Antioxidant activity of Mindi (Melia Azedarach Linn.) extractives
AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN
ZAT
EKSTRAKTIF
DARI
POHON
MINDI
(
Melia
azedarach
Linn.)
MITA
NURDYANA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(2)
DHH
Antioxidant activity of Mindi (Melia Azedarach Linn.) extractives
Mita Nurdyana1), Wasrin Syafii2),
and Rita Kartika Sari3)
INTRODUCTION. The whole tree utilization concept can be applied to increase utilization efficiency of forest products, included the usage of wood chemical component like extractive. Research of Nahak and Sahu (2010a) showed that extract of mindi’s leaves has strong antioxidant activity. Mindi is a fast growing tree species that developed for community forests. Therefore, it is interesting to do research about the potential antioxidant activity of mindi that grown in Indonesia because the distribution and variation of extractive compounds was depended on many factors like the species, age, place grew, and parts used. The objective of this research is to determine the extractive content of the bark (inner bark), leaves, branches, heartwood, and sapwood of mindi that extracted with a multilevel polarity maceration method and to assay antioxidant activity of mindi’s extract and to analyze phytochemical on the active extracts.
METHODS. This research used the bark (inner bark), leaves, branches,
heartwood, and sapwood of mindi that extracted with a multilevel maceration method in n-hexane, ethyl acetate, and methanol solvent. Antioxidant activity of extractive was suspected by DPPH method. Absorbans value that had got from DPPH assay was processed to obtain IC50 values. Then the active extract was analyzed by phytochemical assay.
RESULT AND DISCUSSION. The result of this research showed that the etyl acetat fraction of leaves is the highest total extractive content (11,01%) but the etyl acetat fraction of heartwood exhibited the highest radical scavenging with IC50 1,88 ppm so that it can be classified to be strong antioxidant that is stronger than vitamine C. Phytochemical analyzed indicated that the antioxidative coumpounds in the most active extract were flavonoid, saponin, alkaloid, phenolic, triterpenoid, steroid dan glycoside. Therefore it is very potential to amendable as natural antioxidant so that it can be used more efficient.
(3)
RINGKASAN
MITA NURDYANA. Aktivitas Antioksidan Zat Ekstraktif dari Pohon Mindi (Melia azedarach Linn.). Dibawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Dr.Ir. Rita Kartika Sari, M.Si
Upaya pemanfaatan seluruh bagian pohon (the whole tree utilization) perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan hasil hutan termasuk pemanfaatan komponen kimia kayu berupa zat ekstraktif. Pengetahuan tentang zat ekstraktif sebagai sumber bahan obat-obatan telah mendorong berbagai penelitian untuk mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan zat ekstraktif tersebut, salah satunya sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menangkap radikal bebas yang menjadi penyebab beberapa penyakit degeneratif (Hanani 2005).
Menurut Nahak dan Sahu (2010a), daun mindi (Melia azedarach Linn.) yang tumbuh di India terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Mindi merupakan jenis kayu dari hutan rakyat yang memiliki kualitas kayu yang baik dan cepat tumbuh (fast growing spesies). Mengingat distribusi dan komposisi zat ekstraktif tidak hanya dipengaruhi oleh jenis pohon tetapi juga dipengaruhi oleh umur, tempat tumbuh, posisi dalam pohon, kayu gubal, dan kayu teras (Sjostrom 1998), maka penelitian mengenai aktivitas antioksidan zat ekstraktif dari pohon mindi menarik untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar ekstrak bagian kulit, daun, cabang, kayu teras dan gubal pohon mindi yang diekstraksi dengan pelarut organik dengan kepolaran bertingkat (n-heksan, etil asetat dan metanol) dan menguji aktivitas antioksidan ekstraknya serta menganalisis fitokimia ekstrak teraktif secara kualitatif.
Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa bagian daun, kulit, cabang kayu gubal, dan kayu teras pohon mindi yang diekstrak dengan metode maserasi bersinambung dengan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH hingga didapatkan ekstrak teraktif, kemudian dianalisis fitokimianya secara kualitatif. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft excel sehingga didapatkan nilai kadar ekstrak dan IC50.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun mindi menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu 11,01%, diikuti bagian kulit, cabang, kayu gubal, dan kayu teras. Berdasarkan jenis pelarut yang digunakan, ekstrak terlarut etil asetat menghasilkan kadar tertinggi (16,09%), diikuti ekstrak terlarut metanol (3,49%) dan n-heksan (3,06%). Ekstrak bagian kayu teras mindi dengan pelarut etil asetat memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dengan nilai IC50 mencapai 1,88 ppm sehingga tergolong sebagai antioksidan sangat kuat bahkan lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C. Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat bagian kayu teras mindi mengandung flavonoid, alkaloid, terpenoid, steroid, triterpenoid, fenolik, dan glikosida.
(4)
AKTIVITAS
ANTIOKSIDAN
ZAT
EKSTRAKTIF
DARI
POHON
MINDI
(
Melia
azedarach
Linn.)
MITA
NURDYANA
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil HutanDEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(5)
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
(6)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Antioksidan Zat Ekstraktif dari Pohon Mindi (Melia azedarach Linn.) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Mita Nurdyana NRP E24080021
(7)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Aktivitas Antioksidan Zat Ekstraktif dari Pohon Mindi (Melia azedarach Linn.)
Nama : Mita Nurdyana
NRP : E24080021
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si
NIP. 19541017 198003 1 004 NIP. 19681124 199512 2 001
Mengetahui
Ketua Departemen Hasil Hutan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Wayan Darmawan, M. Sc NIP. 19660212 199103 1002
Tanggal lulus
(8)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya, sehingga karya ilmiah yang berjudul Aktivitas Antioksidan Zat Ekstraktif dari Pohon Mindi (Melia azedarach Linn.) dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritikan dan saran akan penulis terima dengan senang hati. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2012
(9)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1 Keluarga tercinta, Ayahanda (Suchemi), Ibu (Sri Endyowati), dan kakak (Kurnia widi T) yang telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
2 Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas segala arahan, bimbingan, waktu, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
3 Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, MS atas kesediaannya menjadi penguji utama dan atas segala sarannya terhadap penelitian ini.
4 Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc atas kesediaannya menjadi pemimpin sidang dan atas segala sarannya terhadap penelitian ini.
5 Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS atas kesediaannya menjadi moderator seminar dan atas segala sarannya terhadap penelitian ini.
6 Kepada seluruh keluarga BKHH, Bapak Atin, Mas Gunawan, dan Kak Adi Setiadi yang telah membantu serta memberikan motivasi kepada penulis 7 Sahabat-sahabat THH angkatan 45, Siti Maemunah, Rahmawati, Dhewi P,
Isya T, Desi M, Vebri R, Arip, Putri, seluruh teman teman THH angkatan 45 yang penulis tidak bisa sebutkan satu persatu atas kebersamaannya selama penulis menyelesaikan kegiatan belajar di kampus.
8 Ibu Susi, Ibu Laya, dan seluruh staff THH. Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi, seminar, dan sidang.
Bogor, September 2012
(10)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 16 Maret 1990 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Suchemi dan Ibu Sri Endyowati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 02 Pegulon Kendal tahun 2002, SMPN 02 Kendal tahun 2005, kemudian melanjutkan sekolah di SMAN 01 Kendal dan lulus tahun 2008. Tahun 2008 penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Tahun 2011 penulis memilih Kimia Hasil Hutan sebagai bidang keahlian.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni anggota aktif Kopma IPB 2008-2009, staf Departemen Sosmas BEM E Fahutan IPB 2009-2010, anggota Organisasi Mahasiswa Daerah FOKMA Kendal, dan Pengurus HIMASILTAN 2010-2011. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Sawal dan Pangandaran Jawa Barat, melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PGT Sindangwangi Jawa Barat.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul Aktivitas Antioksidan Zat Ekstraktif dari Pohon Mindi (Melia azedarach Linn.) dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir Wasrin Syafii, M.Agr dan Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si.
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
I.PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat Penelitian ... 2
II.TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2. 1. Zat Ekstraktif ... 3
2. 2. Esktraksi... 4
2. 3. Mindi ... 6
2. 4. Radikal Bebas ... 8
2. 5. Antioksidan ... ..9
2. 6. Metode DPPH (1,1-dipenil-2-pikrilhidrazil) ... 9
III.METODE PENELITIAN ... 13
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 13
3.2 Bahan dan Alat ... 13
3.3 Metode Penelitian ... 13
3.3.1 Penyiapan Bahan Baku ... 14
3.3.2 Ekstraksi... 15
3.3.3 Pengujian... 16
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20
4.1. Kadar Zat Ekstraktif Mindi ... 20
4.2 Sifat Antioksidan Ekstrak Kayu Mindi ... 23
4.3. Fitokimia Ekstrak Teraktif ... 27
V.KESIMPULAN DAN SARAN ... 30
5.1 Kesimpulan... 30
5.2 Saran ... 30
DAFTAR PUSTAKA ... 31
(12)
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Sifat fisika kimia beberapa pelarut ………... 6 2 Kadar ekstrak bagian pohon mindi ………... 20 3 Nilai kadar ekstrak kayu mindi berdasarkan posisi batang dalam
pohon………... 23
4 Aktivitas antioksidan zat ekstraktif berbagai bagian pohon mindi (nilai
IC50)…... 23 5 Hasil analisis fitokimia secara kualitatif terhadap serbuk dan ekstrak teraktif
(13)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Profil mindi (A) pohon dan (B) daun ……….……… ... 7
2 Pengambilan contoh uji serbuk………..……...15
3 Proses eksraksi maserasi bersinambung……….. 16
4 Diagram alir uji aktivitas antioksidan ekstrak mindi ………... 18
5 Kurva hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol berbagai bagian pohon mindi dengan persen inhibisi………... 24
6 Nilai IC50 ekstrak etil asetat kayu teras dan vitamin C menggunakan metode DPPH……….27
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil Identifikasi Spesies Pohon (LIPI Cibinong)………. ………36 2. Hasil Pengujian Fitokimia di Balittro Cimanggu………37
(15)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kayu merupakan komoditas utama dari hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dan merupakan penyumbang devisa negara terbesar selain minyak bumi dan hasil tambang lainnya. Kebutuhan akan kayu semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Namun, luas areal hutan penghasil kayu-kayu komersil semakin menyusut. Sementara itu, tingkat efisiensi pemanfaatan kayu saat ini masih tergolong rendah. Secara umum, mulai dari industri pemanenan hingga pengolahan kayu masih banyak menghasilkan limbah. Oleh karena itu, upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan hasil hutan perlu dilakukan melalui penerapan konsep the whole tree utilization yaitu pemanfaatan seluruh bagian pohon terutama bagian-bagian pohon yang belum termanfaatkan secara maksimal seperti daun, kulit, akar atau limbah-limbah kayu lainnya termasuk semua komponen yang terdapat dalam kayu (Syafii 2008).
Zat ekstraktif sebagai hasil metabolisme sekunder merupakan salah satu komponen kimia kayu nonstruktural dan berbobot molekul rendah. Pada proses pulping dan proses pengerjaan kayu, zat ekstraktif sering dianggap merugikan. Akan tetapi, zat ekstraktif memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai antiserangga, antioksidan, antivirus, antibakteri, sitotoksin, dan anticendawan (Walker 2006). Pengetahuan tentang peranan zat ekstraktif sebagai sumber bahan obat-obatan telah mendorong berbagai penelitian untuk mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan senyawa tersebut, antara lain sebagai antioksidan.
Menurut Stevanovic et al. (2009), beberapa jenis zat ekstraktif yang diisolasi dari tumbuhan berkayu yang tumbuh di hutan seperti lignan, proantosianidin, senyawa fenolik sederhana, fenol glikosida, dan flavonoid memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menangkap radikal bebas yang menjadi penyebab beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, kanker, arteoklerosis, dan penuaan dini. Antioksidan sintetik yang banyak digunakan selama ini memiliki efek karsinogenik. Oleh karena itu, sumber antioksidan alami yang aman, ekonomis,
(16)
dan memiliki aktivitas yang kuat dibutuhkan sebagai pengganti antioksidan sintetik. Penelitian mengenai alternatif sumber antioksidan alami semakin marak dilakukan mengingat kemampuannya sebagai peredam radikal bebas. Antioksidan tidak hanya banyak digunakan dalam industri farmasi tapi juga dalam industri makanan dan kosmetik.
Menurut Nahak dan Sahu (2010a), daun mindi (Melia azedarach Linn.) yang tumbuh di India terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Sementara itu, penelusuran pustaka mengenai penelitian potensi antioksidan zat ekstraktif dari pohon mindi yang tumbuh di Indonesia belum ditemukan. Padahal, menurut Sjostrom (1998), distribusi dan komposisi zat ekstraktif dipengaruhi oleh jenis pohon, umur, tempat tumbuh, posisi dalam pohon, kayu gubal, dan kayu teras. Oleh karena itu, penelitian aktivitas antioksidan zat ekstraktif dari pohon mindi yang tumbuh di Indonesia perlu dilakukan.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar ekstrak bagian kulit, daun, cabang, kayu teras dan gubal pohon mindi yang diekstraksi dengan pelarut organik dengan kepolaran bertingkat (n-heksan, etil asetat dan metanol) dan menguji aktivitas antioksidan ekstraknya, serta menganalisis fitokimia ekstrak teraktif secara kualitatif.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru mengenai potensi mindi sebagai antioksidan dalam rangka mencari alternatif sumber antioksidan alami sehingga mindi dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal.
(17)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Zat Ekstraktif
Sjostrom (1998) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai beraneka ragam senyawa kimia kayu, meskipun biasanya merupakan bagian kecil yang larut dalam pelarut-pelarut organik netral atau air. Zat ekstraktif dapat dibagi menjadi tiga subgrup yaitu komponen alifatik (lemak dan lilin), terpen, terpenoid, dan komponen fenolik. Ekstraktif meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda dan dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar. Secara kuantitatif, kandungan zat ekstraktif dalam kayu paling kecil bila dibandingkan dengan kandungan selulosa dan lignin, tetapi secara kualitatif mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat kayu dan sifat pengolahannya. Menurut Syafii dan Siregar (2006), zat ekstraktif mempengaruhi proses pulping, dimana semakin tinggi kandungan zat ekstraktif maka akan semakin tinggi pula konsumsi bahan kimia yang diperlukan dalam proses pulping serta dapat menyebabkan terjadinya masalah pitch, yaitu terjadinya bintik-bintik pada lembaran pulp yang dihasilkan.
Hal yang mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam kayu di antaranya adalah umur, tempat tumbuh, genetik, posisi dalam pohon, kecepatan pertumbuhan, dan jenis pelarut yang digunakan. Penelitian terhadap 480 sampel Pinus echinata yang hidup pada kondisi dan umur berbeda menunjukkan bahwa umur mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam jumlah zat ekstraktif (Hillis 1987).
Adanya variasi kandungan zat ekstraktif tidak hanya terdapat di antara spesies, umur atau tempat tumbuh, tetapi juga dalam pohon yang sama, terutama di antara kayu gubal dan kayu teras (Tsoumis 1991). Umumnya bagian-bagian yang berbeda dari pohon yang sama memiliki jumlah maupun komposisi zat ekstraktif yang berbeda (Sjostrom 1998).
Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas biologis terhadap organisme lain atau pada organisme yang menghasilkan senyawa tersebut. Senyawa bioaktif ini juga banyak terkandung pada zat ekstraktif. Hutan
(18)
tropika Indonesia memiliki sumber senyawa-senyawa metabolit sekunder (zat ekstraktif) yang tak ternilai. Senyawa-senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat untuk mengatasi berbagai penyakit. Obat-obatan modern yang beredar di pasaran merupakan hasil eksplorasi zat ekstraktif tumbuhan yang terdapat di hutan tropis. Senyawa bioaktif ini hampir selalu toksik pada dosis tinggi. Setiap zat kimia termasuk senyawa aktif dari tumbuhan pada dasarnya bersifat racun, bergantung kepada penggunaan, takaran, pembuatan, cara pemakaian, dan waktu yang tepat untuk mengkonsumsi. Beberapa tanaman dikenal menghasilkan senyawa bioaktif yang umumnya berupa senyawa-senyawa flavonoid, glikosida, steroid, alkaloid, dan terpenoid (Meilani 2006). Ekstrak daun sicerek (Clausena excavate Burm.) yang terbukti berperan sebagai antioksidan dengan cara menghambat peroksida lipid mengandung senyawa alkaloid, steroid, terpenoid, dan flavonoid (Irawan 2006).
2. 2. Ekstraksi
Harborne (1987) menyatakan bahwa ekstraksi adalah proses pengambilan zat terlarut dari suatu campuran dengan bantuan pelarut secara selektif. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung pada beberapa faktor, yaitu tujuan yang ingin dicapai dari ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat (polaritas) komponen yang akan diekstrak, dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Houghton dan Raman (1998) menjelaskan bahwa ada beberapa metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan, yaitu ekstraksi dengan pelarut, distilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik, dan sublimasi. Di antara metode-metode yang telah diaplikasikan, metode yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut. Sarker et al. (2006) menyatakan bahwa beberapa tujuan dari ekstraksi adalah mengetahui senyawa bioaktif, mengetahui keberadaan senyawa dalam organisme, hubungan struktur senyawa dalam organisme, dan identifikasi seluruh senyawa bioaktif yang ada pada organisme.
Ekstraksi berbagai bagian pohon mindi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi maserasi. Maserasi merupakan salah satu teknik ekstraksi yang bertujuan menarik suatu komponen tertentu dengan merendam sampel dalam pelarut organik pada suhu kamar, dan dalam prosesnya tidak
(19)
dilakukan pemanasan. Perendaman dilakukan pada jangka waktu tertentu sehingga interaksi antara senyawa yang ingin diekstrak dan pelarutnya dapat berlangsung maksimal. Menurut Harborne (1987), kekurangan dari metode ini adalah waktu yang diperlukan relatif lama dan membutuhkan banyak pelarut. Namun bila ekstraksi menggunakan cara panas dikhawatirkan akan merusak komponen sampel yang dianalisis akibat pemanasan. Oleh karena itu, metode maserasi dianggap lebih tepat untuk mengekstrak jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan senyawanya yang kemungkinan bersifat tidak tahan panas sehingga kerusakan komponen tersebut dapat dihindari. Selain itu, metode maserasi relatif lebih sederhana dibandingkan dengan yang lain. Ekstraksi dengan metode maserasi tidak banyak memerlukan peralatan laboratorium.
Hasil ekstraksi yang diperoleh bergantung pada kandungan ekstrak yang terdapat pada contoh uji dan jenis pelarut yang digunakan. Untuk dapat melarutkan zat ekstraktif perlu ditambahkan dua atau lebih jenis pelarut. Proses ekstraksi berkesinambungan dengan menggunakan sederetan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya merupakan prosedur klasik untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering (Harborne 1987). Fengel dan Wegener (1995) menyatakan bahwa ekstraksi kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar. Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub muatan positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Senyawa yang terbawa pada proses ekstraksi adalah senyawa yang mempunyai polaritas sesuai dengan pelarutnya. Prinsip kelarutan adalah “like dissolve like”, yaitu (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, demikian juga sebaliknya pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar, (2) pelarut organik akan melarutkan senyawa organik. Harborne (1987) mengemukakan bahwa ekstraksi senyawa aktif dari suatu jaringan tanaman dengan berbagai jenis pelarut pada tingkat kepolaran yang berbeda bertujuan memperoleh hasil yang optimum, baik jumlah ekstrak maupun senyawa aktif yang terkandung dalam contoh uji.
(20)
Jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih yang rendah, murah, dan tidak toksik (Ketaren 1986). Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (gugus OH, COH, dan lain- lain). Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Hafiluddin 2011). Tabel 1 menguraikan mengenai sifat fisika kimia pelarut organik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu n-heksan, etil asetat, dan metanol. Ketiga jenis pelarut ini digunakan karena
memenuhi kriteria pelarut yang baik yang memiliki kepolaran dari nonpolar, semipolar hingga polar.
Tabel 1 Sifat fisika kimia beberapa pelarut
Nama pelarut Indeks kepolaran Titik didih (°C) Sifat kepolaran
n-Heksan 0,0 69 Nonpolar
Etil Asetat 4,4 77 Semipolar
Metanol 5,1 65 Polar
Sumber: Sarker et al. (2006).
2. 3. Mindi
Melia azedarach Linn. dikenal di beberapa daerah di Indonesia dengan sebutan mindi atau gring-gring (Jawa), sedangkan di beberapa negara lain pohon ini dikenal dengan sebutan white cedar, umbrella tree atau chinaberry (English), paraiso, Pride of Indian atau Indian lilac (India) ( USDA 2012).
Mindi termasuk dalam famili Meliaceae yang merupakan jenis pohon cepat tumbuh, selalu hijau di daerah tropis, menggugurkan daun selama musim dingin, menyukai cahaya, cukup tahan kekeringan, dan toleran terhadap salinitas tanah (Bramasto 2011). Gambar 1 menunjukkan profil pohon dan daun mindi. Tanaman mindi pada umur 10 tahun tingginya dapat mencapai tinggi bebas cabang 8 m dan diameter 40 cm.
(21)
(A) (B)
Gambar 1 Profil mindi (A) pohon dan (B) daun.
Mindi memiliki penyebaran alami di India dan Burma. Pohon ini banyak ditanam di daerah tropis dan subtropis, sedangkan di Indonesia mindi banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Pohon mindi tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi (0-1200 m di atas permukaan laut) dengan curah hujan rata-rata per tahun 600-2000 mm dan dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Mindi dapat tumbuh subur pada tanah berdrainase baik, tanah yang dalam, tanah liat berpasir, toleran terhadap tanah dangkal, tanah asin, dan basa (Bramasto 2011).
Mindi merupakan tanaman serbaguna karena dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Kayu mindi dapat digunakan dalam bentuk kayu utuh misalnya sebagai komponen rumah, mebel, dan barang kerajinan. Kayu mindi merupakan salah satu jenis kayu dari hutan rakyat yang digunakan sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik. Tanaman mindi memiliki prospek yang baik karena kayunya sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Potensi ini menjadikan alasan mindi untuk dikembangkan menjadi tanaman hutan rakyat. Kayu mindi tergolong kelas kuat III-II, setara dengan mahoni, sungkai, meranti, dan kelas awet IV (Nasution 2009).
Ekstrak daun mindi dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk belalang. Kulit mindi dipakai sebagai penghasil
(22)
obat untuk mengeluarkan cacing usus. Kulit, daun, dan akar mindi telah digunakan sebagai obat rematik, demam, bengkak, dan radang. Suatu glycopeptide yang disebut meliacin diisolasi dari daun dan akar mindi berperan dalam menghambat perkembangan beberapa DNA dan RNA dari beberapa virus misalnya virus polio (Nasution 2009).
Beberapa penelitian aktivitas antioksidan terhadap keluarga Meliaceae sudah banyak dilakukan salah satunya tanaman mimba (Azadiracta indica), dimana daun dan kulit mimba terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi (Ghimeray et al. 2002). Penelitian mengenai aktivitas antioksidan daun (Nahak dan Sahu 2010a), kulit, dan akar (Nahak dan Sahu 2010b) dari pohon mindi dan mimba pernah dilakukan di India. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ekstrak pohon mindi bagian daun, kulit, dan akar mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan mimba. Menurut penelusuran pustaka penelitian mengenai potensi antioksidan bagian tanaman yang lain seperti cabang, kayu gubal dan kayu teras belum pernah dilakukan sebelumnya terutama di Indonesia.
2. 4. Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan. Adanya elektron tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan. Radikal ini akan merebut elektron dari molekul lain yang ada di sekitarnya untuk menstabilkan diri sehingga senyawa kimia ini sering dihubungkan dengan terjadinya kerusakan sel, kerusakan jaringan, dan proses penuaan (Fessenden dan Fessenden 1986). Menurut Ketaren (1986), radikal bebas dapat bereaksi dengan molekul sel tubuh dengan cara mengikat elektron sel tersebut dan mengakibatkan reaksi berantai yang menghasilkan radikal bebas baru. Reaksi ini dapat berakhir jika ada molekul yang memberikan elektron yang dibutuhkan oleh radikal bebas tersebut atau dua buah gugus radikal bebas membentuk ikatan nonradikal. Radikal bebas dalam tubuh pada dasarnya diperlukan untuk memerangi peradangan, mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, dan organ-organ dalam tubuh serta membunuh bakteri. Radikal bebas dapat bekerja dengan aman dan efektif dalam tubuh
(23)
manusia bila jumlahnya tidak berlebihan. Bila jumlahnya berlebihan akan menyerang jaringan tubuh dan menghasilkan efek sitotoksik yang sangat berbahaya. Radikal bebas selanjutnya merusak sel dan jaringan dalam tubuh sehingga menimbulkan berbagai penyakit degeneratif.
Menurut Hussain et al. (2003), radikal bebas bersifat sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat, atau asam deoksiribonukleat (DNA) sehingga terjadi perubahan pada struktur dan fungsi sel. Radikal bebas juga diyakini berperan dalam kerusakan DNA sel yang menyebabkan mutasi sel sehingga sel-sel tubuh tak terkendali, kemudian menjadi kanker. Stres oksidatif adalah kerusakan sel yang disebabkan reaksi kimia antara radikal bebas dan molekul dalam tubuh. Kerusakan sel yang disebabkan oleh stress oksidatif dipercaya menjadi penyebab penyakit kanker.
Dalam kehidupan organisme radikal bebas dapat terbentuk melalui berbagai cara misalnya dari hasil metabolisme sel, hasil samping proses oksidasi atau pembakaran yang berlangsung pada waktu bernapas, olahraga yang berlebihan, dan faktor eksternal, seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, bahan pencemar, zat kimiawi dalam makanan, pestisida, dan radiasi matahari atau radiasi kosmis (Ahmed et al. 2008).
2. 5. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa kimia yang penggunaannya sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk menghambat reaksi oksidatif oleh radikal bebas yang menjadi salah satu penyebab penyakit-penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, alzhaimer, kanker, dan gejala penuaan dini (Ahmed et al.2008; Stevanovic et al. 2009). Antioksidan dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat diredam. Tubuh manusia pada dasarnya menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi jumlahnya sering kali tidak cukup untuk menetralkan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Sebagai contoh, tubuh manusia dapat menghasilkan glutathione, salah satu antioksidan yang sangat kuat, hanya saja tubuh memerlukan asupan vitamin C sebesar 1.000 mg untuk memicu tubuh menghasilkan glutathione ini (Kuncahyo dan Sunardi 2007).
(24)
Antioksidan terbagi menjadi antioksidan enzim dan vitamin. Antioksidan enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH.Prx). Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan enzim. Antioksidan vitamin mencakup α-tokoferol (vitamin E), β-karoten, dan asam askorbat (vitamin C) (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Menurut sumber perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). Antioksidan sintetik yang biasa digunakan adalah Vitamin C sintetik, butylated hydroxytoluene (BHT) dan butylated hydroxyanisole (BHA). Antioksidan sintetis memiliki efektivitas yang tinggi namun kurang aman bagi kesehatan. Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping yang belum diketahui dari antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan (Romansyah 2011).
Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif, dan mampu menghambat peroksida lipid pada makanan. Minat untuk mendapatkan antioksidan alami cenderung meningkat beberapa tahun terakhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksil dalam struktur molekulnya (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan menghambat pembentukan radikal bebas dengan bertindak sebagai donor H terhadap radikal bebas sehingga radikal bebas berubah menjadi bentuk yang lebih stabil (Aini 2007). Contoh antioksidan alami diantaranya asam askorbat, α-tokoferol, β- karoten, glutasi, asam urat, sistein, vitamin K, serum albumin, bilirubin, dan logam seperti seng, dan selenium.
Antioksidan alami banyak dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan sebagai hasil dari metabolit sekunder. Salah satunya adalah flavonoid yang tergolong dalam senyawa fenolik. Antioksidan diharapkan memiliki ciri-ciri di antaranya aman dalam penggunaan, tidak memberi flavor, odor dan warna pada produk, efektif pada konsentrasi rendah, tahan terhadap proses pengolahan produk berkemampuan antioksidan yang baik, dan tersedia dengan harga yang murah. Selain berperan dalam menghambat reaksi oksidatif, antioksidan juga berperan dalam menghambat terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa
(25)
pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Antioksidan tidak hanya digunakan dalam industri farmasi, tetapi juga digunakan secara luas dalam industri makanan, industri petroleum, industri karet dan sebagainya (Kuncahyo dan Sunardi 2007).
2. 6. Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH. Metode ini merupakan metode penentuan antioksidan berdasarkan penangkapan radikal bebas. DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol. Penangkapan radikal bebas pada metode ini diukur berdasarkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 515-520 nm. Awalnya larutan DPPH berwarna ungu gelap, ketika ditambahkan senyawa antioksidan maka warna larutan akan berubah menjadi kuning cerah. Penurunan absorbansi akan menunjukkan adanya aktivitas penghambatan dengan berkurangnya warna ungu (Molyneux 2004). DPPH merupakan radikal yang stabil yang dapat diukur intensitasnya pada panjang gelombang 515 nm (Rohman dan Sugeng 2005). Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui mekanisme donasi atom hidrogen (Blois 1958 dalam Hanani 2005).
Metode DPPH dipilih karena metode ini adalah metode sederhana untuk evaluasi aktivitas antioksidan. Selain itu, juga cepat dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. Radikal DPPH telah digunakan secara luas untuk menyelidiki aktivitas dari beberapa senyawa alami, seperti fenolik, antosianin, dan ekstrak kasar dari tumbuhan (Huang et al. 2005).
Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration). IC50 merupakan besarnya konsentrasi larutan uji yang mampu menurunkan 50% absorbansi DPPH dibandingkan dengan larutan blanko. Persamaan kurva standar dari persen inhibisi sebagai sumbu y dan konsentrasi fraksi antioksidan sebagai sumbu x diperlukan untuk menentukan IC50. IC50 dihitung dengan cara memasukkan nilai 50% ke dalam persamaan kurva standar sebagai sumbu y kemudian dihitung nilai x sebagai
(26)
konsentrasi IC50. Dalam hal ini diharapkan radikal bebas dapat ditangkap oleh senyawa antioksidan hanya dengan konsentrasi yang kecil (Pratiwi 2009).
(27)
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011-Maret 2012 dan dilanjutkan pada bulan Juli-Agustus 2012 bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Workshop Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Herbarium Bogoriense bidang Botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong serta Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Cimanggu dan Laboratorium Biofarmaka IPB Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu teras, kayu gubal, daun, cabang dan kulit (inner bark) pohon mindi berumur ± 5 tahun dengan diameter ± 20 cm dan panjang ± 6,15 m yang berasal dari daerah Cibeureum Bogor. Bahan lain yang digunakan adalah pelarut seperti n-heksan, etil asetat, metanol, DPPH, etanol, DMSO (dimetil sulfoksida), dan vitamin C.
Peralatan yang digunakan antara lain labu erlenmeyer, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, pipet volumetrik, toples kaca, corong, kertas saring, alat suling, golok, hammer mill, evaporator putar, cawan porselin, oven, neraca analitik, dan eliza reader.
3.3 Metode Penelitian
Adapun rangkaian metode penelitian dimulai dengan penyiapan bahan baku, ekstraksi dengan metode maserasi, uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, dan analisis senyawa bioaktif dengan metode fitokimia.
(28)
3.3.1 Penyiapan Bahan Baku
Persiapan bahan baku penelitian meliputi persiapan bahan baku serbuk bagian pohon mindi (daun, kulit, cabang, kayu gubal, dan kayu teras) dan persiapan pelarut.
a. Bahan Baku Serbuk Bagian Pohon Mindi
Sampel diambil dari pohon mindi berumur 5 tahun asal Cibeureum Bogor yang telah diidentifikasi di Herbarium Bogoriense bidang Botani Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indinesia (LIPI) Cibinong, Kabupaten Bogor. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Bagian yang diambil meliputi daun, cabang, kulit, kayu teras, dan kayu gubal. Untuk bagian kulit, bagian yang diambil adalah bagian kulit dalam, sedangkan untuk bagian batang, baik teras maupun gubal diambil dari posisi pangkal, tengah, dan ujung.
Dalam tahapan ini, contoh uji bagian daun dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringudarakan. Setelah kering, contoh uji digiling dengan menggunakan hammer mill dan disaring hingga berbentuk serbuk dengan ukuran seragam (40-60 mesh) sebanyak 20 g untuk setiap ulangan. Begitu pula untuk bagian kulit dan cabang, sedangkan untuk kayu dipisahkan bagian kayu teras dan gubalnya. Bagian kayu teras dan gubal dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu bagian pangkal, tengah, dan ujung. Selanjutnya pengambilan contoh uji dilakukan secara acak. Serbuk yang seragam dipisahkan ke dalam empat bagian, dan dari keempat bagian tersebut diambil satu bagian secara acak yang selanjutnya dipisahkan kembali ke dalam empat bagian. Setelah itu, dari keempat bagian tersebut diambil satu bagian serbuk yang kemudian ditimbang sebanyak ± 20 g. Tahapan pengambilan contoh uji tersebut dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (Gambar 2).
(29)
Gambar 2 Pengambilan contoh uji serbuk.
b. Pelarut Organik
Pelarut organik teknis yang digunakan terdiri dari 3 jenis, yaitu pelarut nonpolar (n-heksan), pelarut semipolar (etil asetat) dan pelarut polar (metanol). Sebelum digunakan, masing-masing pelarut terlebih dahulu dimurnikan dengan metode penyulingan pada titik didih masing-masing pelarut.
3.3.2 Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi secara berkesinambungan dengan menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol (Gambar 3). Metode maserasi dilakukan dengan merendam contoh uji (serbuk) sebanyak 20 g dalam 100 mL pelarut atau dengan perbandingan serbuk dan pelarut 1:5 ke dalam pelarut n-heksan selama 24 jam pada suhu kamar, kemudian disaring. Perendaman dan penyaringan dilakukan beberapa kali dengan jumlah pelarut yang sama hingga cairan hasil perendaman kelihatan tidak berwarna lagi (bening). Setelah itu, residunya direndam dengan pelarut etil asetat hingga bening dan direndam kembali dengan metanol hingga bening. Teknik ekstraksi dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Selanjutnya setiap cairan hasil perendaman dipekatkan dengan evaporator putar bervakum dengan suhu 40 °C, tekanan 400 mmHg, dan kecepatan putaran tingkat 4 untuk memisahkan pelarut dan ekstrak pekat. Ekstrak pekat kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 40 °C selama 24 jam lalu ditimbang bobotnya untuk mendapatkan kadar ekstrak.
(30)
Serbuk berbagai bagian pohon Mindi
Ekstraksi dengan n-heksan
Ekstrak n-heksan Residu (serbuk)
)Ekstraksi dengan etil asetat
Ekstrak etil asetat Residu (serbuk)
Ekstraksi dengan metanol
Ekstrak metanol Residu (serbuk)
Gambar 3 Proses ekstraksi maserasi bersinambung.
3.3.3 Pengujian
Pengujian yang dilakukan meliputi pengukuran kadar ekstrak, uji antioksidan dengan metode DPPH, dan uji fitokimia.
a. Kadar Ekstrak
Ekstrak basah hasil pemekatan dari masing-masing jenis pelarut diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam wadah aluminium yang telah diketahui bobotnya. Ekstrak dan wadah ditimbang lalu dikeringkan pada suhu 103 ± 2 °C selama 12 jam. Selanjutnya wadah dan ekstrak kering ditimbang. Kandungan ekstraktif kayu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Kadar Ekstrak
Keterangan:
Wa = Bobot kering oven ekstrak kayu (g)
(31)
b. Kelarutan Kayu dalam Air Panas
Pengujian ini berdasarkan TAPPI T 207 om-88. Pengujian kelarutan kayu dalam air panas bertujuan untuk melarutkan metabolit primer seperti gula, gum, pati atau zat warna. Serbuk kayu (gubal dan teras) sebanyak 2 g diekstrak dengan 100 mL aquades panas dalam erlenmeyer 250 mL. Sampel dipanaskan di atas waterbath selama 3 jam dan diaduk sesekali. Setelah reaksi sampel disaring dan dicuci dengan air panas. Pengeringan dilakukan pada oven bersuhu 103±2°C sampai bobotnya konstan dan ditimbang. Kadar zat ekstraktif larut air panas dapat dihitung dengan:
% Kelarutan
Keterangan :
Wa = Bobot kering oven serbuk awal (g) Wb = Bobot kering serbuk setelah ekstraksi (g)
c. Uji Antioksidan dengan Metode DPPH
Uji antioksidan dengan metode DPPH yang dilakukan mengacu pada metode Salazar et al. (2009). Ekstrak mindi hasil ekstraksi bertingkat setelah dipekatkan dan dikeringkan dilarutkan dalam etanol sebagai larutan induk (konsentrasi 1000 ppm). Banyaknya larutan induk yang digunakan tergantung pada konsentrasi larutan ekstrak yang diinginkan (200 ppm; 100 ppm; 50 ppm; 25 ppm; 12,5 ppm; 6,25 ppm dan 3,125 ppm). Nisbah larutan ekstrak dengan larutan DPPH dalam pengujian ini adalah 1:1. Total larutan dalam setiap sumur microplate adalah 200 µL yang terdiri atas larutan ekstrak sebanyak 100 µL dan 100 µL larutan DPPH. Campuran tersebut kemudian diaduk sampai tercampur sempurna, lalu campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan eliza reader pada panjang gelombang 517 nm. Kontrol negatif dibuat dengan mencampurkan 100 µL etanol dengan 100 µL DPPH. Vitamin C digunakan sebagai kontrol positif antioksidan yang dibuat dengan cara dilarutkan dalam pelarut etanol dengan konsentrasi yang sama dengan sampel.
(32)
Ekstrak 1 mg
Pembuatan larutan induk 1000 ppm dengan penambahan etanol p.a. 1 mL
200 ppm ; 100 ppm; 50 ppm; 25 ppm; 12,5 ppm; 6,25 ppm; 3,125 ppm sebanyak 100 µL + 100 µL DPPH
Inkubasi 30 menit pada suhu 37 ˚C
Ukur absorbansi dengan eliza reader
Gambar 4 Diagram alir uji aktivitas antioksidan ekstrak mindi.
Diagram alir pada Gambar 4 berlaku untuk setiap ekstrak dari sampel mindi dengan pelarut metanol, etil asetat, dan n-heksan. Begitu juga untuk kontrol positif (vitamin C) dan kontrol negatif (blanko). Pengujian kualitatif dari metode DPPH yaitu dengan melihat warna larutan sampel ketika dicampurkan dengan DPPH. Adanya perubahan warna ungu pada DPPH menjadi ungu yang lebih muda atau warna kuning ketika pencampuran dilakukan, menandakan terdapatnya aktivitas antioksidan pada larutan sampel tersebut. Pengujian kuantitatif metode DPPH dilakukan dengan cara menghitung nilai persen inhibisi dan dilanjutkan dengan perhitungan nilai IC50.
% Inhibisi
Keterangan:
Ab = Absorbansi blanko As = Absorbansi sampel
Persen inhibisi merupakan persentase penghambatan aktivitas radikal bebas diperoleh dari nilai absorbansi sampel yang terukur oleh eliza reader. Persamaan
(33)
regresi diperoleh dari hubungan antara konsentrasi sampel dan persentase penghambatan aktivitas radikal bebas (inhibisi). Nilai konsentrasi penghambatan aktivitas radikal bebas sebanyak 50% (IC50) dihitung dengan menggunakan persamaan regresi. Nilai IC50 diperoleh dengan memasukkan Y=50 serta nilai A dan B yang telah diketahui. Nilai x sebagai IC50 dapat dihitung dengan persamaan berikut:
y = A + B Ln (x)
Keterangan :
y = persen inhibisi = 50% A = slope (kemiringan) B = intersep
x = IC50 (ppm)
c. Uji Fitokimia
Uji Fitokimia yang meliputi pengujian flavonoid, saponin, alkaloid, fenolik, tannin, triterpenoid, steroid, dan glikosida dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor. Metode yang digunakan mengacu pada Harbone (1987) dan Medichal Material plant MMI (Materia Medika Indonesia) Jilid VI (Depkes 1995). Hasil Pengujian fitokimia dapat dilihat pada Lampiran 2.
(34)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi
Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu 11,01%, diikuti bagian kulit (6,65%), cabang (1,92%), kayu gubal (1,54%), dan kayu teras (1,52%) (Tabel 2).
Tabel 2 Kadar ekstrak bagian pohon mindi 1)
Pelarut Bagian pohon mindi Total
Daun Kulit Cabang Gubal Teras
n-Heksan 1,37 0,91 0,32 0,18 0,29 3,06
Etil asetat 8,43 4,63 1,06 0,96 1,00 16,09
Metanol 1,21 1,11 0,54 0,40 0,23 3,49
Total 11,01 6,65 1,92 1,54 1,52 22,64
Keterangan: 1)Rerata 3 kali ulangan , % bobot kering tanur.
Daun memiliki kadar ekstrak tertinggi karena adanya senyawa klorofil atau zat hijau daun yang terdistribusi dalam daun dan dapat larut dalam pelarut organik yang digunakan. Harborne (1987) menyatakan bahwa sebagian besar klorofil terdistribusi dalam daun dan dapat larut dalam etanol, aseton, metanol, eter, dan kloroform. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Rahmawan (2011) yang menunjukan bahwa ekstrak daun lebih tinggi dari ekstrak ranting, kayu gubal, dan kayu teras.
Kadar ekstrak kulit menempati urutan kedua tertinggi. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Meilani (2006) yang menunjukkan bahwa rendemen ekstrak etanol dari kulit Suren (T. sureni) lebih tinggi dibandingkan kayu teras cabangnya yang disebabkan oleh tingginya kandungan konstituen-konstituen lipofil dan hidrofil dalam kulit. Menurut Sjostrom (1998), kandungan ekstraktif tersebut lebih tinggi terdapat pada kulit dibandingkan dalam bagian kayunya. Bagian hidrofil seperti senyawa-senyawa fenol dan suberin dapat larut dalam air dan pelarut-pelarut polar seperti etanol, aseton, dan metanol.
(35)
Bagian cabang memiliki kadar ekstraktif lebih tinggi daripada kayu gubal dan teras baik untuk ekstrak n-heksan, etil asetat maupun ekstrak metanol. Penelusuran pustaka mengenai kadar ektraktif cabang mindi tidak ditemukan, namun hasil ini didukung penelitian Fuwape (1990) yang menunjukkan bahwa bagian cabang salah satu dari tiga sampel kayu Gmelina arborea yang ditelitinya mengandung kadar ekstrak tertinggi (9,7%) dibandingkan kadar ekstrak kayu teras (5,1%) dan kayu gubalnya (5,7%). Menurut Ekman (1979) dalam Fengel dan Wegener (1995), bagian cabang kayu dapat mengandung lebih banyak zat ekstraktif dibandingkan batangnya, seperti yang ditunjukkan oleh cabang Picea abies yang mengandung konsentrasi lignan yang lebih tinggi (4-6% dan 2-3%) dibandingkan bagian batangnya (0,1%).
Pada umumnya kadar ekstrak kayu teras lebih tinggi dibandingkan kayu gubal (Sjostrom 1998). Akan tetapi, fenomena ini berbeda dengan hasil penelitian. Data pada Table 2 menunjukkan bahwa kadar ekstrak total kayu gubal lebih tinggi dibandingkan dengan bagian kayu terasnya. Hal ini diduga senyawa polar hasil metabolit primer seperti pati, gula, asam-asam amino, dan monosakarida yang lebih banyak terdapat pada kayu gubal ikut larut dalam metanol. Senyawa- senyawa tersebut mudah larut dalam metanol yang memiliki tingkat kepolaran tinggi. Metanol sendiri merupakan pelarut berbobot molekul rendah yang dapat membentuk ikatan hidrogen sehingga dapat larut dan bercampur dengan air dengan kelarutan yang tak terhingga. Ikatan hidrogen lebih mudah terbentuk pada pelarut metanol sehingga zat bioaktif lebih mudah larut dalam metanol (Hart 1987). Untuk mendukung hal tersebut maka dilakukan pengujian kelarutan kayu dalam air panas yang juga merupakan pelarut polar. Tingginya kelarutan dalam air panas dari kayu gubal (4,2%) dibandingkan dengan kayu teras (2,6%) menunjukkan bahwa senyawa metabolit primer (pati, gula, asam-asam amino, dan monosakarida) lebih banyak terdapat pada kayu gubal dibandingkan dalam kayu teras. Menurut Sjostrom (1998), kayu gubal mengandung lebih banyak bahan metabolit primer berupa pati dan gula sedangkan sangat sedikit mengandung senyawa-senyawa fenolik. Sunarsih (2001) juga menyatakan bahwa kadar pati bagian kayu gubal lebih tinggi dibandingkan dengan kayu teras pada kayu Damar.
(36)
Bila didasarkan pada klasifikasi kelas komponen kimia kayu Indonesia (Lestari dan Pari 1990), maka kadar ekstraktif mindi yang diperoleh dapat dibagi dalam dua kelas yaitu kelas tinggi dan rendah. Kadar ekstraktif kayu gubal dan kayu teras termasuk ke dalam kelas rendah karena nilainya kurang dari 2%.
Zat ekstraktif pada setiap jenis kayu dapat diekstrak dengan menggunakan pelarut-pelarut yang berbeda tergantung sifat dari zat ekstraktif tersebut dan pelarutnya. Zat ekstraktif bersifat polar dapat terekstrak dalam pelarut yang bersifat polar, dan sebaliknya. Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstraktif dari semua bagian yang larut pada pelarut etil asetat memiliki nilai tertinggi yaitu 16,09%, diikuti pelarut metanol (3,49%), dan yang terendah adalah n-heksan (3,06%). Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar ekstraktif didominasi oleh senyawa semipolar yang terlarut dalam etil asetat, sedangkan untuk ekstrak n-heksan memiliki kadar ekstraktif terendah. Umumnya keberadaan senyawa nonpolar cenderung paling sedikit dibandingkan senyawa ataupun fraksi semipolar dan polar (Meilani 2006). Besarnya rendemen ekstraksi dengan pelarut etil asetat mungkin disebabkan oleh sifat etil asetat yang semipolar yang dapat mengekstrak komponen glikon yang polar dan komponen aglikon yang nonpolar pula sehingga ekstrak ini memiliki rendemen ekstraksi yang besar (Harwood dan Moody 1989).
Tabel 3 menunjukkan bahwa berdasarkan posisi batang pohon, kadar ekstrak yang diperoleh beragam. Kadar ekstrak tertinggi yaitu bagian pangkal 1,59% diikuti oleh bagian tengah (1,51%), dan bagian ujung (1,49%). Menurut Sjostrom (1998), variasi kadar ekstraktif dalam pohon dipengaruhi oleh spesies pohon (genetik), umur pohon, dan posisi dalam pohon. Namun nilai kadar ekstrak ketiganya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Menurut Caron (2010), ketinggian batang yang berbeda tidak memberikan pengaruh pada kadar ekstrak kayu Sitka spruce yang ditelitinya. Akan tetapi, umumnya zat ekstraktif pada pangkal pohon lebih tinggi dibanding bagian batang di atasnya. Hal ini berkaitan dengan pembentukan kayu teras pada bagian pangkal yang diikuti terjadinya deposit metabolit sekunder dan adanya sel yang mati. Oleh sebab itu, zat ekstraktif hasil metabolisme sekunder yang banyak terdapat pada kayu teras bagian pangkal akan lebih tinggi dibandingkan bagian atasnya dimana sel-selnya masih aktif membelah.
(37)
Tabel 3 Nilai kadar ekstrak kayu mindi berdasarkan posisi batang dalam pohon
Posisi n-Heksan Etil asetat Metanol Total (1)
Pangkal 0,24 1,03 0,32 1,59
Tengah 0,21 0,96 0,34 1,51
Ujung 0,25 0,95 0,30 1,49
Keterangan: 1) Rerata 3 kali ulangan, % bobot kering tanur.
4.2 Sifat Antioksidan Ekstrak Bagian Pohon Mindi
Ekstrak berbagai bagian pohon mindi memiliki aktivitas antioksidan yang beragam. Hasil pengujian 15 jenis ekstrak berbagai bagian pohon mindi menunjukkan bahwa hanya empat jenis ekstrak yang memiliki kemampuan antioksidan yang kuat karena memiliki IC50 kurang dari 200 ppm, yaitu ekstrak etil asetat bagian kayu teras (IC50 1,88 ppm), ekstrak metanol bagian kayu teras (IC50 67,23 ppm), ekstrak etil asetat bagian cabang (IC50 146,11 ppm), dan ekstrak etil asetat bagian kayu gubal (IC50 172,65 ppm) (Tabel 4).
Tabel 4 Aktivitas antioksidan zat ekstraktif berbagai bagian pohon mindi berdasarkan nilai IC50
Bagian Jenis pelarut IC50 (ppm) Aktivitas1)
n- Heksan 1,07x1010 tidak kuat
Daun Etil asetat 4,46x105 tidak kuat
Metanol 1,16x104 tidak kuat
n- Heksan 1,11x1026 tidak kuat
Kulit Etil asetat 3,83x104 tidak kuat
Metanol 2,55x104 tidak kuat
n- Heksan 7,79x1013 tidak kuat
Cabang Gubal Teras
Etil asetat 146,00 kuat Metanol 4,82x102 tidak kuat n- Heksan 2,35x1027 tidak kuat Etil asetat 173,00 kuat Metanol 4,68x102 tidak kuat n- Heksan 5,34 x 109 tidak kuat Etil asetat 1,88 kuat
Metanol 67,23 kuat
Keterangan:1) berdasarkan Blois (1958) dalam Hanani (2005).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin tinggi persentase inhibisinya (Gambar 5). Hal ini mengindikasikan
(38)
(%) Inh ib is i ekstrak memiliki aktivitas antioksidan sehingga semakin banyak ekstrak yang diaplikasikan, maka semakin tinggi tingkat penghambatan radikal bebas. Interaksi antara konsentrasi dan persentase inhibisi dapat dinyatakan dengan kurva hubungan antara konsentrasi dan persen inhibisi yang menghasilkan persamaan regresi (Gambar 5). 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
‐10 0 50 100 150 200 250
konsentrasi ekstrak (ppm)
Teras etil asetat y = 6,75 ln(x) + 45,74
IC 50 = 1,88 Teras metanol
y = 16,62 ln(x) - 19,94 IC50 = 67,23
Gubal etil asetat y = 13,38 ln(x) - 19,23
IC50 = 172,65 Cabang etil asetat y = 12,76 ln(x) - 13,61
146,11 Gambar 5 Kurva hubungan antara konsentrasi ekstrak berbagai bagian pohon mindi dengan persen inhibisi. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa daun dan kulit dari pohon mindi yang tumbuh di Nepal memiliki aktivitas antioksidan kuat (Ghimeray et al. 2009; Nahak dan Sahu 2010a; Nahak dan Sahu 2010b). Akan tetapi, pada penelitian ini bagian daun dan kulit mindi baik untuk ekstrak n-heksan, etil asetat maupun metanol tidak memiliki aktivitas antioksidan yang kuat karena nilai IC50 lebih dari 200 ppm. Perbedaan hasil tersebut diduga karena sampel yang dianalisis berbeda umur, asal, dan kondisi tempat tumbuh. Perbedaan ini dapat menyebabkan jenis dan komposisi zat ekstraktif di dalam sampel uji berbeda sehingga aktivitas antioksidannya juga berbeda (Utami 2010). Perbedaan ini juga disebabkan oleh perbedaan metode dan pelarut yang digunakan. Menurut Fengel dan Wegener (1995), faktor lain yang mempengaruhi kandungan zat ekstraktif dalam tanaman selain umur, tempat tumbuh, genetik dan kecepatan pertumbuhan adalah jenis
(39)
pelarut. Setiap jenis pelarut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tidak ada pelarut yang dapat melarutkan semua zat ektraktif.
Ekstrak etil asetat bagian kayu teras memiliki aktivitas antiosidan yang sangat kuat karena memiliki nilai IC50 yang jauh lebih rendah dari 200 ppm. Selain itu, ekstrak metanol kayu teras juga memiliki aktivitas antioksidan tertinggi kedua setelah ekstrak etil asetatnya dari semua sampel yang diuji. Kayu teras memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan yang lain karena pada kayu teras banyak mengandung senyawa-senyawa fenol (Sjostrom 1998) yang diduga berperan dalam menghambat radikal bebas. Antioksidan alami kebanyakan dalam bentuk fenolik. Gugus fenol pada antioksidan inilah yang memiliki kemampuan untuk menangkap radikal bebas (Aini 2007). Tumbuhan berkayu diketahui mengandung banyak senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan seperti flavonoid, alkaloid, senyawa fenol, terpenoid, dan masih banyak lagi (Irawan 2006).
Ekstrak etil asetat bagian cabang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi ketiga karena dalam cabang terdapat kayu teras yang memiliki aktivitas antioksidan yang tertinggi. Walaupun jumlahnya kecil, kayu teras yang terkandung pada bagian cabang berkontribusi pada tingginya daya hambat terhadap radikal bebas sehingga lebih tinggi dibandingkan kayu gubal. Hal ini disebabkan oleh ekstraktif hasil metabolisme sekunder yang berpotensi sebagai antioksidan lebih banyak terkandung pada kayu teras dibandingkan kayu gubal. Perbedaan nilai aktivitas antioksidan ini disebabkan oleh kandungan senyawa antioksidan masing-masing ekstrak berbeda.
Menurut Sjostrom (1998), zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari komponen kayu yang larut dalam pelarut-pelarut organik dan air. Ekstraktif menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam struktur kayu. Ekstraktif fenol terdapat dalam kayu teras dan dalam kulit. Namun dari hasil pengujian, ekstrak dari bagian kulit ternyata tidak memiliki aktivitas antioksidan karena tidak semua senyawa dalam zat ekstraktif yang banyak terdapat pada kulit berperan sebagai antioksidan, misalnya saja tidak semua yang berpotensi sebagai antikanker atau antibakteri juga berperan sebagai antioksidan. Hasil penelitian Juniarti (2009) menunjukkan bahwa ekstrak daun Saga dilaporkan memiliki potensi sitotoksik
(40)
terhadap larva udang dengan nilai LC50 606,74 ppm, untuk aktivitas antioksidannya justru tidak aktif.
Penggunaan pelarut yang berbeda menghasilkan kadar ekstrak yang berbeda dan mengisolasi senyawa yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi aktivitas antioksidan ekstrak. Bila dilihat dari jenis pelarutnya, ekstrak etil asetat memiliki daya hambat paling tinggi. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap daun dan kulit pohon mindi asal Nepal, dimana ekstrak terlarut etil asetat juga memiliki aktivitas yang lebih kuat dibandingkan ekstrak n- heksan dan metanol (Ghimeray et al. 2009). Senyawa yang terlarut dalam n- heksan diduga berupa senyawa nonpolar seperti lemak, lilin, dan minyak sehingga tidak memiliki aktivitas antioksidan. Senyawa yang larut dalam etil asetat adalah senyawa-senyawa semipolar yang berpotensi sebagai antioksidan. Walaupun ekstrak metanol memiliki aktivitas antioksidan yang lebih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat namun aktivitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan ekstrak n- heksan karena senyawa-senyawa polar yang memiliki aktivitas antioksidan yang belum larut pada etil asetat dapat larut pada metanol.
Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang memiliki aktivitas yang kuat sebagai antioksidan dan banyak digunakan. Sebagian besar vitamin C yang ada di pasaran adalah vitamin C sintetis. Dalam penelitian ini vitamin C digunakan sebagai kontrol positif yang juga diukur aktivitas antioksidannya. Vitamin C mempunyai nilai IC50 yang kecil yaitu 3,05 ppm sehingga dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat. Ekstrak etil asetat kayu teras memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat bila dilihat dari nilai IC50 dan lebih kuat jika dibandingkan dengan antioksidan komersial (vitamin C) (Gambar 6), sehingga memiliki potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan sebagai antioksidan alami.
(41)
IC 50 (ppm) 3.5 3 2.5 2 1.88 3.05 1.5 1 0.5 0
Teras etil asetat Vitamin C
Gambar 6 Nilai IC50 ekstrak etil asetat kayu teras dan vitamin C menggunakan metode DPPH.
4.3 Fitokimia Ekstrak Teraktif Aktivitas antioksidan sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalam bahan. Analisis fitokimia merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa bioaktif yang berperan sebagai antioksidan dalam ekstrak teraktif. Ekstrak teraktif adalah ekstrak etil asetat kayu teras mindi. Hasil analisis fitokimia serbuk kayu teras menunjukkan terdeteksi adanya alkaloid, triterpenoid, flavonoid, dan glikosida. Sementara Itu, hasil analisis mendeteksi adanya saponin, alkaloid, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida dalam ekstrak etil asetat kayu teras (Tabel 5). Analisis fitokimia menunjukan hasil yang berbeda antara serbuk dan ekstrak etil asetat kayu teras. Perbedaan ini karena persentase zat ekstraktif dari kelompok saponin, fenolik, dan steroid yang larut dalam serbuk kandungannya sangat rendah sehingga tidak terdeteksi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Setiawan (2008) yang menunjukkan bahwa kandungan flavonoid yang terdeteksi pada serbuk daun jati belanda dan ekstrak metanol serta ekstrak etanolnya berbeda- beda, dimana kandungan senyawa flavonoid yang terdeteksi pada serbuk lebih lemah dibandingkan dalam ekstrak metanol dan etanolnya.
(42)
Tabel 5 Hasil analisis fitokimia secara kualitatif terhadap serbuk dan ekstrak teraktif mindi
Kayu teras mindi
Kelompok senyawa
Serbuk Ekstrak
etil setat
Saponin - +
Alkaloid + +
Tanin - -
Fenolik - +
Flavonoid + +
Triterpenoid + +
Steroid - +
Glikosida + +
Keterangan : (+) = senyawa terdeteksi, (-) = senyawa tidak terdeteksi.
Flavonoid merupakan salah satu senyawa dari golongan fenolik yang diduga paling berperan sebagai antioksidan. Flavonoid dan alkaloid merupakan senyawa pereduksi yang baik. Senyawa flavonoid secara umum bertindak sebagai antioksidan yaitu sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil. Flavonoid bersifat sebagai reduktor sehingga dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas. Zat flavonoid berfungsi sebagai penangkal radikal bebas yang dapat mengacaukan sistem keseimbangan tubuh dan dapat memicu timbulnya kanker (Silalahi 2006). Diduga sebagian besar senyawa fenolik yang terkandung dalam kayu teras mindi dan berperan sebagai antioksidan dapat terlarut dalam etil asetat. Sementara itu, golongan fenolik yang tidak terdeteksi oleh uji fitokimia pada serbuk kayu teras menunjukkan bahwa jenis pelarut etil asetat mampu melarutkan senyawa-senyawa fenolik selain flavonoid dengan baik. Berdasarkan penelitian Salim (2006), alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin berperan dalam menghambat reaksi oksidasi lipid. Mangan (2003) melaporkan bahwa saponin yang terkandung dalam tanaman cuplikan (Physalis angulota Linn.) berkhasiat selain sebagai antioksidan, juga sebagai antitumor dan menghambat pertumbuhan kanker terutama kanker usus besar.
Keanekaragaman zat ekstraktif yang dapat diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian proses ekstraksi yang hasilnya memberikan ciri awal komposisinya. Selain itu, keanekaragaman zat ekstraktif dipengaruhi oleh pelarut
(43)
yang digunakan karena zat ekstraktif sering tersembunyi di belakang dinding sel, bergantung pada derajat polimerisasi dan ketidaklarutannya. Perbedaan tingkat kepolaran pelarut menentukan perbedaan jenis dan komposisi senyawaan fitokimia serta mempengaruhi aktivitas antioksidan (Dehkharghanian et al. 2010). Selain mempunyai rendemen yang paling tinggi, ekstrak etil asetat juga memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibanding ekstrak metanol dan n- heksannya. Senyawa semipolar yang dilaporkan dapat terekstrak oleh etil asetat, meliputi senyawa alkaloid, aglikon, glikosida (Houghton dan Raman 1998), sterol, terpenoid, dan flavonoid (Cowan 1999).
(44)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut yang digunakan. Bagian daun memiliki kadar ekstrak tertinggi (11,01%), kemudian diikuti oleh bagian kulit (6,65%), cabang (1,92%), kayu gubal (1,54%), dan kayu teras (1,52%). Berdasarkan jenis pelarutnya, etil asetat merupakan pelarut yang mampu melarutkan zat ekstraktif tertinggi dengan kadar ekstrak 16,09%, kemudian metanol (3,49%) dan n-heksan (3,06%). Ekstrak berbagai bagian pohon mindi yang memiliki aktivitas antioksidan tergolong kuat adalah ekstrak etil asetat kayu teras ( IC50 1,88 ppm), diikuti ekstrak metanol kayu teras (IC50 67,23 ppm), ekstrak etil asetat cabang (IC50 146,11 ppm), dan ekstrak etil asetat kayu gubal (IC50 172,65 ppm). Ekstrak etil asetat kayu teras merupakan ekstrak teraktif yang bersifat antioksidan dan aktivitas antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan antioksidan vitamin C (IC50 3,05 ppm). Hasil analisis fitokimia secara kualitatif menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat kayu teras mindi positif mengandung saponin, alkaloid, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida yang diduga berperan sebagai antioksidan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penelitian lanjutan yang disarankan adalah mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa bioaktif yang bersifat antioksidan dalam esktrak etil asetat kayu teras mindi.
(1)
Syafii W. 2008. Peningkatan efisiensi pemanfaatan hasil hutan melalui
penerapan konsep "the whole tree utilization". Di dalam: Pemikiran Guru
Besar Institut Pertanian Bogor: perspektif ilmu-ilmu pertanian dalam pembangunan nasional. Bogor: Penebar Swadaya-IPB Press. hlm 187-191. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood: Structure,Properties,
Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold.
[USDA] United States Department of Agriculture. 2012. Plant profil for Melia
azedarach Linn. (Chinaberrytree). Natural Recources Conservation Service. [terhubung berkala]. http://plants.usda. gov/java [28 Agt 2012].
Utami AM. 2010. Aktivitas antioksidan ekstrak buah dan daun mengkudu [skripsi]. Bogor: Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Walker JCF. 2006. Primary Wood Processing: Principles and Practice. New Zealand: Springer.
(2)
35
LAMPIRAN
(3)
(4)
37 Lampiran 2 Hasil Pengujian Fitokimia di Balittro Cimanggu
(5)
DHH
Antioxidant activity of Mindi (MeliaAzedarach Linn.) extractives
Mita Nurdyana1), Wasrin Syafii2),
and Rita Kartika Sari3)
INTRODUCTION. The whole tree utilization concept can be applied to increase utilization efficiency of forest products, included the usage of wood chemical component like extractive. Research of Nahak and Sahu (2010a) showed that extract of mindi’s leaves has strong antioxidant activity. Mindi is a fast growing tree species that developed for community forests. Therefore, it is interesting to do research about the potential antioxidant activity of mindi that grown in Indonesia because the distribution and variation of extractive compounds was depended on many factors like the species, age, place grew, and parts used. The objective of this research is to determine the extractive content of the bark (inner bark), leaves, branches, heartwood, and sapwood of mindi that extracted with a multilevel polarity maceration method and to assay antioxidant activity of mindi’s extract and to analyze phytochemical on the active extracts. METHODS. This research used the bark (inner bark), leaves, branches, heartwood, and sapwood of mindi that extracted with a multilevel maceration method in n-hexane, ethyl acetate, and methanol solvent. Antioxidant activity of extractive was suspected by DPPH method. Absorbans value that had got from DPPH assay was processed to obtain IC50 values. Then the active extract was
analyzed by phytochemical assay.
RESULT AND DISCUSSION. The result of this research showed that the etyl acetat fraction of leaves is the highest total extractive content (11,01%) but the etyl acetat fraction of heartwood exhibited the highest radical scavenging with IC50 1,88 ppm so that it can be classified to be strong antioxidant that is stronger
than vitamine C. Phytochemical analyzed indicated that the antioxidative coumpounds in the most active extract were flavonoid, saponin, alkaloid, phenolic, triterpenoid, steroid dan glycoside. Therefore it is very potential to amendable as natural antioxidant so that it can be used more efficient.
(6)
RINGKASAN
MITA NURDYANA. Aktivitas Antioksidan Zat Ekstraktif dari Pohon Mindi (Melia azedarach Linn.). Dibawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr dan Dr.Ir. Rita Kartika Sari, M.Si
Upaya pemanfaatan seluruh bagian pohon (the whole tree utilization) perlu
dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan hasil hutan termasuk pemanfaatan komponen kimia kayu berupa zat ekstraktif. Pengetahuan tentang zat ekstraktif sebagai sumber bahan obat-obatan telah mendorong berbagai penelitian untuk mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan zat ekstraktif tersebut, salah satunya sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menangkap radikal bebas yang menjadi penyebab beberapa penyakit degeneratif (Hanani 2005).
Menurut Nahak dan Sahu (2010a), daun mindi (Melia azedarach Linn.)
yang tumbuh di India terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. Mindi merupakan jenis kayu dari hutan rakyat yang memiliki kualitas kayu yang baik
dan cepat tumbuh (fast growing spesies). Mengingat distribusi dan komposisi zat
ekstraktif tidak hanya dipengaruhi oleh jenis pohon tetapi juga dipengaruhi oleh umur, tempat tumbuh, posisi dalam pohon, kayu gubal, dan kayu teras (Sjostrom 1998), maka penelitian mengenai aktivitas antioksidan zat ekstraktif dari pohon mindi menarik untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar ekstrak bagian kulit, daun, cabang, kayu teras dan gubal pohon mindi yang diekstraksi dengan pelarut organik dengan kepolaran bertingkat (n-heksan, etil asetat dan metanol) dan menguji aktivitas antioksidan ekstraknya serta menganalisis fitokimia ekstrak teraktif secara kualitatif.
Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa bagian daun, kulit, cabang kayu gubal, dan kayu teras pohon mindi yang diekstrak dengan metode maserasi bersinambung dengan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol. Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH hingga didapatkan ekstrak teraktif, kemudian dianalisis fitokimianya secara kualitatif. Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan program Microsoft excel sehingga didapatkan
nilai kadar ekstrak dan IC50.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun mindi menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu 11,01%, diikuti bagian kulit, cabang, kayu gubal, dan kayu teras. Berdasarkan jenis pelarut yang digunakan, ekstrak terlarut etil asetat menghasilkan kadar tertinggi (16,09%), diikuti ekstrak terlarut metanol (3,49%) dan n-heksan (3,06%). Ekstrak bagian kayu teras mindi dengan pelarut etil asetat
memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dengan nilai IC50 mencapai 1,88 ppm
sehingga tergolong sebagai antioksidan sangat kuat bahkan lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C. Hasil pengujian fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat bagian kayu teras mindi mengandung flavonoid, alkaloid, terpenoid, steroid, triterpenoid, fenolik, dan glikosida.