Analisis Eksistensi Hak Atas Pilihan Hukum Sejak Diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
b. Analisis Eksistensi Hak Atas Pilihan Hukum Sejak Diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dalam penjelasan umumnya terdapat kalimat yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan". Berkenaan dengan hal tersebut, dijelaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Angka 3 sebagai berikut:
Penjelasan umum atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 butir 2 alinea 6: Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian waris
Kemudian dalam Angka 4 ditambah penjelasan:
Berkenaan dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
4.2. Perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang kewarisan yang juga berkaitan dengan masalah pilihan hukum, hendaknya diketahui bahwa ketentuan pilihan hukum merupakan masalah yang terletak di luar badan peradilan, dan berlaku bagi mereka atau golongan rakyat() yang hukum warisnya tunduk pada hukum adat danatau hukum Islam, atau tunduk pada hukum perdata barat (BW) danatau hukum Islam, di mana mereka boleh memilih hukum adat atau hukum perdata barat (BW) yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri atau memilih hukum Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Analisis dan poin penting dalam penjelasan 4.2 di atas adalah sebagai berikut:
1) Bahwa ketentuan pilihan hukum merupakan masalah yang terletak di luar badan peradilan
2) Bahwa penggunaan redaksional ‘golongan rakyat’ tidaklah tepat karena semenjak diundangkannya Undang-Undang Dasar Tahun 1945, penggolongan rakyat seperti yang diatur dalam Staatsblad Pasal 131 IS telah dihapuskan. Indonesia hanya mengenal Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing.
3) Bahwa orang-orang yang dimaksud dengan ‘yang hukum warisnya tunduk pada hukum adat danatau hukum Islam’ adalah orang pribumi asli yang memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan pilihan hukum adat ataupun hukum
Islam. Bagi yang non muslim menggunakan hukum adat dan bagi yang muslim menggunakan hukum Islam atau hukum adat.
4) Bahwa orang-orang yang dimaksud dengan ‘tunduk pada hukum perdata barat (BW) danatau hukum Islam’ adalah mereka keturunan Eropa maupun Tionghoa. Di mana bagi mereka yang non muslim tunduk kepada hukum perdata barat sedangkan bagi keturunan Eropa maupun Tionghoa yang memeluk agama Islam dapat memilih antara hukum perdata barat (BW) atau hukum Islam.
Maka hal yang perlu dicermati dalam Poin c dan d di atas adalah secara implisit pilihan hukum bagi warga negara Indonesia asli keturunan pribumi dibatasi hanya di antara hukum adatnya atau hukum Islam, hukum perdata barat (BW) tidak termasuk pilihan bagi warga negara Indonesia. Pemahaman ini pada kenyataannya tidak terlaksana dalam praktik. Dalam tataran praktik saat ini, warga negara yang beragama Islam masih banyak yang mengajukan permohonan pembagian warisan ataupun penetapan ahli waris kepada Pengadilan Negeri dengan menggunakan hukum perdata barat.
Keluarnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai perubahan pertama dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama, di dalam penjelasan umumnya menyatakan:
“… Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat [dimiringkan Pengutip] yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus”
Mencermati redaksional kata dihapus, bagi penulis memanglah memungkinkan timbulnya sebuah ambiguitas pemaknaan, kemungkinan-kemungkinan pemaknaan yang timbul antara lain:
1. Menghapus hak untuk memilih hukum bagi umat Islam dalam pelaksanaan pembagian warisan. Sehingga dapat dikatakan bahwa umat Islam sudah tidak mempunyai ruang atau celah untuk memilih hukum dalam pembagian warisnya. Mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus tunduk kepada hukum Islam melalui lembaga Peradilan Agama dengan hakim-hakim Peradilan Agama.
2. Makna kedua yang muncul dan Penulis temukan di lapangan bahwasanya ada beberapa hakim yang berpendapat dengan pencantuman kalimatnya yang berbunyi:
“… Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat [dimiringkan Pengutip] yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus”
Menurut beberapa hakim kalimat di atas bisa diartikan juga bahwa yang dihapus adalah kalimat mengenai pengaturan akan hak pililihanya yang kemudian dapat di interpretasikan bahwa undang- undang tidak memberi batasan atau mengatur lagi mengenai hak pilih hukum bagi umat Islam. Sehingga memungkinkan bagi umat Islam menggunakan KUHPerdata dalam menyelesaikan perkara warisnya.
Dari hasil data yang diperoleh dari beberapa lembaga Peradilan Agama, maka makna yang dituju oleh pembuat Undang- undang Nomor 50 Tahun 2009 Jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama adalah makna yang pertama. Bahwa umat Islam sudah seharusnya tunduk kepada hukum Islam melalui lembaga Peradilan yang hakim-hakimnya beragama Islam.
Hal ini penulis singgung karena dalam praktik ditemukan persepsi yang berlainan mengenai kewenangan mengadili antara Peradilan Umum dan Peradilan Agama terkait pelaksanaan penyelesaian perkara waris yaang mengandung sengketa hak milik. Hakim di Peradilan Umum hingga saat ini berpendapat bahwa atas perkara waris yang mengandung sengketa termasuk sengketa hak milik antara umat Islam masih menjadi kewenangan Peradilan Umum. Hal ini diterangkan oleh narasumber Sumino yang menyatakan: “Ketika pihak mengajukan permohonan terkait pembagian harta warisan ataupun penetapan ahli waris saja, maka
Peradilan Umum akan melimpahkan permohonan yang demikian kepada Peradilan Agama. Akan tetapi ketika perkara waris yang diajukan mengandung sengketa, misalnya, seluruh harta warisan dikuasai oleh satu ahli waris saja dan ahli waris yang lain menuntut harta warisan itu segera dibagikan, Pengadilan Negeri Berau masih menerima perkara yang seperti ini, walau para pihak beragama
Islam sekalipun” 28
Pernyataan ini kemudian dibenarkan oleh narasumber Aviantara yang menyatakan: “dalam praktik saat ini, Pengadilan Negeri Pasuruan masih menerima perkara waris yang mengandung sengketa di dalamnya, termasuk hak milik.” Selanjutnya, beberapa narasumber yang berprofesi sebagai hakim dari Peradilan Umum menerangkan bahwa di dalam praktik saat ini, kesepakatan para pihaklah yang biasanya dipakai untuk menentukan hukum apa yang mereka pilih.
Hal ini kontras dengan apa yang disampaikan oleh Peradilan Agama yang dalam penelitian ini seluruh narasumber yang berasal dari Badan Peradilan Agama sepakat: ketika terjadinya sengketa hak kepemilikan dalam suatu perkara waris yang semua pihak berperkaranya adalah umat Islam, maka ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memeriksa dan memutusnya bersamaan dengan pengajuan pembagian warisan.
28 Wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Berau
Maka dalam penulisan hukum kali ini baiknya Penulis menyajikan perubahan Pasal 50 dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang saat ini telah menjadi Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 untuk menganalisis sengketa waris yang seperti apakah yang menjadi kewenangan Peradilan Umum dan Peradilan Agama.