Hepatotoksisitas Obat Anti-Tuberkulosis OAT

2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah “sangat sugestif” penurunan enzim hati paling tidak 50 dari kadar di atas batas atas normal dalam 8 hari atau “sugestif” penurunan kadar enzim hati paling tidak 50 dalam 30 hari untuk reaksi hepatoselular dan 180 hari untuk reaksi kolestatik dari reaksi obat. 3. Alternatif sebab lain dari reaksi telah dieksklusi dengan pemeriksaan yang teliti, termasuk biopsi hati pada tiap kasus. 4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikkan 2 kali lipat enzim hati. Dikatakan reaksi “ drug-related ” jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat Bayupurnama, 2009.

2.6. Hepatotoksisitas Obat Anti-Tuberkulosis OAT

Pada pasien TB yang mengkonsumsi OAT, hal yang tidak dapat dihindarkan adalah efek samping OAT. Efek samping OAT biasanya ringan, dan efek samping yang berat adalah hepatotoksik. OAT yang dapat menyebabkan hepatotoksik adalah pirazinamid, isoniazid, dan rifampisin. Rifampisin sebagai obat utama TB mempunyai efek hepatotoksik yang paling rendah bila dibandingkan dengan pirazinamid dan isoniazid. Gejala hepatotoksik biasanya menyerupai gejala hepatitis lainnya. Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari Aspartate AminotransferaseGlutamate Oxaloacetate Transaminase ASTGOT yang disekresikan secara pararel dengan Alanine AminotransferaseGlutamate Pyruvate Transaminase ALTGPT yang merupakan penanda yang lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar Sherlock dan Dooley, 2002. Faktor-faktor resiko heptotoksisitas yang pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alkohol, riwayat penyakit hati kronis, karier hepatitis B, prevalensi hepatitis viral yang meningkat di negara sedang berkembang, hipoalbumin dan TB lanjut, dan pemakaian obat yang tidak sesuai aturan serta status asetilatornya. Telah dibuktikan secara Universitas Sumatera Utara meyakinkan adanya keterkaitan HLA-DR2 dengan TB paru pada berbagai populasi dan keterkaitan varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap TB, sedangkan resiko hepatotoksisitas OAT berkaitan juga dengan tidak adanya HLA- DQA10102 dan adanya HLA-DQB10201 di samping usia lanjut, albumin serum 3,5 gdl, dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasien dengan OAT diperngaruhi faktor-faktor klinik dan genetik. Pada pasien TB dengan hepatitis C atau HIV mempunyai resko hepatotoksisitas terhadap OAT empat sampai lima kali lipat. Sementara itu, pasien TB dengan karier HBsAg-positif dan HBeAg-negatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek isoniazid, rifampisin, etambutol, danatau pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10 pasien TB yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan kadar aminotransferase serum dalam minggu pertama terapi yang tampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan kadar aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1 yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral yang mana 50 kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian Bayupurnama, 2009.

2.7. Mekanisme Hepatotoksisitas Obat Anti-Tuberkulosis