Pengaruh Proteksi Vitamin C Terhadap Enzim Transaminase dan Gambaran Histopatologis Hati Mencit yang Dipapar Plumbum

(1)

PENGARUH PROTEKSI VITAMIN C

TERHADAP ENZIM TRANSAMINASE DAN

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS HATI MENCIT

YANG DIPAPAR PLUMBUM

TESIS

Oleh

DEDY SYAHRIZAL

067008005/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PENGARUH PROTEKSI VITAMIN C

TERHADAP ENZIM TRANSAMINASE DAN

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS HATI MENCIT

YANG DIPAPAR PLUMBUM

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi Ilmu Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEDY SYAHRIZAL

067008005/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PENGARUH PROTEKSI VITAMIN C TERHADAP ENZIM TRANSAMINASE DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGIS HATI MENCIT YANG DIPAPAPAR PLUMBUM

Nama Mahasiswa : Dedy Syahrizal

Nomor Pokok : 067008005

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Dr. Ramlan Silaban, M.Si) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 25 Agustus 2008

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D

Anggota : 1. Dr. Ramlan Silaban, M.Si

2. dr. Datten Bangun, M.Sc, Sp.FK


(5)

ABSTRAK

Plumbum (Pb) adalah unsur yang terdapat secara luas di lingkungan. Pb di lingkungan kebanyakan berasal dari pembakaran bahan bakar minyak kendaraan bermotor dan industri. Pb banyak terdapat di biosphere dan diketahui sebagai hepatotoksikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek hepatoprotektif dari vitamin C dalam melawan intoksikasi Pb asetat pada mencit. Untuk itu mencit dibagi dalam kelompok kontrol (aquadest dan Pb asetat) dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan adalah kelompok yang diberi prevensi vitamin C dalam tiga dosis (200 mg/kgBB, 500mg/kg dan 1000mg/kg) secara oral sehari sekali selama tujuh hari. Mencit kemudian diberi Pb asetat (20 mg/kgBB) secara intraperitoneal pada hari ke tujuh satu jam setelah pemberian vitamin C. Dua hari kemudian dilakukan pengambilan darah dan organ hati kemudian dilakukan pemeriksaan untuk menilai kadar enzim transaminase dan perubahan pada gambaran histopatologi hati mencit. Diperoleh hasil bahwa pemberian Pb 20 mg/kgBB dosis tunggal secara signifikan meningkatkan kadar enzim transaminase dan persentase sel hati yang mengalami nekrosis, sebaliknya prevensi vitamin C dapat menurunkan kadar enzim transaminase dan persentase sel hati yang nekrosis apabila dibandingkan dengan kelompok percobaan yang hanya diberi Pb. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa vitamin C merupakan suatu antioksidan yang dapat meredam akifitas Pb dalam menimbulkan stres oksidatif. Selain itu kemampuan vitamin C dalam mencegah peroksidasi lipid sel terbukti dengan semakin berkurangnya kerusakan sel dengan semakin meningkatnya dosis vitamin C.


(6)

ABSTRACT

Lead is a ubiquitous element detected in all environmental media. Adult human beings and children receive lead the most from food, air and water intake. The majority of lead in the environment arises from burning of fossil fuels in automobiles and industrial emission. Lead occurs widely in the biosphere and is found to be a potent hepato-toxicant. The objective of this study was to screen for the hepatoprotective role of vitamin C (ascorbic acid) against lead acetat intoxication in mice. For this purpose, mice were randomized into control (aquadest and lead acetate) and experiment group. Mice of the experimental group were administered vitamin C in 3 doses group (200 mg/kg of body weight animal, 500 mg/kg of body weight animal and 1000 mg/kg of body weight animal) orally once in a day for 7 consecutive days. Mice were then treated with lead acetat (20 mg/kg of body weight animal intraperitoneally) on 7th day, one hour after ascorbic acid administration. These were then taked mice blood and liver autopsied at 2 days to examine activation transamination enzyme and quantitative as well as qualitative alteration in the liver histopatological. It was observed that ascorbic acid treatment prior to lead intoxication reduced depletion of necrotic and degeneration degree of hepatocyt. Also, supplementation of vitamin C can restore ameliorated activation transamination enzyme.


(7)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Dedy Syahrizal

2. Tempat/Tanggal Lahir : Langsa, 3 Desember 1979

3. Agama : Islam

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Tgk. Chik Dipineung Raya no. 48 Banda Aceh

6. Telp/HP : (0651)7551522/ 08126927402

7. Pendidikan :

SD Negeri 20 Banda Aceh : 1986 - 1992

SMP Negeri 1 Banda Aceh : 1992 - 1995

SMU Negeri 1 Banda Aceh : 1995 - 1998

Sarjana (S1) Fakultas Kedokteran UNSYIAH : 1998 - 2002 Profesi Dokter Fakultas Kedokteran UNSYIAH : 2002 – 2005 Pascasarjana (S2) Biomedik SPS USU : 2006 - 2008

8. Riwayat Pekerjaan :

Staf Pengajar Tetap di Departemen Kimia Kedokteran


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK...i

ABSTRACT...ii

KATA PENGANTAR...iii

RIWAYAT HIDUP...vi

DAFTAR ISI……….. vii

DAFTAR TABEL……….. ix

DAFTAR GAMBAR………. x

DAFTAR LAMPIRAN...xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Kerangka Teori... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Hipotesis... 8

1.6Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1Plumbum (Pb) ... 9

2.2Radikal Bebas ... 13


(9)

2.4Vitamin C ... 16

2.5Hati... 19

2.6Pemeriksaan Biokimia Hati ... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 24

3.1Jenis Penelitian... 24

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

3.3Populasi Penelitian ... 24

3.4Variabel Penelitian ... 25

3.5Bahan ... 25

3.6Alat ... 26

3.7Pelaksanaan Penelitian ... 26

3.8Analisa Data ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1Deskripsi Proses Penelitian ... 32

4.2Aktifitas Enzim Transaminase ... 33

4.3Pemeriksaan Jaringan Hati... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 47

5.1Kesimpulan ... 47

5.2Saran... 48


(10)

DAFTAR TABEL

No. Teks Hal

1. Aktivitas Enzim Transaminase pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan... 34 2. Persentase Kerusakan Sel Hati... 40


(11)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Hal 1. Bagan Kerangka Teori Pengaruh Proteksi Vitamin C Terhadap Sel Hati

yang Dipapar Plumbum... 7

2. Perbandingan Aktivitas AST pada Seluruh Kelompok Percobaan... 35

3. Perbandingan Aktivitas ALT pada Seluruh Kelompok Percobaan... 36

4. Persentase Tingkat Kerusakan Sel Hati (Nekrosis)... 41


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Hal 1. Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan...53 2. Pernyataan Melakukan Penelitian dari Kepala Balai Penyedikan dan

Pengujian Veteriner Regional I Medan... 54 3. Hasil Pengolahan Penelitian Secara Statistik... 55


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Polusi logam berat termasuk plumbum (Pb) merupakan masalah serius di negara-negara maju maupun negara berkembang. Polusi Pb biasanya berkaitan erat dengan proses pertambangan, peleburan logam, industri yang menggunakan bahan baku Pb dan tidak kalah pentingnya Pb juga dapat berasal dari asap kendaraan bermotor. Pb juga dapat mencemari air minum karena adanya kontaminasi dari pipa, solder, dan kran air. (Hariono, 2005)

Jumlah Pb di udara mengalami peningkatan yang sangat drastis sejak dimulainya revolusi industri di Benua Eropa. Asap yang berasal dari cerobong asap pabrik hingga knalpot kendaraan telah melepaskan Pb ke udara. Hal ini berlangsung terus menerus sepanjang hari, sehingga kandungan Pb di udara naik secara mencolok sekali, hal ini dibuktikan dengan satu hasil penelitian terhadap kandungan Pb yang terdapat pada lapisan es di Greenland pada tahun 1969. Emisi Pb ke dalam atmosfir dapat berbentuk gas partikulat. Emisi Pb yang masuk dalam bentuk gas terutama sekali berasal dari buangan gas kendaraan bermotor. Emisi tersebut merupakan hasil samping pembakaran yang terjadi dalam mesin-mesin kendaraan. Pb yang merupakan hasil samping dari pembakaran ini berasal dari senyawa tetraetil-Pb yang selalu ditambahkan dalam bahan bakar kendaraan bermotor dan berfungsi sebagai anti ketuk (anti-knock) pada mesin-mesin kendaraan. Penggunaan Pb di industri dan


(14)

penambangan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya penambangan, peleburan, pembersih, dan berbagai industri. Beberapa industri menggunakan Pb sebagai bahan bakunya, seperti PbO dan Pb3O4 pada industri baterai, Pb3O4 dan Pb sulfat pada industri cat, PbO pada industri karet, Pb arsenat pada insektisida dan Pb naftenat sebagai pengering pada industri kain katun, cat, tinta, cat rambut, insektisida, amunisi dan kosmetik. Pb digunakan pula sebagai zat warna yaitu Pb karbonat dan Pb sulfat sebagai zat warna putih. (Palar, 1994)

Akibat meningkatnya polusi Pb di lingkungan, maka akan semakin tinggi pula resiko masyarakat untuk mengalami efek negatif dari pencemaran Pb. Hal ini disebabkan karena Pb dapat masuk ke dalam tubuh dan pada tingkat tertentu akan menyebabkan perubahan pada beberapa molekul tubuh yang pada akhirnya akan mengganggu fungsi tubuh. Salah satu organ yang ikut mengalami perubahan akibat paparan Pb yang berlebihan adalah hati. Hati merupakan organ tubuh yang terbesar dan organ metabolisme yang paling kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar obat dan toksikan. (Lu, 1995) Adapun mekanisme kerusakan hati yang diakibatkan oleh Pb adalah Pb tingkat tertentu dapat menginduksi pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan sistem antioksidan tubuh sehingga dengan sendirinya akan terjadi stres oksidatif. (Gurer et al, 2000)

Dari beberapa penelitian diketahui bahwa Pb menyebabkan terjadinya efek negatif pada kesehatan, khususnya pada organ hati. Secara umum beberapa efek merugikan Pb terhadap sistem hepatobiliari meliputi katalisis peroksidasi asam lemak


(15)

jenuh, reduksi produksi N-oxide, dan pembentukan radikal hidroksil. Pemberian senyawa Pb konsentrasi tinggi melalui makanan menyebabkan kerusakan hati yang hebat dengan melibatkan radikal-radikal bebas. Pemberian dengan dosis rendah menimbulkan gangguan dalam proses biokimia normal sistem hepatobilier dan Pb dapat mengalami presipitasi membentuk batu kandung empedu. (Sipos et al, 2003)

Suatu percobaan in vivo pada tikus yang diberikan Pb(NO3)2 secara intra vena dijumpai penurunan kadar glutathion tereduksi (GSH) hepar dan adanya kemungkinan terjadinya apoptosis hepar. Pada percobaan in vitro, Pb(NO3)2 menunjukkan efek nekrotik langsung dan bukan apoptotik pada hepar. Sedangkan pada inkubasi sel hepar bersama sel kupffer yang dikultur dengan Pb(NO3)2 selam 24 jam, terjadi apotosis sel hepar. Hal ini menunjukkan bahwa Pb(NO3)2 mempunyai efek nekrosis langsung pada sel hepar, disamping menunjukkan adanya peran sel kupffer dalam menginduksi apoptosis sel hepar setelah pemberian Pb(NO3)2 melalui stres oksidatif. (Pagliara et al, 2003)

Telah dilaporkan bahwa Pb membentuk senyawa mercaptida dengan gugus thiol (-SH) cystein dan menurunkan kestabilan kompleks ini dengan asam amino lain. Hal ini menjadi alasan dari perubahan komponen protein sel. Senyawa-senyawa dengan gugus thiol bebas adalah pelindung sel terhadap kerusakan oleh radikal bebas, sehingga bila gugus ini diikat oleh Pb, maka mekanisme perlindungan tersebut menjadi tidak cukup tersedia di dalam sel. Glutathion sebagai suatu tripeptida (glutamat-cystein-glycin) yang merupakan pelindung dari radikal bebas akan mereduksi peroksida-peroksida dan mempertahankan gugus thiol protein dalam


(16)

keadaan tereduksi sehingga akan didapati menurun pada darah dan hati. Hal ini menjadi salah satu penyebab toksisitas Pb di hati. (Gajawat et al, 2006)

Adanya kerusakan pada organ hati akibat paparan Pb dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan biokimia dan pemeriksaan histopatologis hati. Salah satu pemeriksaan biokimia hati yang berguna untuk tujuan tersebut adalah pemeriksaan enzim golongan transaminase, yaitu enzim aspartat aminotransferase (AST) yang sering disebut glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) dan enzim alanin aminotransferase (ALT) atau sering juga disebut glutamate piruvat transaminase (GPT). AST dapat ditemukan pada berbagai tempat di tubuh, tapi lebih berguna sebagai penanda kerusakan hati atau jantung, sedangkan ALT lebih terkonsentrasi pada hati. Kedua enzim ini akan keluar dari sel hati apabila sel hati mengalami kerusakan sehingga dengan sendirinya akan menyebabkan peningkatan kadarnya dalam serum. (Widman, 1992; Goldberg, 2000) Sedangkan pemeriksaan histopatologis hati merupakan suatu pemeriksaan yang dapat membuktikan adanya kerusakan hati yang ditandai dengan adanya perubahan struktur hati dari struktur normalnya. (Lu et al, 1995)

Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan ketahanan tubuh khususnya organ hati dari bahaya berbagai toksikan termasuk Pb. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pemberian vitamin C dapat mencegah dan memperbaiki kerusakan hati akibat adanya proses stres oksidatif, khususnya yang diakibatkan oleh Pb. Vitamin C dipercaya dapat menurunkan peroksidasi lipid. Selain itu pemberian


(17)

vitamin C juga dapat meningkatkan kadar glutathione sehingga dapat mencegah kerusakan sel akibat pengaruh Pb. (Gajawat et al, 2006)

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka jelaslah bahwa Pb dapat menyebab kerusakan hati dan vitamin C berpotensi sebagai bahan pelindung hati dari pengaruh Pb. Namun belum diketahui secara langsung peran perlindungan vitamin C terhadap enzim transaminase pada hati yang terpapar Pb. Hal ini sangat penting karena enzim transaminase merupakan penanda yang sering diukur dalam menentukan fungsi hati. Selain itu belum diketahui secara pasti kadar vitamin C yang optimal untuk dapat melindungi hati dari pengaruh buruk Pb. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai proteksi pemberian vitamin C dalam mencegah gangguan fungsi hati akibat dipapar Pb.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah pemberian vitamin C secara oral dapat melindungi hati dari kerusakan yang diakibatkan oleh Pb sehingga tidak akan terjadi peningkatan kadar AST/ALT darah. Masalah lainnya adalah apakah pemberian vitamin C dapat mencegah terjadinya perubahan gambaran histopatologis hati akibat pengaruh Pb, serta berapa kadar vitamin C optimal yang dapat melindungi hati dari paparan Pb.


(18)

1.3 Kerangka Teori

Pb dalam darah dapat menyebabkan kerusakan berbagai organ termasuk organ hati. Hal ini diakibatkan oleh kemampuan Pb untuk membentuk radikal bebas dalam tubuh serta menurunkan kemampuan antioksidan sehingga dengan sendirinya akan terjadi stres oksidatif. Selain itu dari berbagai penelitian diketahui bahwa Pb secara langsung dapat menimbulkan terjadinya gangguan dalam proses biokimia normal sistem hepatobilier dan juga dapat menyebabkan nekrosis sel hati. Oleh karena itu diperlukan suatu asupan antioksidan untuk dapat melindungi hati dari kerusakan yang diakibatkan oleh Pb. Vitamin C merupakan antioksidan yang dapat menangkal pengaruh buruk radikal bebas dari Pb sehingga dengan sendirinya dapat melindungi hati dari kerusakan. Untuk dapat memantau pengaruh vitamin C dalam mencegah kerusakan hati yang diakibatkan paparan Pb, dapat dipakai suatu pemeriksaan biokimia berupa pemeriksaan enzim transaminase dan pemeriksaan histopatologis dari jaringan hati.


(19)

PEMBERIAN

PLUMBUM

STRES OKSIDATIF

FAKTOR YANG BERPENGARUH :

MAKANAN, LINGKUNGAN,

UMUR

PREVENSI

VITAMIN C ORAL

SEL HATI

AST/ALT

GAMBARAN HISTOPATOLOGIS

HATI

Gambar 1.Kerangka Teori Pengaruh Proteksi Vitamin C Terhadap Sel Hati yang Dipapar Plumbum

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui efek pemberian vitamin C secara oral terhadap kadar ALT/AST darah dan gambaran histopatologis hati mencit yang dipapar Pb.

1.4.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui kadar ALT/AST darah dan perubahan gambaran histopatologis hati mencit yang dipapar Pb.


(20)

b. Untuk mengetahui kadar ALT/AST darah dan perubahan gambaran histopatologis hati mencit yang dipapar Pb yang sebelumnya diproteksi dengan pemberian vitamin C oral dengan berbagai dosis

c. Untuk mengetahui kadar vitamin C oral yang memiliki efek untuk menurunkan kadar ALT/AST darah dan memperbaiki gambaran histopatologis hati mencit yang dipapar Pb

1.5 Hipotesis

Pemberian vitamin C oral dapat mencegah kerusakan sel hati akibat paparan Pb sehingga tidak terjadi perubahan kadar ALT/AST darah dan gambaran histopatologis hati mencit.

1.6 Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi tentang toksisitas plumbum terhadap hati

b. Memberikan informasi mengenai penggunaan vitamin C sebagai bahan hepatoprotektor khususnya terhadap pengaruh Pb.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plumbum (Pb)

2.1.1 Sifat fisika dan kimia Pb

Plumbum sering juga disebut dengan timah hitam atau timbal. Logam ini disimpulkan dengan Pb. Pb termasuk ke dalam kelompok logam golongan IV–A pada tabel periodik unsur kimia. Pb mempunyai nomor atom (NA) 82 dan berat atom (BA) 207,2 merupakan suatu logam berat berwarna kelabu kebiruan dan lunak dengan titik leleh 3270C dan titik didih 1.6200C. Pada suhu 550-6000C Pb menguap dan membentuk oksigen dalam udara lalu membentuk timbal oksida. Walaupun bersifat lunak dan lentur, Pb sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin, air panas dan air asam. Pb dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat (Palar, 1994).

Lebih kurang 95% Pb bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam, Pb anorganik kurang larut dalam air, selebihnya berbentuk Pb organik. Pb organik ditemukan dalam bentuk senyawa tetraethyllead (TEL) dan tetramethyllaed (TML). TEL dipakai sebagai bahan anti ketuk yang berfungsi menaikkan angka oktan. Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid. (WHO, 1977)


(22)

2.1.2 Metabolisme Pb

Pajanan Pb dapat berasal dari makanan, minuman, udara, lingkungan umum, dan lingkungan kerja yang tercemar Pb. Pajanan yang bukan berasal akibat pekerjaan (pajanan non okupasional) biasanya melalui tertelannya makanan dan minuman yang tercemar Pb. Sedangkan pajanan Pb akibat pekerjan (pajanan okupasional) adalah melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan terutama oleh Pb karbonat dan Pb sulfat. (Ardyanto, 2005)

Pb dan senyawanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran pencernaan, sedangkan absorpsi melalui kulit sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Bahaya yang ditimbulkan oleh Pb tergantung oleh ukuran partikelnya. Partikel yang lebih kecil dari 10 µm dapat tertahan di paru paru, sedangkan partikel yang lebih besar mengendap di saluran nafas bagian atas. Absorpsi Pb melalui saluran pernafasan dipengaruhi oleh tiga proses yaitu deposisi, pembersihan mukosiliar, dan pembersihan alveolar. Deposisi terjadi di nasofaring, saluran trakeobronkhial, dan alveolus. Deposisi tergantung pada ukuran partikel Pb, volume pernafasan dan daya larut. Partikel yang lebih besar banyak dideposit pada saluran pernafasan bagian atas dibanding partikel yang lebih kecil (Ardyanto, 2005). Pembersihan mukosiliar membawa partikel dari saluran pernafasan bagian atas ke nasofaring kemudian di telan. Rata-rata 10 – 30% Pb yang terinhalasi diabsorpsi melalui paru-paru, dan sekitar 5-10% dari yang tertelan diabsorpsi melalui saluran cerna. Fungsi pembersihan alveolar adalah membawa partikel ke ekskalator mukosiliar, menembus lapisan jaringan paru kemudian menuju kelenjar limfe dan aliran darah. Sebanyak


(23)

30-40% Pb yang di absorpsi melalui saluran pernafasan akan masuk ke aliran darah. Masuknya Pb ke aliran darah tergantung pada ukuran partikel daya larut, volume pernafasan dan variasi faal antar individu (Palar,1994).

Pb yang diabsorpsi diangkut oleh darah ke organ-organ tubuh. Sebanyak 95% Pb dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagiannya merupakan bentuk yang dapat berdifusi ke berbagai jaringan yaitu ke jaringan lunak (sumsum tulang, sistim saraf, ginjal, hati) dan ke jaringan keras (tulang, kuku, rambut, gigi) (Palar, 1994). Gigi dan tulang panjang mengandung Pb lebih banyak dibandingkan tulang lainnya. Pada gusi dapat terlihat lead line yaitu pigmen berwarna abu-abu pada perbatasan antara gigi dan gusi. Hal itu merupakan ciri khas keracunan Pb. (Ardyanto, 2005)

Ekskresi Pb melalui beberapa cara, yang terpenting adalah melalui ginjal dan saluran cerna. Ekskresi Pb melalui urine sebanyak 75 – 80%, melalui feces 15% dan lainnya melalui empedu, keringat, rambut, dan kuku (Palar,1994). Ekskresi Pb melalui saluran cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar saliva, pankreas dan kelenjar lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel, dan ekskresi empedu. Sedangkan proses eksresi Pb melalui ginjal adalah melalui filtrasi glomerulus. Kadar Pb dalam urine merupakan cerminan pajanan baru sehingga pemeriksaan Pb urine dipakai untuk pajanan okupasional. Pada umumnya ekskresi Pb berjalan sangat lambat. Waktu paruh Pb di dalam darah kurang lebih 25 hari, pada jaringan lunak 40 hari, sedangkan pada tulang 25 tahun. Ekskresi yang lambat ini menyebabkan Pb mudah terakumulasi dalam tubuh, baik pada pajanan okupasional maupun non okupasional. (Ardyanto, 2005).


(24)

2.1.3 Toksisitas Pb

Pada orang dewasa kadar Pb darah 10 µg/dl akan mempengaruhi perkembangan sel darah, kadar Pb darah 40 µg/dl akan mempengaruhi beberapa fungsi dari kemampuan darah untuk membentuk hemoglobin, gangguan sistem syaraf, menyebabkan kelelahan, dan kehilangan ingatan. Pada ginjal menyebabkan penyakit ginjal yang kronis dan gagal ginjal. Sedangkan pada sistem reproduksi mengakibatkan berkurangnya jumlah sperma dan meningkatnya jumlah sperma yang abnormal. Jumlah yang sangat tinggi pada wanita akan mengakibatkan keguguran. Tingginya kadar Pb di darah juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan darah. (Ardyanto,2005)

Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah membuktikan bahwa individu dengan kadar Pb darah 20-29 µg/dL memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gangguan sirkulasi dan kardiovaskular serta memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya kematian akibat gangguan tersebut. (Lustberg et al, 2002)

Untuk mengendalikan efek negatif pada pekerja, Occupational Safety and Health Association (OSHA) telah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) untuk timbal anorganik, debu dan uapnya sebanyak 0,05 mg/m³. Sedangkan untuk TEL adalah 0 ,075 mg/m³ . Menurut World Health Organization (WHO) pajanan timbal yang diperkenankan untuk pekerja laki-laki 40 µg/dL dan untuk pekerja perempuan adalah 30µg/dL (OSHA, 2005).


(25)

2.2 Radikal Bebas

Pb merupakan unsur yang dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan antioksidan tubuh sehinga dapat menyebabkan kerusakan organ. Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai spesies yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah apabila dua radikal bertemu maka elektron yang tidak berpasangan tadi akan bergabung membentuk ikatan kovalen. (Halliwel, 1994)

Radikal bebas ditemukan baik melalui faktor eksogen maupun endogen serta mempengaruhi kehidupan sel. Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS), termasuk didalamnya adalah triplet (3O2), tunggal (singlet/1O2), anion superoksida (O2.-), radikal hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO-), peroksinitrit (ONOO), asam hipoklorus (HOCl), hidrogen peroksida (H2O2), radikal alkoxyl (LO-), dan radikal peroksil (LO-2). (Arief, 2003).

Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi pemindahan elektron, menggunakan mediator enzimatik atau non-enzimatik. Produksi radikal bebas dalam sel dapat terjadi secara rutin maupun sebagai reaksi terhadap rangsangan. Secara rutin adalah superoksida yang dihasilkan melalui aktifasi fagosit dan reaksi katalisa seperti ribonukleotida reduktase. Sedang pembentukan melalui rangsangan adalah kebocoran superoksida, hidrogen peroksida dan kelompok oksigen reaktif (ROS) lainnya pada saat bertemunya bakteri dengan fagosit


(26)

teraktifasi. Pada keadaan normal sumber utama radikal bebas adalah kebocoran elektron yang terjadi dari rantai transport elektron, misalnya yang ada dalam mitokondria dan endoplasma retikulum dan molekul oksigen yang menghasilkan superoksida. (Arief, 2003)

Radikal bebas ini dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya, sehingga dapat bereaksi dengan berbagai biomolekul penting seperti enzim, DNA, dan juga merusak sel lainnya yang akhirnya dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Selain itu dapat pula terbentuk radikal baru dari atom atau molekul yang elektronya terambil untuk berpasangan dengan radikal bebas sebelumnya. Radikal bebas yang berbahaya bagi kesehatan dapat dihambat dengan penggunaan antioksidan.(Ivanova et al, 2000)

Apabila ada ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan dimana tingkat kelompok oksigen reaktif (ROS) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen. Keadaan ini mengakibatkan kelebihan radikal bebas yang akan bereaksi dengan lemak, protein, dan asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu. (Arief, 2003)


(27)

2.3 Antioksidan

Vitamin C merupakan salah satu jenis antioksidan. Dalam pengertian kimia antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron. Tetapi dalam pengertian biologis antioksidan merupakan molekul atau senyawa yang dapat meredam aktivitas radikal bebas dengan mencegah oksidasi sel, termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam. Antioksidan dapat mencegah kerusakan DNA akibat reaksi oksidasi di dalam tubuh. Untuk dapat meredam radikal bebas sebenarnya tubuh sudah memiliki mekanisme pertahan sendiri yaitu dengan adanya antioksidan enzimatik seperti Enzim Superoksida Dismutase (SOD), Enzim Katalase dan Glutathione peroxidase (GPx) dan antioksidan non enzimatik. Selain yang telah ada dalam tubuh, antioksidan dapat juga berasal dari luar tubuh seperti vitamin A, Vitamin C, Vitamin E, Zink, Selenium, dll. Sumber-sumber antioksidan tersebut dapat ditemukan dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari.(Sudaryanti, 1999)

Berdasarkan mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Anti oksidan pencegah

Pada dasarnya adalah untuk mencegah terbentuknya radikal hidroksil yaitu radikal yang paling berbahaya. Yang termasuk ke dalam antioksidan pencegah adalah :

a. Enzim SOD (Superoksida dismutase) yang ada di dalam tubuh manusia,

yaitu yang berada di mitokondria (Mn SOD) dan di sitoplasma (Cu Zn SOD)


(28)

b. Katalase (dalam sitoplasma), dapat mengkatalisis H2O2 menjadi H2O dan

O2. Komponen katalase adalah Fe

c. Bermacam-macam enzim peroksidase seperti glutation peroksidase yag

dapat meredam H2O2 menjadi H2O melalui siklus glutathion redox

d. Senyawa yang mengandung gugusan sulfihidril (glutation, sistein,

captopril) dapat mencegah timbunan radikal hidroksil dengan

mengkatalisir menjadi H2O

2. Atioksidan pemecah rantai

Antioksida pemecah rantai dapat digolongkan menjadi antioksidan endogen dan antioksidan eksogen. Yang termasuk ke dalam antioksidan eksogen adalah vitamin C dan E, serta beta karoten. Sedangkan golongan endogen adalah glutation dan sistein. Vitamin E dan beta karoten bersifat lipofilik sehingga dapat berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik dan berperan dalam sitosol dan cairan ekstrasel. (Sudaryati,1999)

2.4 Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mula-mula dikenal sebagai asam heksuronat

dengan rumus C6H8O6. Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan

tertentu merupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan elektron ke enzim yang membutuhkan ion-ion logam tereduksi, dan bekerja sebagai kofaktor untuk hidroksilasi prolin dan lisin dalam


(29)

biosintesa kolagen. Zat ini berbentuk kristal dan bubuk putih kekuningan. Stabil pada keadaan kering. Dalam bentuk larutan di wadah terbuka zat ini cepat rusak. (Rosmiati, 1995)

Absorpsi vitamin C dari usus berlangsung secara cepat dan sempurna (90%), tapi menurun pada dosis di atas 1 gram. Distribusinya ke seluruh jaringan baik. Persediaan tubuh untuk sebagian besar terdapat dalam cortex anak ginjal. Dalam darah sangat mudah dioksidasi secara reversibel menjadi dehidroascorbat yang hampir sama aktifnya. Sebagian kecil dirombak menjadi asam oksalat dengan jalan

pemecahan ikatan antara C2 dan C3. Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit

dehidronya dan sedikit sebagi asam folat (Tjay, 2002)

Ketika berfungsi sebagai donor ekuivalen pereduksi, vitamin C (asam askorbat) dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat yang juga bertindak sebagai sumber vitamin. Asam askorbat merupakan agen pereduksi yang mampu mereduksi senyawa-senyawa seperti oksigen molekular, nitrat, dan sitokrom a dan c. Mekanisme kerja berbagai aktivitas asam askorbat masih belum jelas. Dalam beberapa proses asam askorbat tidak berpartispasi secara langsung, tapi diperlukan untuk mempertahankan agar kofaktor logam dapat berada dalam keadaan tereduksi. Salah satu fungsi dari asam askorbat adalah sebagai antioksidan umum yang larut dalam air, dan bekerja pada sitosol dan cairan ekstraseluler. (Murray et al, 2003)

Vitamin C bersifat hidrofil dan melindungi membran sel dari luar, karena terutama bekerja dalam cairan di luar sel. Pada tempat ini bisa terdapat radikal bebas yang lolos dari proses fagositosis oleh fagosit. Sel tangkis ini terutama aktif selama


(30)

aktivitas dari sistem pertahanan tubuh meningkat. Limfosit T juga membutuhkan banyak vitamin C agar dapat bekerja secara aktif. Disamping mengaktivasi fagosit vitamin C juga menstimulasi produksi antiveron dengan daya antiviral. Oleh karena itu dalam keadaan stres kontinu dan pembebanan ketahanan berlebihan asupan vitamin C dosis tinggi sangat berguna. (Tjay,2002)

Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa pemberian vitamin C dengan dosis besar dapat menanggulangi beberapa proses penyakit. Beberapa infeksi virus dapat diatasi dengan pemberian vitamin C 500 mg bahkan 1000 mg. Sedangkan vitamin C dengan dosis 200 mg sampai 500 mg telah terbukti dapat mengatasi kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh berbagai logan berat. (Klenner, 1997)

Penelitian yang dilakukan oleh Dawson, et al telah membuktikan bahwa vitamin C

dengan dosis 1000 mg secara signifikan dapat menurunkan kadar Pb darah pada perokok. Adapun dosis optimal vitamin C sebagai antioksidan sangat tergantung derajat paparan radikal bebas (Sanjoto, 2001)

Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin C adalah 35 mg untuk bayi dan meningkat kira-kira sampai 60 mg pada dewasa. Kebutuhan vitamin C akan meningkat 300-500 kali pada penyakit infeksi, tukak peptic, neoplasma dan keadaan-keadan yang dapat meningkatkan metabolisme tubuh. (Rosmiati, 1995)


(31)

2.5Hati

Hati adalah organ tubuh terbesar dan mempunyai fungsi yang sangat kompleks di dalam tubuh, dengan berat 1/36 berat badan orang dewasa yaitu berkisar 1200-1600 gram. Hati terdiri dari dua lobus utama, yaitu lobus kanan yang merupakan bagian terbesar dan lobus kiri merupakan bagian yang lebih kecil. Setiap lobus terdiri dari ribuan lobulus yang merupakan unit fungsional. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan, sebagian besar obat dan toksikan. (Lu, 1995)

Hepatosit (sel parenkhim hati) merupakan bagian terbesar organ hati dan bertanggung jawab terhadap peran sentralnya dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu, sedangkan sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem retikuloendothelial tubuh. Darah mengalir ke hati melalui vena porta dan arteri hepatika. Vena porta membawa zat makanan karena menerima aliran darah dari saluran cerna, limpa dan pankreas. Sedangkan sistem saluran empedu terbentuk mulai dari kanalikuli yang kecil sekali, dan dibentuk oleh sel parenkim yang berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktula salura empedu interlobular, dan saluran empedu yang lebih besar. Saluran hati yang utama membungkus duktus kistik dari kandung empedu dan membentuk saluran empedu yang mengalir ke dalam duodenum. Hati merupakan organ yang sangat penting sebagai pusat metabolisme tubuh dan memiliki fungsi yang banyak dan kompleks. (Guyton, 2002)

Derajat kesehatan hati dipersulit oleh berbagai kerusakan hati dan berbagai mekanisme yang menyebabkan kerusakan tersebut. Hati sering menjadi organ sasaran


(32)

zat toksikan karena sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dan setelah diserap toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Hati juga mempunyai kadar enzim yang tinggi untuk metabolisme xenobiotik (terutama cytochrome P-450) yang membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga mudah diekskresikan.(Lu, 1995)

Hati adalah organ utama untuk membersihkan zat-zat toksin yang berasal dari bakteri maupun zat kimia. Untuk melakukan detoksifikasi dari bahan berbahaya tersebut, hati mengandung antioksidan dengan berat molekul rendah dan enzim yang merusak kelompok oksigen reaktif (ROS) yaitu glutation tereduksi (GSH), vitamin C, vitamin E, superoksid dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase. (Arief, 2003).

Apabila sel hati mengalami kerusakan oleh berbagai sebab, maka serangkaian perubahan morfologi dapat dijumpai pada hati. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan subletal yang sering disebut dengan perubahan degeneratif dan perubahan letal yang disebut nekrotik. Proses degeneratif merupakan proses yang reversibel, yaitu jika rangsangan yang menimbulkan cedera dapat dihentikan, maka sel akan kembali sehat seperti semula, sedangkan proses nekrosis merupakan suatu proses

irreversibel, yaitu pada saat sel telah mencapai titik dimana sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat lagi melangsungkan metabolisme atau dengan kata lain telah terjadi kematian sel. (Pierce, 1995)

Serangkaian perubahan morfologi dapat kita temui pada sel yang mengalami degenerasi maupun nekrosis. Pada sel yang mengalami degenerasi, perubahan


(33)

morfologi yang paling sering dijumpai adalah penimbunan air dalam sel yang bersangkutan sehingga terjadi pembengkakan sel. Jika terdapat aliran masuk air yang hebat, sebagian dari organela sitoplasma dapat diubah menjadi kantong-kantong air. Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat sitoplasma bervakuola. Perubahan ini disebut dengan perubahan hidropik. Perubahan yang lebih penting dari pembengkakan sel sederhana adalah penimbunan lipid intrasel. Secara mikroskopik sitoplasma tampak bervakuola dengan cara yang sangat mirip dengan perubahan hidropik, tapi isi dari vakuola tersebut adalah lemak, bukan air. (Pierce, 1995)

Bila sel mengalami kematian (nekrosis) biasanya inti sel yang mati itu menyusut, batasnya tidak teratur dan berwarna gelap. Proses ini dinamakan piknosis. Kemungkinan lain, inti dapat hancur dan meninggalkan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Proses ini dinamakan karioreksis. Akhirnya pada beberapa keadaan inti yang mati kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu saja, proses ini disebut kariolisis. (Pierce, 1995)

2.5.1 Anatomi hati tikus

Hati tikus terdiri dari empat lobus utama yang saling berhubungan di sebelah belakang. Lobus tengah dibagi menjadi kanan dan kiri oleh bifurcartio yang dalam. Lobus sebelah kiri tidak terbagi sedangkan lobus sebelah kanan terbagi secara horizontal menjadi bagian anterior dan posterior. Lobus belakang terdiri dari dua lobus berbentuk daun yang berada di sebelah dorsal dan ventral dari oesophagus


(34)

sebelah kurvatura dari lambung. Tikus tidak mempunyai kandung empedu. Struktur dan komponen hati tikus sama dengan mamalia lainnya. (Hebel, 1989)

Lobus hati tikus dibagi menjadi tiga zona yang terdiri dari zona 1, zona 2, dan zona 3 yang sama dengan area periportal, midzona dan centrilobular. Hepatosit di zona 1 dekat dengan pembuluh aferen yang mendapat suplai darah yang kaya akan nutrien, sedangkan zona 3 yang terdapat pada bagian ujung dari mikrosirkulasi menerima darah yang sudah mengalami pertukaran gas dan metabolit dari sel-sel zona 1 dan 2. Zona 3 selnya lebih sensitif daripada zona lainnya terhadap gangguan sirkulasi seperti iskemik, anoksia atau kongesti dan defisiensi nutrisi. Zona 2 merupakan daerah transisi antara zona 1 dan 3 yang mempunyai respon yang berbeda terhadap keadaan hemodinamik di dalam asinus dengan ditingkatkannya mikrosirkulasi . (Hebel, 1989)

2.6 Pemeriksaan Biokimia Hati

Beberapa uji pemeriksaan biokimia hati yang sering dilakukan meliputi serum transaminase, LDH (lactat dehydrogenase), alkalin fosfatase, GGT (gamma glutamyl transpeptidase), LAP (leucine amino peptidase), bilirubin serum, asam empedu, albumin dan globulin serum, TTT (thymol turbidity test), waktu protrombin, serta alfa feto protein. (Lu, 1995)

Transaminase atau sering disebut dengan aminotransferase merupakan sekelompok enzim yang merupakan katalisator dalam pemindahan gugus amino antara suatu asam alfa amino dengan suatu asam alfa keto. Enzim ini terdiri dari


(35)

aspartat aminotransferase (AST) atau sering disebut glutamat oksaloasetat transaminase (GOT) dan alanin aminoransferase (ALT) atau yang sering disebut glutamat piruvat transaminase (GPT). AST terdapat dalam semua jaringan tubuh, terutama di hati, dan dalam jumlah lebih kecil di ginjal dan otot rangka. Sebagian besar AST terikat pada organel sel, dan hanya sedikit terdapat di sitoplasma, sedangkan ALT sebaliknya, yaitu sebagian besar terikat pada sitoplasma. Enzim ALT dan AST akan meningkat bila terjadi kerusakan sel hati. Biasanya peningkatan ALT lebih tinggi daripada AST pada kerusakan hati yang akut, mengingat ALT merupakan enzim yang hanya terdapat pada sitoplasma sel hati. Sebaliknya AST yang terdapat baik dalam sitoplasma maupun mitochondria akan meningkat lebih tinggi dari ALT pada kerusakan hati yang lebih dalam dari sitoplasma sel. Keadaan ini ditemukan pada kerusakan sel hati menahun Walaupun ALT lebih khas untuk penyakit hati dibandingkan AST, tetapi kedua enzim ini sering digunakan bersama-sama untuk evaluasi kelainan hati. Peningkatan aktivitas enzim transaminase merupakan petunjuk yang paling peka dari nekrosis sel-sel hati, karena peningkatannya terjadi paling awal dan paling akhir kembali ke kondisi normal dibandingkan tes yang lain. (Speicher et al, 1996; Widmann, 1992; Satyawirawan et al, 1983)

Pada orang normal, kadar SGOT berkisar 10-41 SI/l, sedangkan pada tikus berkisar 45,7-80, IU/L. Sedangkan SGPT pada orang normal berkisar 5-35 SI/l. Sedangkan pada mencit berkisar 17,5-30,2 IU/L. (Smith,1988; Widmann, 1992)


(36)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 25 ekor mencit jantan (Mus musculus L) dibagi ke dalam 5 kelompok percobaan. Masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor mencit. Adapun penentuan jumlah ulangan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap menurut Sugandi (1994) adalah sebagai berikut:

t (r-1) ≥ 20 t : Jumlah Perlakuan r : Jumlah Ulangan

3.2Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Badan Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional I Medan dan Laboratorium Kesehatan Daerah Medan dari tanggal 25 Mei sampai 30 Juni 2008.

3.3 Populasi Penelitian

Mencit jantan (Mus musculus L) strain Balb/c, berumur 6-9 minggu dengan berat badan 25-40 gram. Hewan coba diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan.


(37)

3.4 Variabel Penelitian

a. Variabel bebas, yaitu Pb asetat dan vitamin C

b. Variabel tergantung, yaitu kadar AST, ALT dan gambaran histopatologis hati c. Variabel kendali , yaitu jenis kelamin, kesehatan, berat badan, makanan, umur,

dan lingkungan

3.5 Bahan

a. Sediaan timbal asetat dalam bentuk bubuk (C4H6O4Pb) produksi Merc, Jerman diencerkan dengan aquadest hingga mencapai konsentrasi 1,6 mg/ml diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB

b. Vitamin C dalam bentuk bubuk produksi Merc, Jerman diencerkan dengan aquadest dengan dosis 200 mg/kgBB (konsentrasi 10 mg/ml) , 500 mg/kgBB (konsentrasi 30 mg/ml) , dan 1000 mg/kgBB (konsentrasi 50 mg/ml)

c. Buffer Neutral Formalin (BNF)

d. Pellet 05 Produksi PT. Mabar Feed, Medan e. Sekam

f. Parafin

g. Hematoksilin Eosin

h. Reagen pemeriksaan AST dan ALT produksi Dialab, Austria i. Larutan standarisasi (Diacon) produksi Dialab, Austria


(38)

3.6 Alat

a. Kandang pemeliharaan mencit berupa kandang plastik dengan penutup berupa kawat

b. Spektrofotometer (Microlab-300) produksi Merck yang telah diprogram. c. Alat sentrifugasi

d. Perangkat pembuatan sediaan histopatologi e. Mikroskop cahaya

f. Kamera Foto g. Timbangan hewan h. Timbangan analitis

i. Spuit 1 cc dan 10 cc merk Terumo j. Peralatan bedah hewan

k. Vial

l. Objek dan cover glass m. Waterbath

3.7 Pelaksanaan Penelitan

3.7.1 Pemeliharaan hewan coba

Hewan dipelihara dalam kandang plastik bertutup, dialas dengan sekam dan masing-masing kandang ditempatkan 5 ekor mencit jantan. Makanan berupa pellet dan minuman berupa air aquadest diberikan secara ad libitum. Kandang ditempatkan dalam ruangan yang memiliki ventilasi dan masuk cahaya secara tidak langsung.


(39)

Kandang, tempat makan dan minum dibersihkan dan alas sekam diganti sedikitnya dua kali dalam seminggu. (Smith, 1988)

3.7.2 Perlakuan hewan coba

a. Sampel dibagi menjadi lima kelompok masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor mencit

b. Kelompok 1 atau kelompok kontrol negatif dilakukan pemberian aquadest

c. Kelompok 2 adalah kelompok kontrol positif diberikan perlakuan dengan Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal (Gajawat, 20006)

d. Kelompok 3 adalah kelompok yang diberi perlakuan vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian vitamin C pada hari ketujuh dilanjutkan dengan pemberian Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal.

e. Kelompok 4 adalah kelompok yang diberi perlakuan vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian vitamin C pada hari ketujuh dilanjutkan dengan pemberian Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal.

f. Kelompok 5 adalah kelompok yang diberi perlakuan vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Satu jam setelah pemberian vitamin C pada hari ketujuh dilanjutkan dengan pemberian Pb asetat 20 mg/kgBB secara intraperitoneal.


(40)

g. Dilakukan pengambilan darah secara intrakardial dari tiap kelompok penelitian setelah 48 jam pemberian Pb asetat, dan hari kedua percobaan untuk kelompok kontrol negatif. Darah ditambahi antikoagulan heparin

h. Setelah itu mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher. Kemudian dilakukan laparatomi untuk mengambil hati.

i. Darah heparin dibiarkan tiga puluh menit kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 round per minuate (rpm) selama 10 menit kemudian diambil plasmanya.

j. Pemeriksaan histopatologis organ hati dilakukan untuk melihat adanya tanda-tanda degenerasi dan nekrosis dengan menggunakan metode Parafin dan menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Jaringan hati diambil, kemudian segera difiksasi dalam larutan Buffer Neutral Formalin (BNF). Dibuat sediaan dengan metode parafin, lalu jaringan dipotong dengan mikrotom setebal 3 sampai 5 mikron, kemudian dilakukan pengecatan dengan hematoksilin eosin yang akan menyebabkan inti berwarna kebiruan dan sitoplasma berwarna merah. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan histopatologis dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada 10 lapangan pandang untuk setiap sediaan.(Junita, 2005). Kemudian dinilai skala degenerasi dan nekrosis yang terdapat pada sediaan tersebut . Skala degenerasi dan nekrosis yaitu: 0 = tidak ada, 1 = 1% - 25%, 2 = 26%-50%, 3 = 51%-75%, 4 = 76%-100%. (Jawi,2006)


(41)

3.7.3 Prosedur pemeriksaan AST

Metode : Kinetic

Prinsip : 2- oxoglutarate + l-aspartate l-glutamate + oxaloasetat Oxaloasetat + NADH + H+ l-malate + NAD+

Bahan : Plasma heparin

Reagensia : Larutan reagen AST produksi Dialab

Alat : Spektrofotometer (Microlab-300), mikropipet, tabung reaksi, dan rak tabung

Teknis :

Sebelumnya dilakukan proses quality control dengan menggunakan larutan Diacon N. Spekrofotometer baru dapat digunakan apabila hasil untuk AST berada pada interval 25,3 - 40,5 U/l. Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan AST. Larutan reagen sebanyak 1000 µl ditambah dengan plasma heparin sebanyak 100 µl. Dilakukan inkubasi pada suhu 37 0C selama satu menit. Setelah itu campuran plasma dan reagen dimasukkan pada alat penghisap di spektrofotometer yang sebelumnya telah diprogram untuk pemeriksaan AST. Dibaca hasil yang tertera pada layar (U/l). (Dialab, 2006)


(42)

3.7.4 Prosedur pemeriksaan ALT

Metode : Kinetic

Prinsip : 2-oxoglutarate + L-alanin Pyruvat + L-Glutamat Pyruvat + NADH + H+ L-Lactate + NAD+

Bahan : Plasma heparin

Reagensia : Reagen ALT produksi Dialab

Alat : Spektrofotometer (mikrolab 300), mikropipet, tabung reaksi, dan rak tabung

Teknis :

Sebelumnya dilakukan proses quality control dengan menggunakan larutan Diacon N. Spekrofotometer baru dapat digunakan apabila hasil untuk AST berada pada interval 17,6-28,2 U/l. Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan AST. Larutan reagen sebanyak 1000 µl ditambah dengan plasma heparin sebanyak 100 µl. Dilakukan inkubasi pada suhu 37 0C selama satu menit. Setelah itu campuran plasma dan reagen dimasukkan pada alat penghisap di spektrofotometer yang sebelumnya telah diprogram untuk pemeriksaan AST. Dibaca hasil yang tertera pada layar (U/l). (Dialab, 2006)

3.8 Analisa Data

Seluruh data dianalisa dengan menggunakan SPSS 12. Setelah dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji dari Kolmogorov-Smirnov dan Shapivo-wilk.. Data aktivitas enzim ALT diolah dengan menggunakan uji anova satu arah yang


(43)

dilanjutkan dengan uji Bonferoni untuk menentukan batas kemaknaan dengan nilai p < 0,05 karena data untuk kelompok ALT berdistribusi normal. Sedangkan untuk membandingkan kadar enzim AST yang tidak berdistribusi normal dan derajat degenerasi serta nekrosis dari jaringan hati dipakai uji statistik non parametrik yaitu uji Mann Whitney.


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Proses Penelitian

Pemeliharaan mencit dimulai pada tanggal 25 Mei 2008 di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan. Selama pemeliharaan, berat badan dan aktivitas fisik setiap mencit terus diperhatikan. Berat badan mencit rata-rata meningkat tiap hari kecuali pada hari ke dua dan ke empat, ada beberapa ekor mencit yang mengalami penurunan berat badan dibandingkan hari sebelumnya.

Untuk kelompok yang hanya diberi aquadest (kontrol negatif) dan Pb (kontrol positif) dilakukan pengambilan darah dan organ hati setelah lebih kurang 48 jam pemberian Pb. Pengambilan darah dan organ hati dilakukan sekitar pukul 15.00-18.00 WIB. Pengambilan darah dilakukan secara bertahap mulai dari memotong ekor hingga pengambilan darah secara intrakardial. Seluruh darah yang diambil pada hari itu ternyata mengalami hemolisa yang ditandai dengan plasma yang berwarna merah. Hemolisa darah diperkirakan karena teknik pengambilan darah yang salah seperti dilakukan penekanan ekor mencit yang berulang-ulang agar darah dapat terperas dari ekor dan penyemprotan darah ke dalam wadah melalui jarum suntikan. Setelah berkonsultasi dengan pembimbing dinyatakan bahwa sampel darah tidak layak untuk diukur dan percobaan untuk dua kelompok tersebut harus diulang. Belajar dari kesalahan tersebut diputuskan untuk mengambil darah langsung secara intrakardial tanpa didahului pengambilan darah dengan memotong ekor mencit. Selain itu juga


(45)

dipertimbangkan waktu pengambilan darah yang tepat agar darah tidak mengalami kerusakan.

Selama penelitian ternyata tiga ekor mencit mengalami kematian. Seekor dari kelompok percobaan yang diberi vitamin C 500 mg mati pada hari kelima pemberian vitamin C, seekor berasal dari kelompok percobaan yang diberi vitamin C 1000 mg mati pada hari ketiga pemberian vitamin C dan seekor lagi berasal dari kelompok kontrol positif mati pada hari pengambilan darah dan organ hati.

4.2 Aktifitas Enzim Transaminase

Pemeriksaan enzim transaminase pada dasarnya adalah pemeriksaan untuk mengetahui perubahan koenzim NADH melalui perubahan absorbansinya pada spektrofotometer. Hal ini dilakukan mengingat tidak mungkin dilakukan pemeriksaan kadar enzim secara langsung karena kadarnya yang terlampau sedikit di dalam plasma. Pengukuran enzim berdasarkan penurunan atau peningkatan kofaktor dari enzim merupakan pengukuran yang disebut aktivitas enzim.(Panil, 2008)

Pengaruh proteksi vitamin C dan pemberian Pb asetat terhadap kadar enzim transaminase baik enzim Aspartat Aminotranferase (AST) dan Alanin Aminotransferase (ALT) dari penelitian ini adalah sebagai berikut (tabel 1).


(46)

Tabel 1. Aktivitas Enzim Transaminase Pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan

Keterangan:

No Kelompok Rata-rata Aktivitas

AST (U/l)

Rata-rata Aktivitas ALT (U/l)

1 Kontrol Negatif 117,6 51,5

2 Kontrol Positif 620,37 132,7

3 Vitamin C 200 mg 172,4 74,2

4 Vitamin C 500 mg 160,8 69,8

5 Vitamin C 1000 mg 241,18 118,1

Kontrol Negatif :Kelompok yang hanya diberi aquadest

Kontrol Positif :Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Vitamin C 200mg :Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Vitamin C 500mg :Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Vitamin C 1000mg :Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Dari hasil pemeriksaan enzim transaminase tersebut maka dapat dibuat suatu grafik yang menggambarkan tingkat perubahan enzim transaminase baik Aspartat Aminotransverase (AST) maupun Alanin Aminotransverase (ALT) dari setiap kelompok percobaan. Adapun tingkat perubahan enzim transaminase dari setiap kelompok percobaan adalah sebagai berikut


(47)

117,6 620,37 172,4 160,8 241,18 0 100 200 300 400 500 600 700 800

KN KP C200 C500 C1000

Perlakuan A k ti v ita s A S T (U /l )

Gambar 2. Perbandingan Aktivitas AST pada Seluruh Kelompok Percobaan Keterangan:

KN : Kelompok yang hanya diberi aquadest

KP : Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara

intraperitoneal

C200 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C500 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C1000 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal


(48)

51,5 132,7 74,2 69,8 118,1 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

KN KP C200 C500 C1000

Perlakuan A k ti vi ta s A L T (U /l )

Gambar 3. Perbandingan Aktivitas ALT pada Seluruh Kelompok Percobaan Keterangan:

KN : Kelompok yang hanya diberi aquadest

KP : Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara

intraperitoneal

C200 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C500 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C1000 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Dari hasil tersebut terlihat bahwa pemberian Pb dosis tunggal 20 mg/kgBB secara signifikan dapat meningkatkan kadar enzim transaminase di dalam darah mencit (p < 0,05). Untuk kelompok enzim AST terjadi kenaikan kadar enzim sebanyak lima kali lipat dibandingkan kelompok kontrol negatif yang hanya diberi aquadest. Sedangkan untuk kelompok enzim ALT terjadi kenaikan kadar enzim lebih


(49)

dari dua kali lipat dibandingkan kelompok kontrol negatif yang hanya diberi aquadest.

Hal ini dikarenakan Pb dapat menyebabkan peningkatan produksi ROS dan secara langsung menekan sistem antioksidan tubuh dan menimbulkan peroksidasi lipid. ROS dapat bereaksi dan menyebabkan kerusakan pada banyak molekul di dalam sel. Fosfolipid yang menjadi unsur utama dalam membran plasma dan membran organela sel seringkali menjadi subjek dari peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid adalah suatu reaksi rantai radikal bebas yang diawali dengan terbebasnya hidrogen dari suatu asam lemak tak jenuh oleh radikal bebas. Konsekwensi penting dari peroksidasi lipid adalah meningkatnya permeabilitas membran dan mengganggu distribusi ion-ion yang mengakibatkan kerusakan sel dan organela. (Devlin, 2002: Mudipali, 2007; Yin et al, 1995). Enzim transaminase merupakan enzim yang terdapat di dalam sel dan akan keluar ke dalam plasma apabila sel mengalami kerusakan, sehingga kadarnya di dalam plasma akan meningkat. (Widman, 1992; Goldberg, 2000)

Adanya peningkatan kadar AST lebih tinggi dibandingkan peningkatan ALT membuktikan bahwa stres oksidatif yang disebabkan oleh Pb dapat mencapai organela. Seperti yang telah kita ketahui bahwa AST terkonsentrasi di di dalam organela sedangkan ALT pada sitoplasma((Widman, 1992; Goldberg, 2000), sehingga apabila kerusakan mencapai organela maka kenaikan AST akan lebih tinggi dibandingkan ALT.


(50)

Pemberian vitamin C secara signifikan (p<0,05) dapat menurunkan kadar enzim transaminase bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan Pb, bahkan pada kelompok yang diberikan vitamin C 500 mg/kgBB/hari menunjukkan situasi yang tak jauh berbeda bila dibandingkan dengan kelompok yang diberikan aquadest (p = 0,107). Hal ini membuktikan bahwa vitamin C merupakan scavenger kuat yang dapat memecahkan proses autokatalitik dari proses lipid peroksidasi membran sel sehingga dapat memelihara integritas sel. Selain itu pemberian vitamin C juga telah dibuktikan dapat memperbaiki sistem antioksidan tubuh yaitu dengan meningkatkan kadar glutathion tereduksi. Adanya penurunan kadar glutathion diperkirakan merupakan penyebab utama untuk terjadinya hepatoksisitas pada hati (Gajawat et al, 2006)

Untuk kelompok AST penurunan kadar enzim ini secara signifikan didapati pada semua dosis vitamin C, sedangkan untuk kelompok ALT penurunan kadar enzim secara bermakna didapati pada pemberian vitamin C dosis 200 mg/kgBB/hari dan 500 mg/kgBB/hari. Tidak ada perbedaan bermakna antara pemberian vitamin C dosis 200 mg/kgBB/hari dengan 500 mg/kgBB/hari dalam menurunkan kadar kedua enzim tersebut. Namun disisi lain secara statistik pemberian vitamin C dosis 500 mg/kgBB/hari dapat menyebabkan situasi yang tidak berbeda bermakna dengan kontrol negatif pada pemeriksaan enzim ALT (p = 0,107), yang artinya pemberian vitamin C dosis 500 mg/kgBB/hari dapat melindungi hati dalam tingkat yang paling tinggi bila dibandingkan dengan dua dosis vitamin C lainnya. Hal ini membuktikan


(51)

bahwa vitamin C 500 mg merupakan dosis optimal sebagai dosis preventif terhadap terjadinya paparan Pb apabila ditinjau dari kadar enzim transaminase.

Terdapat suatu fenomena menarik yaitu pemberian vitamin C dosis 1000 mg/kgBB/hari ternyata menyebabkan penurunan kadar enzim yang lebih rendah bila dibandingkan dengan dua dosis vitamin C lainnya, bahkan untuk kelompok pemeriksaan enzim ALT, meskipun vitamin C 1000 mg/kgBB/hari dapat menurunkan kadar enzim ALT, namun bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberikan Pb, maka secara statistik tidak dijumpai perbedaan yang bermakna diantara keduanya (p = 1,000). Hal ini menunjukkan bahwa tidak diperlukan pemberian vitamin C dosis tinggi sebagai langkah preventif untuk melindungi hati terhadap paparan Pb bila hanya ditinjau dari kadar enzim AST dan ALT .

4.3 Pemeriksaan Jaringan Hati

Pada saat dilakukan laparatomi untuk mendapatkan jaringan hati, dijumpai bahwa jaringan hati pada kelompok mencit yang hanya diberi Pb mengalami perubahan yang cukup nyata bila dibandingkan dengan hati mencit kelompok yang lain. Jaringan hati pada kelompok mencit yang hanya diberi Pb membesar beberapa kali lipat dibandingkan kelompok yang lain. Selain itu pada seluruh jaringan hati dari kelompok yang hanya terpapar Pb, permukaan dan pinggiranya terlihat tidak rata

serta disertai dengan adanya bintik-bintik putih yang menyebar pada permukaan hati. Adanya pembesaran dari jaringan hati pada kelompok yang hanya terpapar Pb


(52)

bahwa Pb dapat menyebabkan proliferasi sel hati yang menginduksi terjadinya hiperplasia sel hati. Suatu penelitian terbaru menunjukkan bahwa mekanisme molekular yang terlibat dalam terjadinya hiperplasia sel hati adalah dengan adanya peningkatan sintesis DNA yang diakibatkan oleh peningkatan aktivitas dan ekspresi DNA polymerase- . Selain itu adanya peningkatan ekspresi TNF-α yang terjadi pada tikus yang diberikan Pb diperkirakan merupakan salah satu faktor untuk terjadinya hiperplasia pada sel hati. (Mudipalli, 2007).

Pada pemeriksan histopatologi dijumpai adanya sel-sel hati yang mengalami kerusakan dengan tingkat persentase yang berbeda dari tiap kelompok percobaan. Adapun persentase kerusakan dari tiap kelompok percobaan adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Persentase Kerusakan Sel Hati

No Kelompok Perlakuan Persentase Tingkat Kerusakan

1 Kontrol Negatif 3,8

2 Kontrol Positif 57,5

3 Vitamin C 200 mg 48

4 Vitamin C 500 mg 33

5 Vitamin C 1000 mg 13

Keterangan:

Kontrol Negatif :Kelompok yang hanya diberi aquadest

Kontrol Positif :Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Vitamin C 200mg :Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Vitamin C 500mg :Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Vitamin C 100mg :Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal


(53)

3,8 57,5 48 33 13 -10 0 10 20 30 40 50 60 70 80

KN KP C200 C500 C1000

Perlakuan T in gk at K er u sa k an S el H a ti ( % )

Gambar 4. Persentase Tingkat Kerusakan Sel Hati (Nekrosis) Keterangan:

KN : Kelompok yang hanya diberi aquadest

KP : Kelompok yang diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara

intraperitoneal

C200 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 200 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C500 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 500 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

C1000 : Kelompok yang diberikan preventif vitamin C 1000 mg/kgBB/hari selama

tujuh hari sebelum diberikan Pb asetat dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal

Dari hasil pengkatagorian tingkat kerusakan hati secara histopatologis tersebut, dapat diketahui bahwa jaringan hati dari seluruh kelompok percobaan mengalami nekrosis. Diantara se-sel hati yang mengalami nekrosis, masih dijumpai sel yang masih mengalami degenerasi ( 5% - 22% ). Dalam penelitian ini terjadi peningkatan secara signifikan sel hati yang mengalami nekrosis pada kelompok percobaan yang hanya diberi Pb bila dibandingkan dengan kelompok yang lain (p < 0,05). Sel hati


(54)

pada kelompok mencit yang hanya diberi Pb mengalami nekrosis hingga mencapai katagori III dengan persentase sel yang mengalami nekrosis sebanyak 57,5%. Efek perbaikan dari proteksi vitamin C diperlihatkan dengan adanya penurunan katagori dan persentase sel yang mengalami nekrosis. Kelompok mencit yang diberi prevensi vitamin C dengan dosis 200 mg/kgBB/hari dan 500mg/kgBB/hari menjadi katagori II dengan persentase masing-masing adalah 48% dan 33%. Sedangkan untuk kelompok mencit yang diberi prevensi vitamin C 1000 mg/kgBB/hari menunjukkann efek perbaikan yang lebih nyata bila dibandingkan dengan dua dosis vitamin C lainnya yaitu menjadi katagori I dengan persentase sel hati yang mengalami nekrosis hanya 13%.

Adanya kecenderungan Pb menyebabkan terjadinya tingkat nekrosis yang tinggi membuktikan bahwa Pb memiliki daya rusak yang sangat besar bagi sel hati. Pemberian Pb dengan dosis tunggal 20 mg/kgBB secara intraperitoneal terbukti dapat meyebabkan kerusakan sel hati yang irreversibel dalam waktu 48 jam.

Secara teoritis proses kerusakan sel hati dimulai dari proses degenerasi. Sel yang mengalami degenerasi akan mengalami pembengkakan. Hal ini dikarenakan Pb menyebabkan masuknya cairan ekstrasel ke intrasel dalam jumlah yang banyak. Keadaan ini dapat terjadi apabila membran sel yang merupakan salah satu komponen sel yang terpenting terganggu permeabilitasnya sehingga memudahkan masuknya molekul air dari ekstrasel ke intrasel secara berlebihan. Diduga bila terjadi akumulasi air yang cukup banyak di dalam sel hati, maka sel akan membengkak. (Damjanov, 2000; Devlin, 2002)


(55)

Pada saat cairan ekstrasel masuk ke dalam sel, maka akan terbentuk vakuola-vakuola jernih, kecil dan banyak. Selanjutnya vakuola-vakuola tersebut dapat bersatu dan menghasilkan vakuola lebih besar yang menempati sitoplasma menggantikan inti sel. Perubahan ini biasanya diikuti dengan sel mengalami pembengkakan dan sitoplasma tampak keruh. Kejadian ini sering disebut hydropic degeneration. Keadaan ini dapat berlanjut menjadi degenerasi lemak. Hal ini terjadi karena adanya akumulasi lemak dalam sel hati, biasanya ditandai dengan adanya vakuola-vakuola kecil di dalam sitoplasma dan dapat membesar hingga mendesak inti ke tepi sel. Adanya degenerasi dapat menyebabkan perubahan struktur jaringan yang lain, diantaranya keutuhan vena sentralis. Degenerasi lemak dapat terjadi secara reversibel, namun bila terjadi secara terus menerus dapat mengakibatkan gangguan sampai berupa kematian sel yang disebut nekrosis.


(56)

A

B

C

D

E


(57)

Keterangan:

A. Kontrol negatif nampak sel hepatosit normal

B. Kontrol positif nampak degenerasi dan nekrosis yang banyak disertai kerusakan pada vena sentralis (tanah panah)

C. Kelompok vitamin C 200 mg/kgBB/hari tampak degenerasi dan nekrosis yang lebih jarang dari kontrol Pb. Didapati juga kerusakan pada vena sentralis (tanda panah)

D. Kelompok vitamin C 500 mg/kgBB/hari tampak degenerasi dan nekrosis yang lebih jarang dari kelompok vitamin C 200mg dengan vena sentralis utuh

E. Kelompok vitamin C 1000 mg/kgBB/hari tampak degenerasi dan nekrosis dalam tingkat yang paling sedikit dibandingkan dua dosis vitamin C lainnya dengan vena sentralis utuh

Dari hasi pemeriksaan histopatologis sel hati diketahui bahwa pemberian vitamin C 1000 mg/hari secara bermakna dapat melindungi hati dari kerusakan yang diakibatkan oleh Pb (p = 0.016). Bahkan dari analisa statistik, kelompok yang diberikan vitamin C 1000 mg/kgBB/hari tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan kelompok kontrol negatif (p = 0,690) Hal ini menjadi suatu fenomena tersendiri mengingat hasil pengukuran aktivitas enzim transaminase dijumpai dosis vitamin C yang optimal dalam melindungi sel hati adalah 500 mg/kgBB/hari. Dari dua hasil yang berbeda tersebut, penentuan dosis optimal vitamin C dalam melindungi sel hati adalah berdasarkan pemeriksaan histopatologis. Hal ini mengingat hasil pemeriksaan histopatologis merupakan standar pemeriksaan tertinggi dalam menentukan ada tidaknya kerusakan sel. Meskipun dari hasi penelitian Podmore, et al (1998) menunjukkan bahwa dosis di atas 500 mg sehari dapat merusak DNA sel. Hal ini disebabkan karena dehidroaskorbat yang terbentuk setelah vitamin C mengalami reaksi oksidasi akan bertindak sebagai prooksidan dan dapat mencederai basa adenosin DNA. Namun banyak studi yang menyanggah hasil penelitian tersebut. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Lutsenko, et al (2002) yang menyatakan bahwa konsentrasi vitamin C yang tinggi di intraselular


(58)

justru dapat melindungi sel dari terjadinya mutasi yang diakibatkan oleh stres oksidatif. Dehidroaskorbat yang terbentuk akan segera berubah kembali menjadi vitamin C dalam waktu yang sangat singkat sehingga tidak sempat mencederai DNA.


(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini didapati kesimpulan sebagai berikut:

a. Pemberian Pb dengan dosis tunggal 20 mg/kgbb secara intraperitoneal secara signifikan dapat menyebabkan kerusakan sel hati. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya tingkat nekrosis sel hati dan kadar enzim transaminase secara bermakna pada kelompok yang hanya diberi Pb.

b. Pemberian vitamin C sebagai upaya preventif dalam mencegah kerusakan hati yang diakibatkan oleh Pb menampakkan hasil yang sangat bermakna. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya tingkat kerusakan sel hati pada pemeriksaan histopatologis bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi Pb.

c. Pemberian vitamin C secara signifikan juga menurunkan kadar enzim transaminase mencit bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi Pb. d. Terdapat perbedaan dosis vitamin C yang optimal dalam melindungi sel hati

yang terpapar Pb bila ditinjau dari pemeriksaan kadar enzim transaminase dan pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan enzim transaminase didapati bahwa vitamin C dosis 500 mg/hari secara bermakna dapat melindungi sel hati yang terpapar Pb, namun pada pemeriksaan histopatologi didapati dosis vitamin C 1000 mg/hari merupakan dosis yang optimal dalam melindungi sel hati agar tidak terjadi degenerasi dan nekrosis.


(60)

e. Penentuan dosis vitamin C yang optimal dalam melindungi sel hati yang terpapar Pb dirujuk pada pemeriksaan histopatologis, mengingat pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dengan tingkat keobjektivan yang paling tinggi dalam menentukan ada tidaknya kerusakan sel hati.

5.2 Saran

a. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai paparan Pb terhadap jaringan lain, seperti pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya kerusakan pada otot dan jantung. Hal ini dikarenakan enzim transaminase khususnya AST juga dapat meningkat pada kerusakan organ diatas. Sehingga dapat ditentukan secara pasti jaringan apa yang lebih bermakna untuk meningkatkan kadar enzim AST.

b. Penelitian ini dapat dilakukan lagi dengan memperpanjang waktu pemeriksaan setelah pemberian Pb untuk mengetahui dampak jangka panjang akibat paparan Pb.

c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai zat-zat lain yang dapat mencegah bahkan mengobati kerusakan sel yang diakibatkan oleh paparan Pb.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Ardyanto D, Deteksi PencemaranTimah Hitam (Pb) Dalam Darah Masyarakat Yang Terpajan Timbal (Plumbum), Jurnal Kesehatan Lingkungan 2005; 2(1): 67-76

Arief, S, Radikal Bebas, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/ RS. Dr. Sutomo, Surabaya, 2006

Damjanov I. Patologi Sel dalam Buku Teks& Atlas Berwarna Histopatologi. Widya Medika, Jakarta, 2000. hal 1-20

Dawson EB, Evans DR, Harris WA, Teter MC, McGanity WJ, The Effect of Ascorbic Acid Supplementation on the Blood Lead Levels of Smokers, Journal of the American College of Nutrition 1999; 18(2):166-170

Devlin MT, Bioenergetics and Oxidative Metabolism In: Biochemistry With Clinical Corelation. 5th ed. Wiley-liss. Canada, 2002: 590-592

Dialab, Liquid Reagents of GOT (AST), DIALAB Produktion Vertrieb von chemisch-technishen, Austria, 2006

______, Liquid Reagents of GPT (ALT), DIALAB Produktion Vertrieb von chemisch-technishen, Austria, 2006

______, Lyophilized Serum Control-Diacon N, DIALAB Produktion Vertrieb von chemisch-technishen, Austria, 2006

Gajawat S, Sancheti G, Goyal PK, Protection Against Lead Induced Hepatic Lesion in Swiss Albino Mice by Ascorbic Acid, Pharmacologyonline, 2006; 1 : 140-149

Goldberg S. Clinical Biochemistry Made Ridiculously Simple, McGraw-Hill International 2000: 69-70

Gurer H, Ercal N. Can Antioxidants be Beneficial in The Treatment of Lead Poisoning? Free Radic Biol Med 2000; 29(10):927-945

Guyton A, Hall J, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta, 2002 :1103-1107


(62)

Hariono B, Efek Peberian Plumbum (Timah Hitam) Anorgani Pada Tikus Putih (Rattus novergicus), J. Sain Vet 2005; 23(2): 107-118

Haliwell B, Free Radicals, Antiooxidants and Human Disease: Curiousity, Cause, and Consequences ?, Lancet 1994; 344(10): 721-724

Hebel R, Stromberg MW, Anatomy of the Laboratory Rat, The William & Wilin Company, Baltimore 1989: 50

Ivanova E, Ivanov B, Mechanisms of the Extracellular Antioxidant Defend, Exp Pathol and Parasitol. 4: 49-59

Jawi IM, Manuaba IB, Sutirtayasa IWP, Muruti, G. Pemberian Glutamin Menurunkan Kadar Bilirubin Darah Serta Mengurangi Nekrosis Sel-sel Hati Setelah Pemberian Aktivitas Fisik Maksimal dan Parasetamol Pada M,encit, Dexa Media 2006;19(4) : 192-195

Junita. Efek Ekstrak Methanol Daun Meniran (Phantus niruri Linn) Terhadap Kadar SGOT, SGPT dan Gambaran Histopatologis Jaringan Hati Tikus Yang Dipapari Parasetamol Dosis Toksik Dibandingkan Dengan Silymarin. Tesis. Universitas Sumatera Utara, 2005: 33-34

Klenner F. Significance of High Daily Intake of Ascorbic Acid In Preventive Medicine, Vitamin C in Medicine 1997; 1(1)

Lutsberg M, Silbergeld E. Blood Lead Levels and Mortality, Arch Intern Med 2002; 162: 2443-2449

Lutsenko E,. Carcamo J,. Golde DW, Vitamin C Prevents DNA Mutation Induced by Oxidative Stress, JBC 2002; 277(19): 16895-16899

Lu CF, Toksikologi Dasar, Ed 2, UI Press, 1995:206-220

Mudipalli A, Lead Hepatotoxicity & Potential Health Effects, Indian J Med Res 2007; 126: 518-527

Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwell VW, Biokimia Harper,Edisi 24, EGC, Jakarta 2003: 611-613


(63)

Pagliara P, Carla EC, Caforio S, Chionna A, Massa S, Abbro L, et al, Kupffer Cells Promote Lead Nitrate Induced Hepatocyte Apptosis via Oxidative Stress, Comparative Hepatology 2003; 2(8): 1-13

Palar H, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta, 1994: 74-93

Panil Z, Memahami Teori dan Praktik Biokimia Dasar Medis, EGC, Jakarta, 2008: 237-241

Price SA, Wilson LM, Patologi Sel dalam:Patofisiologi, EGC, Jakarta , 1995: 25-28

Podmore ID, Griffiths HR, Herbert KE, Mistry N, Mistry P, Lunec J, Vitamin C Exhibits Prooxidant Properties, Nature1998; 392

Rosmiati H, Wardhini S, Vitamin dan Mineral dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; 722-724

Sanjoto P, Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Diameter Alveoli dan Pola Protein Jaringan Paru Tikus Yang Dipapar Dengan Asap Rokok Kronis, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang 2001

Satyawirawan FS, Suryaatmadja M. Pemeriksaan Faal Hati. Cermin Dunia Kedokteran 1983; (30): 20-23

Smith JB, Mangkoewidjoyo S, Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di daerah Tropis, UI Press, Jakarta, 1988:37-57

Sipos P, Szentmihalyi K, Feher E, Abaza M, Szilagyi M, Blazovics A, Some Effect of Lead Contamination on Liver and Gallblader Bile, Acta Biologica Szegendiensis 2003; 47(1-4): 139-142

Speicher CE, Smith JW. Pemilihan Uji Laboratorium Yang Efektif, EGC Jakarta 1996; 232-253

Sudaryanti E. Aspek Penanganan Radikal Bebas Melalui Antioksidan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1999:.6-8

Sugandi E, Sugiarto. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Andi Offset Yogyakarta, 1994: 8, 24


(64)

Tjay TH, Rahardja K, Obat-Obat Penting, Elex Media Komputindo, Jakarta 2005: 805-809

Widman FK, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Ed. 9, EGC, Jakarta, 1992: 327-329

WHO- World Health Organization, Lead Environmental Health Criteria, no.3, Geneva, 1997

Yin S, Lin TH, Lead Catalyzed Peroxidation of Essential Unsaturated Fatty Acid Biol Trace Elem Res 1995; 50: 167-172


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini didapati kesimpulan sebagai berikut:

a. Pemberian Pb dengan dosis tunggal 20 mg/kgbb secara intraperitoneal secara signifikan dapat menyebabkan kerusakan sel hati. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya tingkat nekrosis sel hati dan kadar enzim transaminase secara bermakna pada kelompok yang hanya diberi Pb.

b. Pemberian vitamin C sebagai upaya preventif dalam mencegah kerusakan hati yang diakibatkan oleh Pb menampakkan hasil yang sangat bermakna. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya tingkat kerusakan sel hati pada pemeriksaan histopatologis bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi Pb.

c. Pemberian vitamin C secara signifikan juga menurunkan kadar enzim transaminase mencit bila dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi Pb. d. Terdapat perbedaan dosis vitamin C yang optimal dalam melindungi sel hati

yang terpapar Pb bila ditinjau dari pemeriksaan kadar enzim transaminase dan pemeriksaan histopatologi. Pada pemeriksaan enzim transaminase didapati bahwa vitamin C dosis 500 mg/hari secara bermakna dapat melindungi sel hati yang terpapar Pb, namun pada pemeriksaan histopatologi didapati dosis vitamin C 1000 mg/hari merupakan dosis yang optimal dalam melindungi sel hati agar tidak terjadi degenerasi dan nekrosis.


(2)

e. Penentuan dosis vitamin C yang optimal dalam melindungi sel hati yang terpapar Pb dirujuk pada pemeriksaan histopatologis, mengingat pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dengan tingkat keobjektivan yang paling tinggi dalam menentukan ada tidaknya kerusakan sel hati.

5.2 Saran

a. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai paparan Pb terhadap jaringan lain, seperti pemeriksaan untuk mengetahui ada tidaknya kerusakan pada otot dan jantung. Hal ini dikarenakan enzim transaminase khususnya AST juga dapat meningkat pada kerusakan organ diatas. Sehingga dapat ditentukan secara pasti jaringan apa yang lebih bermakna untuk meningkatkan kadar enzim AST.

b. Penelitian ini dapat dilakukan lagi dengan memperpanjang waktu pemeriksaan setelah pemberian Pb untuk mengetahui dampak jangka panjang akibat paparan Pb.

c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai zat-zat lain yang dapat mencegah bahkan mengobati kerusakan sel yang diakibatkan oleh paparan Pb.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ardyanto D, Deteksi PencemaranTimah Hitam (Pb) Dalam Darah Masyarakat Yang Terpajan Timbal (Plumbum), Jurnal Kesehatan Lingkungan 2005; 2(1): 67-76

Arief, S, Radikal Bebas, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/ RS. Dr. Sutomo, Surabaya, 2006

Damjanov I. Patologi Sel dalam Buku Teks& Atlas Berwarna Histopatologi. Widya Medika, Jakarta, 2000. hal 1-20

Dawson EB, Evans DR, Harris WA, Teter MC, McGanity WJ, The Effect of Ascorbic Acid Supplementation on the Blood Lead Levels of Smokers, Journal of the American College of Nutrition 1999; 18(2):166-170

Devlin MT, Bioenergetics and Oxidative Metabolism In: Biochemistry With Clinical Corelation. 5th ed. Wiley-liss. Canada, 2002: 590-592

Dialab, Liquid Reagents of GOT (AST), DIALAB Produktion Vertrieb von chemisch-technishen, Austria, 2006

______, Liquid Reagents of GPT (ALT), DIALAB Produktion Vertrieb von chemisch-technishen, Austria, 2006

______, Lyophilized Serum Control-Diacon N, DIALAB Produktion Vertrieb von chemisch-technishen, Austria, 2006

Gajawat S, Sancheti G, Goyal PK, Protection Against Lead Induced Hepatic Lesion in Swiss Albino Mice by Ascorbic Acid, Pharmacologyonline, 2006; 1 : 140-149

Goldberg S. Clinical Biochemistry Made Ridiculously Simple, McGraw-Hill International 2000: 69-70

Gurer H, Ercal N. Can Antioxidants be Beneficial in The Treatment of Lead Poisoning? Free Radic Biol Med 2000; 29(10):927-945

Guyton A, Hall J, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta, 2002 :1103-1107


(4)

Hariono B, Efek Peberian Plumbum (Timah Hitam) Anorgani Pada Tikus Putih (Rattus novergicus), J. Sain Vet 2005; 23(2): 107-118

Haliwell B, Free Radicals, Antiooxidants and Human Disease: Curiousity, Cause, and Consequences ?, Lancet 1994; 344(10): 721-724

Hebel R, Stromberg MW, Anatomy of the Laboratory Rat, The William & Wilin Company, Baltimore 1989: 50

Ivanova E, Ivanov B, Mechanisms of the Extracellular Antioxidant Defend, Exp Pathol and Parasitol. 4: 49-59

Jawi IM, Manuaba IB, Sutirtayasa IWP, Muruti, G. Pemberian Glutamin Menurunkan Kadar Bilirubin Darah Serta Mengurangi Nekrosis Sel-sel Hati Setelah Pemberian Aktivitas Fisik Maksimal dan Parasetamol Pada M,encit, Dexa Media 2006;19(4) : 192-195

Junita. Efek Ekstrak Methanol Daun Meniran (Phantus niruri Linn) Terhadap Kadar SGOT, SGPT dan Gambaran Histopatologis Jaringan Hati Tikus Yang Dipapari Parasetamol Dosis Toksik Dibandingkan Dengan Silymarin. Tesis. Universitas Sumatera Utara, 2005: 33-34

Klenner F. Significance of High Daily Intake of Ascorbic Acid In Preventive Medicine, Vitamin C in Medicine 1997; 1(1)

Lutsberg M, Silbergeld E. Blood Lead Levels and Mortality, Arch Intern Med 2002; 162: 2443-2449

Lutsenko E,. Carcamo J,. Golde DW, Vitamin C Prevents DNA Mutation Induced by Oxidative Stress, JBC 2002; 277(19): 16895-16899 Lu CF, Toksikologi Dasar, Ed 2, UI Press, 1995:206-220

Mudipalli A, Lead Hepatotoxicity & Potential Health Effects, Indian J Med Res 2007; 126: 518-527

Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwell VW, Biokimia Harper,Edisi 24, EGC, Jakarta 2003: 611-613


(5)

Pagliara P, Carla EC, Caforio S, Chionna A, Massa S, Abbro L, et al, Kupffer Cells Promote Lead Nitrate Induced Hepatocyte Apptosis via Oxidative Stress, Comparative Hepatology 2003; 2(8): 1-13

Palar H, Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta, 1994: 74-93

Panil Z, Memahami Teori dan Praktik Biokimia Dasar Medis, EGC, Jakarta, 2008: 237-241

Price SA, Wilson LM, Patologi Sel dalam:Patofisiologi, EGC, Jakarta , 1995: 25-28

Podmore ID, Griffiths HR, Herbert KE, Mistry N, Mistry P, Lunec J, Vitamin C Exhibits Prooxidant Properties, Nature1998; 392

Rosmiati H, Wardhini S, Vitamin dan Mineral dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; 722-724

Sanjoto P, Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Diameter Alveoli dan Pola Protein Jaringan Paru Tikus Yang Dipapar Dengan Asap Rokok Kronis, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang 2001

Satyawirawan FS, Suryaatmadja M. Pemeriksaan Faal Hati. Cermin Dunia Kedokteran 1983; (30): 20-23

Smith JB, Mangkoewidjoyo S, Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Coba di daerah Tropis, UI Press, Jakarta, 1988:37-57

Sipos P, Szentmihalyi K, Feher E, Abaza M, Szilagyi M, Blazovics A, Some Effect of Lead Contamination on Liver and Gallblader Bile, Acta Biologica Szegendiensis 2003; 47(1-4): 139-142

Speicher CE, Smith JW. Pemilihan Uji Laboratorium Yang Efektif, EGC Jakarta 1996; 232-253

Sudaryanti E. Aspek Penanganan Radikal Bebas Melalui Antioksidan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1999:.6-8

Sugandi E, Sugiarto. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Andi Offset Yogyakarta, 1994: 8, 24


(6)

Tjay TH, Rahardja K, Obat-Obat Penting, Elex Media Komputindo, Jakarta 2005: 805-809

Widman FK, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Ed. 9, EGC, Jakarta, 1992: 327-329

WHO- World Health Organization, Lead Environmental Health Criteria, no.3, Geneva, 1997

Yin S, Lin TH, Lead Catalyzed Peroxidation of Essential Unsaturated Fatty Acid Biol Trace Elem Res 1995; 50: 167-172