Jaringan CRITC Nasional dan Regional

D. Jaringan CRITC Nasional dan Regional

Jejaring Pusat Informasi dan Pelatihan Terumbu Karang (Coral Reef Information and Training Centers -- CRITC) sudah terbentuk di tingkat nasional dan daerah. Untuk memperkuat SDM di daerah, CRITC sudah memberikan pelatihan- pelatihan seperti pelatihan data base, web, GIS, sosial ekonomi, Creel, dan monitoring kesehatan karang. CRITC LIPI mempunyai tanggung jawab dalam melaksanakan monitoring kesehatan karang di lokasi proyek, tetapi melihat luasnya wilayah menyebabkan CRITC LIPI cukup sulit untuk melaksanakan monitoring kesehatan karang dan menyediakan data secara berkala. Untuk itu diputuskan bahwa CRITC LIPI akan melakukan monitoring di kawasan KKLD sementara PIU dan masyarakat melakukan monitoring di kawasan Daerah Perlindungan Laut (DPL).

Oleh karena itu, CRITC LIPI memberikan pelatihan dan pedoman dalam melaksanakan kegiatan tersebut kepada staf RCU, PIU, CRITC daerah serta masyarakat. Pelaksanaan Creel tidak hanya melibatkan staf PIU/CRITC daerah tetapi juga masyarakat. Dalam hal ini CRITC LIPI juga telah melatih anggota masyarakat yang ditunjuk sebagai pelaksana Creel di setiap lokasi serta memberikan peralatan dan buku panduan agar lebih mudah dipahami. Saat ini CRITC daerah sudah mampu melaksanakan reef health survey dalam DPL dan melakukan supervisi terhadap pelaksanaan Creel.

1. Tutupan Karang Hidup

Salah satu indikator dalam penilaian kondisi ekologi terumbu karang adalah tingkat tutupan karang hidup (life coral cover). Penilaian kondisi ekologi terumbu karang dilakukan dengan dua tahapan yaitu; (i) studi baseline (T 0 ) yang dilakukan pada awal pelaksanaan proyek, dan (ii) pemantauan kesehatan yang dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Monitoring kesehatan terumbu karang yang dilakukan oleh CRITC-LIPI di lokasi COREMAP, menunjukkan bahwa persentase tingkat karang hidup di beberapa lokasi ada yang mengalami kenaikan dan ada juga yang mengalami penurunan yang disebabkan faktor manusia dan faktor alam.

Di wilayah pantai Barat Sumatera, kondisi tutupan karang mengalami peningkatan. Seperti di Tapteng, penerapan Perda tentang pengelolaan terumbu Di wilayah pantai Barat Sumatera, kondisi tutupan karang mengalami peningkatan. Seperti di Tapteng, penerapan Perda tentang pengelolaan terumbu

Di wilayah pantai timur Sumatera, sebagian besar mengalami penurunan akibat faktor alam dan manusia. Di Kabupaten Bintan, tepatnya di Pulau Mapur terjadi peningkatan tutupan karang hidup sebesar 9.6% karena masyarakat sudah menerapkan Perdes tentang larangan terhadap nelayan komersil melakukan penangkapan ikan di wilayah mereka. Akibat dari pengerukan pantai sebagai alur kapal dan limbah dari industri dan rumah tangga, secara tidak langsung mengakibatkan penurunan tutupan karang hidup sebesar 5,4% di Gunung Kijang dan Kawal. Hal ini juga terjadi di Malang Rapat tempat di mana akibat sedimentasi global dari laut Cina Selatan menyebabkan penurunan sebesar 6,8% dan di Teluk Bakau terjadi penurunan sebesar 1.18% karena dampak tidak langsung dari pembangunan jalan, batu miring dan penimbunan pantai. Sementara di Batam dan Natuna kondisi tutupan karang di kawasan daerah perlindungan laut (DPL) relatif stabil, masyarakat desa sudah mulai menerapkan peraturan desa (PERDES) tentang pengelolaan DPL sedangkan di Lingga terjadi penurunan selain akibat faktor alam juga adanya pencemaran akibat penambangan bauksit dan pasir.

Pelaksanaan survei Creel di daerah sudah mulai rutin dilaksanakan sejak Januari hingga Desember. Lokasi pelaksanaan seperti tempat pendaratan ikan, pelabuhan, pinggir pantai. Di wilayah Sumatera bagian Barat, alat tangkap yang digunakan adalah pancing dengan perahu tanpa motor serta jaring sedangkan di wilayah Sumatera bagian Timur sebagian besar menggunakan pancing dan jaring tetapi di beberapa lokasi masih ada yang menggunakan bubu, rawai dan bagan. Di Pulau Mubut, Batam masih terdapat penggunaan alat bubu dan pukat bilis demikian pula di kabupaten Natuna, tepatnya di Desa Tanjung dan Kelanga masih dan di Pulau Tiga masyarakatnya menggunakan bagan. Hasil tangkapan ikan yang paling tinggi menggunakan pancing dan jaring sedangkan hasil tangkapan dengan bubu dan

Tabel 6: Persentase Tutupan Karang Persen Tutupan Karang Hidup

2010 Bintan

Stasiun Pantauan

Numbing 49.35 54.34 52.69 53.67 Mapur

P. Abang 60.05 57.56 62.27 68.62 Karas

Natuna

Bunguran 46.04 51.38 51.77 53.23 Kelarik

Tapteng

Mursala 33.74 48.41 52.63 47.32 Harojan

Nias Selatan

Pulau-pulau Batu

Sipora 24.94 11.97 18.92 29.84 Siberut

12.52 15.25 15.13 18.93 Pagai

Grafik 4: Tutupan Karang Hidup

2. Kondisi Sosial Ekonomi

Salah satu dari indikator capaian proyek adalah penurunan tingkat kemiskinan di kawasan pesisir lokasi proyek melalui peningkatan pendapatan per kapita 2% per tahun. Hasil kajian sosial-ekonomi dari 2005 - 2009 menunjukkan terdapat variasi lebar pada pertumbuhan pendapatan per kapita di lokasi proyek (dari 24,9% di Bintan Timur hingga -4,4% di Pulau Tiga, Natuna). Pendapatan per kapita di dua lokasi (Bintan dan Nias Utara) naik lebih dari 2% per tahun, dan tingkat perumbuhan per tahun di tiga lokasi (Mentawai, Batam dan Nias Selatan) beranjak di bawah 2%. Pendapatan per kapita di Tapanuli Tengah, Natuna dan Lingga turun dari 0,9 – 4,4% per tahun.

Salah satu argumen penurunan per kapita di Natuna adalah penurunan pendapatan karena menurunnya kegiatan penangkapan yang merusak. Untuk kasus Lingga dan Tapteng (Sitardas dan Jago-jago), pendapatan dari mata pencaharian alternatif tidak dapat menutupi dari menurunnya pendapatan yang berasal dari perikanan tangkap karena menurunnya hasil tangkapan ikan. Sebuah kajian evaluasi kegiatan mata pencaharian alternatif dilakukan oleh PMO pada kuartal keempat 2010, untuk menentukan statusnya dan kontribusinya terhadap pendapatan

Grafik 5: Pendapatan Per Kapita di Batam, Natuna, Bintan, Mentawai dan Nias (2005, 2007, 2009)

Tapteng Nias Tahun 2005

Mentaw ai

231,065 187,560 Increase/Decrase per year

Grafik 6: Pendapatan per Kapita Lingga dan Nias Selatan (2006, 2008, 2010)

Nias Selatan 2006

Icrease/Decrease per year

3. Riset Agenda

Riset agenda sudah dilaksanakan sejak 2005 hanya kabupaten Nias Selatan yang belum pernah melaksanakannya, hal ini disebabkan terbatasnya SDM dan sarana penunjang lainnya. Tahun 2008 riset agenda hanya dilaksanakan di dua Riset agenda sudah dilaksanakan sejak 2005 hanya kabupaten Nias Selatan yang belum pernah melaksanakannya, hal ini disebabkan terbatasnya SDM dan sarana penunjang lainnya. Tahun 2008 riset agenda hanya dilaksanakan di dua

Coral Reef Management Information System (CRMIS) tidak hanya sebagai tempat penyediaan informasi tentang pengelolaan terumbu karang tetapi juga mengembangkan program untuk memberikan data yang dibutuhkan bagi pengguna informasi. Sistem ini di desain dan direncanakan dengan baik agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, tetapi baru sebagian daerah yang dapat menggunakannya yaitu Batam dan Bintan, sebagian lagi tidak dapat berfungsi karena keterbatasan sarana infrastruktur komunikasi. Penggunaan sistem ini masih membutuhkan ruang untuk dimasukkan dalam website COREMAP untuk menyediakan data dan informasi tentang kesehatan karang, sosial ekonomi dan Creel, serta beberapa riset yang sudah dilaksanakan. Untuk sementara daerah mengirimkan data secara manual dalam bentuk compact disc dan dikirim ke CRITC Pusat. Akhir tahun 2009 Tapteng sudah mulai mencoba sistem ini tetapi masih memerlukan perbaikan peralatan dan pelatihan tambahan.