SIFAT DHATIYAH DAN FI’LIYAH ALLAH

BAB V SIFAT DHATIYAH DAN FI’LIYAH ALLAH

Pada bab ini penulis mengulas tentang pemahaman dan penafsiran al-Sa’di> tentang ayat-ayat yang mutashabihat (khususnya ayat-ayat tentang sifat Allah ) yang ada di dalam al-Qur´an, baik yang menunjukan sifat Dhatiyah maupun sifat Fi’liyah Allah.

A. Kaidah-kaidah Penetapan Sifat Allah Allah Ta'ala adalah Rabb al-'alamin sebagaimana yang dinyatakan dalam surat al-Fatihah. Makna Rabb al'alamin berarti Allah adalah pemilik seluruh alam. Allah lah yang memiliki langit dan semua makhluk yang ada di sana dari kalangan Malaikat, dan Allah pula lah yang memiliki bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya berupa manusia, pepohonan, tanah, air, binatang-binatang dan lain-lain, dan Allah pula yang memiliki makhluk yang ada di antara keduanya.

Dalam surat al-Baqarah[02]:116, Allah menyatakan bahwa semua yang ada di langit dan bumi adalah milik-Nya saja, Allah berfirman:

Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya.(al-Baqarah[02]:116)

Menurut al-Sa’di>> ayat ini menerangkan bahawa orang-orang non muslim dari kalangan Yahudi, Nasrani dan Musyrikin Makkah semuanya mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, dengan pernyataan ini, mereka telah menyandarkan pada Allah sifat yang tidak layak dengan keagunganNya, dan telah berbuat kesalahan besar dan menzalimi mereka sendiri. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, Allah mempunyai kesempurnaan dari seluruh sisi yang tidak mempunyai cacat sedikitpun. Kemudian di dalam ayat ini Allah pun menegakkan hujjah atas mereka bahwa pada hakekatnya Allah lah yang memiliki semua yang ada di langit dan bumi semuanya adalah milik-Nya dan hamba-Nya. Allah mengatur semua makhluk dengan sekehendak-Nya, dan Allah memiliki aturan atas makhluk sesuai yang Dia inginkan. Ketika semua makhluk adalah milik Allah dan mereka Menurut al-Sa’di>> ayat ini menerangkan bahawa orang-orang non muslim dari kalangan Yahudi, Nasrani dan Musyrikin Makkah semuanya mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, dengan pernyataan ini, mereka telah menyandarkan pada Allah sifat yang tidak layak dengan keagunganNya, dan telah berbuat kesalahan besar dan menzalimi mereka sendiri. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, Allah mempunyai kesempurnaan dari seluruh sisi yang tidak mempunyai cacat sedikitpun. Kemudian di dalam ayat ini Allah pun menegakkan hujjah atas mereka bahwa pada hakekatnya Allah lah yang memiliki semua yang ada di langit dan bumi semuanya adalah milik-Nya dan hamba-Nya. Allah mengatur semua makhluk dengan sekehendak-Nya, dan Allah memiliki aturan atas makhluk sesuai yang Dia inginkan. Ketika semua makhluk adalah milik Allah dan mereka

fakir sedangkan Allah maha kaya. Ketika Allah adalah Rabb al-'Alamin yang memiliki semua yang ada di langit dan di bumi dan di antara keduanya, maka bisa diyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang memiliki sifat yang sangat sempurna yang tidak memiliki cacat sedikitpun dalam sifat-sifat-Nya itu.

Bagaimana tidak seorang yang memiliki sebuah Yayasan Modern di dunia ini, yang bisa memenej keuangan, administrasi dan prangkat lain yang dibutuhkan, bisa dipastikan dia adalah seorang yang mempunyai

sifat-sifat yang mendukung, seperti kecerdasan, kegigihan bekerja dan keseriusan. Maka bagaimana dengan Allah yang memiliki, mengatur bahkan menciptakan alam semesta tentu mempunyai sifat-sifat sempurna yang tiada tara.

Metode para sarjana muslim dari kalangan salaf al-salih dalam penentuan sifat ini terbagi menjadi dua, yaitu menetapkan sifat Allah yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya tanpa bertanya bagaimana dan tanpa menyerupakan dengan makhluk, dan menghilangkan sifat

Allah dari sifat-sifat yang dihilangkan Allah dari diri-Nya sendiri. 2 Dalam kitab al-Aqidah al-Wasitiyah, Ibn Taimiyyah

mengungkapkan bahwa di antara bentuk iman pada Allah yaitu beriman pada sifat Allah yang telah disifatkan oleh Diri-Nya sendiri dalam kitab-Nya dan yang disifati oleh Rasul-Nya Muhammad Salallahu'alaihi wasallam tanpa tahrif, tanpa ta'til, dan tanpa takyif

dan tamthil. 3

1 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 48. 2

A ḥmad Ibn 'Abd al-Ḥalīm Ibn 'Abd al-Salām Ibn Taimiyyah, al-Risālah al- Tadmuriyah Li al-Asm

3 ā wa al-Ṣifāt, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1425), 37. Al-Ta ḥrīf maknanya merubah, dan berpaing dari sesuatu, dan taḥrīf ini ada

dua macam; pertama tahr īflafẓī, yaitu berpaling dari satu lafadz pada lafadz yang lainnya, baik dengan menambah kalimat, atau huruf atau bahkan menguranginya, atau merubah harakat seperti merubah kata istaw ā dengan istaulā dalam firman Allah " al-Ra ḥmān 'alāal-Arsyiistawā". Yang ke dua taḥrīf maknawi yaitu berpaling dari makna hakiki menuju makna lain seperti perkataan sebagian kelompok bid'ah sesungguhnya makna al-ra ḥmān yaitu keinginginan untuk memberi nikmat, dan makna al-ga ḍab adalah keinginan balas dendam. Adapun makna al-ta'tīl secara bahasa adalah melepas, dan secara istilah bermakna menghilangkan sifat dari Allah Ta'ala; adapun perbedaan antara al-ta ḥrīf dan al-ta'tīl: taḥrīf adalah menghilangkan

Kaidah ini dibentuk berdasarkan firman Allah dalam surat al- Shur ā (42) ayat 11, Allah berfirman:

         Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang

Maha mendengar dan melihat. (Al-Shu>ra[42]:11) Al-Sa’di>> mengatakan tentang tafsir ayat ini; bahwa Allah tidak sama dan tidak serupa dengan makhluk-Nya sedikitpun, tidak sama pada zat dan tidak sama pada nama-nama-Nya, tidak sama pula pada sifat dan pekerjaannya; karena nama-nama Allah adalah nama-nama yang baik dan indah sedangkan sifat-sifat-Nya adalah sifat-sifat yang sempurna dan luhur, dan di antara perbuatan-Nya, Allah telah menciptakan mahkluk-makhluk yang besar tanpa bantuan siapapun; Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun karena Dia lah satu-satunya Yang Maha sempurna dari segala sisi. Dan Allah Maha mendengar seluruh suara dan mengerti berbagai bahasa, dan Allah Maha Melihat, bahkan melihat perjalanan semut hitap di kegelapan malam, pada padang pasir yang luas; Allah melihat aliran gizi pada daging hewan- hewan kecil, dan melihat aliran air pada batang-batang pohon yang kecil.Ayat ini dan yang semisalnya adalah dalil Ahlu al-Sunnah untuk menetapkan sifat bagi Allah dan tidak menyerupakanNya dengan

makhluk. 4 Muhammad Jarir al-Tabari mengatakan makna ayat ini adalah

Allah tidak seperti sesuatu ( ka shai) tanpa menggunakan mithlu karena " ka" dan "mithlu" bermaksa sama yaitu untuk penyerupaan. Allah memasukan huruf " k āf" sebagai penguat makna. Kemudian Allah mensifati diri-Nya sendiri yaitu Dia Mendengar terhadap apapun yang diucapkan oleh seorang hamba dan Melihat terhadap amalan seorang

tidak ṣaḥīḥ; sedangkan ta`tīl yaitu menghilangkan makna ṣaḥīḥ tanpa mengganti dengan makna yang lainnya, sebagaimana kaum mufawwidah (kaum yang menyerahkan seluruh makna dari sifat Allah pada Allah); sehingga setiap ta ḥrīf adalah ta't īl dan tidak setiap ta`tīl bermakna taḥrīf. Kemudian makna al-Takyīf, yaitu menentukan bagaimananya sifat Allah; lalu makna al-Tamth īl adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya, seperti mengatakan Tangan Allah seperti tangan manusia dll. Lihat Ṣāliḥ ibn Fauzān ibn 'Abd Allāh al-Fauzān, Syarh al- 'Aq īdah al-Wāsiṭiyyah, (Riyād: Maktabah al-Ma'ārif, 1419), 14-15.

4 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 4 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Al-Jazairi dalam tafsirnya berkata: Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun karena Allah lah yang telah menciptakan segala sesuatu, sehingga tidak mungkin yang dicipta sama dengan yang menciptakan dalam segala sisinya, Dia lah Allah yang mendengar

seluruh perkataan seoarng hamba dan melihat amalan-amalan seoang hamba. Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun, di sini Allah memperkenalkan diri-Nya dengan keesaan-Nya, karena hanya Allah lah yang berbeda dengan segala sesuatu yang memiliki Asmaul Husna

dan sifat yang mulia. 6 Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa firman Allah " Laitha

kamithlihi shai`un" mengandung makna penolakan penyerupaan, artinya Allah tidak serupa dengan segala sesuatu; dan firman Allah

" wa huwa al-Sam ī'u al-baṣīr" menolak pemikiran sebagian orang yang memalingkan satu makna pada makna yang lain dan juga menolak

orang yang meniadakan sama sekali sifat dari Allah. 7 Menurut Quraish Shihab, ayat ‚ laitha kamithlihi shaiun‛ huruf ‘

ka>f berpungsi mempersamakan sesuatu dengan yang lain, demikian juga dengan kata mithl yang biasa diartikan seperti atau serupa yang berpungsi sebagai penguat, sehingga penggalan ayat di atas bagaikan menyatakan: ‚Sungguh tidak ada sama sekali sesuatupun yang serupa

dengaNya‛ Dalam arti kalau yang seperti sepertinya saja tidak ada, maka tentu lebih-lebih lagi yang seperti denganNya. Sehingga ayat di atas seperti menyatakan: Tidak ada satupun dari makhlukNya yang

seperti dengan sifat Allah. 8 Adapun Menurut al-‘Ashari> ketika mengomentari keberadaan

Tuhan mengilustrasikannya dengan wujud yang berawal dari setetes mani, segumpal darah, segumpal daging kemudian menjadi tulang belulang yang dibungkus dengan daging dan menjadi manusia yang

5 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān fī Ta`wīli al-Qur`an, ('Amman: Dar al-A'lam, 1423H), 18.

6 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāiri, Aisar al-Taf āsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah A

7 A ḍwā al-Manār, 1418 H), 1172. ḥmad Ibn 'Abd al-Ḥalīm Ibn 'Abd al-Salām Ibn Taimiyyah, al-Risālah al-

Tadmuriyah Li al-Asm 8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- ā wa al-Ṣifāt, (Beirūt: Dār al-Fikr, 1425), 38.

sempurna. 9 Tuhan masih menurut ‘Ashari> tidak memiliki kemiripan dengan makhluk makhlu-Nya yang lain. Sebab, jika Tuhan serupa

dengan makhluk-Nya dengan sendirinya ketetapan-ketetapan Tuhan

adalah juga ketetapan makhluk_nya dan hal tersebut sangat mustahil. Selain itu, ketika Tuhan dianggap identik dengan makhluk-Nya, tentu tingkat kemiripannya berbeda> Bisa jadi kemiripan yang ada secara totalitas atau pada bagian-bagian tertentu saja. Jika kemiripannya secara total, berarti Tuhan identik dengan makhluk-Nya

dan hal demikian sesuatu yang mustahil adanya. Kemudian jika kemiripannya hanya pada bagian tertentu saja, berarti Tuhan bersifat hadis (baru) karena serupa dengan akhluk-Nya pada beberapa hal

padahal dalam al-Qur´an dikatakan bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya. 11

‘Ashari> bependapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti ‘ilmu, hayat, sama’ dan bas‛ar. Sifat-sifat tersebut bukanlah dhat-Nya.

Ia beerpendapat Bahwa Allah mempunyai ilmu karena alam yang diciptakan cukup teratur. Alam tidak pernah tercipta kecuali

diciptakan oleh Tuhan yang mempuyai ilmu. Dalam memperkuat pendapatnya, ‘Ashari> memngemukakan beberapa ayat al-Qur´an di

antaranya QS. al-Nisa> (4), 166. Yang artinya: Dan tidak seorang perempuanpun mengandung dan tidak pula melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Menurut ‘Ashari> ayat tersebut menunjukan bahwa Allah

mengetahui dengan ilmu-Nya. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin ilmu Allah adalah Dhat-Nya. Jika Allah mengetahui dengan Dhat-Nya, maka Dhat-Nya akan identik dengan pengetahuan. Sebab tidak mungkin kata a l-Ilm merupakan al’Ali>matau sebaliknya atau Dhat Allah juga sifat-sifat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah yang lainnya seperti hayat, qudrah, sama’ bas}a>r dan semua sifat-Nya yang lain. 12

Sementara itu, Sifat Allah menurut al-Uthaimin terbagi menjadi dua, sifat thub ūtiyahdan sifat salbiyah (manfiyah). Sifat thubūtiyah adalah sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah untuk diriNya sendiri,

9 Lihat Hamudah Ghurabah, Kitab al-Luma’ li al-Imam Abi Hasan al-Ashari>. (Mesir: Shirkah Musahamah Mis}riyah, 1955), 18; lihat juga Ahmad Sharastani. Al-

Milal wa al-Nihal. (Mesir: Must}afa> Halabi, tt) 94 10 Hamudah Ghurabah, Kitab al-Luma’ li al-Imam Abi Hasan al-Ashari>.., 30

11 Hamudah Ghurabah, Kitab al-Luma’ li al-Imam Abi Hasan al-Ashari>..,30 11 Hamudah Ghurabah, Kitab al-Luma’ li al-Imam Abi Hasan al-Ashari>..,30

penetapan. 13 Agar lebih terinci pembahasan sifat-sifat Allah ini, maka penulis

akan membahas dua sifat Allah yang ditetapkan dan yang dihilangkan oleh Allah dan Rasul-Nya berikut:

1. Sifat Thub ūtiyah Sifat thubutiyah adalah sifat Allah yang ditetapkan oleh Allah

dan Rasul-Nya sebagaimana telah dijelaskan di atas, dan sudah selayaknya seorang muslim yang tunduk dan patuh pada Allah dan Rasul-Nya menjadikan al-Qur´an dan al-Sunnah sebagai patokan kebenaran, sehingga dalam penetapan sifat bagi Allah pun harus

berdasar pada teks-teks ayat al-Qur´an dan hadis nabawi. 14 Al-Sa’di> mengatakan bahwa ilmu tentang nama, sifat dan

pekerjanaan Allah adalah ilmu yang paling agung dikarenakan ilmu ini berkaitan langsung dengan Allah; pengetahuan tentang nama dan sifat Allah akan membangkitkan kecintaan dan ketakutan pada Allah, juga akan membangkintak harap dan cemas pada Allah, keikhlasan beramal pun akan semakin meningkat, dan ini adalah inti dari kesenangan hidup seorang hamba, dan cara satu-satunya untuk mengetahui Allah adalah dengan mengetahui nama dan sifat Allah dan mencoba

memahami makna-maknanya. 15 Dalam pembahasan ini penulis hendak mencantumkan beberapa

sifat Allah berdasarkan teks-teks al-Qur´an dan al-Sunnah, kemudian mencoba memaparkan sifat-sifat tersebut satu persatu, berdasarkan

13 Mu ḥammad Ṣāliḥ al-Uthaymīn, Ta'līq Mukhta ṣar 'alā Kitāb Lum'ati al- I'tiq ād al-Hādī ilā Sabīli al-Rashād, (Riyāḍ: Dār al-Waṭan, 1423 H), 7.

14 Mu ḥammad ibn 'Abd al-Wahhāb al-'Abdalī, al-Qawā'id al-Mufīd fī adillati al-Tau ḥīd, (Sana'ā: Maktabah al-Irshād, 1424 H), 41.

15 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 15 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Di dalam al-Qur´an dan Sunnah banyak sekali sifat-sifat Allah bahkan sifat-Nya tidak terhingga, karena setiap nama Allah mengandung sifat dan nama-nama Allah yang diinformasikan kepada manusia hanyalah sebagian nama-Nya saja yaitu yang berjumlah 99

nama belum lagi nama-nama yang disimpan di alam gaib yang tidak diketahui. 16

Di antara sifat-sifat thub ūtiyah Allah yang terdapat dalam al- Qur´an adalah sifat 'Uluw (ketinggian), sifat al-Kal ām (berbicara), Beristiwa di atas 'Arsh, Memiliki Wajah, Memiliki dua Tangan, dan

memiliki rasa cinta ( al-Ma ḥabbah). Allah memiliki sifat 'Uluw dari dua sisi secara bersamaan baik 'uluw al-Dh āt (tinggi zat-Nya), maupun 'Uluw al-Sif 17 āt (tinggi sifat-Nya).

16 Hal ini berdasarkan hadis nabi berikut, yang menerangkan bahwa Rasulullah bersabda: ا،ا َكُؤ َضَ اَِّفِاٌلبْ َ ا،َكُمبْكُ اَِّفِاٍض َ ا،َكِ َيِاا ِتَِيِ َنا،َكِتَ َأاُنبْا ا،َكِ بْ َ اُنبْا َ ا،َكُ بْ َ اينِِّإاَّ ُهلل ا: اٌنَ َ َ امٌّ َ اُ َا َ َأا َ ِإاطُّ َ اٌ بْ َ اَل َ ا َ

Tidaklah seorang hamba yang sedang bersedih kemudian dia berdoa: "Ya Allah sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, cucu hamba-Mu yang laki-laki (Adam), dan cucu hamba-Mu yang perempuan (Hawwa), ubun-ubunku ada di Tangan-Mu, hukum-Mu berlaku untukku, keputusan-Mu berlaku adil untukku, Aku meminta dengan seluruh nama yang Engkau miliki, yang dengan-Nya Engkau namai diri-Mu atau nama-nama yang Engkau turunkan pada kitab-Mu, atau nama-nama yang Engkau ajarkan pada satu makhluk-Mu, atau nama-nama yang Engkau sembunyikan di alam gaib di sisi-Mu, Ya Allah jadikanlah al-Qur´an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penyingkap kesedihakku, dan pelenyak kedukaanku, kecuali Allah akan menghilangkan kedukaannya, dan menggantikan kesediannya dengan kebahagiaan (H.R Ahmad, lihat al-Maktabah al-Syamilah),

Hadis di atas menunjukan bahwa di sana ada nama-nama Allah yang disembunyikan sehingga kita tidak mengetahuinya. Adapun hadis yang menerangkan bahwa Allah mempunyai 99 nama dan siapa saja mampu meng ih ṣānya (menghafal, mengerti makna dan beramal dengan kandungannya) ini bukan satu pembatasan. Hanya saja kabar bahwa Allah mempunyai 99 nama dan siapa yang mampu meng ih ṣānya akan mendapat surga, seperti seorang yang berkata aku mempunyai uang 100 ribu untuk sadaqah, bukan berarti saya hanya punya 100 ribu akan tetapi yang dipersiapkan untuk sadaqah hanya 100 ribu. Lihat juga (Mu ḥammad Ṣāliḥ al- Uthaym īn, Ta'līq Mukhtaṣar 'alā Kitāb Lum'ati al-I'tiqād al-Hādī ilā Sabīli al- Rash ād, (Riyāḍ: Dār al-Waṭan, 1423 H), 5)

17 'Abd All āh al-Jibrīn, Tahdh īb Tashīl al-'Aqīdah al-islāmiyyah, (Riyad:

Dalil yang menunjukan sifat 'Uluw ini adalah: pertama adanya ayat yang secara jelas mengabarkan bahwa Allah di atas seperti dalam surat al-Nah}l:50, adanya teks al-Qur´an yang menyatakan ketigian mutlak untuk Allah seperti dalam surat al-Baqarah:255, adanya teks yang begitu jelas bahwa Allah ada di atas langit seperti dalam surat al- Mulk:16, adanya sesuatu yang naik menuju Allah seperti dijelaskan dalam surat al-Ma' ārij:4 dan Fāṭir:10, adanya penjelasan bahwa al- Qur´an diturunkan dari Allah melalui perantara Jibril seperti dalam surat al- Ḥijr:9. Kemudian sifat kalām (berbicara) terdapat dalam surat al-Nis ā:164, al-Baqarah:253, dan al-Kahfi:109, kemudian sifat al- Istiw ā di atas ‘Arsh seperti dalam surat al-A'rāf:54 dan Ṭāhā:5, kemudian sifat al-wajh (wajah) terdapat dalam surat al-Ra ḥmān ayat 26-27, sifat dua tangan seperti dalam surat Ṣād:75, sifat al-Ma ḥabbah (rasa cinta) sebagaimana dalam surat al-M 18 āidah:54.

Al-Sa’di>> di dalam tafsirnya Tais īru al-Karīm al-Raḥmān fī Tafs īri al-Kalāmi al-Mannān mempunyai pandangan yang dituangkan

secara lengkap dan rinci dalam permasalahan Nama dan Sifat Allah, sehingga peneliti tertarik untuk mengungkap pandangan beliau yang ada di dalam tafsirnya tersebut.

1.1. Sifat 'Uluw (Tinggi) Al-Sa’di> meyakini bahwa Allah mempunyai sifat 'uluw baik secara makna atau pun secara Zat-Nya. Keyakinan ini dilandasi oleh teks-teks zahir yang terdapat dalam al-Qur´an dan Sunnah. Berikut ini adalah dalil-dalil yang digunakan oleh al-Sa’di>> dalam membangun keyakinannya tersebut: pertama surat al-Na ḥl[16]:50, Allah berfirman:

         Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan

melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). Dalam menafsirkan firman Allah di atas, al-Sa’di>> mengatakan ayat ini datang setalah Allah menyatakan bahwa semua makhluk-Nya sujud pada-Nya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, dari jenis binatang sampai para Malaikat yang menunjukan bahwa mereka semua patuh pada-Nya. Ketika Allah memuji mereka dengan banyaknya keta'atan yang dilakukan maka Allah pun kembali memuji mereka dengan sifat takut pada Allah yang berada di atas mereka

18 'Abd All āh al-Jibrīn, Tahdhīb Tashīl al-'Aqīdah al-islāmiyyah, (Riyad: 18 'Abd All āh al-Jibrīn, Tahdhīb Tashīl al-'Aqīdah al-islāmiyyah, (Riyad:

Firman Alah yang menyatakan " Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan" ini dikomentari oleh al-Jaz āiri dengan mengatakan bahwa memang Allah itu Maha Tinggi dan semua makhluk berada di

bawah-Nya. 20 Ibu Kath īr dalam ayat ini menyatakan bahwa para malaikat sujud

pada Allah karena rasa takut dan gentar dan juga mereka melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-

larangan-Nya. 21 Walaupun dalam penjelasannya tidak secara tegas menyatakan Allah berada di atas namun ini adalah isyarat yang jelas

bahwa malaikat sujud pada Allah yang ada di atas mereka, sebab biasanya sujud diberikan pada yang ada di atas.

Tentang ketinggian Allah menurut Quraish Shihab, bahwa Allah yang duduk di atas kursi/’Arsh yang tertinggi itu keadaan dan

pengaturan-Nya terhadap alam raya. Hal demikian sangat berbeda dengan seorang makhluk yang menjadi penguasa yang duduk di atas kursi singgasananya akan tetapi tidak mengetahui dan tidak mampu

mengatur secara rinci terhadap apa yang dikuasainya tersebut. 22 Ada juga mufasir lain yang menyatakan bahwa maksud

ketinggian Allah ini bukan ketinggian tempat, akan tetapi ketinggian martabat dan kemuliaan, serta ketinggian kemampuan dan ketinggian kekuasaan seperti yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zu ḥailī dalam al- Tafs 23 īr al-Wasīṭ.

Dari pendapat ulama tafsir ini bisa ditarik kesimpulan bahwa Al- Sa’di> dan al-Jaz āyri meyakini Allah berada di atas makhluk-Nya

secara makna dan secara Dhat berdasarkan tekstual ayat di atas. Bahkan ketika Allah menyatakan mereka sujud ini pun mengandung

19 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Fath} al-Rabb al-H}ami>d fi Us}u>l al-Aqa>id wa al- Tawh}id. (Bair ūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 416.

20 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāiri, Aisar al-Tafāsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah A

21 Ism ḍwā al-Manār, 1418 H), 645. ā'īl ibn 'Umar ibn Kathīr, Tafs īr al-Qur`an al-Aẓīm, (al-

Kuwait:Jam'iyyah Ihy āi al-Turāth al-Islāmi, 1421), 1576. 22 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur´an. Jilid V, 116. 23 Wahbab al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'asir, Qur´an. Jilid V, 116. 23 Wahbab al-Zuhaili, al-Tafsir al-Wasit, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'asir,

Ayat kedua yang menunjukan Allah Mata Tinggi secara Dhat dan maknapun di jelaskan dalam surat al-Baqarah[02]:255 yang dikenal dengan ayat al-Kursi di dalam ayat ini dinyatakan ketigian mutlak untuk Allah Ta'ala. Allah berfirman:

             Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa

berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. QS. al-Baqarah: 255.

Ayat ini adalah ayat yang membahas tentang nama dan sifat Allah, hanya saja pada kesempatan ini penulis hendak memfokuskan

pembahasan pada ketinggian Allah. Al-Sa’di> dalam tafsirnya menyatakan bahwa Kursi Allah adalah makhluk yang sangat besar, yang luasnya meliputi langit dan bumi. Kursi Allah ini bukanlah makhluk yang paling besar, ada makhluk yang lebih besar dari kursi ini yaitu ‘Arsh Allah Ta'ala. Ketika kursi Allah digambarkan besarnya oleh Allah, maka Allah tidak pernah menggambarkan bagaimana besarnya Arsy, yang pasti ia adalah makhluk terbesar yang Allah ciptakan, ketika Arsh adalah makhluk yang begitu besar, maka bagaimana dengan kebesaran Allah yang mempunyai nama "al-Kabir" (yang Maha Besar) yang telah mengurus langit dan bumi tanpa kelelahan sedikitpun. Dan di dalam ayat ini Allah memberikan kabar bahwa Zat-Nya ada di ketinggian di atas Arsy-Nya, Maha Tinggi

bersama pemaksaan-Nya 24 pada seluruh makhluk-Nya, dan Maha Tinggi dengan kesempurnaan sifat-Nya. 25

Al- Ṭaba>ri menjelaskan adanya perbedaan pandangan para sarjana muslim tentang ketinggian Allah dalam ayat ini, apakah Allah tinggi secara makna saja atau juga memiliki ketinggian tempat. Al-

24 Secara kauniyah Allah memaksa semua makhluk-Nya, Allah memaksa seorang bayi untuk menjadi remaja yang kuat, sebagaimana Allah memaksa kaum

remaja untuk terus menua dan melemah setalah kekuatan-Nya, dan setelah tua pun Allah memaksa mereka untuk mati meninggalkan dunia ini, baik mereka rela atau benci.

25 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Ṭabarimengurai penjelasan dua kubu yang saling berselisih, pertama para mufassir yang menyatakan bahwa Allah memiliki ketinggian makna, dan mengingkari ketinggian tempat. Pendapat yang ke dua meyakini selain Allah disifati dengan ketinggian makna maka Allah juga disifati dengan ketinggian tempat, artinya Allah ada pada ketinggian di atas semua makhluk-makhluk-Nya, karena Allah

menyebutkan Diri-Nya berada di atas makhluknya, dan semua makhluk di bawah-Nya sebagaimana Allah pun menyatakan bahwa

Diri-Nya di atas Arsh. 26 Tentang firman Allah, bahwa Tuhan bersemayam di ‘Arsh,

‘Ashari> berpendapat bahwa realitas tersebut benar adanya. Sebab, ‘Arsh adalah langit yang tertinggi dan ini terbukti ketika seseorang menadahkan kedua tangannya ke atas dalam berdo’a. Menurutnya jika Tuhan bersemayam di atas ‘Arsh di artikan dengan penuasaan Tuhan terhadap ‘Arsh seperti ungkapan kaum Mu’tazilah dan mempunyai

konotasi bahwa Tuhan juga menguasai terhadap sesuatu yang lain seperti munguasai padang rumput. Padahal penguasaan terhadap

padang rumput berarti serupa dengan bentuk penguasaan makhluk- Nya. Selain itu, tidak terdapat perbedaan antara ‘Arsh yang murni

dengan tempat bernaung Tuhan dengan tujuh lapis bumi, jika demikian, berarti Tuhan hanya bersemayam di atas ‘Arsh saja. 27

Tentang Tuhan bersemayam di ‘Arsh, menurut al-Juwayni berpendapat, jika al-Istiwa> bermakna ‘kemenangan’ pasti didahului perjuangan dan usaha. Hal demikian tentu bathil. Sebab, ini akan memberikan kesan keterpaksaan kemudian jika istiwa> berarti kesetabilan, akan mengesankan aanya ketidakstabilan sebelumnya, oleh karena itu istiwa> yang lebih tepat berarti ‚tujuan‛ yaitu Tuhan menuju ‘Arsh. Di sini ‘Arsh yang disebutkan, karena ‘Arsh adalah adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. 28

Dalam ayat ini Allah menamakan diri-Nya dengan al-'Aliyy, yang artinya tinggi sehingga tidak ada yang lebih tinggi dari Allah, yang mana tidak ada sesuatupun di atas Allah, yang maha perkasa tidak ada sesuatu pun yang mampu mengalahkan-Nya, dan yang Maha

26 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān 'An Ta'wīli Āyi al-Qur`an, (Beir ūt: Dār Ibn Ḥazm, 1423 H), 19-20.

27 Abu Hasan al-‘Ashari>, al-Ibanah ‘an Us}ul al-Diyanah. (Kaira: al- Muniriyah, tt) 32.

28 ‘As’ad Tamim, al-Irshad> ila> Qawa>t} al-Adillah fi> Us}ul al-‘Itiqad li al-Imam

Besar sehingga sesuatu apapun di hadapan kebesaran-Nya menjadi kecil dan rendah. 29

Ayat-ayat sifat seperti ini dan hadis-hadis yang semakna dengannya sebaiknya dimaknai sebagaimana makna lafadz zahir yang datang tanpa menanyakan bagaimananya (takyif) dan tanpa menyerupakan dengan yang lainnya (tashbih), dan ini adalah metode terbaik yaitu metode para salaf. 30

Penyebutan ini bersifat umum sehingga mencakup semua ketinggian baik ketinggian maknawi maupun ketinggian Zat. Dan

sepertinya ini yang diyakini oleh Al-Sa’di> dan banyak mufassir lain seperti al- Ṭabari dan Ibn Kathīr.

Alasan yang ketiga adanya teks yang begitu jelas bahwa Allah ada di atas langit seperti dalam surat al-Mulk[67]:16. Allah berfirman:

           Apakah kamu merasa aman terhadap yang di langit (Allah)

bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Al-Sa’di>> mengatakan bahwa ini adalah ancaman dan intimidasi bagi siapa saja yang selalu membangkang dan selalu berbuat maksiat yang menyebabkan mereka berhak untuk mendapat hukuman dengan firmannya "Apakah kalian merasa aman terhadap yang ada di langit"? dan yang ada di atas langit adalah Allah, dan Allah memang berada di atas semua makhluknya. Allah dengan kemampuannya yang besar bisa

menguncang bumi ini dan menghancurkan penghuninya. 31 Ma ḥmūd al-Alūsī dalam tafsirnya Rūḥ al-Ma'ānī menjelaskan

bahwa yang berada di atas langit dalam tafsir ayat ini adalah Allah Azza wa Jalla sebagaimana banyak yang mengungkapkannya. Dan makna " fii" di dalam ayat ini adalah "'Ala" atau di atas. Walaupun ada juga yang menafsirkan Allah berada di atas artinya kemampuan dan kekuasaannya sangat tinggi. Atau yang dimaksud atas di dalam ayat ini adalah Jibril 'Alalihial-Salam, sedangkan para imam salaf tidak ada yang berpendapat selain Allah Ta'ala, artinya diyakini oleh mereka

29 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāiri, Aisar al-Tafāsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah A

30 Ism ḍwā al-Manār, 1418 H), 118. ā'īl ibn 'Umar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm, (al-Kuwait:

Jam'iyyah Ihy 31 'Abd al-Ra āi al-Turāth al-Islāmi, 1421), 431. ḥmān al-Sa’di>>, Fath} al-Rabb al-H}ami>d fi Us}u>l al-Aqa>id wa al- Jam'iyyah Ihy 31 'Abd al-Ra āi al-Turāth al-Islāmi, 1421), 431. ḥmān al-Sa’di>>, Fath} al-Rabb al-H}ami>d fi Us}u>l al-Aqa>id wa al-

penyerupaan dengan makhluk-Nya. Sepertinya al-Al ūsi juga berpendapat seperti al-Sa'dī yang menyakini bahwa Allah berada di atas, sebagaimana teks ayat yang menjelaskan bahwa Allah berada di atas langit, tanpa menta'wil dengan yang lainnya.

Alasan ke empat adalah adanya sesuatu yang naik menuju Allah seperti dijelaskan dalam surat al-Ma'arij[70]:4 dan Fatir:10. Allah berfirman:

           Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan

dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.(al-Ma'a>rij[70]:4) Al-Sa’di>> menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah mempunyai Ma' ārij yaitu ketinggian, keagungan dan kebesaran serta

pengaturan terhadap semua makhluk-Nya. Malaikatpun naik menuju Allah ketika mengurus makhluk yang lain dan juga semua ruh naik menuju Allah ketika kematiannya. Ruh ini bermakna umum, baik ruh mu'min ataupun ruh kafir. Ruh orang beriman akan naik menuju Allah, ketika ruh ini izin untuk menaiki langit ke langit lain maka ruh yang baik inipun diizinkan sampai tempus pada langit di mana Allah berada di atasnya, sehingga ruh inipun mendapatkan salam dari Allah sehingga ia mendapat kesenangan dan kebahagiaan dengan kedekatan dengan- Nya, sehingga iapun dipuji dan dimuliakan. Adapun jika ruh itu adalah ruh yang buruk, ketika ia naik kelangit maka dia tidak akan diizinkan

sehingga kembali dilemparkan ke bumi. 33 Al- Ṭabari dengan sangat lugas dan tegas menyatakan bahwa

yang naik dalam ayat ini adalah para malaikat dan yang dimaksud ruh adalah Jibril ' Alaihissalam, semuanya naik menuju Allah, sebab damir

"ilaihi" kembali pada Allah. 34

32 Ma ḥmūd al-Alūsī al-Bagdādī, Rū ḥ al-Ma'ānī fī Tafsīr al-Qur`an al-Aẓīm wa al-Sab'i al-Math ānī, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2009), 17-18.

33 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 847.

34 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān 'An Ta'wīli Āyi al-Qur`an,

Terlepas apakah yang naik pada Allah itu Jibril Alaihissalam saja atau ruh secara umum akan tetapi ayat ini menunjukan dengan jelas bahwa Allah berada di atas.Keyakinan seperti ini adalah keyakinan Al-Sa’di> dan para ulama yang sefaham dengannya. Dan penulis berpendapat bahwa keyakinan ini adalah keyakinan yang benar sebab didirikan dengan pondasi kokoh dari al-Qur´an dan Sunnah- sunnah yang Sahih.

Al-Jazayri menyatakan tentang ayat ini bahwa Malaikat dan Jibril naik menuju Allah Ta'ala dalam satu hari yang kadarnya jika

ditempuh oleh makhluk lain selain Malaikat bias memakan waktu lima puluh ribu tahun. Para Malaikat naik menuju Allah dari ujung perintahnya di bumi terbawah pada lapisan ke tujuh sampai ujung perintah-Nya yaitu di atas langit ke tujuh. 35 Perkataan al-Jazairi ini

begitu jelas dan gamblang bahwa Allah berada di atas bukan di mana- mana, dengan bukti bahwa Malaikat naik menuju Allah yang ada di

atas. Muh}ammad Salih al-’Uthaymin sebagai salah satu murid Al- Sa’di> mendukung aqidah gurunya tersebut. Bahkan ketika Uthaimin menjelaskan kitab al-Wa>sitiyah karya ibn Taimiyyah dia menjelaskan bahwa adanya Allah di atas berdasarkan banyak dalil. Terkadang al- Qur´an menyatakan Allah itu tinggi (‘ Uluw dan Fauqiyyah) terkadang al-Qur´an menyebutkan adanya sesuatu yang turun dari Allah, terkdang al-Qur´an menyebutkan adanya sesuatu yang naik menuju Allah dan terkadang menyebutkan Allah di langit atau di atas

ketinggian. 36 Dalil yang menyatakan Allah itu tinggi (‘ Uluw dan Fauqiyyah),

adanya sesuatu yang naik menuju Allah dan pernyataan langsung bahwa Allah di langit atau di atas ketinggian, sudah disebutkan oleh peneliti di atas. Adapun dalil adanya yang turun dari Allah adalah firman Allah dalam surat al-Hijr[15]: 9, Allah berfirman:

        Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur´an, dan

Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

35 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāiri, Aisar al-Taf āsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr, (Jeddah: Maktabah A

36 Mu ḍwā al-Manār, 1418 H), 1405. ḥammad Ṣāliḥ al-Uthaymīn, Sharh al-'Aqīdah al-Wāsitiyah, (Riyad:

Ayat ini digunakan oleh ‘Uthaym īn untuk menguatkan pendapat bahwa Allah berada di atas. Kata " nuz ūl" berarti turun dari atas ke bawah, ketika al-Qur´an adalah perkataan Allah dan berasal dari Allah, maka ini menunjukan Allah berada di atas, karena al-Qur´an adalah kitab yang diturunkan.

Ada juga hadis yang mengabarkan bahwa Allah turun ke langit dunia hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukh āri, Muslim dan yang lainnya. Rasulullah bersabda:

ابْنَ اُلوُقَ ياُرِخ بْلْ اِلبْيَّلل اُثُلُ ثاىَقبْ َ ياَينِ ا َيبْ نطُّ ل اِء َمَّسل ا َلَِإاٍةَلبْ يَلاَّلُكا َلَ َعَ تَ اَكَر َ َ تا َنطُّ اَراُلِ بْنَ ي ا. اُ َلاَرِفبْ َأَفا ِنُِّرِفبْغَ تبْسَيابْنَ اُ َيِ بْ ُأَفا ِ ُلَأبْسَيابْنَ اُ َلاَبيِ َتبْسَأَفا ِنِّوُ بْ َي Rabb kami Allah Tabaraka wa Ta'ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam terakhir, dan berfirman: siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan aku kabulkan; siapa yang meminta kepada-Ku, niscaya aku beri; dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni

(HR. Bukhari 1145, Muslim 758) 37 . Dari pemaparan di atas penulis mendapatkan konsep yang jelas

bahwa Al-Sa’di> di dalam kitab tafsirnya " Tais īr al-Karīm al-Raḥmān

f īTafsīri Kalām al-Mannān" meyakini Allah berada di atas langit di atas Arsh-Nya, keyakinan ini sama dengan keyakinan beberapa

mufassir di antaranya al- Ṭabari, Ibn Kathīr, al-Alūsi, dan al-Jazāiri. Dan juga berbeda dengan beberapa mufassir lainnya, sebab sebagian mufassir menyatakan bahwa ketinggian Allah adalah ketinggian maknawai bukan ketinggian Zat sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah Zuhayli>.

Sepertinya pendapat Al-Sa’di> dan ulama yang sependapat dengannya lebih kuat karena didukung oleh dalil Naqli serta dalil aqli

yang sangat kuat.

1.2. Sifat Kalam (berbicara) Allah mempunyai sifat kalam artinya Allah berbicara dan bicara Allah tentu berbeda dengan berbicaranya manusia sebab Allah tidak sama dengan makhluknya dari seluruh sisi. Sifat kalam Allahterdapat dalam banyak dalil di antaranya surat al-Nisa> (4)164, al-Baqarah (02):253, dan al-Kahfi (18):109.Allah berfirman:

Dan ada Rasul-rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan ada juga Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung (al-Nisa[04]:164).

Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang Rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. dalam pada itu Nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di

waktu mi'raj. 38 Al-Sa’di>> mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa

setiap Rasul memiliki kekhususan tersendiri, kekhususan Nabi D āud diberikan kitab Zabur yang sangatterkenal dan sangat mashur. Pengkhususan ini adalah anugrah dari Allah karena keutamaan Nabi Daud 'alaihissalam. Dan kekhususan Allah atas Nabi M ūsa adalah Allah telah mengajak Musa berbicara secala langsung tanpa perantara siapapun, sampai Nabi Musa mendapat julukan " kal īm al-Raḥmān", yaitu manusia yang diajak bicara oleh al-Ra ḥmānsecara langung. Julukan ini pun sudah terkenal dan mendunia. 39

Al-Jazairi mendukung pendapat bahwa Allah berbicara kepada musa secara langsung. 40 Ini menunjukan bahwa Allah memiliki sifat

"kalam" yang berarti Allah berbicara. Menurut penulis pendapat ini adalah pendapat yang benar karena sesuai dengan teks ayat, dan sesuai dengan metode sebagian besar salafus salih yang mensifati Allah sebagaimana sifat-Nya.

Ketika Allah mengajak bicara pada Nabi Musa, ini menunjukan fadilah dan keutamaan yang dimiliki oleh Musa 'Alaihissal ām, karena ini juga beliau 'Alaihissal ām diberi gelar al-Kalīm (yang diajak bicara).

38 Lihat al-Qur´an dan Terjemahnya, yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur´an Jakarta (Madinah: Maktabah al-

Malik al-Fahd, 1418), 151. 39 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, al-Qawa>id al-Hissa>n li Tafsi>r al-Qur´an.

(Bair ūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 194. 40 Ab ū Bakar Jābir al-Jazāiri, Aisar al-Taf āsir Li Kalāmi al-'Aliy al-Kabīr,

Kalangan Mu'tazilah meyakini bahwa Allah tidak mempuntai sifat Kal ām, sehingga mereka menyangkal jika Allah berbicara dengan Nabi M ūsā, dan merekapun menta`wil (merubah) ayat ini dengan memansubkan kata Allah menjadi "wakallama All āha Mūsā taklīmā" sehingga artinya menjadi "Dan Musa berbicara pada Allah", akan tetapi ini adalah kekeliruan besar sebab ada satu ayat yang tidak mungkin dita'wil yaitu firman Allah dalam surat al-A'raf[07]:143 berikut: 41

       Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada

waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,...

Dalam ayat ini Ibn Kath īr terlihat sangat jelas membela faham Ahlussunnah dan mencoba membantah pemahaman Mu'tazilah yang

meyakini Allah tidak memiliki sifat kalam atau berbicara. Dalam pembahasan ini pun kita mengetahui bahwa sepertinya aqidah Al- Sa’di> sama dengan aqidah ulama-ulama terdahulu yang berhaluan Sunni.

Quraish Shihab menafsirkan bahwa ayat di atas menjelaskan tentang janji Allah sebagai respon atas apa yang terjadi ketika itu, yakni ketika Musa datang untuk bermunajat dengan Rabbnya untuk waktu yang Kami telah tentukan dan TuhanNya telah berfirman langsung kepadanya, yakni nabi Musa. Masih menurutnya, bahwa nabi Musa mendapatkan keistimewaan dari Allah dan anugrah yang besar yaitu dapat berbicara dengan Allah dan mendengar langsung kalam-

Nya. 42 Ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Nis ā[04]:164 di

atas, mayoritas mufassir membacanya dengan me marf'ukan (men ḍamahkan) lafadz Allah sehingga yang berbicara adalah Allah kepada Nabi M ūsā, sedangkan al-Nakha'i serta Yahya Ibn Waththāb membaca lafadz Allah dengan mansub (fathah), sehingga yang berbicara adalah M ūsā kepada Allah. Adapun kata "takl īmā" adalah ma ṣdar yang dengannya kata itu menjadi lebih kuat dan menghilangkan makna maj āzi, karena orang 'Arab menjadikan seluruh

41 Ism ā'īl ibn 'Umar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm, (al-Kuwait: Jam'iyyah Ihy

42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al- āi al-Turāth al-Islāmi, 1421), 806..

apa yang didengar adalah kal ām baik hakiki ataupun majāzi kecuali kalau dikuatkan dengan ma ṣdar, ketika dikuatkan dengan maṣdarmaka maknanya adalah hakiki. 43

Sepertinya yang dimaksud Jumhur oleh al-Shauk āni ini adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebab sepengetahuan penulis tidak ada seorangpun ulama Sunni yang tidak meyakini sifat kalam bagi Allah, mereka semua meyakini Allah berbicara dengan tidak menyamakan antara pembicaraan Allah dengan sifat bicara makhluk. Sehingga Al-

Sa’di> dalam masalah ini sangat sesuai dengan pendapat Jumhur atau pendapat Ahl al-Sunnah dan berbeda pendapat dengan Aliran Mu'tazilah.

Keyakinan Allah mempunyai sifat kalam pun dikuatkan oleh Allah sendiri dalam surat al-Baqarah[02]:253 Allah berfirman:

   Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas

sebagian yang lain. di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat...

Ayat ini mengabarkan bahwa Allah memberikan keutamaan yang yang lebih kepada sebagian Rasul tidak pada Rasul yang lain. Hal ini menjadi kekhususan mereka di hadapan manusia yang lain karena

mereka menjadi utusan Allah untuk manusia agar mereka berdakwah dan mengajak manusia lainnya kembali kepada jalan Allah, kemudian Allah memberikan keistimewaan pada sebagian Rasul tidak pada yang lainnya, di antara mereka ada yang diajak bicara secara langsung yaitu Nabi Musa 'Alaihissalam dan di antara mereka ada yang ditinggikan derajatnya seperti Nabi Muhammad Salallahu'alaihi wasallam, karena seluruh keutamaan telah terhimpun pada diri Nabi Muhammad

S}alallahu'alaihi wasallam. 44 Mu ḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimi menafsirkan ayat ini dengan

mengatakan bahwa Allah merinci pemberian keutamaan kepada para

43 Mu ḥammad Ibn 'Alī al-Shaukānī, Fat ḥ al-Qadīr al-Jāmi' Baina Fannai al- Riw āyah wa al-Dirāyah Min 'Ilmi al-Tafsiīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 1418 H),

848. 44 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Nabi, di antara mereka ada yang diajak bicara secara langsung tanpa duta atau tanpa perantara beliau adalah Nabi M ūsā'Alaihissal ām dan ada juga yang diangkat seperti Nabi Ibr āhim yang dijadikan khal īlu All āh (kekasih Allah) dan Nabi Dāūd yang Allah berikan derajat kenabiah, kekhilafahan dan kerajaan. 45

Kembali dalam tafsir ayat ini al-Sa’di>> menegaskan bahwa Allah lah yang berbicara pada Musa 'Alaihissal ām dan juga mengungkapkan dalil bahwa Allah mempunyai sifat kal ām atau berbicara. Ini adalah sifat Allah yang diinformasikan langsung oleh Allah dan Allah lebih tahu tentang Diri-Nya dari selain-Nya.

Di antara ayat yang menerangkan sifat kalam bagi Allah adalah surat al-Kahfi[18]:109, dimana Allah berfirman:

                   Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)

kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".

Ayat ini adalah perintah Allah untuk Nabi Muh}ammad agar beliau mengabarkan kepada manusia akan keagungan Allah dan

keluasan sifat-Nya, dan sesungguhnya sifat Allah tidak dapat dicakup oleh makhluk-Nya sedikitpun. Seandainya lautan yang ada di dunia ini menjadi tinta dan semua pohon dari dulu hingga kini dijadikan pena untuk menulis kalam Allah niscaya lautan itu akan kering dan pena

pun akan patah sebelum habis kalam (pembicaraan) Allah. 46 Ayat ini semakna dengan surat Luqman[31]:27, ketika Allah berfirman:

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah

45 Mu ḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Tafsīr al-Qāsimi/ Ma ḥāsin al-Ta`wīl, (Beir ūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 H), 187.

46 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

(kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Permisalan yang ada dalam ayat ini hanya sebagai satu pendekatan makna pada pemikiran manusia, karena pohon dan laut yang disebutkan adalah makhluk Allah yang mempunyai kekurangan dan pada akhirnya akan habis, akan tetapi kalam Allah termasuk ke

dalam sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya bukanlah makhluk sehingga tidak berbatas dan tidak pernah habis. Sebesar apapun dan sesempurna apapun bayangan hati tentang kebesaran dan kesempurnaan Allah, pada hakekatnya Allah lebih sempurna dari yang kita bayangkan, dan seperti ini pula sifat-sifat Allah yang lain seperti ilmu, keadilan, kemampuan, dan kasih sayang-Nya serta sifat-sifat yang lainnya. Seandainya ilmu semua makhluk dikumpulkan dari manusia pertama sampai manusia terakhir dan ilmu penduduk langit dan bumi, niscaya jika dibandingkan dengan ilmu Allah lebih kecil dari seekor burung Pipit yang bertengger di tepi laut dan mengambil air itu dengan patuknya dibanding dengan air lautan yang begitu luas, hal demikian

karena Allah memiliki sifat yang luas dan sempurna. 47 Dari pemaparan ini semua bisa diambil kesimpulan bahwa Al-

Sa’di> mempunyai perspektif yang sama dengan para ulama Ahlussunnah sebelumnya seperti Ibn Kath īr, dan al-Ṭabari yang menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat kal ām, dan al-Qur´an yang ada di tengah-tengah kita saat ini adalah di antara kal ām Allah, sehingga sangat berbeda dengan kitab-kitab lainnya.

1.3. Sifat al-Istiwā di atas 'Arsh Sifat ini dikabarkan langsung oleh Allah dalam surat al-A'r āf:54 dan Ṭāhā:5. Allah Istiwa di atas 'Arsh artinya tinggi dan berada di atas 'Arsh sesuai dengan keagungan Allah. Istiwa tidak dapat diartikan dengan al-istaul ā (menguasai) karena hal ini tidak dikenal dalam bahasa Arab dan mengandung konsekwensi buruk yaitu ‘Arsh tadinya tidak dikuasai oleh Allah. Sebab dalam surat al-A'r āf[07]:54 yang akan dibahas di bawah ini Allah mengabarkan bahwa setelah Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam hari lalu Allah ber- istiw ā di atas 'Arsh. 48

47 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 461.

48 Lihat Mu ḥammad Ṣāliḥ al-Uthaymīn, Ta'līq Mukhta ṣar 'alā Kitāb Lum'ati

Mu ḥammad 'Ali al-Shaukānī dalam tafsirnya Fatḥ al-Qadīr juga mempunyai pandangan yang sama dengan pandangan Al-Sa’di> dan juga al-Shinqiti, dia mengatakan tentang ayat ini bahwa, para ulama telah berbeda pendapat dalam menafsirkan ayat ini bahkan terpecah menjadi empat belas pendapat; akan tetapi yang paling tepat adalah pendapat yang sesuai dengan pandangan Salaf al-Salih, yaitu Allah beritiwa di atas 'Arsh tanpa menanyakan bagaimana cara beritiwa- Nya, akan tetapi menyakini Allah beristiwa sesuai dengan keagungan- Nya serta mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak untuk-Nya seperti menyamakan dengan makhluk-Nya, dan istiwa dalam bahasa

Arab artinya tinggi dan menetap. 49 'Arsh secara bahasa artinya singgasana khusus milik raja, adapun

secara istilah dalam pembahasan ini adalah singga sana Allah yang mana Allah yang Maha Agung dan Maha Pengasih berada di atasnya. 'Arsh ini adalah makhluk Allah yang paling besar dan Arsh ini disifati 50

oleh Allah dengan A ẓīm ('Arsh yang besar) , kar īm (Arsh yang

51 mulia) 52 dan Maj īd (Arsh yang agung) .

49 Mu ḥammad Ibn 'Alī al-Shaukānī, Fat ḥ al-Qadīr al-Jāmi' Baina Fannai al- Riw āyah wa al-Dirāyah Min 'Ilmi al-Tafsiīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 1418 H),

298. 50 Al-'Arsh di sifati dengan al-A ẓīm sebagaimana dalam surat al-

Tawbah[09]:129:                  Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: "Cukuplah Allah

bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsh yang agung".

51 Al-'Arsh disifati dengan al-Kar īm sebagaimana dalam surat al- Mu'minu>n[23]:116:             

Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) ‘Arsh yang mulia. QS. al-Mu’minu>n: 116 52 Menurut Ibn Uthaim īn juga شl-'Arsh disifati dengan al-Majīd sebagaimana dalam surat al-Bur ūj[85]:15, akan tetapi penulis berpendapat bahwa al- Maj īd tidak tersifati dengan al-Majīd dalam ayat ini, karena al-Majīd berharakat ḍammah bukan berharakat kasrah, sehingga al-Majīd menjadi sifat bagi Allah karena sesuai dengan 'irab yang kembali pada sifat-sifat Allah sebelumnya. Lihat surat al- Bur ūj [85]:14-15 berikut:

Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih,yang mempunyai ‘Arsh,

Allah berfirman dalam surat al-A'r āf[07]:54:            

Sesungguhnya Tuhan kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsh. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.

Al-Sa’di>> menafsirkan ayat ini dengan mengatakan dalam Ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia adalah satu-satunya Rabb (pencipta,

pemilik dan pengatur) semua makhluk dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan cermat dan sempurna. Penciptaan ini semua dimulai pada hari Ahad dan di akhiri pada hari Jum'at, ketika Allah telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan menetapkan aturan-aturan-Nya, Dia ber istiwa (bersemayam) di atas 'Arsh yang luasnya meliputi langit-langit dan bumi dan yang ada di dalamnya dan di antara keduanya. Allah beristiwa sesuai dengan keagungan-Nya dan kekuasaan-Nya yang tidak sama dengan makhluk-Nya. Di atas sanalah Allah mengatur kerajaan-Nya dan menjalankan hukum-hukum-Nya

yang bersifat kauniyah, dan diniyyah. 53 Al-Shinq īṭī dalam tafsirnya Aḍwā al-Bayān mempunyai

penafsiran yang sangat bagus dalam masalah sifat Allah ini, dia mengatakan tentang ayat ini bahwa ayat ini termasuk ke dalam ayat- ayat yang menerangkan sifat Allah, seperti "Tangan Allah di atas tangan mereka" (al-Fath:10) dan lain sebagainya; ayat seperti ini tidak dimengerti oleh banyak manusia sehingga kebanyakan mereka tersesat, sebagian mereka memilih jalan ta' ṭīl (menghilangkan sifat ini dari Allah) dan sebagian mereka memilih jalan tashb īh (menyerupakan

Sehingga al-Arsy hanya disifati dengan al-a ẓīm dan al-Karīm tanpa disifati dengan al-Maj īd. 53 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Allah dengan makhluk) –Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini- padahal Allah telah menjelaskan sifat-sifat-Nya dengan penjelasan yang sangat jelas dan tidak meninggalkan kesulitan sedikitpun untuk memahami sifat-sifat-Nya. Kesimpulan dari ini semua yaitu bahwa yang tepat dalam memahami ayat-ayat sifat yaitu terdiri dari dua perkara: pertama, Tidak menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya; kedua, mengimani semua sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur´an dan al-Sunnah. Kaidah ini menjadi sangat penting karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah, bahkan Allah pun berfirman "apakah kalian lebih mengetahui ataukah Allah?" (al-Baqarah:140), dan tidak ada yang lebih mengetahui Allah setelah Allah kecuali Rasulullah yang tidak berkata kecuali dengan tuntunan wahyu dari Allah (al-Najm:3-4); dan siapa saja yang menghilangkan satu sifat dari sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam kitab-Nya atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dengan anggapan bahwa sifat itu tidak layak disandarkan pada Allah maka dia telah menjadikan dirinya seolah-oleh lebih tahu tentang Allah dari Allah itu sendiri dan dari Rasul-Nya, dan ini jelas kedustaan yang besar. Sehingga yang tertepat dalam hal ini yaitu mensifati Allah sebagaimana Allah telah mensifati diri-Nya dengan tidak

menyerupakan-Nya dengan makhluk. 54 Ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah berada di atas 'Arsh

adalah surat Ṭāḥā[20]:5, Allah berfirman:     

Tuhan yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsh. Dalam terjemah al-Qur´an Departeman Agama Republik

Indonesia dinyatakan bahwa kata "Bersemayam di atas 'Arsh" ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.Ini menunjukan bahwa terjelamah seperti ini sesuai dengan aqidah yang diyakini oleh Al-Sa’di> di atas ketika menafsirkan ayat istiwa, yaitu dengan memberikan makna dzahir serta mengimaninya tanpa menyamakan antara sifat khalik dan sifat

makhluk. 55

54 Mu ḥammad al-Amīn al-Shinqīṭī, A ḍwā al-Bayān fī Iḍāḥi al-Qur`an bi al- Qur`an, (Beirut: Dar al-Kutub al'Ilmiyyah, 1424), 228-229. 55

Lihat al-Qur´an dan Terjemahnya, yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur´an Jakarta (Madinah: Maktabah al-

Istiw ā-Nya Allah di atas 'Arsh menunjukan bahwa Allah berada di atas dan ayat ini saling menguatkan dengan pembahasan bahwa Allah berada di atas bukan di mana-mana. Dalam hal ini Al-Sa’di> sama dengan al-Shinqiti yang meyakini bahwa Allah berada di atas 'Arsh dan keberadaan Allah di atas 'Arsh sama sekali tidak menunjukan bahwa Allah butuh terhadap 'Arsh atau tempat lainnya, bahkan sebaliknya semua mahkluk lah yang membutuhkan Allah.

1.4. Sifat al-Wajh (wajah Allah) Sifat al-wajh (wajah Allah) ini terdapat dalam beberapa ayat di antaranya dalam surat al-Ra ḥmān ayat 26-27, dan al-An'ām[06]:52. Allah memiliki Wajah yang tidak serupa dengan wajah makhluk-Nya, Wajah Allah sesuai dengan keagungan Allah dan wajah makhluk sesuai dengan kerendahan makhluk.

Setiap kata mempunyai tiga rukun, yaitu: lafadz, arti dan hakekat. Lafadz kata yang sama bisa mempunyai arti yang sama dalam

hal bahasa, tetapi mempunyai hakekat yang berbeda, tergantung pada zat si empunya kata tersebut. Contohnya kata "Kepala" ini dihubungkan kepada dua pemilik yang berbeda pula. Misalnya: kepala sekolah dan kepala macan. Lafadz keduanya adalah k-e-p-a-l-a, dalam bahasa pun mempunyai arti yang sama, yaitu zat yang diikuti oleh bagian yang lainnya. Tetapi hakekat keduanya jauh sekali. Contol lainnya kaki meja dan kaki sapi, wajah bumi dan wajah manusia, dan lain sebagainya. Kata-kata ini walaupun sama ejaannya dan juga maknanya akan tetapi hakekatnya berbeda. Ini antar makhluk, maka bagaimana antara makhluk dan khalik jelas akan sangat berbeda sekali

walaupun sama lafadznya. 56 Dalam surat al-Ra ḥmān Allah memperkenalkan Dirinya kepada

orang yang beriman bahwa Allah mempunyai Wajah, Wajah yang sesuai dengan keagungannya dan tidak serupa dengan wajah makhluk- Nya dari segala sisi. Allah berfirman:

            Semua yang ada di bumi itu akan binasa.Dan tetap kekal Wajah

Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (al- Ra ḥmān[55]:26-27)

Al-Sa’di> menafsirkan wajah dalam ayat ini langsung pada zat pemilik wajah yaitu Allah Ta'ala. Al-Sa’di> mengatakan bahwa semua makhluk yang ada di atas bumi baik manusia, jin, binatang dan makhluk lainnya semuanya akan fana, mati dan binasa, dan tetap kekal Allah yang Maha Hidup yang tidak akan pernah mati. 57

Pendapat berbeda tentang ayat di atas datang dari kalangan Mu’tazilah, ketika menafsirkan ayat tersebut al-Zamashkari> menjelaskan bahwa makna al-Wajh dalam ayat tersebut adalah Dhat Allah menurut beliau maknanya wal wajhu yu’abbiru bihi wa al dhat (dan makna wajah menunjuk kepada Dhat Allah). 58

Dalam surat al-An' ām[06]:52 Allah pun mengabarkan bahwa Dia mempunyai wajah yang Agung, bahkan Wajah Allah menjadi Daya

Tarik untuk orang-orang yang beriman sehingga mereka beramal salih dengan maksud di akherat nanti bisa memandang Wajah Allah yang sangat indah. Allah berfirman:

          Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru

Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya... (al-An'am[06]:52. 59

Departemen Agama Republik Indonesia menerjemahkan kata " Wajah" dalam ayat ini sebagai "keridaan Allah", sepertinya ini bertentangan dengan makna tafsiriyah yang diyakini oleh al-Sa’di>>, sebab Al-Sa’di> di dalam ayat ini tidak menafsirkan al-Wahj dengan al- Rida, Al-Sa’di> tetap menafsirkan al-Wajh dengan al-Wajh, sehingga diyakini bahwa metode aqidah yang dimilikinya dalam masalah Nama dan Sifat Allah adalah mensifati Allah sebagaimana yang Allah sifati untuk dirinya tanpa merubah pada makna lain. Dari sini bisa diketahui bahwa Departemen agama sepertinya tidak konsisten dalam meniti

57 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Da>r Ibn Hazm, 1424 H), 794.

58 Al-Zamashkari>, Tafsir al-Kasha>f . (Bayru>t: Da>r Kutub Ilmiyyah, 1995), Jilid IV, 436.

59 Lihat al-Qur´an dan Terjemahnya, yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur´an Jakarta (Madinah: Maktabah al- 59 Lihat al-Qur´an dan Terjemahnya, yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur´an Jakarta (Madinah: Maktabah al-

Al-Q āsimī menafsirkan "wajah" dalam ayat ini langsung pada maknanya yaitu Allah Ta'ala yang akan senantiasa kekal. Dalam menafsirkan ayat ini sepertinya al-Q āsimī tidak memandang bahwa "wajah" adalah sifat Allah akan tetapi beliaupun tidak menolak secara utuh sehingga ada dua kemungkinan, pertama mungkin saja al-Q āsimī berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat "wajah" sehingga beliau tidak menafsirkan wajah dalam ayat ini dengan "wajah Allah", dan

mungkin juga ia meyakini bahwa Allah mempunyai sifat "wajah" hanya saja beliau tidak menyebutnya secara langsung. 61

Akan tetapi ketika al-Q āsimī menafsirkan "wajah Allah" dalam surat al- Qa ṣaṣ:88 secara tegas beliau menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "Wajah Allah" dalam ayat ini adalah Dzat Allah itu sendiri, hal ini karena adanya Allah bukan bersifat dzati akan tetapi 62

disandarkan pada w ājib al-wujūd (Wajib ada). Mu ḥammad Maḥmūd al-Majāzi dalam kitanya Tafs īr al- W āḍiḥsepertinya sependapat dengan al-Qāsimī dan beberapa musassir lain yang menafsirkan "wajah Allah" dalam surat al-Rahman dengan

Zat-Nya, tidak menafsirkan dengan "wajah". 63 sehingga ini menambah rentetan mufassir yang berbeda dengan Al-Sa’di>.

Dari beberapa pembahasan di atas bisa disimpulkan sementara bahwa para mufassir dalam masalah memandang sifat Allah terpecah pada dua kelompok besar yaitu mereka yang mensifati Allah dengan sifat Asli teks dalam al-Qur´an dan ada juga ulama yang menta'wil sifat Allah dengan yang lainnya.

1.5. Sifat al-Ma ḥabbah (rasa cinta) Allah mempunyai sifat mahabbah sesuai dengan keagungannya dan sudah tentu tidak sama dengan sifat makhlukNya. Sifat mahabbah atau sifat cinta ini sifat di antaranya terkandung dalam firman Allah surat al- M āidah[05]:54, Allah berfirman:

60 Lihat: 'Abd al-Ra ḥmān Al-Sa’di>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kal ām al-Mannān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 235.

61 Mu ḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Tafsīr al-Qāsimi/ Ma ḥāsin al-Ta`wīl, (Beir ūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 H), 106.

62 Mu ḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Tafsīr al-Qāsimi/ Ma ḥāsin al-Ta`wīl, (Beir ūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 H), 187.

63 Muh}ammad Mah}mu>d al-Maja>zi, Tafsir al-Wadih. (Qahirah: al-Istiqlal al-

Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.

Al-Sa’di>> mengatakan: dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa Allah tidak butuh terhadap alam, siapapun yang murtad berpaling dari

agama Allah, maka hal ini tidak akan mencelakakan-Nya, bahkan hanya akan merugikan pelakunya. Dan sesunggunya Allah mempunyai manusia-manusia yang ikhlas dan jujur yang diberi hidayah oleh-Nya, dan Allah berjanji akan mendatangkan mereka dan mereka itulah manusia yang mempunyai kesempurnaan sifat, kekuatan jiwa dan kebaikan akhlak. Di antara sifat teragung yang dimilikinya adalah Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah, dan ini merupakan karunia terbesar yang dimiliki oleh seorang hamba yaitu ketika mereka mendapat cinta dari Allah, karena ketika Allah sudah mencintai seseorang maka Allah akan memudahkan segala urusan, menghilangkan segala kesulitan, memberikan taufik untuk melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan dan juga

menjadikan hamba Allah yang lain cinta kepadanya. 64 Ibn Kathir menyatakan bahwa orang-orang yang murtad dalam

ayat ini adalah mereka yang murtad pada zaman Abu Bakar radiallahu'ahnu, adapun yang dicintai oleh Allah adalah Abu Bakar dan para sahabat Nabi yang lainnya. Perkataan ini dikutip oleh Ibn Kathir dari al-Hasan al-Basri. Dari penafsiran ini, ibn kathir tidak membahas sifat Allah secara langsung, akan tetapi dia mendiamkan kata "mahabbah Allah" dan langsung menafsirkan objek yang dicintai. Ini

64 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 64 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>>, Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Mahabbah Allah juga dijelaskan dalam hadis al-Qudsi berikut: ابْ َقَ فا ًّيِلَ ا ِلِاىَد َ ابْنَ اَل َ اَ َّلل اَّنِإاَ َّلَسَ اِ بْيَلَ اُ َّلل اىَّلَ اِ َّلل اُلوُسَراَل َ اَل َ اَةَربْ يَرُ ا ِبَِأابْنَ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah Salallahu'alaihi wasallam bersabda: "sesungguhnya Allah berfirman": "Siapa saja yang memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya, dan tidak ada bentuk taqarrub seorang hamba yang lebih aku cintai daripada ketika ia melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dan ketika hamba-Ku terus menambahnya dengan hal-hal sunnah maka Akupun

menjadi cinta kepadanya. (HR. Bukhari>) Allah Ta'ala memberikan mahabbah dan penjagaan terhadap para wali-Nya. Wujud dari penjagaan itu adalah kemarahan Allah bila seseorang berusaha mencelakakan mereka. Hadis ini menjelaskan

tentang siapa wali Allah dan kekasihnya di dunia dan di akherat. 67 Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Allah mempunyai sifat

mahabbah, dan sebagai konsekwensi sifat ini, maka Allah memberikan mahabbahnya atau cinta-Nya kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Dan sifat cinta Allah ini berbeda dengan sifat cinta makhluk-Nya karena Allah tidak sama dengan makhluknya dari berbagai sisi.

65 Ism ā'īl ibn 'Umar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur`an al-Aẓīm, (al- Kuwait:Jam'iyyah Ihy

66 āi al-Turāth al-Islāmi, 1421), 921. H.R al-Bukhari (Lihat Maktabah Shamilah) 67 Mu ṣṭafā Dīb al-Bugā, al-Wāfī, Shar ḥ Kitāb Arbain al-Nawāwi, (persi

Indonesia: Menyelami Makna 40 Hadis Rasulullah), (Jakarta: al-'Itisam, 2007), 369. Orang yang menjadi wali-wali Allah adalah seluruh orang yang beriman dan bertaqwa sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Yunus:62-63. Sehingga banyak sekali yang menjadi wali Allah dan tidak sebatas 9 wali yang sangat mashur di Indonesia bahkan sudah menjadi nama-nama Universitas-Universitas Islam Negeri (UIN). Ke walian seseorang bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Semakin beriman dan bertaqwa maka semakin tinggi

2. Sifat Salbiyah Sifat salbiyah adalah sifat yang dihilangkan dari Allah Ta'ala, dan sifat-sifat yang dihilangkan ini tidak mungkin diketahui keculai dari Allah dan Rasul-Nya. Karena tidak ada yang mengatahui sifat Allah secara sempurna kecuali Allah, dan manusia manapun pada awalnya tidak mengenal Allah kecuali dari informasi wahyu berupa al- Qur´an dan Sunnah.

Di antara sifat yang dibuang dari Allah adalah sifat-sifat yang terdapat dalam ayat Kursi, tepatnya surat al-Baqarah[02]:255, Dalam

ayat Kursi ini, Allah menjelaskan beberapa sifat yang ditiadakan dari diri-Nya yang Mulia. Yaitu sifat ngantuk, tidur dan letih. Sifat-sifat ini ditiadakan dari Allah, sehingga Dia tidak mengantuk, tidak tidur dan juga tidak letih. Kemudian dalam surat al-Nisa[04]:40 Allah menjelaskan bahwa Dia tidak zalim walaupun seberat atom, kemudian dalam surat al-Syura[42]:11 Allah menyatakan bahwa diri-Nya tidak sama dengan yang lainnya. Dan Allah tidak pernah ngantuk dan tidur sebagaimana firman-Nya:

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Al-Sa'di> menafsirkan kata " 68 al-sinah" dengan "al-Nu' ās" yang artinya mengantuk. Ketika Allah tidak mengantuk maka dipastikan

68 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 68 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Sayyid Qu ṭb, dalam tafsirnya F īẒilāl al-Qur`ān, mengatakan bahwa Allah mengabarkan Diri-Nya tidak memiliki rasa ngantuk dan juga tidak tidur. Hal ini diinformasikan oleh Allah agar manusia mengetahui bahwa kemandirian Allah sangat sempurna. 69

Penafsiran kata " al-Sinah" dengan "al-Nu' ās" dinyatakan oleh banyak mufassir di antaranya Ab ū al-Faraj Jamālu al-Dīn 'Abd al- Ra ḥmān Ibn 'Ali al-Jauzī dalam tafsirnya Zād al-Masīr fī 'Ilmi al- Tafs 70 īr.

Dari beberapa penafsiran ini tampak jelas bahwa para mufassir menyatakan bahwa Allah tidak ngantuk dan juga tidak tidur, ini

menunjukan sesempurnaan keagungan Allah. Berbeda dengan manusia, Jin dan makhluk yang lain yang tidak memiliki kesempurnaan, mereka akan tidur ketika kelelahan menimpa, sedangkan Allah telah menjauhkan sifat ini darinya, karena Allah sendiri menyampaikan Diri- Nya tidak merasakan kelelahan dan keletihan, sebagaimana yang Allah informasikan dalam lafaz selanjutnya dalam ayat ini.

a. Allah Luput dari Lemah Allah tidak merasa lelah ketika mengatur seluruh makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi, ini menunjukan kesempurnaan kekuatan Allah. Sifat lelah ini dihilangkan oleh Allah masih dalam ayat kursi, ketika Allah berfirman: "Wa l ā Ya`ūduhu hifẓuhumā wa huwa al-'Aliyu al-A ẓīm".

Al-Sa’di>mengatakan: Pengaturan langit dan bumi tidak memberatkan Allah sedikitpun, Allah mengurus keduanya dan dia berada di atas ‘Arsh-Nya, Maha Tinggi dengan memaksa semua makhluk-Nya, dan Maha Tinggi dengan kehendak-Nya karena kesempurnaan sifat-Nya dan Maha Agungyang dengan keagungannya menjadi lemah kekuasaan para penguasa, dan menjadi kerdil para raja pemaksa di sisi-Nya, segala puji Tuhan Yang memiliki keagungan yang agung, yang memiliki sesombongan yang angkuh, dan kekuatan

yang tidak pernah terkalahkan... 71

69 Sayyid Qu 70 ṭb, Fī Jam Ẓilāl al-Qur`an, (al-Qāhira: Dar al-Shurūq, 1429 H), 287. ālu al-Dīn 'Abd al-Raḥmān Ibn 'Ali al-Jauzi, Zād al-Masīr fī 'Ilmi al-

Tafs īr(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1414), 250. 71 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , al-Tawdi>h wa al-Baya>n li Shajarah al-I>ma>n,,

Sayyid Qutb menjelaskan tentang ayat ini bahwa kata "Wa l ā Ya` ūduhu hifẓuhumā wa huwa al-'Aliyu al-Aẓīm"adalah bentuk sindiran yang menjelaskan kesempurnaan kekuatan Allah

72 Ta'ala. Ketika Allah tidak merasakan lelah dalam pengurusan langit dan bumi maka ini menunjukan kesempurnaan kekuatan.

" L ā Yaūduhu" bermakna "Lā Tuthqiluhu" artinya dalam pengurusan langit dan bumi Allah tidak merasa berat, dan tidak merasa sulit. Pemaknaan ini disampaikan juga oleh al-Jauzi dalam Z ād al-Mas 73 īr fī 'Ilmi al-Tafsīr Luasnya jagad raya dan kerapihan aturan yang ada di langit dan bumi sama sekali tidak membuat berat Allah Yang Maha Sempurna kekuatan-Nya.

Dengan sangat jelas al-Sa’di>dan beberapa mufasir ini menghilangkan sifat lemah pada Allah setelah Allah mengabarkan bahwa Diri-Nya tidak lemah, tidak lelah dan tidak cape dalam pengurusan langit dan bumi. Inilah kekuatan Allah, yang sangat beda dengan kekuatan makhluk-Nya. Alam yang begini besar sama sekali tidak membuat Allah lelah dalam menjalankan aturan-aturan-Nya.

b. Allah tidak Zalim Allah telah menghilangkan sifat Zalim pada diri-Nya, hal ini telah dikabarkan dalam banyak ayat di antaranya surat Ali Imran[03]:117, al-Nahl[16]:33, al-Nisa[04]:40, Yunus[10]:44 dan al- Kahfi[18]:49.

Dalam surat Āli Imrān[03]:117, Allah berfirman:            

            Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan

dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang Menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.

Di dalam ayat ini Allah menggambarkan bahwa harta-harta yang diinfakan oleh orang-orang kafir untuk menghalang-halangi jalan Allah dan untuk memadamkan cayaha Allah akan sia-sia, seperti seoang

72 Sayyid Qu 73 ṭb, Fī Jam Ẓilāl al-Qur`an, (al-Qāhira: Da>r al-Shurūq, 1429 H), 287. ālu al-Dīn 'Abd al-Raḥmān Ibn 'Ali al-Jauzi, Zād al-Masīr fī 'Ilmi al- 72 Sayyid Qu 73 ṭb, Fī Jam Ẓilāl al-Qur`an, (al-Qāhira: Da>r al-Shurūq, 1429 H), 287. ālu al-Dīn 'Abd al-Raḥmān Ibn 'Ali al-Jauzi, Zād al-Masīr fī 'Ilmi al-

menghilangkan harta mereka. 74 Komentar di atas adalah komentar al-Sa’di>dalam tafsirnya.

Dengan jelas al-Sa’di>mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat zalim karena sifat ini telah dibuang dari Allah oleh Allah sendiri.

Al-Shauk āni dalam Fat ḥ al-Qadīr menyatakan tenyang ayat ini bahwa Allah tidak zalim walaupun terhadap orang-orang munafiq dan kafir, bahkan pada hakekatnya orang kafir itulah yang menzalimi mereka sendiri dengan kekufuran mereka sehingga harta yang mereka

infakan tidak bermanfaat sama sekali. 75 Al-Shaukani pun dalam tafsirnya menegaskan bahwa Allah tidak

zalim sedikitpun pada hambanya, bahkan ketika ada seorang hamba yang merasa rugi kehilangan hartanya atau tidak suksesnya satu usaha atau bahkan menyebabkan mereka mendapatkan kesulitan maka pada hakekatnya mereka telah menzalimi diri mereka sendiri.

Dengan nada yang sama Allah informasikan bahwa Diri-Nya terbebas dari sifat zalim adalah firman-Nya dalam surat al- Na ḥl[16]:33, Allah berfirman:

Tidak ada yang ditunggu-tunggu orang kafir selain dari datangnya Para Malaikat kepada mereka atau datangnya perintah

74 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 128.

75 Mu ḥammad ibn 'Alī al-Shaukānī, Fat ḥ al-Qadīr al-Jāmi' Baina Fannai al- Riw āyah wa al-Dirāyah Min 'Ilmi al-Tafsiīr, (al-Manṣūrah: Dār al-Wafā, 1418 H),

Tuhanmu. Demikianlah yang telah diperbuat oleh orang-orang (kafir) sebelum mereka. dan Allah tidak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang selalu Menganiaya diri mereka sendiri.

Al-Sa’di>menafsirkan ayat ini: Allah berfirman " apakah orang- orang yang didatangi ayat-ayat menanti datangnya ajal kematian sehingga mereka tetap kufur dan tidak mengingat? Atau mereka menanti kedatangan azab yang akan menimpa mereka, mereka telah layak mendapatkan azab itu, seperti itu pula perbuatan-perbuatan

orang-orang sebelum mereka, mereka tetap kufur, dan tidak beriman sampai datangnya azab. Allah tidak zalim Ketika Allah mengazab mereka, bahkan merekalah yang zalim. Mereka telah diciptakan untuk

beribadah pada Allah agar mendapatkan kemuliaan, akan tetapi mereka zalim dan menyelisihi tujuan penciptaan dan mengambil sikap

tercela dan kerugian abadi". 76 Dalam surat al-Nis ā[04]:40, Allah menegaskan kembali bahwa

Dia terbebas dari kezaliman walaupun sebesar atom, Allah benar-benar bebas dan sangat jauh dari perbuatan zalim. Allah berfirman:

Sesungguhnya Allah tidak Menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.

Al-Sa’di>menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa ini adalah salah satu ayat yang mengabarkan kesempurnaan keadilan Allah dan kesucian Allah dari kezaliman sebagai lawan dari keadilan itu. Baik sedikit maupun banyak. Allah tidak zalim sedikitpun pada seorang hamba, Allah tidak akan mengurangi kebaikan seorang hamba dan tidak pula menambah keburukan seorang yang buruk walaupun sebesar biji sawi. Sekecil apapun kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba pasti akan diperlihatkan oleh Allah dan sekecil apapun keburukan yang dilakukan oleh seorang hamba pasti akan

77 diperlihatkan juga oleh Allah.

76 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 414.

77 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Ayat ini secara jelas menerangkan bahwa Allah tidak menzalimi seorang hamba walaupun seberat dharrah. Al- Ṭabari dalam tafsirnya menukil perkataan dari Ibn 'Abb ās bahwa makna sebesar dharrah yaitu

sebesar kepala semut merah. Sudah kita ketahui bahwa semut termasuk binatang yang kecil bahkan jika ditimbang dengan timbangan yang kita kenal saat ini mungkin timbangan itu tidak akan bergerak karena begitu ringannya semut, bagaimana jika yang ditimbang adalah kepala semut. Dan Allah sangat bersih dan terbebas

dari kezaliman walaupun seberat dharrah ini. Dalam MusnadA ḥmad, Rasulullah menjelaskan bahwa Allah tidak zalim terhadap kebaikan yang dilakukan oleh seseorang. Setiap

kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan. اُب َثُ ياًةَنَسَ اَنِ بْؤُمبْل اُ ِلبْظَياَلَّاَ َّلل اَّنِإ ا: اَل َ اَ َّلَسَ اِ بْيَلَ اُ َّلل اىَّلَ اِلله اَلوُسَراَّنَأا،اٍسَنَأابْنَ

Dari Anas Radiall āhu'anhu, bahwa Rasulullah ṣalāllahu'alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidak zalim terhadap seorang mu'min, satu kebaikan yang dia lakukan akan dibalas dengan rizki di dunia, dan akan diganjar di akherat; adapun seorang kafir, dia akan diberikan makanan atas kebaikan yang dialakukan di dunia ini, akan tetapi jika dia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat maka dia tidak memiliki kebaikan sehingga dia tidak dibalas dengan kebaikan. 79

Ketika Allah menghilangkan sifat zalim pada diri-Nya, maka ini menunjukan bahwa Dia mempunyai keadilan yang sempurna. Hadis di atas menerangkan bahwa keadilan Allah menyentuh seluruh manusia termasuk pada orang-orang yang kafir kepada-Nya. Mereka yang mengingkari syariat Allah tetap akan mendapatkan rizki karena kebaikan kemanusiaan yang mereka lakukan. Hanya saja balasannya dihabiskan oleh Allah di dunia ini sehingga mereka tidak mendapat jatah kebaikan di akherat nanti.

Kemudian Allah juga menerangkan dalam surat Yunus[10]:44 sebagai berikut:

78 Mu ḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān 'An Ta'wīli Āyi al-Qur`an, (Beir ūt: Dār Ibn Ḥazm, 1423 H), 91.

79 H.R A ḥmad bin Ḥambal, Lihat Maktanah Shāmilah. Hadis ini pun dinukil oleh al- Ṭabari dalam tafsirnya, lihat Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabari, Jāmi'u al-Bayān

           Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia

sedikitpun,akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.

Al-Sa’di> menafsirkan ayat ini: Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikitpun sehingga Dia tidak menambah keburukan mereka dan tidak mengurangi kebaikan mereka. Akan tetapi manusia itu sendiri yang berbuat zalim kepada diri mereka, telah datang kebenaran pada mereka akan tetapi mereka tidak menerimanya, maka Allah menghukum mereka dengan menutup rapat hati-hati mereka, dan juga menjadikan penglihatan dan pendengaran mereka

buta dan tuli. 80 Allah tidak akan menzalimi hambaNya sedikitpun, artinya Allah

tidak akan mengazab manusia sebelum ditegakannya hujjah atas mereka, dengan cara mengutus Rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab,

dan mereka dalam keadaan sehat panca indra. Dengan kesempurnaan keadilan Allah, Allah tidak menzalimi seorangpun dari manusia, akan tetapi mereka sendiri yang berbuat zalim dengan kekufuran dan pendustaan dan tidak menggunakan indra mereka yang sehat tentang tujuan hidup mereka. Ini adalah perkataan Muhammad al-Qasimi

dalam tafsirnya. 81 Dalam penafsiran ayat ini al-Sa’di>dan al-Qasimi sepertinya

hanya berbeda dalam redaksi penyampaian saja, intinya mengarah pada satu persepsi yang sama yaitu Allah tidak menzalimi manusia, sehingga Allah tidak akan mengazab manusia tanpa sebab. Ketika Allah mengazab manusia itupun dikarenakan mereka telah kufur dan mengingkari perintah dan larangan Allah.

Lalu ayat terakhir yang menjelaskan bahwa Allah tidak zalim adalah firman Allah dalam surat al-Kahfi[18]:49, Allah berfirman:

80 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 342.

81 Mu ḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Tafsīr al-Qāsimi/ Ma ḥāsin al-Ta`wīl,

Dan diletakkanlah Kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka Kami, kitab Apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak Menzalimi seorang juapun".

Catatan amal yang akan dibagikan pada hari Kiamat tidak akan meninggalkan kesalahan sekecil apapun, kesalahan kecil dan besar

akan tertulis dan terjaga, baik perbuatan itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan, baik dilakukan pada malam hari atau siang hari. Semua manusia akan mendapatkan ini dan mereka tidak mampu mengingkarinya. Semua akan dibalas akibat keburukan yang dilakukan, mereka akan mengakui keburukan itu sehingga terhinalah diri-diri mereka dan mereka berhak mendapatkan azab akibat perbuatan buruk yang mereka lakukan dan sesungguhnya Allah tidak menzalimi seorang hambapun bahkan merekapun tadinya

termasuk orang yang mendapat keadilan dan keutamaan Allah. 82 Dari beberapa penjelasan tafsir di atas sepertinya seluruh

penafsir Qur`an bersepakat bahwa Allah tidak zalim kepada siapapun. Ketika ada para hamba Allah baik dari kalangan jin ataupun manusia mendapat azab maka pada hakekatnya mereka lah yang melakukan kezaliman tersebut. Allah Maha adil dengan kesempurnaan keadilan- Nya dia terbebas dari kezaliman.

3. Allah Tidak Serupa dengan Makhluk Allah menjelaskan bahwa Diri-Nya berbeda dengan makhluk, selain hal ini dijelaskan dalam beberapa teks al-Qur´an hal ini pun didukung oleh pemikiran yang jernih. Sebab Allah sang Khalik pasti berbeda dengan makhluk, tidak mungkin yang menciptakan sama

82 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 82 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Dalam surat al-Sh ūrā[42]:11, Allah berfirman:          Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang

Maha mendengar dan melihat. Al-Sa’di> berpendapat tentang tafsir ayat ini bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya dan tidak sebanding. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dalam Zat, nama-nama, sifat-sifatataupun perbuatan-perbuatan-Nya, karena semua nama Allah adalah nama- nama yang sangat indah, dan sifat-sifat-Nya adalah sifat-sifat sempurna dan agung, dan perbuatan Allah telah menghasilkan makhluk-makhluk besar tanpa ada yang membantu-Nya, maka Allah tidak sama dengan sesuatu apapun karena keesaan-Nya dan

kesempurnaan-Nya dari seluruh sisi. 83 Ibn Kathir mengatakan bahwa Allah tidak serupa dengan

makhluk, karena makhluk itu berpasang-pasangan sedangkan Diri-Nya Esa, yang semua makhluk bersandar dan butuh pada-Nya. Dia adalah

Tuhan yang tidak ada satu makhlukpun yang sama dengan-Nya. 84 Lafadz " Laisa kamithlih ī shaiun" ini memberikan faidah bahwa

Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun, dan lafadz " wa huwa al- Sam ī'u al-Baṣīr" ini memberikan faidah bahwa sifat Allah tidak boleh di palingkan maknanya pada makna yang lain atau bahkan dihilangkan

hanya karena seperti sifat makhluk-Nya. 85 Kesamaan penyebutan satu nama dan sifat tidak serta merta

menunjukan persamaan hakekat, karena hakekat dari satu sifat tergantung pada penyandaran satu nama dan sifat itu. Seekor lalat mempuntai tubuh dan kekuatan, seekor gajah juga mempunyai tubuh dan kekuatan, walaupun keduanya mempunyai "tubuh" dan "kekuatan" tapi keduanya berbeda karena perbedaan penyandaran; ketika penyandaran satu lafaz yang sama di antara makhluk tidak serta merta

83 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 720.

84 A ḥmad Muḥammad Shākir, 'Umdatu al-Tafsīr Muhkta ṣar Tafsīr al-Qur`an al-A ẓīm, (al-Mansurah: Dar al-Wafa, 1425), 220.

85 'Abd All āh al-Muṣliḥ dan Ṣalāh Ṣāwī, Mā Lā Yasa'u al-Muslim Jahluhu, 85 'Abd All āh al-Muṣliḥ dan Ṣalāh Ṣāwī, Mā Lā Yasa'u al-Muslim Jahluhu,

bahwa Dia " al-Sam ī' dan al-Baṣīr" dan dalam surat al-Insān[76]:2 Allahpun menyebut manusia mempunyai " Sam ī' dan baṣīr" persamaan lafadz ini bukan berarti " Sam ī' dan baṣīr " Allah sama dengan " Sam ī'dan baṣīr " manusia, keduanya beda karena Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dalam surat al-Baqarah[02]:235, 87 Allah menerangkan bahwa Diri-Nya mempunyai sifat Ilmu, dan dalam surat

al- 88 Mumtahanah[60]:10 , Allah juga menerangkan bahwa manusia memiliki ilmu, akan tetapi ilmu Allah jelas berbeda dengan ilmu

manusia, dan lain-lainnya. 89 Tidak serupanya Allah dengan makhluk bisa kita dapatkan dalam

firman Allah dalam surat al-ikhlas[112]:4, Allah berfirman:      

D an tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Al-Sa’di> mengatakan tentang tafsir ini bahwa tidak ada yang setara dengan Allah baik dalam nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, ataupun dalam pekerjaan-Nya. Menurutnya surat ini mencakup tauhid

al-Asma wa al-Sifat. 90 Ayat ini meniadakan persamaan dan persekutuan antara Allah

dengan makhluk, segala sesuatu yang menjadi kekhususan makhluk adalah hal yang negatif bagi Allah, berbeda dengan hal-hal yang mensifati Allah dan juga mensifati hamba sesuai dengan kelayakannya

86 Allah berfirman:           

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. (al-Insa>n[76]:2)

87 Allah berfirman: .. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka.. (al-Baqarah[02]:235)

88 Allah berfirman: Artinya Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-

suami mereka) orang-orang kafir. QS. al- Mumtahanah[60]:10

89 'Abd All āh al-Muṣliḥ dan Ṣalāh Ṣāwī, Mā Lā Yasa'u al-Muslim Jahluhu, (Riyad: Dar al-Ishbiliya, 1419 H), 52.

90 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- 90 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Dari pembahasan ini sangat jelas bahwa Allah telah menyatakan bahwa diri-Nya berbeda dengan makhluk-Nya. Persamaan nama sifat

sama sekali tidak memastikan persamaan hakekat, hal ini berbeda- beda sesuai kapada apa sifat itu disandarkan.

a. Allah Tidak Beranak dan Tidak Diperanakan Sifat ini langung disampaikan oleh Allah dalam satu ayat al- Qur´an yaitu dalam surat al-Ikhlas[112]:3, Allah berfirman:

     Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.

Al-Sa’di>mengatakan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakan dikarenakan Allah sudah sangat sempurna sehingga tidak butuh pada anak dan tidak butuh pada yang memperanakan. Ini

kesempurnaan sifat Allah. 92 Menurut Wahbah al-Zuhaili, bahwa ayat ini merupakan ayat

yang menyatakan bahwa tidak Allah beranak. Ayat ini juga sebagai satu bantahan untuk orang musyrik yang menyatakan bahwa Malaikat adalah putri-putri Allah, sebagai bantahan pada orang Yahudi yang menyatakan bahwa 'Uzair anak Allah, dan juga bahtahan bagi orang- orang Nasrani yang menyatakan trinitas, dan keyakinan bahwa al-

Masih anak Allah. 93 Dalam meniadakan sifat tercela atau sifat yang bermakna negatif

bagi Allah, Ahlussunnah wa al-Jama'ahmempunyai kaidah khusus, yaitu dengan menetapkan makna sempurna yang menjadi kebalikan dari sifat negatif itu, tidak hanya meniadakan sifat tersebut bagi Allah.

91 Mu ḥammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Tafsīr al-Qāsimi/ Ma ḥāsin al-Ta`wīl, (Beir ūt: Dār al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 H), 571.

92 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 897.

93 Wahbah al-Zu ḥaili, al-Tafsīr al-Wasī ṭ, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'asir,

Ketika meniadakan sifat ngantuk dan tidur seperti yang terdapat dalam ayat kursi juga harus ditetapkan sifat sebaliknya bagi Allah yaitu sifat hidup yang sempurna; ketika meniadakan sifat lemah bagi Allah hal ini tidak sempurna kecuali dengan menetapkan sifat kekuatan yang sempurna bagi-Nya; dan begitu seterusnya. 94

Pandangan al-Sa’di>sebagai mufassir tentang sifat Allah yang dihilangkan sangat jelas terlihat dalam tafsirnya, dia senantiasa mensifati Allah atau meniadakan sifat dari Allah sebagaimana Allah

menetapkan atau meniadakan sifat dari-Nya. Pandangannya ini sesuai dengan manhaj yang selama ini ditempuh oleh salafus solih dan para ulama yang senantiasa mengikuti mereka seperti Ibn Taimiyah, Ibn

Kathir, dan yang lainnya.

B. Sifat Allah Yang Ditetapkan

Sifat Allah yang ditetapkan di dalam al-Qur´an dan hadis jika diperhatikan akan terbagi menjadi dua macam, yaitu sifat dh ātiyah dan sifat fi'liyah.

1. Sifat Dhātiyah Sifat dh ātiyah adalah sifat yang senantiasa mensifati Allah, ada yang termasuk ke dalam sifat ma'nawiyah seperti sifat al-'Ilmu (ilmu), al-Qudrah (mampu), al-Sam'u (mendengar), al-Ba ṣar (melihat), al- 'Izzah (kuasa), al- Ḥikmah (bijaksana), al-'Uluw (tinggi), al-'Aẓamah (agung); dan ada juga sifat khabariyah seperti al-Wajh (wajah), al- Yadain (dua tangan), al-'Ainain (dua mata). 95

Berikut ini adalah beberapa pembahasan sifat dh ātiyah dalam pandangan para mufassir khususnya tokoh sentral dalam penelitian ini yaitu 'Abd al-Ra ḥmān Ibn Nāṣir al-Sa’di>dalam kitab tafsirnya.

Allah adalah Rabb yang disifati dengan 'Alim yang berarti Allah Maha Mengetahui; banyak sekali teks-teks al-Qur´an yang

94 Ḥaidar Aḥmad al-Ṣaffāḥ, Mabāhith Fī 'Ulūm al-Aqīdah, (Sana'ā: Awan, 2004), 58.

95 Mu ḥammad al-Ṣagīr Ibn Qāid al-Maqṭari, al-Ta'līqāt al-Fu ḍlā 'Alā al- Qaw āid al-Muthlā, (Sana'ā: al-Maktabah al-Islamiyah, 1424), 72. Di dalam kitab ini

juga dijelaskan bahwa Wajah, Tangan dan Mata Allah dikatakan sebagai sifat khabariyah dikarenakan ilmu tentang ini hanya bisa di dapat dari kabar wahyu, dan tidak bisa dilogikakan. Adapun sifat Hidup, Ilmu dan yang semaknanya juga dijelaskan bahwa Wajah, Tangan dan Mata Allah dikatakan sebagai sifat khabariyah dikarenakan ilmu tentang ini hanya bisa di dapat dari kabar wahyu, dan tidak bisa dilogikakan. Adapun sifat Hidup, Ilmu dan yang semaknanya

             Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian sekalian

membebaskan diri dari sumpah kalian dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Tahrim[66]:02)

Al-Sa’di>mengatakan bahwa Allah adalah Rabb yang memiliki ilmu yang sangat luas, bahkan keluasan ilmunya telah mencakup segala sesuatu, megetahui yang zahir dan yang batin dan Allah pun mempunyai al- Ḥikmah yang artinya kebijaksanaan. Kebijaksanaan Allah ini pun telah mencakup segala sesuatu, kebijaksanaanNya telah

menyentuh ciptaan-Nya dan hukum-hukumnya. 96 Contoh yang lain yaitu Allah memiliki sifat al-Qudrah, yaitu

kemampuan yang sangat sempurna; Allah mampu melakukan apapun yang Allah inginkan tanpa ada satu makhlukpun yang dapat

menghalanginya. Ayat-ayat al-Qur´an yang berbicara tentang Qudrah Allah sangat banyak dan mudah sekali di dapatkan dalam al-Qur´an di antaranya firman Allah berikut:

Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (al-Baqarah[02]:20)

Al-Sa’di> mengatakan: ayat ini adalah ancaman Allah untuk orang-orang munafiq, Allah mengancam dengan ancaman duniawi agar mereka gentar sehingga menghendikan keburukan dan kemunafikan mereka. Dan Qudrah (kemampuan) Allah sangat sempurna, dan bentuk kesempurnaan kemampuan Allah ini yaitu apabila Dia hendak melakukan sesuatu maka tidak ada seorang makhluk pun yang bisa

mencegahnya. 97

96 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al- Mann ān, (Bairūt: Dar Ibn Hazm, 1424 H), 835.

97 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , Taisīr al-Karīm al-Ra ḥmān fī Tafsīr Kalām al-

Ini adalah dua contoh bahwa sifat dh ātiyah, dari contoh ini bisa dilihat bahwa sifat dh ātiyah adalah sifat yang senantiasa melekat pada Allah seperti sifat 'Ilmu dan Qudrah, karena Allah senantiasa berilmu dan ilmu Allah ini tidak pernah hilang dari sifat-Nya sebagimana Allah disifati dengan kemampuan sempurna dan kemampuan Allah ini tidak

pernah hilang dari-Nya. Begitu pula seluruh sifat dh ātiyah yang lain, sifat-sifat ini akan senantiasa melekat pada Allah dan tidak pernah terpisah, berbeda dengan sifat fi'liyah-Nya yang berkaitan dengan kehendak Allah.

2. Sifat Fi’liyah (perbuatan) Sifat Fi'liyah adalah sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah,

jika Allah berkehendak mengerjakannya maka Allah mengerjakannya dan apabila tidak maka tidak; seperti ber -istiw ā di atas ‘Arsh, dan

turun kelangit dunia disetiap sepertiga malam terakhir. Terkadang sifat dh ātiyah berbentuk fi'liyah seperti sifat al-Kalām

(berbicara), sifat al-kal ām ini jika dilihat dari makna aslinya bersifat

dh ātiyah karena Allah senantiasa disifati dengan sifat ini, akan tetapi jika dilihat dari waktu berbicara maka bersifat fi'liyah karena berbicara sangat berkaitan dengan kehendak-Nya; Allah kapan saja bisa berbicara dan apapun bisa dibicarakan oleh Allah sebagaimana

firmannya dalam surat 99 Y āsīn[36]:82 berikut:           

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. Bagi orang beriman, keyakinan ini harus ada di dalam hatinya, mengimani semua sifat yang disandarkan oleh Allah untuk diri-Nya dari setiap af' āl (pekerjaan-pekerjaan) yang berkaitan dengan Dhāt- Nya seperti al-Istiw ā di atas ‘Arsh, al-Majī (datang), al-Ityān (hadir), Turun ke langit dunia, dan yang lainnya. 100

Di dalam bab ini, penulis telah membahas sifat fi'liyah terkhusus ketika membahas tentang beristiwa-Nya Allah di atas ‘Arsh, hal ini

98 Mu ḥammad al-Ṣagīr Ibn Qāid al-Maqṭari, al-Ta'līqāt al-Fu ḍlā 'Alā al- Qaw āid al-Muthlā, (Sana'ā: al-Maktabah al-Islamiyah, 1424), 72.

99 Mu ḥammad al-Ṣagīr Ibn Qāid al-Maqṭari, al-Ta'līqāt al-Fu ḍlā'Alā al- Qaw āid al-Muthlā, (Sana'ā: al-Maktabah al-Islamiyah, 1424), 72.

100 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>, al-Tanbīhātal-La ṭīfah'AlāMāIḥtawat'Alaihial- Aq īdah al-WāsiṭiyahMinal-Mabāhithal-Mufīdah (al-Dammām: Dār Ibn Qayyim, 100 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di>>, al-Tanbīhātal-La ṭīfah'AlāMāIḥtawat'Alaihial- Aq īdah al-WāsiṭiyahMinal-Mabāhithal-Mufīdah (al-Dammām: Dār Ibn Qayyim,

Sifat turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dikabarkan oleh hadis sahih berikut: ا َلَ َعَ تَ اَكَر َ َ تا َنطُّ اَراُلِ بْنَ ياَل َ اَ َّلَسَ اِ بْيَلَ اُلله اىَّلَ اِلله اَلوُسَراَّنَأاُ بْنَ اُلله اَيِضَراَةَربْ يَرُ ا ِبَِأابْنَ

ا ِ ُلَأبْسَيابْنَ اُ َلاَبيِ َتبْسَأَفا ِنِّوُ بْ َيابْنَ اُلوُقَ ياُرِخ بْلْ اِلبْيَّلل اُثُلُ ثاىَقبْ َ ياَينِ ا َيبْ نطُّ ل اِء َمَّسل ا َلَِإاٍةَلبْ يَلاَّلُك اُ َلاَرِفبْ َأَفا ِنُِّرِفبْغَ تبْسَيابْنَ اُ َيِ بْ ُأَف Dari Abu Hurairah Radiallahu'anhu bahwa Rasulullah

Salallhu'alaihi wasallam bersabda: Rabb kita yang Maha Suci Turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir, dan Allah berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri, adn siapa yang beristigfar

kepada-Ku niscaya Aku ampuni (HR. Bukhari> dan Muslim). 101 Ibn Uthaym īn seorang murid dari al-Sa’di>mengatakan bahwa

Ulama Salaf telah berijma’ menetapkan sifat nuz ūl (turun) bagi Allah ke langit dunia, maka wajib juga bagi umat yang berittiba pada salaf al- Ṣālih untuk mengimani sifat ini tanpa merubah pada makna lain, tanpa menghilangkan makna ini, tanpa menanyakan bagaimana cara turun Allah dan tanpa menyerupakan turunnya Allah dengan siapapun. Turunnya Allah ke langit dunia ini adalah turun hakiki yang sesuai dengan keagungan Allah, dan sebagian kelompok mengartikan yang turun di sini adalah turun perintahnya, atau turun rahmat-Nya, atau turun salah satu Malaikat dari Malaikat-Nya, tapi ini keliru karena jika yang turun adalah perintahnya atau yang lainnya, maka tidak mungkin berkata " Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri, adn siapa yang beristigfar kepada-Ku niscaya Aku ampuni". 102

Sifat nuz ūl bagi Allah tidak akan diketahui kecuali karena adanya kabar dari-Nya sehingga sifat ini adalah sifat khabariyah bukan

101 H.R al-Bukhari (lihat Maktabah Shamilah) 102 Mu ḥammad Ṣāliḥ al-Uthaymīn, Ta'līq Mukhta ṣar 'Alā kitāb Lum'ati al- 101 H.R al-Bukhari (lihat Maktabah Shamilah) 102 Mu ḥammad Ṣāliḥ al-Uthaymīn, Ta'līq Mukhta ṣar 'Alā kitāb Lum'ati al-

Ini adalah perspektif al-Sa’di>dalam memahami ayat-ayat al- Qur´an dan hadis tentang sifat-sifat Allah. Al-Sa’di>dalam kitabnya al- Tanbihat al-Latifah menulis satu kaidah yang sangat berharga tentang bagaimana menyikapi nama-nama dan sifat Allah yang terkandung di dalam al-Qur´an dan al-Sunnah; beliau mengatakan: Nama-nama dan

sifat-sifat Allah yang terkandung dalam al-Qur´an dan al-Sunnah mempunyai beberapa jenis; di antaranya hadir dengan lafadz "penamaan" seperti al- 'Az īz (Yang Maha Mulia), al-Ḥakīm (Yang Maha Bijaksana), al- Ghaf ūr(Yang Maha Pengampun), dan yang lainnya. Pada jenis ini maka Allah disifati dan dinamai dengannya, dan juga diambil fiil darinya serta ditetapkan makna ma ṣdar yang menjadi sifatnya seperti al- 103 'Izzah, al-

Ḥikmah dan al-Maghfirah. Yang ke dua Nama Allah yang datang dengan bentuk idafah

(disandarkan) pada yang lain, maka dimutlakan pada Allah dengan lafaz idafah pula dan lafadz fi'ilnya, dan fi'il itu tidak dijadikan nama bagi Allah. Seperti:

       Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah

akan membalas tipuan mereka(al-Nisa[04]:142) Di sini boleh dikatakan "Allah menipu orang munafiq, dan menipu orang-orang yang menipu-Nya" dan tidak boleh memutlaqkan bahwa nama Allah adalah al-Khadi' (penipu), karena tidak ada dalil yang menyatakan Allah al-Khadi' (penipu), dan juga ketika hanya dikatakan al-Khadi' ini mengandung kemungkinan tercela atau terpuji. Sehingga tidak boleh dimutlakan pada Allah.

Dan ada pula nama Allah yang datang dengan lafadz fi'il saja seperti dalam surat al-T}a>riq[86]:15-16 berikut:

al-Tanb īhātal- La ṭīfah'AlāMāIḥtawat'Alaihial-Aqīdah al-WāsiṭiyahMinal-Mabāhith al-Mufīdah…,

103 'Lihat

Abdal-Ra ḥmānal-Sa’di>,

Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. dan akupun membuat tipu daya (pula) dengan sebenar-benarnya.

Al-K āid (penipu daya) Tidak boleh dimutlaqkan menjadi nama Allah, akan tetapi boleh disandarkan pada Allah yang sesuai dengan ayat ini, karena ini untuk menunjukan bahwa Allah tidak lemah atas tipu daya orang-orang kafir yang melakukan tipu daya pada Allah, bahkan Allah mampu menandingi tipu daya mereka. Karena jika hanya

al-Kaid yang disandarkan pada Allah, maka ia akan memiliki makna terpuji atau tercela, akan tetapi jika tipu daya Allah diperuntukan ornag-orang yang menipu-Nya maka ini menjadi terpuji dan tampak

jelaslah keunggulan Allah atas makhluk-Nya. 104 Jika diperhatikan maka seluruh sifat Allah adalah sifat terpuji,

sifat yang syarat dengan keagungan dan kesempurnaan. Dalam hal penetapan nama dan sifat Allah ini al-Sadi begitu terlihat sangat

konsisten dengan petunjuk teks-teks al-Qur´an dan al-Hadith.

104 'Abd al-Ra ḥmān al-Sa’di> , al-Tanbīhātal-La ṭīfah'AlāMāIḥtawat'Alaihial-