KONSEP MEMAHAMI SIFAT ALLAH DAN TAKDIRNYA
BAB IV KONSEP MEMAHAMI SIFAT ALLAH DAN TAKDIRNYA
Bab ini mengulas metode yang digunakan oleh al-Sa’di> dan ulama lainnya dalam memahami sifat Allah yang yang ada dalam al- Qur’an dan al-Hadis. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa Allah Ta'ala mempunyai nama-nama yang Dia perkenalkan kepada manusia. Semua nama Allah mengandung sifat yang sangat mulia, itulah kenapa
nama Allah dikatakan nama-nama yang terindah ( al-Asma al-Husna) karena dibalik semua namaNya terkandung sifat-sifatNya yang sempurna.Ada tiga metodologi yang digunakan oleh para ulama dalam
memahami ayat-ayat
tentang sifat Allah, yaitu tafwidh,ithbat dan ta’wil. Sebagaimana penulis sampaikan pada bab sebelumnya bahwa mayoritas ulama dalam memahami ayat-ayat dan hadis tentang sifat
dan
hadis
Allah mereka meggunakan metodologi tafwidh, yaitu tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks tersebut, namun mencukupkan diri dengan penetapan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi Dhat- Nya, serta mensucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap hal-hal yang baru. Dimana hal tersebut tersebut dilakukan dengan cara mengikuti metode ta’wil ijmali terhadap teks-teks tersebut dan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’a>la. Biasanya mereka menggunakan bahasa‛, ‛tidak menafsirkan‛, ‛ mereka tidak berkomentar terhadap sifat-sifat Allah tersebut.
Di antara nama-nama Allah yang terdapat dalam al-Qur´an adalah al-Qad īr dan al-Qādir, yang pertama diambil dari masdar al- Qudrah dan yang kedua di ambil dari masdar Taqd 1 īr. Qudrah adalah
kemampuan yang sempurna atau kekuatan dan kekuasaan sehingga ketika Allah mempunyai nama al-Qadir maka ini menunjukan bahwa Dia mempunyai kemampuan yang sempurna, Maha Kuat lagi Maha Kuasa. Sedangkan Takdir sering dimaknai dengan penetapan atau penentuan sesuatu, sehingga ketika salah satu nama Allah al-Qadir berarti Dialah yang menetapkan segala sesuatu yang telah, sedang dan
akan terjadi pada makhlukNya. 2
1 Ibn Man ẓūr (W:711), Lisān al-'Arab al-Muhī ṭ, (Bairūt: Dār Lisān al-'Arab, Tanpa Tahun Terbut), 30.
2 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progresif,
Nama Allah al-Qad īr dan al-Qādir menjadi sangat penting dibahas secara khusus karena keimanan terhadap takdir adalah keimanan yang dijadikan oleh Rasulullah sebagai salah satu cabang keimanan yang harus diyakini oleh kaum muslimin.
A. Pokok-pokok Iman Kepada Takdir Mu ḥammad Ibn Uthaymīn dalam kitabnya menyebutkan bahwa takdir dalam istilah Islam adalah segala ketentuan Allah yang telah
ditetapkan di alam azali (sejak dahulu) yang akan terjadi pada makhlukNya. 3
Keimanan pada takdir mempunyai dua tingkatan, yang pertama adalah mengimani bahwa Allah mengetahui semua makhluk, Dia
mengetahui semuanya dengan ilmuNya sejak dulu yang mana Allah mempunyai sifat pengetahuan ini secara azali dan abadi. Allah mengetahui seluruh keadaan baik ketaatan maupun kemaksiatan, mengetahui ajal dan juga mengetahui rizqi semua makhlukNya, kemudian Allah menulis semua ketentuanNya dalam lau ḥ al-mahfuẓ, karena itu makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah adalah pena yang diperintahkan oleh Allah untuk mencatat segala sesuatu yang
akan terjadi hingga hari kiamat. 4 Tingkatan yang kedua yaitu keyakinan bahwa semua kehendak
Allah pasti terlaksana dan ketentuan Allah mencakup semuanya. Keyakinan bahwa kehendak Allah pasti terlaksana maka harus diyakini pula bahwa semua yang tidak dikehendaki Allah pasti tidak terlaksana. Tidak ada satu makhlukpun yang ada di langit dan bumi baik yang bergerak maupun yang dia kecuai gerak dan diamnya itupun
dikehendaki oleh Allah. 5 Selanjutnya kedua tingkatan keimanan terhadap takdir ini
diringkas dan disederhanakan lagi oleh al-Sa’di> ke dalam empat perkara yang harus diimani saat seorang muslim mengimani takdir
Allah. 6
3 Mu ḥammad ibn Ṣāliḥ al-Uthaymīn, Majmu' Fatāwā. (Riyāḍ: Dār al- Tharayy
4 ā, 1413), 539. Ṣāliḥ ibn Fauzān al-Fauzān, Shar ḥ al-Aqīdah al-Wāsiṭiyah. (Riya>ḍ: Maktabah al-Ma' ārif, 1419), 157. 5 Ṣāliḥ ibn Fauzān al-Fauzān, Shar ḥ al-Aqīdah al-Wāsiṭiyah. (Riyaḍ:
Maktabah al-Ma' 6 Al-Sa’di>, ārif, 1419), 162. al-Aq īdah al-Islāmiyah min al-Kitāb wa al-Sunnah al-Nabawiyah.
1. Allah Maha Mengetahui Allah mengetahui keadaan semua makhluk, mengetahui rezeki mereka, mengetahui ajal dan juga pekerjaan mereka dan segala sesuatu yang berkaitan dengan makhluk, semuanya diketahui oleh Allah dengan sangat detail sebagaimana firman Allah Ta'ala:
Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya
AllahMaha mengetahui segala sesuatu (al-Baqarah[02]:231) Al-T}abari> berkata tentang ayat ini: ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya Rabb kalian yang telah membuat peraturan dan syariat- syariat-Nya ini serta Yang telah mewajibkan beberapa perkara yang terdapat dalam al-Qur`an kalamullah dan dalam syariat yang telah Allah turunkan pada Nabi Muhammad Salallhu'alaihi wasallam dengan apa-apa yang kelian kerjakan dari hal yang baik dan yang buruk, bagus dan jelek, ketaatan dan kemaksiatan; Allah mengetahui semua itu tanpa ada yang tersembunyi baik yang tampak jelas maupun yang samar. Dia Allah Ta'ala akan membalas kebaikan kalian dengan kebaikan, membalas keburukan dengan keburukan, kecuali keburukan yang Allah ampuni maka Allah tidak akan menghukumnya, dan
janganlah kalian menzalimi diri kalian sendiri. 7 Ibn Kath īr menyatakan tentang ayat ini bahwa Allah mengetahui
segala sesuatu, tidak ada yang tersembunyi dari Allah baik perkara- perkara yang samar maupun perkara-perkara yang nyata, dan semua
amal perbuatan makhluk akan dibalas oleh Allah. 8 Ilmu Allah ini sepertinya menjadi dasar untuk segala sesuatu
yang direncanakan oleh Allah baik yang akan terjadi di dunia maupun yang akan terjadi di akherat. Sehingga semuanya benar-benar berdasarkan pondasi ilmu bukan karena kejahilan, dan dalam ayat lain ilmu Allah digandengan dengan hikmah Allah seperti yang terdapat
dalam surat al-Anfal[08]:71 9 , dan at-Taubah[09]:15 sehingga ini
7 Mu ḥammad ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān fī Ta’wīli al-Qur’an, ('Amman: Da>r al-A'la>m, 1423H), 641.
8 Ism ā'īl Ibu 'Umar Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur`an al-Aẓīm. (al-Kuwait: Jam'iyyah I ḥyāi al-Turath al-Islāmī, 1421), 2367
9 Dalam surat al-Anfa>l[08]:71 Allah berfirman: 9 Dalam surat al-Anfa>l[08]:71 Allah berfirman:
2. Allah Telah Menuliskan Segala Sesuatu Dalam surat Qa>f[50]: 4 Allah berfirman:
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang dihancurkan
oleh bumi dari (tubuh-tubuh) mereka, dan pada sisi Kamipun ada kitab yang memelihara (mencatat).
'Abd al-Ra ḥmān al-Sa'dī menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah mengetahui berapa lama berdiamnya jasad manusia di alam Barzakh, dan hal itu telah dicatat dalam kitabNya, catatan ini sangat terjaga dari perubahan. Semua yang akan terjadi dari kehidupan dan kematian manusia akan berjalan sesuai dengan catatan tersebut, dan ini adalah dalil betapa luasnya ilmuNya, dan juga menunjukan kemampuanNya yang luar biasa untuk menghidupkan
kembali mayat-mayat. 10 Muh}ammad 'Ali al-Shaukani menjelaskan bahwa di sisi Allah
ada lauhil Mahfudz sebagai kitab yang senantiasa dijaga, di dalamnya tertulis segala sesuatu, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan " kitab" di sini adalah al-'Ilmu (ilmu) dan al-
I 11 ḥṣā penghitungan. Dalam ayat ini terdapat informasi yang sangat jelas tentang
adanya kitab catatan. Dan kitab catatan ini adalah kitab yang berisi catatan-catatan yang akan terjadi di alam ini. Catatan ini sama sekali tidak akan direvisi karena tidak ada kesalahan dalam tulisannya, hal ini di dasari oleh keyakinan bahwa yang membuat catatan ini adalah
Dalam ayat ini Allah menggandengkan nama 'Alim dan Hakim, yang menunjukan bahwa ilmu Allah berdasarkan kebijaksanaannya, artinya luasnya ilmu Allah tidak menyebabkan diriNya membodohi makhlukNya, dan kebijaksanaan Allahpun berdasarkan ilmuNya, bukan berdasarkan kejahilan. Jika disandarkan pada penetapan takdir maka hal ini menjadi keyakinan bahwa semua hal yang ditetapkan oleh Allah untuk makhluknya semuanya berdasarkan ilmu dan kebijaksanaan bukan berdasarkan kejahilan dan kezaliman.
10 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 747.
11 Mu ḥammad 'Ali al-Shaukāni, Fat ḥ al-Qadīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā,
Allah yang sangat sempurna ilmuNya.Kemudian dalam surat Yasin[36]:12 Allah berfirman:
Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Al-Sa'di> menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Sesungguhnya Kami menulis semua kebaikan dan keburukan, yaitu semua amal mereka yang telah dilakukan selama hidup mereka. Dan juga menulis pengaruh baik dan pengaruh buruk yang ditimbulkan dari amalan dan perkataan mereka selama di dunia, baik pengaruhnya itu ada selama mereka hidup atau setelah mati. Maka setiap kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba adalah sebab ilmu seorang hamba, pengajarannya, nasehatnya, atau amar ma'rup dan nahi munkar yang dilakukan oleh hamba itu. Atau disebabkan ilmu yang ditinggalkan di tengah-tengah penuntut ilmu, atau buku-buku yang bermanfaat ketika dia hidup akan sangat bermanfaat untuk dirinya baik ketika dia hidup di dunia atau setelah wafatnya. Atau amalan baik yang dilakukan di dunia seperti solat, zakat, sadaqah, akhlaq baik kemudian ada orang lain yang mengikuti, atau membangun masjid atau satu tempat yang bermanfaat buat manusia atau yang lainnya maka hal itu akan ditulis sebagai satu kebaikan untuk pelakunya. Dan juga keburukan akan
ditulis untuk dirinya. 12 Al-Jaz āyrī dalam kitab Aisar al-Tafāsir mengatakan bahwa
Allah akan menghidupkan kembali orang yang mati untuk ditunaikan balasan bagi mereka dan apa yang telah mereka kerjakan semuanya telah ditulis yang baik dan yang buruk, serta telah ditulis pula
peninggalan mereka berupa sunnah-sunnah hasanah 13 ataupun sunnah-
12 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 639.
13 Maksud dari sunnah-sunnah hasanah di sini adalah kebiasaan-kebiasaan baik yang ditinggalkan oleh seorang mayyit yang diikuti oleh manusia lainnya.
Seperti rutinitas membaca yang dilakukan oleh seorang Ayah kemudian diikuti oleh anaknya. Adapun sunnah sayyi'ah adalah kebalikan dari sunnah hasanah, yaitu Seperti rutinitas membaca yang dilakukan oleh seorang Ayah kemudian diikuti oleh anaknya. Adapun sunnah sayyi'ah adalah kebalikan dari sunnah hasanah, yaitu
Muhammad al-Shawkani juga berpendapat bahwa kitab yang menhimpun semua amalan seorang hamba dan segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah al-Lauhu al-Mahfuz (catatan yang terjaga), sebagaimana beliau mengitup penafsiran dari Mujahid, Qatadah, dab
Ibn Zaid. 15 Ayat ini menunjukan adanya Lau ḥ al-Maḥfūẓ sebagai catatan
yang mengurai seluruh kejadian alam semesta dari awal penciptaan. Catatan ini sangat terjaga sebab dari sisi nama saja bisa diketahui bahwa Lau ḥ al-Maḥfūẓadalah bahasa arab yang artinya catatan yang terjaga.
Kemudian dalam surat al- Ḥajj[22]: 70 Allah berfirman:
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah
mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu Amat mudah bagi Allah. (al- Ḥajj[22]:70)
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari Allah baik perkara yang tampak jelas maupun yang
tersembunyi, yang terdahulu maupun yang akan datang, dan pengetahuan ini mencakup segala yang ada di langit dan di bumi, dan pengetahuan ini telah dicatat dan ditulis oleh Allah dalam lauh mahfuz ketika Allah menciptakan pena Allah berfirman kepadanya "tulislah" pena bertanya apa yang harus aku tulis? Allah berfirman" Tulislah segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari kiamat". Catatan kejadian hal-hal yang belum terjadi, menurut manusia adalah satu hal yang mustahil, apalagi kejadiannya sama persis dengan catatan yang telah
14 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāirī, Aisar al-Taf āsir Li Kalām 'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah a
15 Mu ḍwā al-Manār, 1419), 1067. ḥammad 'Ali al-Shaukāni, Fat ḥu al-Qadīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 15 Mu ḍwā al-Manār, 1419), 1067. ḥammad 'Ali al-Shaukāni, Fat ḥu al-Qadīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā,
Muhammad al-Shaukani menjelaskan bahwa pertanyaan yang terdapat dalam ayat ini adalah pertanyaan untuk pengakuan, sehingga makna ayat ini adalah sungguh dirimu telah mengerti wahai Mumammad (salallahu'alaihi wasallam) dan telah yakin, bahwa Allah
mengetahui apapun yang ada di langit dan bumi sehingga kalian tidak berselisih bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang ada di langit dan bumi sudah terdapat di dalam pengetahuan-Nya yang disimpan di dalam Ummul Kitab, dan sesungguhnya hal itu sangat mudah, artinya sesungguhnya hukum Allah terhadap hambahnya yang saling berselih adalam mudah, atau bahwa pengetahuan apapun yang ada di langit dan bumi adalah teramat mudah bagi Alloh. 17
Allah sangat megatahui apapun yang ada di langit dan di bumi, Allah mengetahui yang besar dan halus, yang jelas dan yang samar,
bagaimana tidak, Dialah Allah yang Maha Megetahui sealanya, dan hal itu sudah tertulis dalam lauhil mahfudz sehingga tidak ada istilah tidak tahu atau lupa, dan penulisan ini semua bagi Allah sangat mudah
karena Allah Maha Mampu melakukan segala sesuatu. 18 Ayat ini adalah ayat yang paling tegas menjelaskan bahwa Allah
telah menulis segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari kiamat dan kejadian-kejadian yang ada di dunia ini akan sangat sesuai dengan catatan yang telah dibuat oleh Allah.
16 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 495.
17 Mu ḥammad 'Ali al-Shaukāni, Fat ḥu al-Qadīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 1418 H), 637.
18 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāirī, Aisar al-Taf āsir Li Kalām 'Aliy al-Kabīr,
3. 19 Allah Maha Berkehendak . Allah berfirman dalam surat Y āsīn[36]: 82:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatuhanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. Al-Sa’di> menyatakan tentang ayat ini bahwa kata " Shaian" dalam ayat ini bentuknya umum karena berbentuk nakirah dalam redaksi syarat sehingga maknanya apapun yang diinginkan oleh Allah pasti terjadi tanpa ada yang bisa menghalangi. Dan inipun menunjukan bahwa segala sesuatu pada hekekatnya milik Allah baik yang ada di ketinggian maupun yang berada di tempat rendah, baik yang ada di
langit maupun yang ada di bumi. 20 Muh}ammad Ibn Jarir al-Tabari mengatakan bahwa ayat ini
adalah perumpanaan yang menerangkan bahwa jika Allah menghendaki sesuatu maka Dia hanya mengatakan "kun" (jadilah)
maka akan jadi sesuatu yang dikehendaki oleh Allah itu. Ini adalah perumpamaan yang sangat dikenal di kalangan Arab untuk menunjukan betapa mudah perkara itu, sebagaimana betapa mudahnya
Allah mengadakan sesuatu yang dikehendaki-Nya. 21 Jika Allah menghendaki terjadinya sesuatu maka Allah hanya
mengucapkan " kun" yang berarti jadilah, niscaya sesuatu itupun terjadi. Ini menunjukan kemampuan yang Maha sempurna yang
19 Masy ī'ah atau Irādah (kehendak) Allah ada dua macam, ada irādah kauniyah qadariyah ada ir ādah dīniyyah syar'iyyah. Irādah kauniyah qadariyah berkaitan
dengan keinginan Allah dan penentuannya terhadap makhluk seperti Allah berkehendak untuk menciptakan langit, bumi, manusia dan semua makhluk. Sedangkan ir ādah yang kedua berkaitan dengan kecintaan Allah dan keridaannya seperti Allah mengingingkan manusia untuk masuk islam secara kafah dan mentauhidkan diriNya saja. Perbedaan antara dua ir ādah ini adalah: Irādahkauniyah pasti terjadi sedangkan ir ādahshariyyah terkadang terjadi terkadang tidak, yang kedua ir ādahkauniyah bersifat umum mencakup sesuatu yang dicintai dan yang dibenci Allah, ke tiga ir ādahkauniyah belum tentu dicintai oleh Allah, akan tetapi ir ādahshariyyah pasti dicintai oleh Allah. Lihat Ḥaidar Ibn Aḥmad al-Ṣaffāh, Mab āhith fī 'Ulūm al-Aqīdah, (Sana'ā: Awān, 2004 M), 254-255.
20 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 646.
21 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`an, 21 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`an,
Muhammad 'Ali al-Shaukani, menyatakan bahwa jika keinginan Allah tertuju pada sesuatu maka Dia hanya mengatakan jadi, maka sesuatu yang diinginkan-Nya itu akan jadi, tanpa butuh kepada yang lain-Nya. 23
Wahbah al-Zuhayli> berpendapat bahwa kemampuan Ilahiyah atau kemampuan Allah dalam mengadakan sesuatu sangat mudah sekali, sehingga jika ada sesuatu yang Allah kehendaki maka Dia hanya mengatakan " kun" (jadilah), maka jadilah ia seketika itu juga tanpa menunggu interfensi dari kekuatan apapun. 24
Petunjuk yang terdapat dalam ayat ini memberikan pengetahuan dan aqidah yang sangat jelas yaitu apapun yang dikehendaki oleh Allah dari sisi kauniyah pasti terlaksana. Sehingga adanya langit, bumi, dan makhluk-makhluk lain yang ada di antara keduanya adalah kehendak Allah Ta'ala. Dan kita sebagai manusia pun adalah milik Allah dan dikehendaki oleh Allah, karena kita tidak pernah meminta penciptaan ini dan tidak pernah memilih negara tempat kelahiran dan tidak pernah memilih ibu untuk menjadi orang yang melahirkan kita, semuanya ditentukan oleh Allah berdasarkan hikmahnya yang Maha Adil dan PengetahuanNya yang sangat sempurna.
4. Allah Maha Pencipta Setelah Allah mengetahui, menulis, menghendaki maka Allahpun akan menciptakan apapun yang Allah kehendakiNya. Allah berfirman:
Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala
sesuatu. (al-Zumar[39]:62) Dalam ayat ini Allah mengabarkan keagunganNya yang sangat sempurna. Redaksi perkataan seperti ini banyak terdapat dalam al- Qur´an yang menunjukan bahwa segala sesuatu selain Allah, nama-
22 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāiri, Aisar al-Taf āsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah A
23 Mu ḍwā al-Manār, 1418 H), 1080. ḥammad 'Ali al-Shaukāni, Fat ḥ al-Qadīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 1418 H), 506.
24 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'asir, 1427 24 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'asir, 1427
dan bumi, dan dia Maha Mampu Menciptakan segala sesuatu. 25 Penafsiran Al-Sa’di> dalam ayat tersebut sangat jelas menyatakan
bahwa Allah lah yang telah menciptakan segela sesuatu. Dan dalam penafsirannya tersebut juga Al-Sa’di> mencoba membantah pendapat Mu'tazilah yang berpendapat bahwa al-Qur´an adalah mahkluk atau ciptaan Allah, karena al-Qur´an adalah kalam atau perkataan Allah, dan perkataan adalah salah satu sifat Allah sehingga tidak mungkin Allah menciptakan sifatnya sendiri. Sehingga al-Qur´an bukan makhluk.
Al- Ṭabari mencoba menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan bahwa dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Dia lah yang mempunyai Ul ūhiyah (ketuhanan) sehingga hanya Dia yang berhak disembah karena hanya Dia pula yang mampu menciptakan segala sesuatu, sedangkan makhluknya yang lain tidak mampu
menciptakan sesuatu sehingga tidak boleh disembah. 26 Al-Jaz āiri dalam Aisar al-Tafāsir juga menyatakan bahwa tidak
ada sesuatu yang ada selain Allah kecuali ia diciptakan oleh Allah sedangkan Allah adalah pencipta semua itu. Dan Allah Maha memelihara semua itu, Maha Suci dan Maha Besar Allah, betapa besar kemampuan-Nya dan betapa luas ilmu-Nya sehingga hanya pada-Nya
25 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 674.
26 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`an, (Bairūt: 26 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`an, (Bairūt:
Pernyataan al- Ṭabari ini menambah keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah sebagai konsekwensi bahwa Dia lah satu- satunya pencipta, sehingga Dia lah satu-satunya pemilik semua makhluk yang hakiki sehingga hanya Allah lah yang berhak untuk
disembah. Karena itu Allah sangat murka terhadap siapapun yang memberikan ibadah kepada selainNya.
Kemudian Allah berfirman dalam QS. Fat}ir (35); ayat 3:
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah
Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)? (F ātir[35]:3)
Al-Sa'di> menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, ini adalah perintah Allah untuk semua manusia untuk mengingat nikmat Allah
yang telah diberikan kepada mereka, dan ini mencakup seluruh nimat yang telah Allah berikan dengan bentuk syukur yang umum pula yaitu syukur dengan cara mengakui nikmat itu dalam hati, sehingga lisan pun memnuji Allah atas nikmat-nikmat ini, dan seluruh anggota badan menjadi tunduk dan patuh terhadap seluruh perintah-perintah Allah, karena jika seorang manusia mengingat nikmat dari Allah maka ia akan segera bersyukur kepada-Nya, dan dalam ayat ini Allah mengingatkan pokok nikmat yang diberikan yaitu nikmat penciptaan, dan nikmat rezeki. Allah menyebutkan bahwa tidak ada yang menciptakan dan memberi rezeki kecuali Allah, hal ini menjadikan alasan bahwa seluruh peribadahan hanya layak diberikan pada Allah
saja. 28 Al-Jazayri mengungkapkan ketika Allah mengingatkan
manusia akan nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada meraka, lalu Allah memerintahkan mereka untuk bersyukur kepada- Nya, Allah bertanya: adakah pencipta selain Allah yang memberikan
27 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāiri, Aisar al-Taf āsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah A
28 'Abd al-Ra ḍwā al-Manār, 1418 H), 1130. ḥmān Al-Sa’di>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 28 'Abd al-Ra ḍwā al-Manār, 1418 H), 1130. ḥmān Al-Sa’di>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-
Ke empat pilar ini adalah pilar-pilar takdir yang selayaknya diimani oleh setiap orang beriman, kemampuan Allah dalam melakukan dan menciptakan segala sesuatu menjadikan Dia satu- satunya penentu takdir. Dan semuanya ditentukan berdasarkan ilmu dan hikmah yang begitu besar, tidak berdasarkan kejahlan dan kezaliman.
Takdir yang berlaku pada manusia terbagi menjadi dua bagian, pertama takdir yang terjadi pada manusia dengan ketentuan dari Allah tanpa adanya keinginan lain dari manusia mupun pilihan lain bagi manusia seperti ada dan tiadanya makhluk, tinggi atau pendeknya postur tubuh, cantik atau jeleknya paras wajah, cerdas atau dungunya otak, sakit atau sehatnya fisik, hidup atau mati, dan semua yang terjadi pada manusia yang dia tidak berinterfensi
padanya dan tidak menjadi sebabnya. 30 Dalam perkara seperti ini manusia tidak diminta pertanggung
jawaban oleh Allah, yang menjadi kewajiban manusia hanya keridaan terhadap takdir Allah dan mengimani bahwa hal ini ditetapkan oleh Allah untuk manusia sesuai dengan ilmu dan hikmah dariNya sejak dahulu yang terkadang manusia bisa mengetahui hikmahnya dan terkadang tidak. Sebagaimana manusia tidak diminta pertanggung jawaban terhadap masalah seperti ini maka manusiapun tidak diberi pahala dengan kebaikan masalah seperti ini. Manusia tidak dipandang berpahala disisi Allah karena wajahnya yang ganteng atau cantik sebagaimana manusia tidak diberi siksaan jika wajahnya jelek. Pahala atau dosa hanya akan terjadi atas sikap manusia terhadap takdir ini, karena perkara baik harus disyukuri dan perkata buruk harus disikapi
dengan sabar. 31
29 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāyri>, Aisar al-Tafāsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah A
30 ḍwā al-Manār, 1418 H), 1053. Ḥaidar Ibn Aḥmad al-Ṣaffāh, Mabāhith fī 'Ulūm al-Aqīdah, (Sana'ā: Awān,
2004 M), 256. 31 Ḥaydar Ibn Aḥmad al-Ṣaffāh, Mabāhith fī 'Ulūm al-‘Aqīdah, (Sana'ā: Awān,
Yang kedua adalah bentuk takdir yang terjadi pada manusia berdasarkan ilmu dan hikmah dari Allah sejak dahulu, akan tetapi di dalamnya manusiapun dijadikan sebab pelaksanaannya dan diberikan keinginan dan tujuan dalam amalnya. Seperti makan, minum dan berpakaian sebagai contoh yang mubah, atau solat, infaq dan jihad sebagai contoh dari bentuk keta'atan, dan zina, mencuri, minum khamer sebagai contoh dari bentuk kemaksiatan. Amalan-amalan seperti ini terjadi sesuai dengan ilmu dari Allah, dan sesuai dengan tulisan yang telah ditulis oleh Allah dan kehendak serta kemampuan Allah yang sempurna. Pada bagian ini ketaatan yang dilakukan manusia akan dibalas dengan berlipat pahala adapun keburukan akan
ditulis sebagaimana keburukan yang dilakukannya. 32
B. Ungkapan al-Qur´an tentang Takdir Al-Qur´an sebagai kitab suci selalu dijadikan rujukan utama
dalam hampir seluruh pembahasan keislaman, sehingga dalam pembahasan takdir ini penulis mencoba melacak dan mencari kata-kata takdir yang terdapat dalam al-Qur´an .
Kata-kata "takdir" dalam al-Qur´an sangat banyak dan bisa dijumpai dengan mudah oleh para pembacanya, terlebih oleh para sarjana yang hendak meneliti tentang takdir dalam al-Qur’an.
1. Term Takdīr dalam al-Qur´an Di dalam al-Mu'jam al-Mufahras li alf āẓi al-Qur’ān lafaz "taqdīr" ditemukan dalam al-Qur´an sebanyak lima kali yaitu dalam surat al- An' ām[06]:96, Yāsīn[36]:38, Fuṣṣilat[41]:12, al-Furqān[25]:2 dan al- Ins ān[76]:16. Di bawah ini akan diungkapkan ke lima ayat ini, sehingga lebih jelas dalam penelitian. Yang pertama firman Allah dalam surat al-An' ām[06]:96:
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan.
32 Ḥaydar Ibn Aḥmad al-Ṣaffāh, Mabāhith fī 'Ulūm al-‘Aqīdah, (Sana'ā: Awān,
Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (al- An'am[06]:96)
Ayat yang kedua tentang lafadz takdir ini adalah firman Allah berikut:
Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (Yasin[36]:38) Kemudian yang ke tiga Allah berfirman:
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (Fus}s}ilat[41]:12)
Ketiga ayat di atas jika diperhatikan maka akan ditemukan kata " Takdir" selalu diiringi oleh dua nama Allah "al-'Aziz dan al-'Alim" hal ini bukanlah satu kebetulan akan tetapi mempunyai makna yang begitu dalam yang difahami oleh orang-orang yang mendalami tafsir ini.
Al-Sa’di> dalam tafsirnya Taisir al-Karim al-Rahman menjelaskan bahwa Allah Ta'ala telah menentukan kadar waktu dengan begitu sempurna. Dia telah menyingsingkan pagi pada waktu yang sangat tepat dan menciptakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia berupa cahaya dan kegelapan. Sebagaimana Alloh telah membuka biji-bijian ketika hendak tumbuh menjadi tanaman, maka Allah pula yang telah membuka kegelapan malam dengan cayaha terang di pagi hari yang menyinari wajah bumi. Setiap pagi bumi tersinari oleh matahari yang diperintahkan Allah sedikit demi sedikit
sampai hilang semua kegelapan malam. 33 Ketika semua makhluk membutuhkan ketenangan maka dan
kenyamanan dalam istirahat yang tidak sempurna hanya dengan waktu siang maka Allahpun menjadikan malam sebagai kedamaian dan
33 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 33 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-
Dengan adanya matahari dan bulan, manusiapun menjadi mengetahui waktu-waktu ibadah, batas akhir satu perjenjian, dan juga mengetahui kadar waktu yang telah berlalu. Jika tidak ada matahari dan bulan niscaya manusia tidak akan mengetahui hal ini sedikitpun
sehingga manusia tidak akan mampu meraih kebaikan-kebaikan. 35 Hal ini semua adalah " takdir" (ketentuan) dari Allah yang maha
'aziz (kuasa) yang dengan kekuasaannya Allah mengatur dan menundukan semua makhlukNya, sehingga makhluk itupun tunduk di bawah kekuasaan Allah. Matahari akan selalu terbit pada waktunya dan tidak akan pernah telat atau mendahului dari waktu yang telah ditetapkan, karena semua makhluk telah tunduk pada peraturan Allah. Dan hal pengaturan inipun berdasarkan ilmu dari Allah sehingga terjadi peredaran waktu yang sangat tepat karena diatur oleh Alloh yang Maha mengetahui yang tampak dan yang sembunyi yang awal
dan yang akhir. 36 Dari keterangan dalam Tafsir al-Sa’di> tentang korelasi antara
takdir dengan dua nama Allah al-'Aziz dan al-'Alim dapat disimpulkan bahwa pengiringian ini bertujuan agar manusia mengetahui bahwa ketentuan takdir makhluk yang ditentukan oleh Allah semuanya berdasarkan ilmu Allah yang sangat luas, dan semua makhluk tanpa keculi tunduk dengan ketentuan Allah sehingga semuanya berjalan dengan sempurna sebagaimana keinginan Allah Ta'ala.
Nama Allah al-'Aziz yang terdapat dalam surat Ya>si>n[36]:38 di atas ditafsirkan oleh Ibn Kathir bahwa Dialah Allah yang memiliki kekuasaan sehingga tidak ada yang mampu menentangNya dan tidak ada pula yang mampu mencegahNya, dan Allah al-'Alim mengandung makna bahwa Dia Maha Mengetahui setiap makhlukNya baik yang
34 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 228.
35 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 228.
36 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 36 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-
Dari sini dapat difahami bahwa ketika Allah menentukan al- Qadar maka penentuan itu penuh dengan kebijaksanaan, karena semuanya ditentukan berdasarkan IlmuNya yang sangat luas. Takdir semua makhluk telah ditentukan oleh Allah berdasarkan dua sifatNya Yang Sangat Mulia yaitu Izzah (kekuasaan) dan Ilmu (pengetahuan), dan bukan ditentukan oleh kelemahan dan kebodohan.
Kemudian yang ke empat dan yang ke lima, lafadz takdir dalam al-Qur´an tidak diiringi dengan sifat Allah al-'Aziz dan al-'Alim, akan tetapi datang dengan bentuk masdar atau sumber kata. Allah
berfirman:
Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak
mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran- ukurannya dengan serapi-rapinya. (al-Furqa>n[25]:2)
Dalam ayat ini al-Sa’di>> memberikan penafsirannya dengan mengatakan bahwa Allah telah menciptakan semua makhluk baik yang
berada pada alam yang tinggi seperti para Malaikat ataupun yang berada di dalam yang rendah seperti penduduk bumi dari jenis hewan, tumbuhan dan bebatuan. Semua makhluk ini diciptakan oleh Allah dengan takqir atau ketentuan yang berbeda-beda sesuai dengan alam
mereka masing-masing. 38 Dia memberikan segela kebutuhan makhluk sesuai dengan
penciptaannya. Seorang manusia misalnya, dia diberikan pernafasan dengan paru-paru karena mereka hidup di darat yang penuh dengan oksigen tidak dengan insang, sebagaimana ikan diberikan pernafasan dengan insang karena hidup di dalam air. Semuanya telah Allah ciptakan dan takdirkan sesuai dengan hikmahNya yang sangat besar.
Sehingga kata takdir yang ada pada ayat bermakna bahwa Allah telah menentukan segala yang dibutuhkan makhlukNya sesuai dengan
37 Ism ā'īl Ibu 'Umar Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm, (al-Kuwait: Jam'iyyah I
38 'Abd al-Ra ḥyāi al-Turath al-Islāmī, 1421), 2367. ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 38 'Abd al-Ra ḥyāi al-Turath al-Islāmī, 1421), 2367. ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-
(yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur
mereka dengan sebaik-baiknya. (al-Insa>n[76]:16) Tentang ayat ini Mu ḥammad Sulaimān al-Ashqar dalam tafsirnya Naf ḥat al-'Abīr min Zubdati al-Tafsīr mengatakan bahwa gelas yang disediakan di surga di antaranya ada yang terbuat dari perak yang bagian dalamnya bisa terlihat dari luar, dan bentuk keindahan gelas ini akan ada sebagaimana yang mereka (penduduk
surga) inginkan, tidak bertambah juga tidak berkurang. 39 Dari pembahasan kata "Takdir" ini, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kata "takdir" mempunyai makna "ketentuan, ukuran atau kadar tertentu". Jika seseorang sudah ditentukan takdirnya
maka bermakna seseorang sudah ditentukan segalanya, baik jatah umur, rizki, ataupun yang lainnya.
Ketentuan takdir ini bersifat gaib sehingga tidak ada satu maklukpun yang mampu mengetahui dengan pasti takdir yang ditetapkan oleh Allah untuknya, hanya saja seorang muslim diharuskan meyakini adanya takdir ini, dan juga meyakini bahwa penentu takdir adalah Allah yang Maha adil dan tidak pernah zalim terhadap makhluknya.
2. Sifat Allah yang Menunjukan Takqdir Pembahasantentang takdir tidak terlepas dari nama dan sifat Allah yang Maha Sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang sangat sempurna, artinya nama Allah tersebut mengandung sifat yang sempurna dan tidak mengandung makna negatif sedikitpun dari berbagai sisi maknanya.
Nama-nama Allah yang terdapat dalam al-Qur´an dan al-Sunnah menunjukan zat Allah, dan menunjukan sifat sempurna yang dikandungnya serta mengandung konsekwensi pengaruh pada makhluknya. Jika namanya bermakna muta'add ī, contoh nama Allah yang bermakna l āzim adalah al-'Aẓīm, keimanan seseorang tidak akan sempurna pada nama ini sampai dia menetapkan bahwa al-'A ẓīm adalah nama Allah, yang menunjukan zat Allah dan mengandung sifat
39 Mu ḥammad Sulaimān al-Asyqar, Naf ḥat al-'Abīr min Zubdati al-Tafsīr,
Allah yaitu al-'A ẓamah (kebesaran). Contoh dari nama Allah yang bersifat muta'addi adalah nama al-Ra ḥmān, tidak sempurna keimanan seseorang terhadap nama Allah ini sampai dia menetapkan bahwa al- Ra ḥmān adalah salah satu nama Allah yang menunjukan zat Allah dan mengandung sifat ra ḥmah serta berkonsekwensi bahwa Allah memang merahmati siapa saja yang dikehendakiNya. 40
Jika ayat-ayat yang membahas tentang takdir maka akan didapatkan beberapa nama Allah yang mengiringi ungkapan takdir ini, dan sepertinya ini mengandung korelasi yang sangat erat dengan pembahasan takdir. Dalam firman Allah surat al-An' ām[06]:96, Yasin[36]:38, dan Fussilat[41]:12 Allah menutup firmanNya yang berkenaan dengan takdir dengan dua namaNya yang agung yaitu al- 'Azi>z dan al-'Ali>m. Allah berfirman:
Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.
(al-An' ām[06]:96) Al-'Azi>z dan al-'Alim dalam ayat ini adalah dua nama Allah yang sangat berkaitan dengan permasalahan takdir. Al-'Azi>z berarti Tuhan yang mempunyai 'izzah atau keperkasaan dan kekuasaan, dengan 'izzah yang dimiliki Allah maka semua makhluk yang besar dan yang kecil tunduk dan patuh kepadaNya, sehingga tidak ada satu makhlukpun yang berani melampaui batasan yang telah ditentukan oleh Allah. 41
Nama Allah al-'Aziz ini sangat berpengaruh dengan permasalan takdir, sebab jika Allah tidak memiliki sifat 'izzah yang terkandung dalam nama ini, niscaya semua makhluk tidak akan tunduk kepadaNya. Pernyataan ini pun menuntun manusia untuk mengimani bahwa semua nama Allah pada hakekatnya menunjukan sifat yang terkandung di dalam namaNya tersebut. nama Allah al-'Aziz menunjukan Allah mempunyai sifat 'Izzah sebab jika hanya nama tanpa sifat niscaya semua makhluk tidak akan tunduk dan patuh kepadaNya.
40 Mu ḥammad Ṣāliḥ al-Uthaymīn, Ta'līq Mukhta ṣar 'alā Kitāb Lum'ati al- I'tiq ād al-Hādī ilā Sabīli al-Rashād, (Riyāḍ: Dār al-Waṭan, 1423 H), 5-6.
41 'Abd al-Ra ḥmānAl-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-
Sedangkan nama yang kedua yang berkaitan dengan ayat ini adalah al-'Alim yang berarti Allah mempunyai ilmu yang sangat luas, ilmu Allah telah meliputi hal yang tampak dan tersembunyi yang lalu dan yang akan datang. Dalil akal yang mendukung tentang ilmu Allah yang sangat luas ini adalah Dia telah mengatur semua makhluknya dengan sangat rapi terorganisir yang tidak terjangkau oleh akal manusia dari sisi keindahan dan kesempurnaan, dan kesesuaiannya
dengan maslahat serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. 42 Ambil saja satu contoh tentang peredaran matahari, rotasi
matahari ini berjalan begitu sempurna, dia tidak pernah terlambat terbit atau mendahului untuk terbit. Sehingga manusia bisa melaksanakan agendanya sesuai dengan jadwal yang telah dibuatnya. Kesempurnaan rotasi ini menjadi keyakinan pada orang-orang yang beriman akan kesempurnaan izzah dan ilmu Allah. Tanpa izzah dan ilmu Allah yang begitu luas niscaya tidak akan bisa disaksikan keindahan dan kesesuaian kehidupan di dunia ini.
Secara ringkas Muhammad 'Ali al-Shaukani mengomentari dua nama Allah ini dengan mengatakan bahwa nama Allah al-'Aziz berarti Dia yang Maha Memaksa (al-Qahir) dan Perkasa (al-Galib), sedangkan al-'Alim bermakna Allah yang banyak ilmu pengetahuannya dan di antara bukti pengetahuanNya yang luas adalah Allah telah mengatur matahari dan bulan dengan sangat mudah dan mengandung banyak
hikmah. 43 Allah berfirman dalam surat Ya>sin[36]:38 Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah
ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. Al-Sa'di> mengatakan bahwa matahari senentiasa beredar dari orbitnya sebagaimana yang telah Allah tentukan. Matahari sedikitpun tidak bergeser dari tempat peredaran yang Allah tentukan, tidak maju juga tidak mundur karena dia tidak memiliki kemampuan berbuat apa- apa dengan sendirinya, dan tidak menyelisihi ketentuan Allah, yang mana dengan kekuasaannya Dia telah mengatur makhluk-Nya yang besar ini dengan pengaturan yang sempurna dan peraturan yang indah,
42 'Abd al-Ra ḥmānAl-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 228.
43 Mu ḥammad 'Ali al-Shaukāni, Fat ḥ al-Qadīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 43 Mu ḥammad 'Ali al-Shaukāni, Fat ḥ al-Qadīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā,
Ibn Kathi>r menafsirkan ayat ini dengan mengatakan peredaran matahari adalah ketentuan Allah yang tidak dapat ditentang dan dicegah, dan Maha Mengetahui dengan semua yang bergerak dan yang diam dan hal itu semua telah ditakdirkan atau ditentukan dengan
sempurna tanpa ada yang tertukar dan tanpa ada yang terbalik. 45 Pada siang hari Allah Ta'ala menghilangkan kegelapan malam
dengan menerbitkan matahari setelah sebelumnya kegelapan malam menyelimuti alam ini. Sehingga terang beneranglah alam ini, dan manusiapun banyak bertebaran untuk mencari karunia Allah. Untuk itu Allah mengabarkan bahwa matahari selalu beredar pada tempatnya dan hal itu akan terus berlaku sebagai satu ketetapan dari Allah, yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan penuh, sehingga matahari itu tidak mungkin menyalahi aturanNya karena pada hakekatnya matahari tidak dapat menentukan pilihan sendiri. Dengan izzah inilah Allah mengatur seluruh alam yang besar ini dengan kesempurnaan dan keindahan peraturan, dan dengan ilmuNya yang sangat luas Allah telah
menjadikan kemaslahatan dan manfaat untuk dunia dan akherat. 46 Dari pembahasan ini tampak jelas bagi penulis bahwa nama
Allah al-'Aziz dan al-'Alim sangat berkaitan dengan takdir Allah. Dalam hal ini pemikiran Al-Sa’di> tidak berbeda dengan para penafsir lain, yaitu nama Allah al-'Aziz mengandung konsekwensi bahwa Allah mempunyai sifat 'Izzah yang bermakna keperkasaan dan kerajaan yang mana dengan keperkasaanNya Allah mengatur dan menentukan takdir untuk setiap hamba. Pengaturan takdir ini pun telah ditentukan oleh Allah berdasarkan ilmu yang sangat luas yang dimiliki oleh Allah bukan didasari dengan kejahilan.
44 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Muassasah al-Risālah, 1416 H), 643.
45 Ism ā'īl ibn 'Umar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur`an al-Aẓīm, (al- Kuwait:Jam'iyyah Ihy
46 'Abd al-Ra āi al-Turāth al-Islāmi, 1421), 2367. ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-