Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat
A. Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat
Melalui pendampingan LSM tersusun Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) di setiap desa lokasi yang disahkan oleh kepala desa dan penetapan lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang diperkuat dengan Peraturan Desa (PERDES) yang sudah disepakati bersama masyarakat. Di lokasi program telah ditetapkan palling kurang mencapai 62 DPL. Selain terumbu karang, di dalam kawasan DPL tersebut juga dapat ditemukan penyu, napoleon dan lumba-lumba. Umumnya masyarakat sudah mengetahui lokasi dan tujuan pembentukan DPL. Sebagian besar DPL telah dipasangi tanda batas (boundary marking) tetapi sebagian tanda batas tersebut sudah mengalami kerusakan dan ada juga yang hilang.
Kegiatan pengawasan dilaksanakan oleh kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas). Pengawasan biasanya dilaksanakan secara bergantian setiap minggu oleh anggota Pokmaswas, sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat biasanya di lakukan secara sambilan pada saat melaut mencari ikan. Pengawasan di tingkat PIU di lakukan dengan patroli bersama yang melibatkan Polair, TNI-AL, LPSTK, Pokmasmas dan masyarakat. Demikian pula di tingkat provinsi seperti di Sumatera Utara dan Kepulauan Riau, dilaksanakan gelar patroli bersama terutama di kawasan KKLD dengan para pihak tersebut. Selama operasi gabungan tersebut beberapa jenis pelanggaran telah diproses.
Pada akhir 2009, sistem pengawasan yang selama ini mengandalkan perahu pengawas mulai diperkuat dengan adanya kapal pengawas dinas di provinsi
Sumatera Utara yang ditempatkan di P. Telo dengan lokasi pengawasan mencakup Kabupaten Nias (Nias Utara dan Nias Barat) dan Nias Selatan, Kabupaten Tapteng, Kepulauan Mentawai, Batam dan Bintan yang biaya operasional dan perawatannya ditanggung oleh APBD.
Sementara itu dua kabupaten lainnya yaitu Natuna dan Lingga tidak mengadakan kapal pengawas karena telah memiliki kapal yang diperoleh dari P2SDKP. Selain pengawasan terpadu, upaya lain untuk melindungi ekosistem terumbu karang juga dilaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Batam dengan menanam 5.000 batang bakau (mangrove) di lokasi Pulau Abang dan Air Saga termasuk enam bulan upaya perawatannya.
Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa dari 145 orang responden yang disurvei, 58% responden menyatakan telah terjadi penurunan aktivitas perusakan karang dengan menggunakan alat peledak. Dari 134 responden yang disurvei, 39% diantaranya menyatakan bahwa penangkapan ikan dengan menggunakan racun juga mengalami penurunan. Begitu juga dengan kegiatan penambangan karang, dari 94 responden yang disurvei, 51% diantaranya menyatakan bahwa kegiatan tersebut telah mengalami penurunan secara signifikan. Hasil survei ini didukung juga dengan data dan informasi dari P2SDKP yang menyatakan bahwa kegiatan yang merusak terumbu karang sudah mengalami penurunan sekitar 50% sampai 60% di lokasi COREMAP.
Meski demikian, pelanggaran kawasan kerap terjadi terutama di wilayah yang berbatasan antar Negara seperti terjadi di Natuna, Batam, Bintan. Di kawasan ini seringkali kapal asing memasuki kawasan RI dan melakukan pengambilan ikan tanpa izin atau pencurian ikan. Sementara di Provinsi Kepulauan Riau sendiri masih terbatas tenaga aparat penegak hukum dalam mengawasai sumberdaya kelautan. Sebagai gambaran, di Bintan, Anambas dan Ranai (Natuna) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) hanya terdapat satu orang, di tingkat provinsi pun baru tersedia satu orang. Di Kabupaten Lingga bahkan belum tersedia seorang pun. Sebagai rencana pada 2011, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau menggelar dua kali pelatihan per tahun. Untuk kegiatan pengawasan yang memadai, Provinsi Kepulauan Riau membutuhkan sekurangnya 14 orang PPNS, sementara biaya untuk mengikuti pendidikan hingga mendapat brevet membutuhkan Rp 30 juta per orang.