(42)

Masyarakat Indra Purba juga sering kali mengaitkan setiap peristiwa aneh yang terjadi di sekeliling mereka dengan perubahan cuaca. Kemudian meminta tetua agama untuk melangsungkan upacara tolak bala dan meditasi guna mendapatkan tanda-tanda apa yang akan terjadi di masa depan (lihat PN: 20-25). Data 20

“Namun, hujan yang turun membuat jalanan menjadi licin sehingga seorang prajurit di sebelah kanan depan tergelincir.... Alat itupun sujud dan tubuh Indra Sakti meluncur ke luar disusul permaisuri. Terdengar teriakan kemarahan Raja Indra Sakti disertai jeritan permaisuri. (PN: 20)” “Tapi, lebih banyak yang percaya bahwa kejadian tersebut merupakan sebuah pertanda kurang baik dari dewa terhadap Raja Indra Sakti bahkan Kerajaan Indra Purba. (PN: 21)”

“Mereka mengaitkan kejadian itu dengan cuaca yang berubah buruk setelah upacara selesai. (PN: 21)”

“Pemangku adat mengatakan mereka akan melakukan upacara untuk menolak bala. Mereka juga akan bersemadi untuk mendapatkan wangsit. (PN: 23)”

“Upacara tolak bala hanya berlangsung sesaat. Tetapi, semadi berlangsung berhari-hari. Pemuka agama tidak akan berhenti sebelum mereka mendapatkan petunjuk. (PN: 23)”

““Akan ada bencana besar, mungkin semacam gempa bumi....” (PN: 23)” Selain itu, ada pemandangan berbeda dan unik yang tidak disadari atau mungkin bisa jadi sangat disadari oleh masyarakat Indra Purba namun mereka mengabaikannya. Dalam prosesi persembahan kepada dewa laut tepatnya saat sesajen dilarungkan ke tengah-tengah lautan, ternyata sesajen itu diambil oleh manusia bukan dewa.

Data 21

“Ketiga lelaki yang mencuri sesajen, juga tidak kalah cemas dengan kejadian tersebut. “Mungkin dewa marah terhadap kita, dan menimpakan kemarahannya kepada seluruh rakyat Lamuri,” kata lelaki penyelam.

“Kita sudah mengambil sesajen berkali-kali. Tapi, dewa tidak pernah marah. Kenapa harus kali ini ia marah?” kata lelaki berparut dan temannya yang seorang lagi mengangguki.

“Kita tidak pernah tahu kapan dewa marah. Dia tidak pernah mengatakannya, tidak seperti kamarahan kalian!” balas lelaki penyelam dengan nada suara tinggi. (PN: 22)”


(43)

Masyarakat Indra Purba cukup terbuka dan memiliki pola pikir yang cukup dinamis. Mereka dapat menerima perbedaan dengan baik dan memiliki toleransi yang cukup tinggi. Ketika masyarakat Peureulak datang ke Indra Purba mereka menyambutnya dengan baik dan memaklumi perbedaan kebudayaan di antara mereka. Terlebih lagi ada yang bisa menerima pemahaman masyarakat Peureulak dengan mengikuti dan menganut keyakinan dan pandangan dunia yang sama. Meskipun demikian tradisi lain yang dirasa sulit ditinggalkan masih tetap dijalankan setelah berislam. Misal prosesi pernikahan yang diisi dengan kegiatan adat, padahal Islam tidak memperkenalkan tradisi apapun selain ijab kabul dan syarat sahnya dalam prosesi pernikahan.

Data 22

“Namun ketika malam menjelang, mereka ternyata masih sibuk dengan berbagai upacara yang menjadi tradisi di Indra Purba yang belum sepenuhnya hilang karena dianggap bagian dari budaya. Misalnya, Meurah Johan harus melalui jembatan merah untuk sampai di pelaminan tempat Indra Sakti duduk menantinya. (PN: 258)”

3. Pandangan Tiongkok Seudu

Setelah membicarakan pandangan dunia masyarakat Peureulak dan Indra Purba selanjutnya pandangan dunia masyarakat keturunan Tiongkok Kerajaan Seudu. Berbeda dengan dua kerajaan lain bekas Kerajaan Indra Jaya ini dikuasai oleh pasukan yang datang dari Tiongkok dan pusat pemerintahannya terletak di Panton Bie. Pemimpin pasukannya seorang perempuan bernama Laksamana Liang Khie. Pasukan dari Tiongkok itu membawa hal-hal baru ke dalam lingkungan Kerajaan Seudu, baik berupa barang, aktifitas ekonomi (barter), seni, perbaikan sarana, ilmu bela diri/pedang, berbagai bentuk latihan kemiliteran, dan kebijakan-kebijakan lainnya (lihat PN: 80-88).


(44)

Data 23

“Perempuan itu tidak hanya mengubah gaya pemerintahan, tetapi juga mengubah wajah Panton Bie. Mulanya istana dipercantik dengan lampu lilin yang bercahaya kemerahan akibat pantulan dari penutup kain tipis berwarna merah menyalaa dengan garis-garis hitam di sekitarnya. (PN: 52)”

“Demam lampu juga membuka lahan baru. Seorang warga Tiongkok yang ikut bersama rombongan Laksamana Liang Khie membuat lampu itu dalam jumlah banyak untuk ditukarkan dengan berbagai hasil bumi yang ada di Seudu. (PN: 53)”

“Kemajuan peradaban lainnya yang dibawa Maharani Liang Khie ke Seudu adalah bunga-bungaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal rakyat Kerajaan Indra Jaya. (PN: 54)”

“Namun, dari seluruh kemajuan, yang paling dirasakan rakyat adalah perbaikan dan pembukaan jalan-jalan baru di beberapa wilayah Seudu. Rakyat seperti disadarkan oleh sebuah kenyataan. Ternyata, jalan baru tersebut tidak harus menunggu tercipta secara alamiah seperti yang mereka ketahui secara turun-temurun. (PN: 54)”

“Kemudian, dia membuat maklumat baru. Para pemuda dan pemudi berusia antara 17 hingga 35 tahun, wajib mengikuti pelatihan militer. (PN: 55)”

“Kekuatan militer Kerajaan Seudu dibangun berlapis. (PN: 80)”

“Pelatihan militer meliputi memanah, latih pedang, dan berkuda. (PN: 82)” Data di atas menjelaskan bahwa rombongan yang datang dari Tiongkok itu adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban yang cukup tinggi. Bahkan mampu menyebrang lautan dengan visi memperluas daerah kependudukan mereka. Orang-orang yang mampu memikirkan hal semacam perluasan daerah adalah orang yang berpola pikir dinamis. Optimisme, kecerdasan, kesetiaan dan kepercayaan diri yang tinggi adalah modal utama bagi mereka untuk bertahan. Mereka juga tidak akan segan mengayunkan pedang bagi siapapun yang melanggar perjanjian dan aturan. Pengkhianatan adalah hal terburuk yang mampu menggoyahkan mereka.


(45)

Data 24

“Nian Nio sangat terpukul sekaligus marah dengan kenyataan tersebut. (PN: 246)”

“Namun, semua bayangan tersebut sirna oleh sebuah pengkhianatan.... Membuat keringat yang menetes dari tubuhnya seperti tetesan darah yang mengalir dari ulu hati. (PN: 247)”

Itulah yang bagi Goldmann (dalam Faruk, 1994: 16) disebut pandangan dunia yang berisi gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain.

4.4 Fakta Kemanusiaan

Fakta kemanusiaan bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja secara alamiah, melainkan hasil dari aktifitas dan interaksi manusia sebagai pelaku atau subjek. Subjek fakta kemanusiaan dapat individu maupun kolektif. Untuk individu dapat diwakili oleh Syekh Syiah Hudam dan Meurah Johan bagi kolektif Islam Peureulak, Nian Nio Liang Khie bagi masyarakat Tiongkok Seudu, dan Raja Indra Sakti bagi penganut Animisme Indra Purba. Pandangan-pandangan dunia yang mereka lahirkan telah disebutkan di awal, baik secara individu maupun secara kolektif.

kesatuan seluruh subjek kolektif yang terdapat dalam novel Putroe Neng adalah cikal bakal terbentuk sebuah komunitas yang disebut Aceh. Artinya Kerajaan Indra Sakti, Kerajaan Peureulak, Kerajaan Seudu, dan kerajaan kecil lainnya telah menyatu dan membentuk Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam (lihat PN: 279-280) yang merupakan cikal bakal lahirnya Aceh. Di samping subjek kolektif tersebut ada pula kolektif lain yang tidak disebutkan sama-sama


(46)

menyatu untuk membentuk sebuah komunitas dengan identitas nama yang sama yaitu Aceh.

Fakta kemanusiaan adalah kondisi saat ini mengenai masyarakat latar yang disebutkan dalam karya sastra. Mengingat latar waktu dalam novel Putroe Neng jauh dari masa kini maka jelas kondisi hari ini mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Salah satunya adalah perubahan kebudayaan. Melalatoa (dalam Kusumo, 2005: 9) menyebutkan faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan misalnya karena perubahan jumlah dan komposisi penduduk, perubahan lingkungan fisik seperti bencana alam, perubahan seumber daya alam, penemuan teknologi baru, adanya invasi, penyerangan atau penjajahan oleh kelompok lain, peperangan, kontak dengan masyarakat-masyarakat lain dan kebudayaan masyarakat lain itu menggantikan kebudayaan masyarakat setempat.

Aceh hari ini adalah sebuah komunitas besar yang multikultural yang membentuk konfigurasi sejumlah etnik (suku bangsa) dan di dalamnya ada sebuah etnik yang bernama Aceh pula dan yang dianggap “dominan” (Melalatoa dalam Kusumo, 2005: 1). Pada novel Putroe Neng masih ada kerajaan-kerajaan, belum ada jalan transportasi yang layak, kendaraan menggunakan tenaga hewan dan manusia, ada kepercayaan pada animisme, belum ada sekolah, pola hidup serang dan bertahan (dalam hal perluasan wilayah) dan lain-lain. Hal-hal tersebutlah yang tidak ada lagi pada masa sekarang. Jelas bahwa perubahan kebudayaan tersebut disebabkan faktor-faktor yang dijelaskan Melalatoa di atas.

Berlanjut ke perihal fakta kemanusiaan terkait karakter dan budaya. Dr. Harun menyampaikan bahwa orang Aceh mengenal nilai-nilai seperti silaturrahmi, konsisten, setia kemudian berani berkompetisi. Orang Aceh itu


(47)

sangat berani berkompetisi secara benar, secara jujur, tetapi nilai filosofis itu sangat jauh memudar dan bahkan sulit memberi penilaian secara kolektif, karena dewasa ini pola pikir cenderung inividual, sehingga penilaian pun tergantung pada individu.

Ada ungkapan adat yang sangat terkenal dan mengakar pada orang Aceh yaitu Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak laksamana (Adat pada raja, hukum agama pada ulama, undang-undang pada Putri Pahang, budaya lokal pada laksamana). Konsepnya bahwa semua bidang sudah ada yang urus, dan semua urusan itu diserahkan pada yang berhak atau yang ahlinya. Berikut kutipan penjelasan Dr. Harun:

“Adat bak poe teumeureuhom adat itu kebiasaan-kebiasaan termasuk hukum-hukum formal dulu berada di yudikatif atau Poeteumeureuhom atau raja. Meureuhom itu almarhum ditujukan kepada Teuku Iskandar Muda. Adat dan hukum-hukum dibuat pada masa Iskandar Muda yang dijalankan oleh raja atau pemimpin, yaitu dari raja sampai ke keuchik. Dari sultan, panglima sagoe, ulee balang, mukim sampai ke keuchik. Adat itu harus berada di bawah kontrol pengawasan umara atau ulama tidak boleh dipegang oleh orang lain. Syarat pemimpin itu harus yang mat adat yang akai sampoe yang pegang adat itu orang yang baligh, bijaksana, cukup akal, berbudi dan cerdas. Disamping itu ada syarat lain seorang pemimpin di Aceh minimal harus bisa jadi imam shalat.

Hukom bak syiah kuala, hukom disini dimaksud adalah hukum agama atau syariat Islam, jadi masalah agama diserahkan pada ulama. Syiah Kuala adalah ulama yang kemudian jadi simbol atau nama Syiah Kuala mewakili ulama lain di Aceh. Di bawah ulama dan sultan ada qadi ulee balang, qadi mukim, imam rawatib, dan imam gampong dalam desa. Sedangkan di kerajaan disebut qadi malikul adil pada saat itu memang Syiah Kuala. Qanun pada Putroe Phang. Qanun adalah undang-undang. Qanun dikatakan pada Putroe Phang karena Putroe Phang ini seorang putri dari Kerajaan Pahang yang dinikahi oleh Iskandar Muda, cantik, dan sangat cerdas. Putroe Phang inilah yang banyak memberikan saran kepada sultan mengenai aturan-aturan atau perundang-undangan. Putroe Phang datang ke Aceh membawa qanun Pahang, sehingga qanun meukuta alam qanun yang dibuat di Aceh ini oleh Iskandar Muda substansinya sangat banyak dipengaruhi oleh qanun Pahang.

Lalu reusam bak laksamana. Reusam itu adat kebiasaan lokal di suatu gampong (desa). Adat memliki pengertian yang luas, reusam bermakna lebih menyempit hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu atau


(48)

budaya-budaya lokal, sedangkan laksamana adalah orang yang bertugas di lapangan atau orang yang lebih tahu.

Paling penting adalah semua urusan diserahkan kepada orang yang mampu dan sesuai dengan keahliannya dan di Aceh dari dulu tidak dibedakan perempuan atau laki-laki kalau dia mampu ya sama saja.”

Isi kandungan ungkapan adat tersebut sebagian masih tetap terjaga eksistensinya, namun sebagian lagi tidak lagi teraplikasi dengan maksimal. Pemegang hukum agama dan syariat masih berada pada ulama. Ulama masih memegang peranan sebagai pendakwah dan pengajar pendidikan agama dalam masyarakat. Namun yang disebut laksamana tidak ada lagi meskipun ada sebutannya sudah berubah. Lalu kelas sosial seperti uleebalang dan sultan secara garis keturunan masih ada namun peranan mereka sebagai pemimpin dan pendukung adat tidak berlaku lagi. Karena kehidupan adat dan agama telah sama-sama didukung dan dijaga oleh masyarakat, sedangkan untuk qanun atau undang-undang telah diatur oleh pemerintah tentunya berlaku lokal disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Aceh.

Berlanjut mengenai kondisi alam Aceh dewasa ini. Orang Aceh sebagian besar menetap di daerah pesisir dan dataran rendah. Sebagian lain berada di dataran tinggi seperti dataran tinggi tanah Gayo. Sarana transportasi dan pendidikan yang memadai, sistem informasi dan telekomunikasi yang maju, serta teknologi telah sampai ke masyarakat. Sehingga dapat dikatakan Aceh saat ini jauh berbeda dengan penggambaran dalam novel Putroe Neng terkait beberapa masalah tertentu.


(49)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya yaitu analisis strukturalisme genetik terhadap novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Novel Putroe Neng memiliki strukturasi yang utuh, detil, dan saling berkaitan. Tema yang terdapat dalam novel Putroe Neng adalah toleransi mampu menyatukan perbedaan menjadi kekuatan. Cerita sejatinya beralur maju dengan prolog yang mengambil bagian pertengahan bab sebagai pembuka, menampilkan sekitar lima puluh lima tokoh dengan berbagai perwatakan. Selain itu, lebih dari 90% latar tempat yang disebutkan dapat dilacak keberadaannya (nama kerajaan dan wilayah). Pengarang menyebutkan bahwa latar waktu cerita tersebut lahir sekitar tahun 1024. Pesan yang ingin disampaikan pengarang bahwa dengan bertoleransi perbedaan menjadi aus. Pengarang mengajak pembaca untuk hidup berdampingan dan damai dengan orang lain meskipun memiliki perbedaan baik keyakinan maupun budaya.

2. Subjek kolektif dalam novel Putroe Neng terdiri atas tiga kelompok masyarakat dengan pandangan dunianya masing-masing, yaitu subjek kolektif masyarakat Peureulak dengan pandangan Islamnya, subjek kolektif masyarakat Indra Purba dengan pandangan animismenya, subjek kolektif masyarakat Seudu dengan pandangan Tiongkoknya. Kalimat yang digunakan komunikatif dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh


(50)

pembaca, hal ini dipengaruhi oleh latar belakang pengarang yang seorang jurnalis.

3. Pandangan dunia Islam berupa: dakwah, toleransi, dan akhlak. Pandangan dunia masyarakat Indra Purba: dinamis dan terbuka. Pandangan dunia Tiongkok: keindahan, kesetiaan, kerja keras, dan optimisme. Ketiganya memjadi padu ketika pada akhirnya menjadi sebuah subjek kolektif yang lebih besar dan menyatu dalam bingkai Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam.

4. Fakta kemanusiaan menunjukkan ada pergeseran nilai, budaya, norma, dan filosofi pada subjek kolektif yang terdapat dalam Putroe Neng. Secara umum Putroe Neng lahir atau secara genetika dipengaruhi oleh motivasi pengarang yang berniat membukukan sejarah dalam bentuk fiksi khususnya sejarah Aceh.

5.2 Saran

Penulis menyadarai bahwa penelitian ini masih memerlukan penelusuran lanjutan agar sampai ke titik genetis yang sesungguhnya. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami novel Putroe Neng. Adapun saran:

1. Bagi penelitian selanjutnya disarankan dapat mencoba menggunakan metode berbeda seperti social history atau ethnography agar menambah temuan mengenai ketiga pokok masalah yaitu subjek kolektif, pandangan dunia, dan fakta kemanusiaan.

2. Bagi pembaca novel diharapkan menambah pengetahuan mengenai subjek kolektif yang terdapat dalam novel Putroe Neng agar dalam


(51)

memahami novel tersebut tidak semata-mata sebagai karya fiksi karena ada banyak unsur fakta di dalamnya yang dapat menjadi referensi genetis novel Putroe Neng.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Press.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jabrohim, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Jufridar, Ayi. 2011. Putroe Neng. Jakarta: Grasindo.

Kaelan, M.S. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni. Yogyakarta: Paradigma.

Kusumo, Sardono W. 2005. Aceh Kembali Ke Masa Depan. Jakarta: IKJ Press. Moleong, Lexy. J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Indonesia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2002. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rustandi, Dudi. 2011/08/05.http://media.kompasiana.com/buku/putroe-neng-pemakan-99-kemaluan-laki-laki/2012/08/11/12.20WIB


(53)

(1)

budaya lokal, sedangkan laksamana adalah orang yang bertugas di lapangan atau orang yang lebih tahu.

Paling penting adalah semua urusan diserahkan kepada orang yang mampu dan sesuai dengan keahliannya dan di Aceh dari dulu tidak dibedakan perempuan atau laki-laki kalau dia mampu ya sama saja.”

Isi kandungan ungkapan adat tersebut sebagian masih tetap terjaga eksistensinya, namun sebagian lagi tidak lagi teraplikasi dengan maksimal. Pemegang hukum agama dan syariat masih berada pada ulama. Ulama masih memegang peranan sebagai pendakwah dan pengajar pendidikan agama dalam masyarakat. Namun yang disebut laksamana tidak ada lagi meskipun ada sebutannya sudah berubah. Lalu kelas sosial seperti uleebalang dan sultan secara garis keturunan masih ada namun peranan mereka sebagai pemimpin dan pendukung adat tidak berlaku lagi. Karena kehidupan adat dan agama telah sama-sama didukung dan dijaga oleh masyarakat, sedangkan untuk qanun atau undang-undang telah diatur oleh pemerintah tentunya berlaku lokal disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Aceh.

Berlanjut mengenai kondisi alam Aceh dewasa ini. Orang Aceh sebagian besar menetap di daerah pesisir dan dataran rendah. Sebagian lain berada di dataran tinggi seperti dataran tinggi tanah Gayo. Sarana transportasi dan pendidikan yang memadai, sistem informasi dan telekomunikasi yang maju, serta teknologi telah sampai ke masyarakat. Sehingga dapat dikatakan Aceh saat ini jauh berbeda dengan penggambaran dalam novel Putroe Neng terkait beberapa masalah tertentu.


(2)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya yaitu analisis strukturalisme genetik terhadap novel Putroe Neng karya Ayi Jufridar, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Novel Putroe Neng memiliki strukturasi yang utuh, detil, dan saling berkaitan. Tema yang terdapat dalam novel Putroe Neng adalah toleransi mampu menyatukan perbedaan menjadi kekuatan. Cerita sejatinya beralur maju dengan prolog yang mengambil bagian pertengahan bab sebagai pembuka, menampilkan sekitar lima puluh lima tokoh dengan berbagai perwatakan. Selain itu, lebih dari 90% latar tempat yang disebutkan dapat dilacak keberadaannya (nama kerajaan dan wilayah). Pengarang menyebutkan bahwa latar waktu cerita tersebut lahir sekitar tahun 1024. Pesan yang ingin disampaikan pengarang bahwa dengan bertoleransi perbedaan menjadi aus. Pengarang mengajak pembaca untuk hidup berdampingan dan damai dengan orang lain meskipun memiliki perbedaan baik keyakinan maupun budaya.

2. Subjek kolektif dalam novel Putroe Neng terdiri atas tiga kelompok masyarakat dengan pandangan dunianya masing-masing, yaitu subjek kolektif masyarakat Peureulak dengan pandangan Islamnya, subjek kolektif masyarakat Indra Purba dengan pandangan animismenya, subjek kolektif masyarakat Seudu dengan pandangan Tiongkoknya. Kalimat yang digunakan komunikatif dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh


(3)

pembaca, hal ini dipengaruhi oleh latar belakang pengarang yang seorang jurnalis.

3. Pandangan dunia Islam berupa: dakwah, toleransi, dan akhlak. Pandangan dunia masyarakat Indra Purba: dinamis dan terbuka. Pandangan dunia Tiongkok: keindahan, kesetiaan, kerja keras, dan optimisme. Ketiganya memjadi padu ketika pada akhirnya menjadi sebuah subjek kolektif yang lebih besar dan menyatu dalam bingkai Kerajaan Darud Donya Aceh Darussalam.

4. Fakta kemanusiaan menunjukkan ada pergeseran nilai, budaya, norma, dan filosofi pada subjek kolektif yang terdapat dalam Putroe Neng. Secara umum Putroe Neng lahir atau secara genetika dipengaruhi oleh motivasi pengarang yang berniat membukukan sejarah dalam bentuk fiksi khususnya sejarah Aceh.

5.2 Saran

Penulis menyadarai bahwa penelitian ini masih memerlukan penelusuran lanjutan agar sampai ke titik genetis yang sesungguhnya. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam memahami novel Putroe Neng. Adapun saran:

1. Bagi penelitian selanjutnya disarankan dapat mencoba menggunakan metode berbeda seperti social history atau ethnography agar menambah temuan mengenai ketiga pokok masalah yaitu subjek kolektif, pandangan dunia, dan fakta kemanusiaan.

2. Bagi pembaca novel diharapkan menambah pengetahuan mengenai subjek kolektif yang terdapat dalam novel Putroe Neng agar dalam


(4)

memahami novel tersebut tidak semata-mata sebagai karya fiksi karena ada banyak unsur fakta di dalamnya yang dapat menjadi referensi genetis novel Putroe Neng.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Press.

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jabrohim, dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Jufridar, Ayi. 2011. Putroe Neng. Jakarta: Grasindo.

Kaelan, M.S. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum, dan Seni. Yogyakarta: Paradigma.

Kusumo, Sardono W. 2005. Aceh Kembali Ke Masa Depan. Jakarta: IKJ Press. Moleong, Lexy. J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Indonesia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2002. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rustandi, Dudi. 2011/08/05.http://media.kompasiana.com/buku/putroe-neng-pemakan-99-kemaluan-laki-laki/2012/08/11/12.20WIB


(6)