PENAFSIRAN TEOLOGIS (SIFAT ALLAH DAN TAKDIR) MENURUT MUFASSIR DAN SARJANA MUSLIM

BAB II PENAFSIRAN TEOLOGIS (SIFAT ALLAH DAN TAKDIR) MENURUT MUFASSIR DAN SARJANA MUSLIM

A. Al-Qur´an dan Penafsiran Al-Qur´an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muh}ammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagai mu’jizat yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawattir serta

membacanya adalah ibadah. 1 Diturunkannya kepda jin dan manusia agar bisa dijadikan petunjuk ( hudan) dan pembeda (furqan) antara

kebenaran dan kesesatan. 2 Allah menurunkan al-Qur´an untuk dibaca dengan penuh

penghayatan ( Tadabbur), meyakini kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman,‛ Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Al-quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. 3

Menurut ibn Qayyi>m al-Jawziyah(W. 751 H) untuk bisa mewujudkan perintah Allah tersebut, seorang harus bisa memahami

makna dan kandungan ayat tersebut. 4 Beliau mengatakan ‚Apabila ingin mengambil pelajaran dari al-Qur´an, maka harus memusatkan

hati dan pikiran anda di saat membaca dan mendengarnya. Dan pasanglah pendengaran anda baik-baik karena Allah berfirman, ‛ Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan

1 Manna> Khalil al-Qatta>n, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2012), 15. Bandingkan dengan Muh}ammad ‘Ali al-S}abu>ni> dalam Pengantar

Studi al-Qur´an, bandingkan juga dengan Khudari Beik dalam Tarikh Tashr’i Islami>. Menurut bahasa, ‚Qur’an‛ berarti ‚bacaan‛, pengertian seperti ini dikemukakan dalam Al-Qur´an sendiri yakni dalam QS. Al-Qiya>maH (75) ayat 17- 18: ‚Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur´an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan kami. (Karena itu), jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti bacaannya‛.

2 Lihat (QS. al-Baqarah [ 2]: 18) ‚Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai

petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil ‚

3 Lihat (QS. al-Nisa> [4]:82), perhatikan juga firman Allah , ‚Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur´anataukah hati mereka terkunci (QS.

Muh}ammad [47]:24).

bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya‛. 5

Ayat di atas mendorong ummat Islam untuk menggali nilai- nilai yang ada dalam al-Qur’an. Supaya fungsi al-Qur´an tersebut dapat terwujud, maka harus menemukan makna firman Allah saat menafsirkan al-Qur´an. Upaya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur´an

mencari dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya adalah dengan memahami di antaranya, asbab nuzu>l (sebab-sebab turunnya), menguasai qawa>id bahasa Arab, memahami munasabat (hubungan antar ayat), dan lain-lain.

Menurut Muh}ammad Arkoun, bahwa al-Qur´an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang

diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam 6 interpretasi tunggal.

7 Allah telah menurunkan al-Qur´an 8 dengan bahasa Arab, yaitu bahasa mayoritas penduduk Arab masa itu. Meskipun demikian tidak

5 Lihat ( QS. Qa>f [50]: 37) 6 Lihat M. Quraish Shihab dalam

Membumikan al-Qur´an. (Bandung: Mizan, 1992), 72. 7 Menurut Muh}ammad Rashid Rid}a ada sepuluh tujuan Allah menurunkan

al-Qur’a>n yaitu: (1) untuk menerangkan hakikat agama, yang meliputi: iman kepada Allah, iman kepada hari kebangkitan dan amal s}alih; (2) Menjelaskan tentang masalah kenabian dan kerasulan, serta tugas-tugas dan pungsi mereka; (3) Menjelaskan tentang hakiakt Islam sebagai agama fitrah yang sesuai dengan akal pikiran, sejalan dengan ilmu penegtahuan, dan cocok dengan intiusi dan kata hati; (4) Membina dan memperbaiki umat manusia dalam satu kesatuan yang meliputi: kesatuan umat (kemanusiaan), agama,, undang-undang persaudaraan seagama, bangsa, hukum dan bahasa; (5) Menjelaskan keistimewaan-keistimewaan Islam dalam pembebanan kewajiba kepada manusia yang meliputi jasmani dan ruhani, material dan spiritual, membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat; (6) Menjelaskan prinsip-prinsip berpolotik dan bernegara; (7) Menata kehidupan material (harta); (8) Memberi pedoman umum mengenai perang dan cara-cara mempertahankan diri dari agresi dan intervensi musuh; (9) Mengatur dan memberikan kepada kaum wanita hak-hak mereka dalam bidang agama, sosial, kemanusiaan pada umumnya; dan (10) Memberikan petunjuk dalam hal pembebasan dan pemerdekaan budak. Muh}ammad Ras{id Rid}a>, al-Wahy al-Muh}ammad i. (Kaira: Maktabah al-Qahira, 1996), 126-128

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab ada delapan tujuan diturunkannya al-Qur´an: (1) Untuk membersihkan dan mensucikan jiwa dari segala bentuk shirik serta memantapkan keyakinan tentang keeaan yang sempurna bagi Tuhan semesta Sedangkan menurut M. Quraish Shihab ada delapan tujuan diturunkannya al-Qur´an: (1) Untuk membersihkan dan mensucikan jiwa dari segala bentuk shirik serta memantapkan keyakinan tentang keeaan yang sempurna bagi Tuhan semesta

Sejarah mencatat bahwa, kaidah-kaidah penafsiran telah ada sejak zaman sahabat, yang kemudian metode mereka dalam

menafsirkan menjadi sebuah disiplin ilmu yang berada di dalam ilmu tafsir.Namun yang jelas ketika ekspansi dakwah islam masuk wilayah- wilayah ajam (non Arab) dan ajaran Islam tersebar luas terutama abad ketiga hijrah, maka di sini muncul ilmuan muslim yang mengajarkan Islam termasuk menulis masalah Islam sesuai dengan disiplin mereka

dan kesatuan; (4) Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin hikmah kebijaksanaan; (5) Untuk membasmi keyakian material dan spiritual, kebodohan penyakit, dan pederitaan hidup; (6) Untuk menegakan keadilan dan kebenaran dengan rahmat dan kasih sayang dengan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan; (7) Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme menciptakan ummatan wasat}an yang menyeru kepada kemunkaran dan mencegah kepada kemunkaran; dan (8) Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan nur Ilahi. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur´an; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan 1996), 12-13.

8 Lihat QS. Yu>suf (12): 2.       

‛ Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur´andengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya‛. QS: Yu>suf. 12/ 2);

Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab,

Secara global penafsiran ayat-ayat al-Qur´an dilakukan oleh al- Qur´an sendiri. Ayat-ayat yang di- mujmal-kan (bermakna global) pada suatu tempat akan dijelaskan di tempat lain, baik itu disebutkan pada tempat yang sama seperti firman Allah :

             … dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan

itu lebih baik dari seribu bulan. 10 Atau disebutkan pada tempat yang lain sebagaimana tafsir

ayat;          

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. 11 dijelaskan dalam ayat lain ;

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-

baiknya. 12 Apabila metode ini tidak ada, maka menafsirkan al-Qur´an

dengan Sunnah Rasulullah. Karena ia merupakan penjelasan bagi al- Qur´an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‚Aku diberi Al-Qur´an dan sesuatu yang serupa dengannya (yaitu al-Sunnah) (HR. Muslim ).

Ketika ‘Aishah ditanya bagaimana kepribadian (akhlak) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , Beliau menjawab: ) نآرقلا وقلخ ناك (

10 (QS. al-Qadr [97]: 3-4) 11 (QS: al-Fa>tih}ah [1]: 7)

Maksudnya: Akhlak Rasulullah adalah al-Qu’an (HR. Muslim ). Apabila tidak ada penafsiran dari Sunnah Rasulullah, maka mempergunakan perkataan Sahabat. Karena mereka melihat fakta dan realita kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud berkata; ‚ Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui untuk siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia‛.(HR. Bukhari)

Begitu juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas yang dijuluki Nabi sebagai tarjuman al-Qur´andan sahabat yang lain seperti Sa>id ibn Musayyab, dan yang lainnya.

Menurut Ibn Taymiyah jikatidak ditemukan dalamal-Qur´an, Sunnah dan perkataan sahabat tidak ada, maka sebagian Ulama mengharuskan merujuk kepada perkataan Ta>bi’in.seperti H}asan Bas}ri, ‘At}a’ bin Rabah, Muja>hid bin Jubayr murid ‘Abdullah ibn‘Abba>s yang pernah mengemukakan al-Qur´an dari awal sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap ayat yang dibaca. Sufyan al-Thawri> berkata; Apabila ada tafsir dari Muja>hid maka itu sudah cukup. Ibn Jari>r meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibn ‘Abba>s, menyebutkan penafsiran itu ada empat macam: Pertama, Penafsiran yang diketahui oleh orang Arab melalui tuturannya. Kedua, Penafsiran yang bisa diketahui oleh semua orang yaitu yang menyangkut halal dan haram. Ketiga, penafsiran yang hanya diketahui oleh para Ulama, Keempat, Penafsiran yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. 13

Karena al-Qur´an diturunkan dengan Bahasa Arab, maka untuk memahami apalagi menafsirkannya dibutuhkan pemahaman yang baik terhadap bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, di samping pemahaman terhadap ulum al-Qur´an yang lain, seperti fikih, qawaid dan ushulnya, dan disiplin ilmu yang lain sebagai penunjang. Menafsirkan ayat-ayat Allah dengan al-ahwa (napsu) semata tanpa didasari dengan ilmu dan pengetahuan termasuk kebohongan terhadap Allah, sebagaimana

firman-Nya. 14 Juga hadis Rasulullah dalam banyak kesempatan

13 Lihat Ibn Taymiyah dalam Majmu’ Fata>wa-Tafsi>r. (Makkah: Mat}ba’ah al-Huku>mah, tt) juz. 13, 375.

14 Lihat tQS. al-Nah}l [16]: 16‚Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‚Ini halal dan ini haram‛, untuk

mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung‛.

mengingatkan untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, di antaranya adalah:

رانلا هم هدعقم أوبتيلف ملعي لا امب وأ ويأرب نآرقلا يف لاق هم Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur´an dengan pendapatnya atau tanpa dilandaskan dengan ilmu maka silahkan mengambil tempatnya di neraka‛. (HR. al-Turmudhi>)

Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah bersabda; أطخأ دقف ويأرب نآرقلا يف لاق هم Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur´an dengan pendapatnya, maka ia telah keliru‛, (HR. Turmudhi, Abu> Da>wd, dan Nasa>’i) Hadid-hadis yang semisal di atas sangat banyak, hal ini memunculkan kehati-hatian ulama’ salaf (sahabat, tabi’in dan berikutnya), untuk menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa berlandaskan hujjah dan argumentasi yang jelas. Adapun penafsiran yang dilakukan dengan dasar ilmu dan pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah

maka tidaklah termasuk dalam ancaman di atas. 15 Jika memperhatian dalil-dalil di atas, aktifitas menafsirakan al-

Qur´an dengan ijtihad ra’yu sudah ditradisikan sejak jaman Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam, dan itu dilakukan oleh isteri beliau sendiri yaitu ‘Aisyah yang banyak menafsirkan masalah- masalah penting dalam agama. Dan Nabi sendiri dalam satu kesempatan merekomendasikan sahabat Mu’ad}Ibn Jabal untuk melakukan ijtihad dengan ra’yu (ijtihad), dalam memutuskan permasalahan ummat, apabila dia tidak mendapatkan jawabannya itu pada al-Qur´an dan Sunnah. Dan hal seperti ini mesti dilakukan agar al-Qur´an benar-benar bisa menjadi hudan (petunjuk) bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

B. Persolan Teologis dalam al-Qur´an Dalam bagian ini penulis mengambil pendapat S}afiy al- Rah}man> al-Muba>rakfu>ri> 16 yang membagi fase dakwah Nabi

15 Lihat Muqaddimah Tafsir Ibn Katsir. Tafsir Al-Qur´an al-Ad}im. (Quwait: Jam’iyyah Ihya> al-Tura>th al-Islamy, 2001), 13.

16 Beliau adalah seorang sarjanakontemporer dan sekaligus penulis produktif kelahiran India. Di antara karyanya yang terkenal dalam bidang sejarah adalah ‘al-

Rahikul al-Makhtu>m, Bahthun fi’ al-Si>rah al-Nabawiyyah ‘Ala> S}ahibiha Afd}alis}S}alati wa Sallam, karya tulis dalam bidang sejarah Nabi. Kitab tesebut berhasil keluar sebagai pemenang pertama dalam musabaqoh penulisan tentang sirah Nabi Muh}ammad yang diselenggarakan Rabitah al-‘Alam al-Islami> pada tahun

Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallammenjadi dua periode; yaitu pertama, Perode Makkah yaitu selama hampir tigabelas tahun, dan kedua, peride Madinah selama sepuluh tahun dan Madinah. Al- Mubarakfu>ri> menjelaskan bahwa pada masa sebelum diutusnya Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam ke tengah-tengah bangsa Arab, kala itu bangsa Arab sejatinya adalah beragama millah Ibrahi>m (Islam), namun pada perjalanannya sudah tidak lagi murni melainkan telah disusupi khurafat dan kesyirikan yang kemudian mempengaruhi kehidupan beragama mereka (bangsa Arab) yang akhirnya menjadi agama paganisme penyembah berhala. 17

Menurut Abdul Aziz Dahlan, Agama Islam, yang ditegakkan oleh Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya,

memiliki ajaran-ajaran sebagai pedoman hidup di dunia ini bagi umat manusia. Menurutnya bahwa ajaran-ajarannya itu dapat di

bagi kepada dua bagian yaitu: pertama, bagian yang berada di bidang aqidah (keyakinan), dan kedua, bagian yang berada di bidang amal (perbuatan). Ajaran yang berada dalam bidang aqidah dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia mengembangkan diri menuju kesempurnaan pandangan (teoritis), yakni kesempurnaan pengetahuan, pemahaman, aqidah, atau iman. Sedang ajaran yang berada dalam bidang amal (perbuatan) dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia demi mengembangkan amal-amalsehingga tercapai kesempurnaan amali (praktis).

Dengan demikian menurut Dahlan, Islam dengan kedua bagian ajarannya itu menginginkan kesempurnaan manusia dalam kedua bidang itu, yakni kesempurnaan dalam pandangan terhadap realitas (Tuhan, alam dan manusia), dan kesempurnaan dalam aktivitas atau tingkah lakunya sebagai manusia. Pada kedua kesempurnaan itulah terletak kel ebihan atau kemul iaan manusia dari makhluk lainnya di muka bumi, dan juga pada kedua

17 Lihat S}afiy al-Rah}}ma>n al-Mubarakfu>ri>, selanjutnya disebut al- Muba>rakfu>ri>, al-Rahikul al-Makhtum; Bahthun fi’ al-Si>rah al-Nabawiyyah ‘Ala>

S}ahibiha Afd}alis}S]alati wa Sallam. (Makkah al-Mukarramah: Da>r al-Wafa>, 2003), 39. Lihat juga Muh}ammad Sai’d Ramadhan al-Buthy, Fiqh al-Sirah: Dirasat Manhajiyah Ilmiyyah Lisirati al-Musthafa, Edisi Indonesia, Sirah Nabawiyyah: Analisis Ilmiyah Manhajiyah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah sallahu alaihi wasallam, Penerjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press.

kesempur naan it u terletak kebahagiaan manusia, baik di masa hidup mereka di dunia maupun di masa hidup akhirat. 18

Dahlanmenilai bahwa masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam waktu itu bukanlah masyarakat

yang kosong dari akidah dan keyakinan. Umumnya bangsa Arab waktu itu menyembah patung-patung dan berhala dan tidak mempercayai adanya hari akhirat (kiamat) dan hari pembalasan. 19

Ada masyarakat Yahudi 20 yang mengaku umat kekasih Allah dan sebagai anak-anak Allah, serta menganggap bahwa Nabi yang

pantas dibangkitkan (diutus)adalah dari kalangan mereka saja. Selain itu ada Komunitas Nasrani 21 yang mempertuhankan Isa al-Masi>h.

Akidah-akidah tersebut adalah akidah yang menyimpang, sehingga dapat dipahami bahwa Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallamdi samping menegakan akidah Islam, tapi juga meluruskan akidak yang

menyimpang tersebut. Sekurang-kurangnya menurut Dahlan ada tiga akidah dasar

yang diusung oleh Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallampada periode pertama (Makkah) sebelum beliau hijrah yaitu; pertama, menegaskan bahwa Dia adalah utusan Allah; kedua, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, sedang yang disembah oleh orang selain Allah bukanlah Tuhan dan tidak dapat memberi manfaat dan menolak madharat; ketiga, menegaskan akan adanya hari akhir (kiamat), yaitu hari pembalasan yang adil terhadap tingkah laku

manusia pada masa hidupnya di dunia. 23 Dalam al-Qur´an disebutkan bahwa Rasulullah beriman kepada

apa yang diturunkan (diwahyukan) Tuhan kepadanya, demikian juga orang-orang beriman; masing-masing beriman pada Allah, para

Malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari kebangkitan. 24 Meskipun

18 Lihat ‘Abdul Aziz Dahlan, selanjutnya disebut Dahlan dalam Teologi dan Akidah dalam Islam. (Padang,IAIN-IB Press, 2001), 136.

19 Dahlan dalam Teologi dan Akidah dalam Islam..., 26. 20 Komunitas mereka banyak terdapat di daerah Yaman, Yathrib (Madinah

sekarang), Khaibar dan daerah sekitar Madinah lainnya. Lihat al-Muba>rakfu>ri>, Rahi>k al-Makhtu>m,169-170. .

21 Umumnya mereka banyak tinggal di daerah Yaman bagian Selatan dan baian utara jaziarah Arab. Lihat al-Muba>rakfu>ri> dalam Rahi>k al-Makhtu>m

22 Dahlan, Teologi dan Akidah dalam Islam…, 26 23 Dahlan, Teologi dan Akidah dalam Islam…, 27

24 Lihat QS. al-Baqarah (02): 286 Artinya: Rasul (Muh}ammad ) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (al-Qur´an) dari Tuhannya, demikian pula 24 Lihat QS. al-Baqarah (02): 286 Artinya: Rasul (Muh}ammad ) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (al-Qur´an) dari Tuhannya, demikian pula

Allah telah menghabarkan kepada manusia melalui kalam-Nya yaitu al-Qur´an tentang nama-nama-Nya yang Maha Esa, itulah al- Asma> al-Husna> (nama-nama yang indah) yang dapat menjadi petunjuk

siapa Tuhan itu. Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Yang Maha Adil, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Ia tidak beranak dan

tidak diperanakan, dan tidak suatu apapun yang menyerupai-Nya, 25 segala sesuatu akan hancur selain Wajah-Nya. 26 Kursi-Nya meliputi langit dan bumi, 27 Ia duduk di atas ‘Arsh dan lain-lain.

Demikianlah sebagian dari ganbaran tentang Tuhan dalam al- Qur´an dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Bahkan

tidak diragukan lagi bahwa ayat-ayat al-Qur´an itu diturunkan dalam bahasa yang dapat dengan mudah dipahami oleh para sahabat Nabi. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa setiap ayat dalam al-Qur´an dapat dipahami maksudnya secara ijma>l (secara garis besar) dan tafs}il (secara terperinci). Umumnya para sahabat Nabi merasa cukup dengan pengertia secara ijma>l (global) yang mereka miliki tentang ayat atau ungkapan dalam al-Qur´an dan hadis.

Berbeda dengan bidang hukum ( shariah) para sahabat nabi cukup banyak mengajukan pertanyaan tentang persoalan kepada Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallamuntuk mendapatkan penjelasan terperinci, tidak demikian sikap mereka dalam masalah akidah. Setelah mereka mendengar dari Nabi tentang akidah, maka mereka imani dengan sepenuh hati dan mereka tidak lagi cenderung untuk bertanya lebih lanjut bertanya disekitar akidah yang dijarkan oleh nabi.

C. Ragam Takdir dan Sifat Allah dalam al-Qur´an Para pengkaji al-Qur´an (mufassir) sangat giat melahirkan karya-karya tafsir, hal demikian menunjukan perkembangan yang

kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), "Kami tidak membeda- bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya." Dan mereka berkata, "Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali." QS: (2): 285 25

(QS. al-Ikhlas} [112]: 1-3) (QS. al-Ikhlas} [112]: 1-3)

memang tidak pernah berhenti. Al-Qur´an sendiri sangat multi interpretble, dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur´an terkadang juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural, politik yang melingkupinya. Pengaruh ideologi dan kecenderungan mufasir serta metode tafsir yang

dikembangkan juga menjadi faktor terhadap hasil penafsiran yang memberi kesan ekslusif. 29

Ekslusifitas tafsir menurut Armainingsih terkadang secara sosiologis bernuansa politis, wujudnya bisa berbentuk kekhewatiran

atau bahkan perlawanan atas pengaruh non Islam seperti yang dilakukan oleh Sayyid Qut}}b dalam fi> Z}ila>l al-Qur´an yang mengkritik secara tajam modernisme Barat yang ia sebut sebagai Jahiliyah Modern. Secara Antropologis, produk tafsir juga bisa di arahkan untuk memenuhi dorongan penulis dalam menampilkan idealitas Islam, seperti yang tercermin dalam tafsir Tafhi>m al-Qur´an karya Abu> al A’la al-Mawdu>di>. 30

Tafsir yang berkembang dengan munculnya berbagai corak tafsir, mulai fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan lain-lain. Semua itu memiliki latar belakang historis masing-masing. Tafsir sebagai sebuah dialektika antara teks yang statis dan kontek yang selalu dinamis memang mau tidak mau harus mengalami perkembangan dan bahkan

perubahan. 31 Pemerhati al-Qur´an menyadari potensi permasalahan dalam

menafsirkan kitab suci. Hal ini terlihat dari usaha mereka untuk mengembangkan apa yang kita kenal dengan istilah ulu>m al- Qur’a>n, yang mana di dalamnya dbangun batasan-batasan dan metodologi agar produk tafsir mendekati kebenaran. Pengembangan batasan-batasan tersebut dan metodologi penafsiran ini sampai pada kesimpulan bahwa

28 Abdul Mustaqim, Madzahib al-Tafsir,: Peta Metodologi Penafsiran al- Qur´anPeriode Klasik hingga Kontemporer. (Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta,

2003), 5. 29 Abdul Mustaqim,

30 Madzahib al-Tafsi>r,.5.

Lihat Armainingsih dalam Ekslusivitas Penafsiran berbasis Kronologi. (Jakrta: Mazhab Ciputat, 2003), 26.

tafsir yang benar adalah tafsir yang semaksimal mungkin bisa membatasi keterlibatan subjek, akal, ideologi dan madhab penafsir. 32

Persoalan Iman 33 (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muh}ammad s}allallahu

‘alaihi wa sallam. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Makkah. Pada periode Makkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema

32 Ignaz Goldiher, Madha>hib al-Tafsi>r. (Kaira: Maktabah al-Kanji, 1995), 54. 33 Pengertian iman secara bahasa menurut Muh}ammad Ibn S}alih Al

‘Uthaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau

mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati ( tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek). Lihat Imam Nawa>wi> dalam Sharh Arba’in, 34.

Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip dari al Minhah Al Ilahiyah, 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional: Pertama, Imam Ma>lik, As}- S}afi’i, Ah}mad, Al Awza’i, Ishaq bin Rahawayh, dan segenap ulama ahli hadis serta ahlul Madinah (ulama Madinah) semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tawhid li S}aff Ath T}a>ni l ‘A>li, 9). Kedua, Banyak di antara ulama madhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh al-T}ahawi yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan

dengan hati. Ketiga, Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu> Mans}ur Al Matu>ridi rahimahullah, dan Abu> Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini. Keempat, Kelompok al-Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang- orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang- orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya. Kelima, Jahm Ibn Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi salah satu tokoh sekteQadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Ibn Uthaymin dalam Sharh ‘Aqidah Wa>sit}iyah,

dengan

lisan

dan

pembenaran pembenaran

Menurut Imam Abu> Ja’far T}}aha>wi> menjelaskan kewajiban mengimani takdir Allah Ta’ala dalam ucapan beliau: ‚Ini termasuk ikatan iman landasanutama ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah Ta’ala), serta pengakuan (keyakinan) terhadap tawhid dan 35 rubu>biyah-Nya‛. Shaikh

ibn Fawza>n al- Fawzan mengomentari ucapan di atas dengan mengatakan: ‚Inilah akidah (keyakinan yang benar), meyakini ketentuan dan takdir Allah, yang termasuk bagian dari iman kepada-Nya. Maka orang yang tidak mengimani ketentuan dan takdir Allah berarti dia tidak beriman

S}aleh

kepada Allah 36 Ta’a>la, bahkan dia mencela/menentang Allah. Memperhatikan penjelasan para ulama di atas, dapat diambil

kesimpulan bahwa,keimanan terhadap takdir Allah dalam berakidah bukanlah termasuk masalah yang bersifat cabang atau pelengkap

dalam hal keyakinan seseorang terhadap ajaran Islam, akan tetapi ini termasuk inti akidah Islam, bahkan salah satu dari arkanun (rukun- rukun) dalam keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‚Iman itu adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk‛.

D. Terminologi Takdir dalam al-Qur´an Ada banyak ayat al-Qur´an yang membicarakan tentang takdir, takdir yang diperuntukkan bagi seluruh makahluk-Nya tanpa terkecuali. Dari ayat-ayat takdir, kita akan temukan bahwa Allah-lah sebagai Sang Maha Penetap Takdir itu sedangkan makhluk harus bisa menerimanya. Meskipun demikian, takdir tidak menghalangi manusia untuk menentukan masa depannya sendiri namun tetap membutuhkan bantuan-Nya dalam segala urusan apapun dan kapanpun. Oleh karena itu, untuk mengenal lebih jauh mengenai takdir, perlulah kita telusuri kata-kata takdir dalam al-Qur´an yang mungkin memiliki arti yang berbeda dari setiap ayatnya. Namun, sebelum itu kita harus ketahui akar dari kata ‚takdir‛.

34 Lihat ulasan mendalam tentang materi dakwah Nabi Muh}ammad pada periode Makkah oleh S}afiy al-Rah}ma>n dalam kitab Rahi>q al-Makhtu>m, edisi

Indonesia dengan judul Sirah Nabawiyah, 97-103 35 Lihat al-T}ah}awi> dalam, al-‘Aqiidatuth Thahawiyyah…, 32

Kata takdir berasal dari bahasa Arab, yakni takdir ( ريدقت) yang berakar kata dari kata qaddara ( اريدقت ،ردقي ،ردق) yang berarti ukuran terhadap sesuatu atau memberi kadar. 37

Pengertian takdir menurut istilah, adalah ukuran yang sudah ditentukan Tuhan sejak zaman azali baik atau buruknya sesuatu, tetapi boleh saja berubah jika ada usaha untuk merubahnya. Sehingga, jika Allah telah mentakdirkan demikian, maka itu berarti bahwa Allah telah memberi kadar/ ukuran/ batas tertentu dalam diri, sifat atau

kemampuan maksimal makhluk-Nya. 38 Kemampuan pada diri manusia inilah yang boleh berubah, dan terkadang memang mengalami

perubahan disebabkan oleh usaha manusia itu sendiri. Memperhatikan takdir menurut istilah tersebut, mencerminkan

adanya kemungkinan perubahan takdir dari Allah. Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini misalnya; ditakdirkan untuk tidak dapat menembus angkasa luar, tetapi dengan akalnya ia mampu merubah takdir itu. Yakni dengan menciptakan suatu alat (sarana)

untuk sampai ke sana. 39 Itulah sebabnya, sehingga Quraish Shihab menyatakan bahwa dengan adanya takdir tidak menghalangi

manusia untuk berusaha menentukan masa depanya sendiri, sambil memohan bantuan Allah.

Adapun ayat-ayat al-Qur´an yang mengandung kata ‚ ردق‛ dapat ditemukan pada beberapa tempat sebagai berikut: QS. al-Fajr [89]: 16; QS. al-Mursala>t[77]: 23; QS.al-Isra>[17]: 30; QS. al-An’am[6]: 91; QS. al-Anbiya>[21]: 87; QS. al-T}ala>q [65] 7; QS: al- Mudathir[74]:18; QS. al-‘Ala>[87] 3; QS. al-Wa>qi’ah [56]: 60; QS. al- Insa>n[76]/16; QS: [65]: 3; QS. al-Mumtah}anah[60]: 7; QS.al-Ah}qa>f [46]: 33; QS. al-Furqa>n[25]: 2; QS. al-Sajdah [32]5; QS. Saba>[34]: 13.

Selain beberapa ayat di atas, masih banyak lagi kata-kata mengenai takdir dalam al-Qur´an yang tidak penulis cantumkan karena memang sangat banyak sekali. Namun, meskipun demikian, ayat-ayat yang disebutkan telah mewakili dari sekian ayat yang memiliki arti yang sama. Oleh karena itu, jika dilihat dari beberapa ayat diatas, kita

37 Ibn Manzu>r, Muh}ammad ibn Kari}>m, Lisa>n al Arab. (Beirut: Da>r Sha>dir, t.t. , juz 5, 74, bandingkan dengan Muh}ammad T}ahawy dalam Kitab ‚ Ja>mi>’u shuru>h

al- ‘aqi>dat al-T}ahawiyyah‛ vol. 1, 593. 38 lihat juga Abi al Husayn, Ah}mad ibn Qa>ris ibn Zakariya dalam Mu’jam Maqayis al Lugah. (Kaira: Ittihad al Kitab al Arab, t.tp. , 2002, juz 5, 51.

dapat ketahui bahwa terdapat kata-kata yang berakar pada ‚ ردق ‚di dalam al-Qur´an, di antaranya:

” اَن ْرَدَق , رِدْقَ , اوُرَدَق , َرِدْقَن , َرِدُق , َرَّدَق , اَن ْرَّدَق , اًرْدَق , رٌرْ ِدَق , رٌرْ ِدْقَ , ُهُراَدْقِم , ر ْوُدُق “ Dari kata-kata tersebut terdapat beberapa yang memiliki arti ketetapan sebagaimana makna kata ‚takdir‛ seperti yang disinggung sebelumnya dan ada pula yang memiliki perbedaan arti. Pada surah al- Fajrayat 16, ‚qadara‛ diartikan sebagai ‚membatasi‛. Sedangkan pada surah al-Isra>’ ayat 30, al-T}alaq ayat 7, dan al-Anbiya>’ ayat 87 memiliki arti ‚sempit‛. Dilain sisi, pada surah al-An’a>m ayat 91, ‚ qadaruu‛ diartikan menghormati dan pada surah al-Mumtah}anah ayat

7 dan al-Ah}qa>fayat 33, ‚qadiirun‛ diartikan Maha Kuasa. Sedangkan ayat yang memiliki arti ‚ketentuan, kadar, atau ukuran‛ yaitu pada surah al-Mursala>t ayat 23, al-Mudathir ayat 18, al-A’la> ayat 3, al- Wa>qi’ah ayat 60, al-Insa>n ayat 16, al-T}ala>q ayat 3, al-Furqa>n ayat 2, al-Sajdah ayat 5, dan Saba’ ayat 13. Sehingga terdapat empat

pengertian berbeda kata dari ‚ qadara‛, yakni: menentukan/ukuran, membatasi /menyempitkan, menghormati/mengagungkan, dan Maha

Kuasa. Ada yang menarik untuk dianalisa, yaitu mengapa ayat-ayat dari akar kata yang sama ternyata memiliki arti yang berbeda. Mungkinkah menunjukkan kandungan arti yang sama?

Pertama, ‚qadara‛ dalam arti ‚membatasi‛. ‚Membatasi‛ dalam arti ayat dapat dimaknai sebagai menentukan kadar.

Menentukan kadar dalam arti memberikan pengurangan kadar rizqi kepada hamba-Nya. Tentu, membatasi rizqi hamba-Nya tentu disamakan arti dengan ketentuan kadar rizqi dari-Nya.

‚sempit/menyempitkan‛. ‚Sempit/menyempitkan‛ dapat dimaknai sebagai ‚menyulitkan‛, sehingga ‚menyulitkan‛ mengindikasikan bahwa Allah mengurangi ketentuan-Nya pada hambanya. Dengan demikian arti ‚membatasi‛ dan ‚menyempitkan‛,mengindikasikan atau berhubungan dengan ketentuan/kadar Allah.

Kedua, qadara‛

dalam

arti

Ketiga, ‚qadara‛ dengan arti menghormati/mengagungkan. Pada surah al-‘An’a>m ayat 91, arti ‚menghormati‛ berhubungan atas orang-orang yang dimaksud dalam ayat yang tidak melakukan penghormatan ketika mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu padanya.

Keempat, ‚qadara‛ dalam arti ‚Maha Kuasa‛. Maha Kuasa disini tentu diperuntukkan untuk Tuhan. Tuhan sebagai Sang Maha

Kuasa, tentu Dia-lah pula yang menentukan segala sesuatu. Dia-lah yang menentukan/menetapkan apa yang hendaknya diperoleh bagi hamba-Nya dengan kadarnya masing-masing. Oleh karena itu, kata ‚ qadara‛ pada surah al-Mumtah}anah ayat 7 dan al-Ah}qa>f ayat 33 tidaklah berbeda dengan makna takdir sebagai ketentuan.

Maka dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa tidak semua kata ‚ qadara‛ dalam ayat al-Qur´an memiliki arti ‚ketentuan/kadar/ukuran‛ sebagaimana arti harfiahnya. Hal ini menunjukkan bahwa memang al-Qur´an memiliki variasi arti dan kekayaan bahasa, seperti pembahasan tentang takdir yang jika dilihat dari akar kata ‚ ردق‛ ternyata memiliki empat arti yakni menentukan/ukuran,membatasi/menyempitkan,menghormati/mengagu ngkan, dan Maha Kuasa.

Oleh karena itu, meskipun terdapat empat arti yang berbeda dari kata ‚

ردق‛, secara umum menunjukkan keterkaitannya terhadap arti takdir secara harfiahnya, meskipun memang tidak benar-benar

menunjukkan makna ‚ketentuan‛ secara langsung.

E. Sifat Allah Dan Takdir Dalam Pandangan Sarjana Muslim

1. Takdir dan Sifat Allah Menurut Teolog Muslim Menurut Ibn Taimiyah (W. 729 H) 40 ‚Di antara bentuk

keimanan kepada Allah adalah beriman pada sifat yang disifatkan Allah untuk diri-Nya dalam al-Kitab dan sifat yang disandarkan oleh

40 Nama lengkapnya Ah}mad Taqiyudin Abu ‘Abbas bin Shihabuddin Abdul Maha>’sin ‘Abdul H}alim ibn ‘Abdissala>m ibn ‘Abdillah ibn Abi> Qa>sim Al Khadar ibn

Muh}ammad ibn Al-Khadar ibn ‘Ali bin ‘Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muh}ammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibn Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu Lihat Sirajudin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka, Tarbiyyah,1987), 261.

Ibn Taymiyah dilahirkan dikota Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibn Taymiyah merupakan tokoh salaf yang dikenal ulama yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartar yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadis), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang

Rasul shalall āhu’alaihi wasallam dalam hadis, tanpa taḥrīf, ta’ṭīl, takyīf dan tamth 41 īl

Perdebatan tentang takdir telah melahirkan dua kelompok besar dalam teologi Islam, yaitu kelompok Qadhariyah dan Jabariyah. Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa.

Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa ( 42 majbur).

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari

semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah

adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya. 43 Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah

tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak

Tuhan. 44 Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu

41 Ṣālih ibn Fawzān ibn ‘Abd Allāh al-Fawzān, Sharah al-Aqīdah al- W āsiṭiyah. (Ria>d: Maktabah al-Ma’ārif, 1419), 13-14.

42 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. (Jakarta: UI-Press, 1986), 1.

43 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. (Bandung: Puskata Setia, 2006), 63.

Zahra dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, 45 yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah. 46

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi

yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi

panasnya musim serta keringnya udara. 47 Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian

masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan

mereka kepada paham fatalisme. 48 Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari

pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia

terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. 49 Menurut Ahmad Amin, orang- orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan

bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan

45 Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan

tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.

46 Pengertian Qadariyah secara etimologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah

adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Lihat Rosihan Anwar, Ilmu Kalam…, 69

47 Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah". (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), 239.

48 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam.., 64 49 Lihat Rosihan Anwar, Ilmu Kalam….,70, lihat juga Hadariansyah, 48 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam.., 64 49 Lihat Rosihan Anwar, Ilmu Kalam….,70, lihat juga Hadariansyah,

dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad- Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. 51

Ibn Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat

Muh}ammadIbnu Syu’ib. 52 Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena

itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu

tertampung dalam Mu’tazilah. 53 Dalam mengimani takdir dan sifat Allah Ta’ala, Tim Riset

dan kajian Ilmiyah Universitas Islam Madinah telah meletakkan beberapa standar acuan yang disarikan dari al-Qur´an dan al-Sunnah. Tim ini menentukan adanya lima dasar yang harus dipenuhi bagi

keimanan pada takdir dan sifat Allah. 54 Menurut mereka ada banyak hal yang perlu diperhatikan

dalam mengimani sifat Allah dan takdir adalah: pertama, beriman dengan semua ketentuan Allah, dan mengimani nama dan sifat-Nya baik yang terdapat dalam al-Qur´an maupun sunnah tanpa menambah dan mengurangi. Di antara nama-nama Allah yang menunjukan sifatAlla>h terdapat dalam firman-Nya: dalam surat al-Hasyr[59]:22-24 berikut:

50 Lihat Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), 68.

51 Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi.., 68., 52 Rosihan Anwar, Ilmu Kalam…, 70. 53 Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan

Islam dan Pemikiran. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 74. 54 Tim Riset dan Kajian Islam Universitas Islam Madinah, Rukun Iman. (al-

Dalam ayat-ayat di atas setidaknya ada tujuh belas nama Allah, yaitu: All āh, ‘Alīm al-Gaib wa al-Syahādah, al-Rahmān, al-Rah}īm, al- Ma>lik, al-Qudd ūs, al-Salām, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-‘Azīz, al- Jabb ār, al-Mutakabbir, al-Khālik, al-Bāri, al-Musawwir, al-Azīz dan al-Hak 55 īm .

Kedua, beriman bahwa Allah sendiri yang menamakan diri- Nya dengan nama-nama yang menunjukan kepada sifat-Nya itu,, dan nama itu bukan muhdath (sesuatu yang baru) dan bukan pula

makhluk. 56 Ketiga, beriman bahwa nama-nama yang mengandung

sifatAllah tersebut mengandung makna yang Maha Sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun pada-Nya, dan wajib mengimani kandungan makna dari nama tersebut sebagaimana kita wajib mengimani nama-nama itu sendiri. Contohnya Allah mempunyai nama ‚al-Sami‛ (Yang Maha Mendengar) ini menunjukan sifat Allah yang mempunyai pendengaran yang sesuai dengan keagungan-Nya 57

Keempat, wajib memuliakan kandungan makna dari nama- nama dan sifat tersebut, tanpa ada memalingkan atau meniadakannya.

Seperti memuliakan sifat ‚Mendengar‛ bagi Allah yang terkandung dalam nama-Nya ‚al-Sami‛ tanpa menyelewengkan maknanya atau

meniadakannya. 58

55 Tim Riset dan Kajian Islam Universitas Islam Madinah, Rukun Iman.., 14.

56 Tim Riset dan Kajian Islam Universitas Islam Madinah, Rukun Iman…,, 15.

57 Tim Riset dan Kajian Islam Universitas Islam Madinah, Rukun Iman …,15-16.

58 Tim Riset dan Kajian Islam Universitas Islam Madinah, Rukun Iman,..,

Kelima, beriman dengan hukum-hukum yang dikandung oleh setiap sifat-sifat tersebut, begitu pula dengan segala perbuatan dan kesan yang lahir dari sifat itu. 59 Ketika beriman bahwa Allah Maha Mendengar, berarti semua bentuk suara didengar oleh Allah, dan ini berarti setiap manusia harus senantiasa merasa di bawah pengawasan- Nya dan merasa takut kepada-Nya serta benar-benar yakin bahwa tidak ada satupun yang tersembunyi dari-Nya. 60

Menurut Ibn Taimiyah, menetapkan Dhat Allah mengandung arti menetapkan atas keberadaan-Nya, bukan menetapkan bagaimana

wujud hakiki Dhat Allah tersebut, begitu pula halnya ketika menetapkan sifat atas Allah bukan berarti menetapkan s}ifat atas Alla>h sebagaimana sifat yang dimiliki makhluk apalagi mempertanyakan bagaimana s}ifat Alla>h itu, melainkan menetapkan bahwa Alla>h memiliki sifat tersebut tanpa menanyakan bagaimana sifat

61 tersebut. Manusia hanya diminta untuk mengimani baik nama maupun sifat Allah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam al-

Qur´an dan al-Hadis yang s}ahih tanpa harus bertanya ‘bagaimana’ dan mengimani keduanya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. 62

Masih menurut Ibn Taymiyah, ketika Allah menetapkan nama- nama dan s}ifat bagi-Nya, maka tidak boleh diqiyas}kan (analogikan) keadaan nama dan sifat Allah tersebut dengan keadaan makhluk, baik menganalogikan sebagian atau seluruhnya. Setiap yang ada pada

makhluk, tidak sedikitpun mengurangi apa saja yang ada pada Allah. 63 Dalam pembahasan masalah sifat Tuhan, biasanya pertanyaan

sentral yang sering dikemukakan adalah, apakah sifat itu merupakan esensi Tuhan ataukah lain dari esensi Tuhan? Sehubungan dengan pertanyaan tersebut menurut Rif’at Shauqi, kaum Mu’tazilah, yang disebut juga kaum Mu’athilah (yang meniadakan sifat), berpedapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang mempunyai wujud tersendidri di luar Dhat Tuhan. Argumen tersebut sebagaimana dibawa oleh Wasil ibn At}a yang merupakan pemuka kaum Mu’tazilah. Peniadaan sifat Tuhan menurut pandangan kaum Mu’tazilah mengandung arti bahwa apa-apa yang di sebut Tuhan sebenarnya

59 Tim Riset dan Kajian Islam Universitas Islam Madinah, Rukun Iman,.., 16.

60 Tim Riset dan Kajian Islam Universitas Islam Madinah, Rukun Iman…, 17.

61 Ibn Taymiyah, ‘ Aqi>dah al-Wasitiyah.(Riyad{, Da>r al-T{aiybah, tt), 24. 62 Ibn Taymiyah, ‘ Aqi>dah al-Wasitiyah…, 24.

bukanlah sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar Dhat Tuhan, tetapi sifat merupakan esensi Tuhan. 64

Mengenai sifat Tuhan, masih menurut definisi kaum Mu’tazilah, seperti dijelaskan oleh al-Ash’ari>, bersifat negatif (serba tidak), dalam arti Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan , tidak mempunyai kebutuhan dan sebagainaya,

itu bukan berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, benar-benar tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak butuh dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya, tetapi semua itu dalam arti sesuatu yang berada di luar Dzat Tuhan. 65

66 Menurut Abu> al-Huzail (W: 849), , yang dimaksud ‚Tuhan mengetahui‛ ialah Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan

pengetahuan itu Tuhan sendiri. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu> Huzail adalah Tuhan sendiri, yakni Dzat atau esensi Tuhan.

67 Sedangkan menurut al-Juba’i, yang dimaksud:Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya‛ ialah bahwa untuk mengetahui, Tuhan

tidak butuk kepada bentuk sifat pengetahuan atau keadaan mengetahui. Adapun pendapat Abu al-Hashim (w. 321 H), arti ‚Tuhan mengetahui meleui esensi-Nya‛, ialah bahwa Tuhan mempunyai keadaan mengetahui. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah tersebut, namun yang jelas mereka

semua sepakat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. 68

64 Lihat Rif’at Shauqi Nawawi dalam Rasionalitas Tafsir Muh}ammad Abduh, (Jakarta. Paramadina, 2002), 64.

65 Rif’at Shauqi Nawawi dalam Rasionalitas Tafsir Muh}ammad Abduh.., 64.

66 Abu al-Huzail al-Allaf (W. 849), adalah tokoh Mu’tazilah yang mempunyai apresiasi tinggi terhadap filsafat. Hal itu dapat dipahami mengingat

bahwa ia hidup pada masa pertemuan aliran-aliran dan pandangan-pandangan dari golongan Yahudi, Nasrani, dan Majusi, dimana tiap golongan menggunakan argumen-argumen filsafat untuk memperkuat paham-paham mereka, dan dalam rangka untuk menarik orang untuk mengikuti ajaran mereka. Sebagai tokoh Mu’tazilah Abu al-Huzail disebut-sebut sebagai muqarrir (orang yang memperkuat) pandangan-pandangan Mu’tazilah. Lihat dalam, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muh}ammad Abduh, 64.

67 Dalam sejarah teologi Islam, al-Juba’i dikenal sebagai guru terdekat dari al-Ash’ari>, pendidri aliran ahl-Sunnah wa al-Jama’ah.

68 Lihat Rif’at Shawqi Nawawi dalam Rasionalitas Tafsir Muh}ammad

Pemikir kontemporer yang mempunyai kesamaan pendapat dengan kaum Mu’tazilah adalah Muh}ammadAbduh, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Harun Nasution dalam kajiannya terhadap pendapat Muhamad Abduh, terutama melalui karya-karyanya seperti, Ha>shiat ‘ala al-Sharh al- Dawwa>>ni li al-‘Aqa>id al-‘Adu>diyah

dan Risa>lah al-Tawhi>d. 69 Menurut Adeng Muhtar Ghazali, ada perbedaan mendasar

antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok lain dalam hal memhami sifat Allah. Kelompok Mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran rasional, berbeda dengan aliran

salaf 70 yang menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai

macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al- Qur´an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada dengan

akal sehat. 71 Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini

sendiri, metode ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hashawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur´an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami menurut pengertian

69 Lihat Rif’at Shauqi Nawawi dalam Rasionalitas Tafsir Muh}ammad Abduh…, 65.

70 Kata salaf secara etimologi (bahasa) dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Menurut T}ablawi Mahmu>d Sa’ad, Salaf artinya ulama

terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, ta>bi’in, ta>bi’ ta>bi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam. Lihat T}ablawy Mahmu>d Sa’ad, al- Tashawwuf fi Turath Ibn Taymiyah. (Mesir: Al-hai al-Hadis Al-Mis}riyah Al- ‘Ammah li Al-Kita>b, 1984), 11-38. Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahra:

ِ َا اَنَ ُ َ َّلاا َ ْ ِن ُ َّنِ َ Artinya: "Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya".

71 Adeng Muhtar Ghazali, selanjutnya disebut Ghazali, Perkembangan Ilmu 71 Adeng Muhtar Ghazali, selanjutnya disebut Ghazali, Perkembangan Ilmu

73 Adapun dalam pandangan kaun Shi’ah, mereka meyakini bahwa Allah itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak

beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki dua sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah . Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah. Sifat ini meliputi antara tersusun dari beberapa bagian, berjisim, bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah 74 dimilikiNya.

2. Sifat Allah Menurut Mufassiri>n Pada dasarnya, wajib menetapkan segala sifat kesempurnaan terhadap Allah, dan membersihkan segala sifat yang menunjukan kekurangan terhadap-Nya. Allah memiliki sifat-sifat yang oleh sebagian kalangan al-‘Ashariyah dan al-Mat}uri}diyah sifat Allah dibatasi menjadi hanya dua puluh saja yang dikelompokan kepada sifat

72 Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam…, 101-102 73 Shi’ah (Bahasa Arab: ة ش, Bahasa Persia: ش) ialah salah satu aliran atau

mazhab dalam Islam. Shi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Shi'ah adalah Shi'i (Bahasa Arab: ي ش.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. "Shi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Shi’ah Ali ي ع ة ش artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang QS. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun. SedangkanShi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau. Lihat Tahdzibul Lughah, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi>.

74 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 74 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia,

Dalam al-Qur´an Allah sendiri mengkhabarkan kepada makhluk-Nya tentang sifat-sifat-Nya yang sangat banyak. Di antara ayat al-Qur´an yang menjelaskan tentang sifat Allah adalah firman- Nya:

" َووُ َ ْرُ ِ ْ َاِ َو ُ ْ ُ ْاا ُ َا ُ َ ْ َو َّ ِ رٌ ِااَ ءٍ ْيَش لُّ ُ َوُ َّ ِ َ َاِ َ َرَ َ اً َاِ ِ َّ َ َم ُ ْدَ َ َو Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah,

Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya (Allah). Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah

kamu dikembalikan. 76 Imam ibn Kathi>r(W. 774 H) berpendapat bahwa ayat ءٍ ْيَش لُّ ُ

ُ َ ْ َو َّ ِ رٌ ِااَ } itu mengkabarkan bahwa sesungguhnya Allah itu adalah Dzat yang kekal ( ئاداا), tetap (يقاباا), hidup, yang berdiri dengan sendiri-Nya, yang mematikan makhluk-Nya, dan Dzat yang tidak akan

mati. Ini seperti yang ditegaskan Allah pada ayat { ىَقْبَ َو ءٍواَ اَ ْ َ َع ْوَم لُّ ُ ِ اَرْ ِ ْاا َو ِ َ َ ْاا وُ َ بِّبَر ُ ْ َو}.

Kata { و} di ayat tersebut berarti Dzat yaitu Allah. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan dari Abu> Hurayrah, bahwa Rasulallah pernah bersabda: ‚ Aku membenarkan kalimat yang dilantunkan seorang penyair { 77 طاب ام يش }. Sedangkan menurut Wahbah al-

Zuhayli>Ia menjelaskan bahwa ayat ini juga menetapkan bahwa segala sesuatu yang baru ( 78 ثدا ) itu pasti rusak dan akan hilang.

Menurut al-T}abari> (W: 310 H) 79 bahwa, sebagian ulama berpendapat bahwa makna ayat ini adalah segala sesuatu itu pasti

rusak kecuali apa yang diingini oleh Allah. 80 Sedangkan menurut

75 Muh}ammad ibn ‘Ali Ba>’at}iyyah al-Da’aniyyi, Mu>jaz al-Kala>m Sharh ‘Aqi>dah al-‘Awa>m. (Beiru>t: Da>r al-Saqa>f, 2002), .52.

76 (QS. al-Shu>ra[ 42]: 11) 77 Isma>i>l ibn Kathi>>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Azhi>m (Bulaq: al-Hala>bi>, t.t.), 403. 78 Lihat Wahbah al-Zuhayli> , al-Tafsi>r al-Muni>r (Damaskus: Da>r al-Fikr,

2005), vol. 10, 547 79 Nama beliau adalah Ab ū Ja’far Muḥammad ibn Jarīr Ibn Yazīd ibn Kathir

ibn G ālib al-Ṭabarī. Beliau dilahirkan pada tahun 224 Hijriyah dan wafat pada tahun 310 Hijriyah. Beliau seorang ulama yang jarang diperoleh tolok bandingnya, dalam segi ilmu, segi amal dan segi kedalaman pengetahuannya mengenai al-Qur´andan jalan-jalan riwayat, baik yang ṣahīh maupun yang ḍaīf serta keadaan-keadaan sahabat dan tabi’in.

80 Al-T}abari>, Tafsi>r al-T}abari> min Kita>bihi Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A>yat 80 Al-T}abari>, Tafsi>r al-T}abari> min Kita>bihi Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A>yat

kerajaan Allah. 81 Adapun sifat Allah lainnya menurut al-Matu>rudi> adalah al-Mukha>lafah li al-Hawa>dith ( ثداو ا ةفاا م), dalil al-

Qur´antentang hel tersebut adalah ayat:       Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. 82 Sebab turunnya surah al-Ikhlas} di atas adalah pada saat orang

orang musyrik berkata pada Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam: ‚Ya Muh}ammad ! ceritakan kami nasab Tuhan kamu!, maka

Allah menurunkan ayat;               

    Riwayat yang lain menyebutkan bahwa ada segolongan orang

Yahudi yang datang menemui Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallamlalu berkata: ‚Sifatilah kepada kami Tuhan kamu, karena

sesungguhnya Allah menurunkan sifat-Nya di dalam Taurat. Maka kabarilah kami dari apakah Dia? Dari jenis apakah Dia? Emaskah, tembagakah, atau perakkah? Apakah Dia makan dan minum? Dari siapakah diwariskan dunia, dan kepada siapakah Dia akan mewariskan dunia?‛. Maka Allah menurunkan surah ini yang hanya dinisbatkan

kepada Allah saja. 83 Ayat ini juga selaras dengan pendapat Muja>hid yang berdalilkan dengan QS. al-Baqarah (02) ayat 117 sebagai berikut:

Adapun menurut al-T}abari> (W. 310 H), para mufasir berbeda pendapat dalam menafsirkan surat al-Ikhlas} di atas. Ada sebagian dari

81 Ibn Ya’qu>b al-Fairuz Aba>di>, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), 245.

82 (QS. al-Ikhlas}}, [112]: 1-4) 82 (QS. al-Ikhlas}}, [112]: 1-4)

بشااو‛. 84 Adapun tentang sifat kalam (berbicara)Allah, sebagaimana

dalam firmanNya: 

 Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah

Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah

berbicara kepada Musa dengan langsung. Menurut al-Zuhayli>, Ia menafsirkan bahwa ayat ini menunjukkan keistimewaan Nabi Musa yang mendapat gelar Kali>m Allah. Ini didasari oleh ayat { ام ىلوم و} yaitu berbicara yang benar secara hakiki dengan tanpa perantara. Sedangkan sifat al-Kala>m Allah kepada para nabi yang lain, itu disebut dengan wahyu. Ini berdasarkan ayat berikut:

Menurut al-Juhayli> hikmah dibalik hijab; adalah bertujuan memerhatikan perkara yang penting kepada hanya satu perkara.

Sedangkan yang bertugas untuk mengirim wahyu dengan izin Allah adalah Malaikat Jibril, yaitu malaikat penyampai wahyu, yang dikenal

dengan Ruh al-Ami>n. 86 Ah}mad al-S>a>wi> al-Ma>liki> menjelaskan bahwa ayat ini

bertujuan menolak ucapan orang Yahudi kepada Nabi Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam: ‚Sesungguhnya kamu tidak ingat Nabi Musa serta apa yang kamu hitung dari kalangan nabi-nabi. Maka ini adalah dalil bahwa kamu tidak membawa risâlah‛. Maka Allah menolak tersebut dengan menurunkan ayat ini dan setelahnya.

84 al-T}abari>, Tafsi>r al-Thabarî min Kita>bihi Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l A>ya>ti al-Qur’a>n…,583.

85 QS: al-Nisa> . 4/164

Selanjutnya, al-Sha>wi> menafsirkan lafaz } ىلوم و} dengan menegaskan bahwa Allah menghilangkan hijab sehingga Musa mampu mendengarkan kalam Allah, dan Allah bukanlah Dhat yang diam ( ا ال), lalu baru berfirman, karena sesungguhnya perkara tersebut itu adalah mustahil bagi Allah. 87

Kata { ام } itu adalah masdar muakkad bagi firman { }. Tujuan memperkuat hukum adalah agar menghilangkan kemungkinan dimaknai dengan maja>z bagi lafaz}} tersebut, karena Allah itu berfirman kepada Musa dengan firman-Nya yang ‘ Azali, Qadi>m, dengan tanpa huruf, bukan berupa suara, tidak dapat digambarkan, tidak dibatasi,

dan tidak ada yang mengerti kecuali Allah. 88 Fakhr al-Di>n al-Razi> menambahkan bahwa ayat ini tidak

menunjukkan dengan keistimewaan Musa ini, berarti merendahkan derajat dan keistimewaan nabi-nabi yang lain. Begitu juga ayat ini bukan merendahkan nabi yang mendapat risalah tidak dengan jalan 89 sekali turun seluruhnya (seperti yang didapatkan Nabi Musa).

3. Takdir dan Sifat Allah Menurut Muhadithi>n Dalam pembahasan takdir dan sifat Allah, sekurang-kurangnya ada tiga metodologi yang digunakan oleh para ulama dalam memahami ayat-ayat dan hadits tentang sifat, yaitu tafwidh, itsbat dan ta’wil. Mayoritas ulama salaf dalam memahami ayat-ayat dan hadis tentang sifat Allah meggunakan metodologi tafwidh, yaitu tidak melakukan penafsiran apapun terhadap teks-teks tersebut, namun mencukupkan diri dengan penetapan sifat-sifat yang telah Allah tetapkan bagi Dhat-Nya, serta mensucikan Allah dari segala kekurangan dan penyerupaan terhadap hal-hal yang baru. Hal tersebut

dilakukan dengan cara mengikuti metode 90 ta’wil ijmali terhadap teks-

87 Dalam arti Allah pada dasarnya memang berfirman. Hanya saja Nabi Mu>sa> belum bisa mendengarkan firman-Nya, karena masih terdapat tabir.

88 Ahmad al-Sha>wi> al-Ma>li>ki>, Hashiah al-‘Ala>mah al-S}a>wi> ‘ala> Tafsi>r al- Jala>layn. (Semarang: Maktabah T}aha, t.t.), vol. 1, 259.

89 al-Fakhr al-Razi> , al-Tafsi>r al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Ihya> al-Tura>th al- ‘Arabi>, t.t.), vol. 6, 109. 90

Tafsir ijmali adalah tafsir yang bersifat umum, artinya mengalihkan maksud teks-teks yang mutasyabihat tersebut dari makna literalnya, tanpa memberikan maksud yang pasti terhadapnya, dengan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Allah swt. Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maud{hui Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1996), terj.

teks tersebut dan menyerahkan pengetahuan maksud yang sebenarnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. 91 Biasanya mereka menggunakan

bahasa ‛tidak tenggelam‛, ‛tidak menafsirkan‛, ‛diam terhadap sifat-

sifat tersebut‛, dan ‛bacaannya adalah tafsirnya‛. Mayoritas ulama salafsebagaimana pendapat al-Bu>t}i> pada bab sebelumnya mmenggunakan metode tafwidh atau ta’wil ijmali, tidak mengartikan kata istiwa>’ dalam ayat di atas dengan bersemayam dan

bertempat di ’Arash. Dan tidak pula mengartikan datang dan turunnya Tuhan dalam ayat dan hadits tersebut dengan datang atau turun seperti halnya makhluk yang berpindah dan bergerak dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Ulama salaf berpandangan bahwa kata istiwa>’, datang dan turun dalam ayat-ayat tersebut memiliki makna-makna tersendiri yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak mengandung penyerupaan sifat-

sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Al-lalika>’i> meriwayatkan dari Muh}ammadibn al-H}asan, dari

Abu> Hani>fah, dia berkata,‛Seluruh ahli fikih yang ada di timur dan barat sepakat tentang kewajiban beriman kepada al-Qur´an dan hadis- hadis shahih tentang sifat Allah, tanpa harus menafsirkan, menggambarkan dan menyerupakan. Barangsiapa yang melakukan

penafsiran, dia telah keluar dari ajaran Nabi dan jamaah. 95 Menurut Hasan al-Banna:’’wajib beriman terhadap ayat-ayat

dan hadis-hadis seperti apa adanya, dan menyerahkan maksudnya pada kehendak Allah.’ Mereka menetapkan sifat al -Yad, al-’Ain, al-Istiwa>’, al-D}ahk, al-Ta’ajjub dan seterusnya (untuk Allah). Semua ini memiliki makna yang tanpa bisa kita kenali, dan kita serahkan kepada Allah

untuk mengetahui persisnya.‛ 96

91 Muh}ammad Sa’id Ramad}an al-But}i, Kubra al-Yaqiniyyat al-Kawniyyah, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), 138.

92 Al-Qarad}awi, Akidah Salaf dan Khalaf . (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar,2009), 80.

93 Al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf .. ,. 80. 94 Abdullah al-Harari, Al-Maqalat al-Sunniyyah fi Kashaf Dhalalat Ah}mad ibn Taymiyyah. (Beirut: Da>r al-Mashari 2007), 122. 95 Al-Qarad{awi, Akidah Salaf dan Khalaf.., 80. Lihat juga Ibn Taymiyyah, Majmu>’ al-Fata>wa, 4/4,5, dan Ibn Quda>mah, Risa>lah at-Tanzih.., 18/19. 96 Jum’ah Amin Abdul Aziz,, Pemikiran Hasan Al-Banna dalam Akidah dan Hadis. penerjemah: Sah}fiyullah Mukhlas}. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), 85-

Al-Shawkani (W. 1250 H) berpendapat bahwa sifat-sifat Allah yang ada dalam al-Qur´an dan hadis yang shahih harus diterima apa adanya tanpa ta’wil. Ketika menjelaskan ayat tentang Allah bersemayam di atas ’Arsh (QS al-A’ra>f [7]: 54), al-Shaukani menyebutkan tentang makna ayat ini sehingga terdapat empat belas pendapat, yang menurutnya paling dekat dengan yang seharusnya adalah pendapat generasi awal Islam dari kalangan sahabat dan tabi’in, yaitu ketika memahami ayat tentang Allah ber istiwa>’ tanpa diketahui caranya, sesuai dengan yang patut bagi-Nya serta dan dengan menafikan yang tidak patut bagi-Nya.‛ 97

Sementara itu menurut Ibn Quda>mah al-Maqdisi (W. 629 H) di dalam kitabnya, Lum’at al- I’tiqad, menyebutkan bahwa semua sifatal- Rah}man yang ada di dalam al-Qur´an dan hadis sahih wajib diimani

dan diterima serta tidak diperbolehkan mengetahui maknanya dengan menolaknya,

menakwilkannya, menyerupakannya dan mempersonifikasikannya. Sifat-sifat tersebut wajib kita tetapkan secara lafaz}, dan tidak mencari-cari maknanya. Mengembalikan pengetahuan tentangnya kepada yang mengucapkannya. Tindakan seperti itu sesuai dengan apa yang dilakukan oleh kslsngsn ar-rasikhina fil ’ilmi yang mendapat pujian dari Allah. 98

Ibn Quda>mah 99 juga menukil pandangan Imam Abu>’Abdillah Ah}mad ibn Muh{ammad ibn H}ambal tentang sabda Nabi

Muh}ammad s}allallahu ‘alaihi wa sallam: ’Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi’, ’Sesungguhnya Allah akan dilihat di hari kiamat’,(HR. Bukhari>) Imam Ah}mad berkata; ‛Kami beriman dan membenarkannya, tidak ada cara dan tidak ada makna. Kami tidak menolaknya sedikitpun. Kami yakin bahwa sesuatu yang dibawa Rasul pasti benar.

97 Zainuddin, Al-Shaukaniy dan Kitab Nayl Al-Aut}ar, jurnal Islamia, Vol. V No. 1 2009), 67.

98 Lihat Muh}ammad S}alih al-‘Uthaymin, , Sharh Lum’at al-I’tiqad, (Ria>d: Maktabah T}abariyyah, 1992), 31.

99 Ibnu Qudamah adalah seorang imam, ahli hadis, fikih, dan sangat zuhud. Ia terlahir di Desa Jama’il, Palestina pada Sya’ban 541 H. Sehak kecil, ia telah

mempelajari ilmu-ilmu keislaman dari sang ayah. Di tanah kelahirannya, ayahnya memang dikenal sebagai seorang ahli agama.Di usianya yang masih belia, Ibnu Qudamah sudah mampu menghafal Alquran, dasar-dasar ilmu, dan beberapa matan Mazhab Hanbali seperti Mukhtasar al-Khirqi. Kemudian, ia juga menimba ilmu dari sejumlah ulama terkemuka di kota Damaskus. Ia pernah berguru pada Abul Makarim Abdul Wahid bin Abi Thahir al-Azdi ad-Dimasyqi, dan Abul Ma'ali

Kami tidak menolak apa yang dibawa Nabi saw dan kami tidak menyifati Allah melebihi apa yang Allah telah memberi sifat pada diri- Nya tanpa batasan‛. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah. Dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (QS. al-Shu>>ra: 42/11).‛ 100

Ketika membahas tentang ayat-ayat sifat yang mutashabihat, dalam kitabnya al-Itqan, Imam al-Suyu>t}i berkata,‛Jumhur ahl-Sunnah di antaranya para sahabat dan ahli hadis berpendapat bahwa, mereka

mengimani ayat-ayat sifat dan menyerahkan maknanya kepada Allah. Dengan tetap menyucikan Allah, ayat-ayat tersebut tidak boleh ditafsirkan. Sebagian mereka ada yang berpendapat untuk

menakwilnya dengan sifat yang layak bagi Allah. Masih menurut al- Suyu>t}i> pendapat ini adalah pendapat kaum khalaf.. 101

Ibn S}alah berkata,’Pendapat inilah yang dilakukan oleh generasi pertama umat. Dan dengan cara inilah para ahli hadis 102

berpendapat. Juga pendapat ini, adalah pendapat para ahli fiqih. Inilah metode tafwidh yang digunakan oleh mayoritas generasi pertama, yaitu tidak mengartikan sifat-sifat Allah, menjauhi penafsirannya, dan menyerahkan maknanya kepada Allah. Dengan kata lain, Allah yang lebih tahu dengan arti ayat-ayat sifat tersebut. Mereka tidak menafsirkan ayat-ayat sifat Allah dengan tetap berpegang bahwa Allah adalah Maha Suci dari segala keserupaan dengan makhluk-Nya.

Menurut al-Qarad}wi metode tafwi>dh di atas berbeda dengan metodeithba>t,yaitu membiarkan sifat-sifat itu dalam arti literal dengan meniadakan cara dan penyerupaan. Metodologi ini dipopulerkan oleh

Ibnu Taymiyyah dan madrasahnya. 103 Dalam karyanya yang berjudul ‛ S}aid al-Kha>thir,‛ Ibn al Jawzi>

(W. 597 H), mendorong tentang pentingnya ithbat bagi masyarakat awam. Dalam pembahasan yang panjang, beliau menjelaskan faedah

hal tersebut bagi iman dan akhlak. 104 Sedangkan mayoritas ulama khalaf memahami ayat dan

hadits tentang sifat Allah menggunakan metode ta’wil yaitu mengalihkan pengertian teks-teks yang mutasyabihat dari makna- makna literalnya dan meletakkan maksud-maksudnya dalam satu

100 Muh}ammad S}alih al-‘Uthaymin, Sharh Lum’atul I’tiqad.., 35. 101 Muh}ammad S}alih al-‘Uthaymin, Sharh Lum’atul I’tiqad.., 36. 102 Muh}ammad S}alih al-‘Uthaymin, Sharh Lum’atul I’tiqad.., 37. 103 Al-Qarad}awi, Akidah Salaf dan Khalaf.. , 46,52.

bingkai pengertian yang sejalan dan seiring dengan teks-teks lain yang muhkamat yang memastikan kesucian Allah dari arah, tempat dan anggota tubuh seperti makhluk-Nya.

Oleh karena itu, mereka menafsirkan istiwa>’ dengan kekuasaan Allah, menafsirkan tangan Allah dengan kekuatan dan kedermawanan, menafsirkan ’ain (mata) dengan pertolongan ( inayah) dan pemeliharaan ( ri’ayah), menafsirkan dua jari-jari dalam hadits ‛Bayi seorang mukmin berada di antara dua jari-jari Tuhan‛ dengan

kehendak ( Ira>dah) dan kekuasaan (Qudrah) Allah dan lain sebagainya. Abu al-Faraj ibn al-Jawzi> al-H}ambali dalam kitabnya ‛ Daf’u Shubhat al-Tashbih‛ 105 mengatakan,‛Allah berfirman, ‚ Dan tetap kekal wajah Tuhanmu‛al-D}ahak dan Abu> Ubaydah menafsirkan ayat, ’Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah’ QS. al- Qas}ash [28] 88 dengan ’kecuali Allah’, Ibn al-Jawzi menolak pendapat orang-orang yang mengatakan,‛Sesungguhnya mengambil z}ahir ayat- 106 ayat dan hadis tadi adalah madzhab generasi salaf.‛

Kesimpulan pandangan beliau, bahwa mengambil zhahir ayat berarti memberi bentuk organ tubuh, dan begitu seterusnya. Namun madhab salaf tidaklah mengambil z}ahirnya saja secara mutlak, tapi secara umum, mereka tidak berusaha untuk membahas dan mencari tahu tentangnya.Apabila diamati dengan seksama, sebenarnya antara pendapat salaf (methode tafwidh) dengan pendapat khalaf (metode ta’wil) memiliki kesamaan, yaitu:Pertama, sama-sama mensucikan Allah dari segala keserupaan dengan makhluk-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ريِصَبْلا ُعيِمَّسلا َوُىَو ٌءْيَش ِوِلْثِمَك َسْيَل Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat . QS. Ash-Shu>ra: 42/11)

Ayat ini menegaskan kesucian Allah yang bersifat mutlak dari menyerupai apapun, sehingga ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang mutasyabihat dan mengesankan bahwa Allah menyerupai makhluk- Nya harus dikembalikan maksudnya terhadap ayat ini, karena ayat ini kedudukannya muhkamat.

Kedua, mereka sepakat bahwa arti literal lafaz}}-lafaz}} tersebut bukanlah arti sebenarnya. Ini berkaitan dengan kesepakatan mereka untuk menafikan keserupaan Allah.

Lihat Imam Abu al-Faraj ibn al-Jawzi>, Daf’u Shubuhat at-Tashbih. (Beiru>t: Maktabah at-Tawfiqiy), 31.

Ketiga, kedua madhab sepakat bahwa lafaz}}-lafaz}} tersebut digunakan tiada lain untuk menjelaskan hal yang ada di dalam hati atau yang ada di bawah intuisi dan ada hubungannya dengan ahli bahasa. Meskipun sangat luas, hakekat bahasa tidak akan bisa diketahui artinya oleh orang yang tidak mengetahuinya. Dan hakekat yang berkaitan dengan Dhat Allah berkaitan dengan hal ini. Bahasa sangat terbatas untuk menjelaskan tentang hakekat tersebut. Dengan demikian, membatasi arti dari bahasa tersebut adalah sebuah pilihan.

Yusuf al-Qarad}awi mengatakan bahwa polemik di antara dua manhaj atau dua madzhab tidak harus mengafirkan salah satu di antara keduanya. Dengan kata lain, menghukumi bahwa mereka telah

melakukan jenis kekufuran terbesar yang mengakibatkan keluar dari agama Islam. Padahal, saling mengafirkan dan mengeluarkan mereka dari agama Islam tidak bisa diterima oleh hati dan akal orang yang berilmu. Karena mereka seluruhnya beriman kepada Tuhan, Rasul, 107 Kitab Suci, manhaj dan kiblat yang satu.

Menurut al-Qarad}awi, polemik dalam permasalahan ini juga tidak perlu menyebabkan untuk menuduh berdosa, fasik, dan ahli bid’ah. Hal yang paling memungkinkan, polemik yang terjadi adalah polemik antara yang benar dan yang keliru, atau yang benar dan yang lebih benar.Mesih menurutnya bagaimana mungkin seorang ulama yang mumpuni berani untuk memfasikkan, menuduh dosa atau membid’ahkan ulama lain,padahal mereka-lah yang memikul shari’at, membela akidah dan melawan musuh-musuh dakwah.

Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa ulama yang sepanjang hayatnya perhatiannya terhaap shari’at Allah, mereka hidup sebagai da’i, pembaru, ulama dan pelaksana ajaran Islam. Seperti al- Baqillani, al-Isfirayini, al-Mat}u>ridi, al-Ghazali, al-I>zz>, ibn ‘Abdissalam, ibn al-Id, al-Rafi’i, al-Nawawi>, Ibn H}ammam, al- Zarkashi, al-Ira>qi>, ibn H}ajar, al-Suyu>t}i, dan orang-orang mumpuni lainnya yang menguasai ilmu akidah serta shari’at.

Ibn Taymiyyah dan ibn al- Qayyim juga berpendapat untuk tidak menuduh dosa, memfasikkan (fasik dalam ta’wil), atau

menyesatkan orang-orang yang melakukan ta’wil. Menurut ibn Taymiyyah, yang menjadi polemik dan ditentang oleh kaum salaf adalah ta’wil kelompok Jahmiyyah yang bisa mengetahui cara ayat- ayat sifat tersebut. 108

107 Yusuf al-Qarad{awi, Akidah Salaf dan Khalaf.., 220.

Imam al-Khat}abi dalam Ma’a>lim al-Sunannya, mengatakan bahwa orang yang melakukan ta’wil tidak keluar dari agama, meskipun ta’wilnya salah. Demikian juga menurut Imam al-Ghazali, kesalahan dalam melakukan ta’wil tidak menyebabkan pada kekafiran, karena masih terjaga di bawah lindungan kalimat syahadat.

Nash menetapkan bahwa yang menyebabkan seseorang menjadi kafir adalah ketika dia mendustakan Rasulullah s}allallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang yang salah dalam melakukan ta’wil bukanlah orang

yang mendustakan Rasulullah. 109 al-Qard}awi berpependapat, mereka tidak mengingkari hadits

shahih. Akan tetapi penerimaan mereka ini wujud dalam bentuk penakwilan hadits disesuaikan dengan cara-cara ekspresi bahasa Arab,

termasuk analogi, majaz, sindiran, perumpamaan, dan lainnya. Apakah penakwilan semacam ini benar atau tidak, ini sudah merupakan masalah tersendiri yang tidak ada kaitannya lagi dengan persoalan penetapan masalah aqidah melalui hadis. Bahkan pendukung pendapat ini mengatakan dengan tegas:‛Saya menerima hadits itu dan mengakui juga konsekuensinya. Akan pengertian hadis ini bagi saya ialah begini

dan begitu.‛ 110 Menurutal-Ghazali, sosok manusia yang paling bersih dan jauh

dari ranah ta’wil adalah Imam Ah}madibn H}ambal. Menurutnya, Imam Ah}mad Ibn Hanbal hanya melakukan dan mengemukakan ta’wil hanya terhadap tiga hadis saja, yaitu: Pertama, hadis (bahwa) ‛Hajar Aswad merupakan tangan kanan Allah di muka bumi.‛ (H.R. al Hakim). 111 Kedua, hadis (bahwa) ‛Hati seorang mukmin berada di

antara dua jari dari beberapa jari-jari Allah Yang Maha Pengasih).‛ (H.R. Muslim). 112 Ketiga, hadis (bahwa) ‛Sesungguhnya

109 Al-Ghazali, Al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d. (Beirut: Da>r al-Minha>j, 2008), 306. 110 Al-Qard}awi, Fiqih Peradaban. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), 121. 111 Diriwayatkan oleh Imam al-Ha>kim dan ia nilai sebagai hadits shahih dari

haditsnya Abdullah bin Amr. al-H}afiz} al-Iraqi mengatakan,‛Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Hakim dalam Mustadraknya dari haditsnya Abdullah bin Amr, dan ia menilainya sebagai hadith s}ahih.‛ (Lihat takhrij dari hadisnya kitab Ihya’ ulu>m al- Di>n karya al-Ghazali.

112 Hadis diriwayatkan Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Kitab al-Qadr, Bab Tas}rifillah Ta’a>la al-Qulu>b Kaifa Sha’a, dari ‘Abdullah

ibn ‘Amr ibn al-‘As} dengan kalimat, ‛Sesungguhnya hati anak Adam semua berada di antara dua jari-jari dari jari-jari Dzat Yang Maha Pengasih seperti hati yang satu, Ia ibn ‘Amr ibn al-‘As} dengan kalimat, ‛Sesungguhnya hati anak Adam semua berada di antara dua jari-jari dari jari-jari Dzat Yang Maha Pengasih seperti hati yang satu, Ia

Memperhatikan berbagai pendapat di atas yang cenderung berbeda, maka menurut penulis, siapapun ketika hendak melakukan penakwilan terhadap ayat mutashabihat (khususnya ayat-ayat tentang sifat Allah), maka seorang mufassir harus banyak melakukan kajian

yang mendalam terhadap ayat-ayat yang ada dalam al-Qur’an khususnya yang memiliki makna yang mutashabihat (samar). Dan jika memilih untuk tidak melakukan penafsiran dan penakwilkan, maka menyerahkan pengetahuan makna hakikatnya kembali kepada Allah itu lebih baik dan terpuji. Ini adalah kaidah umum yang perlu menjadi rujukan mufasir ketika mendapati ayat-ayat atau hadis-hadis yang mutashabihat.

113 Lihat Al-Ghazali, Etika Berakidah, diterjemahkan dari Fasl al-Tafri>qah. (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 25-26.