Tinjauan Pewarisan

1) Pewarisan ab-intestato

  Ahli waris menurut undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terbagi menjadi 4 (empat) golongan atas dasar de naste in het bloed erft het goed (yang memiliki hubungan darah terdekatlah yang mewaris), yaitu:

  a) Golongan 1 Golongan ini terdiri dari anak-anak serta keturunannya ke bawah beserta suami atau istri yang hidup lebih lama.Pasal 852 (a) kalimat 1 (menerangkan bagian suami istri yang hidup lebih lama):

  “Dalam hal mengenai warisan seorang suami atau isteri yang telah meninggal lebih dahulu, suami atau isteri yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan anak yang sah…”

  P+------------------------------- Q(13)

  A (13) B (13)

  Gambar 1

  22 Eman Suparman, Op. Cit hlm. 27

  “… jika perkawinan suami istri itu adalah untuk ke dua kali atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami yang baru tidak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian warisan terkecil yang akan diterima oleh seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal terlebih dahulu, oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun juga, tidak bolehlah bagian si istri atau suami itu lebih dari seperempat dari harta kekayaan si meninggal”

  Perkawinan 1 Perkawinan 2 X+------------------------P+-----------------------Y(14)

  A (½ . (sisa)) B (½ . (sisa))

  Gambar 2

  b) Golongan 2 Golongan ini terdiri dari saudara, ayah dan ibu. Dalam Pasal 854 KUHPerdata tentang bagian ahli waris diatur sebagai berikut:

  Apabila seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan bapak dan ibunya masih hidup, maka masing-masing dari mereka mendapat sepertiga dari warisan, jika si meninggal hanya meningggalkan seorang saudara laki-laki atau perempuan, yang mana mendapat sepertiga selebihnya

  A(13)----------------------B(13)

  P+

  Q(13)

  Gambar 3

  Si bapak dan si ibu masing-masing mendapat seperempat, jika si meninggal meninggalkan lebih dari seorang saudara laki-laki atau perempuan, sedangkan dua perempat bagian selebihnya menjadi bagian saudara laki-laki atau perempuan itu A(14)--------------------------------------------------B(14)

  P+

  Q(½.(sisa))

  R (½.(sisa))

  Gambar 4

  Pasal 855 KUHPerdata:

  Apabila seorang meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan, suami ataupun istri, sedangkan bapak atau ibunya telah meninggal terlebih dahulu, maka si ibu atau si bapak yang hidup terlama mendapat setengah dari warisan, jika simeninggal hanya memiliki seorang saudara perempuan atau laki-laki;

  A+----------------------------I(½)

  P+

  Q (½)

  Sepertiga warisan jika dua saudara perempuan atau laki-laki ditinggalkannya;

  A+----------------------------I(13)

  P+ R(13) Q (13)

  Gambar 5

  “… sepertiga dari warisan jika lebih dari dua saudara “… sepertiga dari warisan jika lebih dari dua saudara

  P+ Q: 13(sisa) R:13(sisa) S:13(sisa)

  Gambar 6

  Pasal 856 KUHPerdata, tentang tidak ada bapakibu, maka saudara berhak mewarisi seluruh harta warisan.

  Pasal 857 KUHPerdata adalah mengenai pembagian saudara dalam perkawinan yang berbeda: Pembagian akan apa yang menurut pasal-pasal yang lalu

  menjadi bagian para saudara laki-laki dan perempuan, dilakukan antara mereka dalam bagian-bagian yang sama jika mereka berasal dari perkawinan yang sama; namun jika mereka berasal dari lain-lain perkawinan, maka akan apa yang diwariskan harus dibagi terlebih dahulu menjadi dua bagian, ialah bagian dari garis bapak maupun garis ibu; saudara laki-laki dan perempuan yang penuh mendapat bagian mereka dari kedua garis; sedangkan mereka yang setengah hanya mendapat bagian dari garis dimana mereka berada. Jika hanya ada saudara-saudara setengah saja dari garis yang satu, maka mereka mendapat seluruh warisan dengan mengenyampingkan segala keluarga sedarah lainnya dari garis yang lain.

  Agar lebih jelas dalam memaknai Pasal 857 KUHPerdata ini Penulis mengilustrasikan seperti gambar berikut:

  cloving

  Å---------------------------------------------------------------------------------------Æ

  Perkawinan ke-2 bagi B Perkawinan 1 bagi B dan C Perkawinan ke-2 bagi C A---------------------------B+---------------------------C------------------------D

  Keluarkan bagian

  Bc : Saudara Seayah dan Seibu

  Ab1 dan Ab2

  : Saudara Seayah

  Cd1 : Saudara Seibu Bagian C (Ibu)

  : 13 dari seluruh harta warisan (Pasal 855)

  Sisa warisan : 23

  Saudara Seayah

  Bagian Ab1 + Ab2 + Bc

  : ½ x (23) = 26 = 13

  jadi Ab1, Ab2, Bc masing-masing : 16 x (13) = 118

  Saudara Seibu

  Bagian Cd1 + Bc : ½ x (23) = 26 = 13 jadi Cd1 dan Bc masing-masing : ¼ x (13) = 112

  Saudara Seayah dan Seibu

  Bagian Bc : 118 + 112

  Gambar 7

  c) Golongan 3

  Golongan ini terdiri dari kakek dan nenek dari garis ayah dan ibu dan garis keturunan ke atasnya. Pasal-pasal yang mengatur golongan ketiga ini adalah Pasal 853, 858 KUHPerdata. Seperti halnya pembagian saudara dalam Pasal 857 KUHPerdata, pembagian dalam ahli waris golongan ketiga juga harus dilakukan cloving terlebih dahulu, yaitu ½ bagian untuk ahli waris dalam garis sebapak, dan ½ bagian untuk ahli waris garis seibu.

  Cloving

  Å---------12----------------------------------12-------------Æ

  A-------------------B C-------------------D

AB(+) AB2(+)----------CD1(+)

  P+

  Gambar 8

  d) Golongan 4 Golongan ini terdiri dari paman, bibi dari ayah dan ibu beserta keturunannya. Ahli waris golongan keempat ini termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis menyimpang yang lebih jauh 23 . Pasal-pasal yang mengatur

  golongan keempat ini adalah Pasal 850, 858, 861, KUHPerdata. pembagian ahliwaris golongan keempat ini intinya sama dengan pembagian golongan ketiga, bahwa dalam pembagian warisan harus dikloving terbelah dahulu,

  23 Darmabrata, Op. Cit, hlm 125 23 Darmabrata, Op. Cit, hlm 125

  cloving

  Å_______12_________________________________12_____________Æ

  A(+)-----------------------B(+)

  C(+)-------------------------D(+)

  AB AB2(+)-----------------------------CD1(+) CD2

  P+

  Gambar 9

  Pada ahli waris ab intenstato atau berdasarkan undang- undang, tidak hanya mengatur tentang orang yang mewaris berdasarkan hubungan darah yang timbul sebagai akibat suatu perkawinan yang sah tapi juga hubungan darah yang timbul sebagai suatu akibat hubungan di luar perkawinan sah, sehingga termasuk dalam ahli waris ab intestato yaitu:

  e) Anak Luar Kawin

  Dalam KUHPerdata, anak dibagi menjadi anak sah dan anak luar kawin selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak sah adalah Dalam KUHPerdata, anak dibagi menjadi anak sah dan anak luar kawin selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak sah adalah

  Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Anak luar kawin terbagi menjadi 3:

  a) Anak zina Anak yang lahir akibat hubungan laki-laki dan perempuan yang salah satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan

  b) Anak sumbang Anak yang lahir akibat hubungan laki-laki dan perempuan yang menurut undang-undang dilarang menikah satu sama lain

  c) Anak alami Anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak terikat oleh perkawinan dengan orang lain. Anak alami bisa disahkan ketika kedua orang tua biologisnya menikah. Seandainyapun tidak ada pernikahan antara kedua orang tua biologisnya, ayah biologis bisa melakukan pengakuan atas anak tersebut yang menimbulkan hubungan keperdataan antara bapak biologis dan si anak.

2) Pewarisan Testamentaire

  Hak atas harta peninggalan pewaris dapat juga terjadi apabila ada wasiat (surat wasiat yang sah), maka yang berlaku adalah hukum waris testamenter atau hukum waris berdasarkan wasiat. Hukum waris testamenter atau testamentaire

  diberlakukan bagi golongan Timur Asing selain Tiong Hoa 24 . Pengaturan awal mengenai pewarisan melalui testamen ini

  dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda dalam Staatsblad 1924 Nomor. 556 . Ketentuan hukum mengenai ahli waris jenis ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 874 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

  Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan ahli warisnya menurut undang- undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.

  Ketentuan di atas menjelaskan bahwa adanya kemungkinan penentuan lain yang dapat terjadi dalam harta warisan. Adanya pengaturan ini memungkinkan pewaris dapat menyerahkan harta warisannya kepada orang tertentu menurut

  isi surat wasiatnya 25 . Pertimbangan hukumnya bahwasanua

  24 Staatsblad:

  1. S.1920‐305 1920 Daftar Pusat Wasiat (Ordonnantie Op Het Centraal Testarnentenregister) 2. S.1920‐751 1920 Peraturan Tentang Penyelenggaraan Daftar‐Daftar Catatan Sipil Untuk

  Beberapa Golongan Penduduk Indonesia Jang Tidak Termasuk Dalam Kaula‐Kaula Daerah Swapraja Di Jawa Dan Madura (Reglement Op Het Houden Van De Registers Van De Burgelijken Stand Voor Eenige Groepen Van De Niet Tot De Onderhoorigen Van Een Zelfbestuur Behoorende Ind Bevolking Van Java En Madura)

  25 Effendi Perangin, 1997, Hukum Waris, Jakarta : Raja Gafindo, hlm.75 25 Effendi Perangin, 1997, Hukum Waris, Jakarta : Raja Gafindo, hlm.75

a) Ahli Waris Testamentaire

  Ahli Waris testamenter adalah alih waris yang mendapatkan hak warisnya berdasarkan testamen pewaris. Syarat ahli waris testamentair tidak jauh berbeda dengan ahli waris ab intestato, hanya saja dasar hak mewarisnya berdasarkan testamen yang sah dan berkekuatan hukum.

b) Testament

  Pengertian testament dapat ditemukan dalam Pasal 875 KUHPerdata, testament atau surat wasiat ialah suatu akta yang dapat memuat pernyataan tentang apa yang dikehendaki agar terjadi setelah orang tersebut meninggal

  dunia dan olehnya dapat dicabut kembali 26 .

  26 Darmabrata, Op.Cit, hlm. 129

  Hukum Testamen diatur dalam Buku II KUHPerdata pada titel ke XIII. Testamen mulai memiliki kekuatan hukum ketika Pewaris sudah meninggal dunia sehingga selama ia masih hidup, ia masih berhak untuk mengubah atau mencabut testamentnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa testament akan memiliki kekutan hukum ketika si Pewaris telah meninggal dunia.

(1) Sifat Testament

  (a) Testament adalah perbuatan hukum sepihak, oleh

  karena itu jika ada dua orang yang bersama-sama membuat wasiat yang dituangkan dalam satu testament untuk menguntungkan pihak ketiga ataupun untuk saling menguntungkan kedua belah

  pihak maka testament tersebut batal demi hukum. 27

  (b) Testament adalah kehendak terakhir yang dapat

  dicabut sewaktu-waktu sebelum pewaris meninggal dunia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa testamen akan memiliki kekuatan hukum setelah pembuat testamen meninggal.

  (c) Testament itu merupakan perbuatan hukum yang

  sangat pribadi oleh karenanya harus dilakukan

  27 Pasal 930 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata 27 Pasal 930 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata

  (2) Syarat Umum Pembuatan Testament

  Syarat umum ini terkait dengan syarat yang harus dipenuhi oleh pembuat testamen atau testateur. Testateur haruslah orang yang sehat budi akalnya 28 dimana harus

  ada kemampuan untuk menginsyafi segala perbuatannya serta sehat mentalnya. Dalam hal ini sehat budi akalnya

  adalah mereka yang tidak dinyatakan: 29

  (a) Orang yang sakit ingatan (b) Orang yang lemah ingatan (c) Orang yang sakit sehingga tidak bisa berfikir secara

  teratur Haruslah orang yang telah cakap hukum atas dasar

  30 kedewasaan 31 ataupun telah menikah dan kecakapan pewaris dinilai menurut keadaan pada saat surat wasiat

  dibuat, bukan saat testament berkekuatan hukumsahsaat pewaris meninggal. 32

(3) Testament Dilihat Dari Isi

  28 Pasal 895 KUHPerdata menerangkan bahwa untuk dapat membuat atau menarik kembali suatu wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar.

  30 Pasal 895 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata Pasal 897: Anak‐anak di bawah umur yang belum mencapai umur 18(delapan belas) tahun

  penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat, KUHPerdata mengatur kedewasaan 21(duapuluh satu) tahun, pengecualian dalam membuat akta.

  31 Pasal 897 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata 32 Pasal 898 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata

(a) Erfstelling

  Erfstelling 33 penunjukan seseorang atau beberapa orang untuk dijadikan ahli waris yang akan

  mendapatkan beberapa bagian dari harta warisan 34 . Orang yang ditunjuk tersebut dinamakan

  testamentaire erfgendaam atau ahli waris karena wasiat. Dalam erfstelling hanya ditentukan bagiannya saja misal: A mendapatkan ½ dari harta warisan, tanpa menyebutkan objek secara khusus

(b) Legaat

  Legaat disebut juga hibah wasiat, yaitu: suatu penetapan wasiat yang khusus dimana si pewaris memberikan satu atau beberapa benda, seluruh benda dari satu jenis tertentu kepada seseorang atau lebih. Dijelaskan dalam Pasal 975 KUHPerdata. Penerima legaat disebut legaataris. Legaataris

  bukan ahli waris testamenter 35 , karena ia tidak mempunyai hak untuk menggantikan pewaris, tetapi

  ia mempunyai hak untuk menagih pada ahli waris agar legaat dilaksanakan. Dalam Legaat bendanya

  33 Orang yang menerima erfstaling berkedudukan sama dengan ahli waris ab intestato yang menerima aktiva dan pasiva ”onder algemene”

  34 Subekti, 1989, Pokok‐pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, hlm. 107

  35 Legaataris hanya menerima aktiva yang diberikan kepadanya dan tidak mendapatkan pasivanya, oleh karena itu dia tidak berkedudukan sebagai ahli waris tapi lebih mirip disebut

  kreditur harta warisan.

  telah ditentukan. Misalnya, A mewasiatkan rumah di Jalan Mawar No. 1 kepada X.

(4) Testament Dilihat Dari Bentuknya (a) Olografis Testament

  Suatu testament yang ditulis sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan dan diserahkan kepada notaris untuk disimpan dengan dihadiri dua orang saksi. Syarat khusus:

  1. Ditulis sendiri oleh testateur, diberi tanggal dan ditandatangani

  2. Dibawa dan diserahkan kepada notaris setempat oleh testateur sendiri

  3. Penyerahan dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup (amplop)

  4. Notaris yang menerima surat wasiat tersebut kemudian akan membuat akta penyimpanan Acte Van Depot

  5. Jika akta diserahkan secara terbuka, maka Acte Van Depot akan ditulis di balik surat wasiat tersebut, namun jika diserahkan secara tertutup maka Acte Van Depot akan ditulis di atas kertas tersendiri yang kemudian di tandatangani oleh 5. Jika akta diserahkan secara terbuka, maka Acte Van Depot akan ditulis di balik surat wasiat tersebut, namun jika diserahkan secara tertutup maka Acte Van Depot akan ditulis di atas kertas tersendiri yang kemudian di tandatangani oleh

  

  6. Kemudian surat wasiat akan disimpan di antara akta-akta notaris yang lain

(b) Openbaar Testament

  Testament yang dibuat oleh seorang notaris dimana orang yang akan meninggalkan warisan menghadap kepada notaris dan menyatakan kehendaknya kepada notaris tersebut dengan dihadiri dua orang saksi. Syarat khusus:

  1. Testamen yang dibuat oleh notaris dan dihadiri dua orang saksi

  2. Testateur menghadap notaris dan menceritakan keadaan serta keinginan terakhir.

  3. Penuturan 36 testateur akan dicatat oleh notaris

  4. Penuturan bisa dihadapan saksi atau diluar kehadiran saksi

  5. Sebelum notaris membacakan isi rumusan, testateur untuk kedua kalinya menceritakan keadaan kepada saksi (ketika penuturan pertama diluar kehadiran saksi)

  36 Ada dua pendapat: 1. penuturan harus bersifat lisan. Karena wasiat umum disebut juga dengan wasiat lisan; 2. Bisa tertulis ketika kondisi testateur tidak memungkinkan untuk bercerita

  secara lisan.

  6. Notaris akan membacakan isi rumusan akta berdasarkan penuturan testateur dihadapan testateur dan saksi-saksi untuk mengkonfirmasi kesesuaian isi akta dengan keinginan testateurn kegiatan ini dikenal dengan proses peresmianpendakuan di mana terjadi pengalihan tanggung jawab isi akta dari notaris kepada testateur maka testateur dianggap yang merumuskan isi akta. 37

  7. Penandatanganan 38 akta oleh testateur, saksi- saksi dan notaris

  8. Penyimpanan akta oleh notaris dan memberikan salinannya kepada para pihak

(c) Testament Tertutup Rahasia

  Suatu testament yang dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak mengharuskan menulis dengan tangannya sendiri, namun harus selalu tertutup dan tersegel. Dalam penyerahannya kenotaris harus dihadiri empat orang saksi. Syarat khusus:

  Berbeda dengan Release Acte dimana isi akta adalah tanggung jawab notaris. contoh: Laporan Rapat Umum Pemegang Saham

  38 Jika kondisi testateur tidak memungkinkan untuk menandatangani akta maka tandatangan testateur dapat diganti dengan “keterangan; bahwa pewaris berhalangantidak dapat

  menandatangani akta karena suatu kondisi (dijelaskan kondisinya) ”

  1. Ditulis sendiri oleh testateur ataupun orang lain namun harus ditandatangani oleh testateur

  2. Testamen dimasukan kesampul dan disegel

  3. Penyerahan harus didampingi empat orang saksi

  4. Penyampaian dan penyerahan harus dilakukan oleh testateur sendiri

  5. Setelahnya notaris membuat akta pengalamatan Acte Van Superscriptie yang dibuat di atas sampul surat wasiat yang disegel tadi yang kemudian ditandatangani oleh oleh testateur, saksi, dan notaris, kemudian akta tersebut disimpan

  (5) Larangan Dalam Pembuatan Testament

(a) Larangan Umum

  Larangan umum adalah larangan yang jika dilanggar akan menghilangkan sifat sebuah testament atau dapat dikatakan dengan melanggar ketentuan umum mengakibatkan testamen batal demi hukum. Seperti yang dijelaksan Pasal 879 KUHPerdata, bahwa pengangkatan ahli waris yang

  bersifat melompat atau fideicommis 39 adalah

  39 Fideicommis adalah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan kententuan dia wajib menyimpan warisna itu dan setelah lewat suatu waktu apabila si waris itu sendiri telah

  meninggal warisan itu harus diserahkan kepada orang lain yang sudah ditetapkan di dalam testamen; Subekti, Op. Cit, hlm.112 meninggal warisan itu harus diserahkan kepada orang lain yang sudah ditetapkan di dalam testamen; Subekti, Op. Cit, hlm.112

  wasiat adalah batal dan tidaklah berharga setiap penetapan yang memerintahkannya untuk menyimpan warisan atau hibah wasiat dan untuk menyerahkan seluruhnya atau sebagian kepada pihak ketiga. Selanjutnya larangan dijelaskan dalam Pasal 930 KUHPerdata:

  Tidaklah diperkenankan dua orang atau lebih membuat wasiat dalam satu akta yang sama, baik untuk keuntungan pihak ketiga maupun berdasarkan penetapan timbal balik atau bersama.

(b) Larangan Khusus

  Larangan bagi seseorang untuk membuat testament untuk keuntungan tertentu. Jika larangan ini dilanggar, testament tetap sah namun klausula yang memberikan keuntungan tersebut dianggap gugur atau tidak ada.

c) Legitime Portie

  Legitime Portie 41 adalah bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat dikurangi dengan testament

  40 Fideicommis pada umumnya memang dilarang, namun loncat tangan dalam keluarga masih diperbolehkan; Pasal 973 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata

  41 legitime portie harus diserahkan secara utuh tanpa syarat. Ketika ahli waris membuat testament yang menghilangkan hak legitime portie legitemaris (ahli waris wajib yang

  mendapatkan harta warisan; ayah, ibu dan anak) maka legitemaris bisa menuntut, bisa juga tidak (berarti dia mengiklaskan haknya sebagai legitimaris hilang) mendapatkan harta warisan; ayah, ibu dan anak) maka legitemaris bisa menuntut, bisa juga tidak (berarti dia mengiklaskan haknya sebagai legitimaris hilang)

  terhadap seseorang dalam membuat testamen, bahwasanya dalam harta warisan seseorang ada hak ahli waris 43 yang

  tidak dapat diganggu-gugat dengan kata lain peraturan mengenai legitime portie oleh undang-undang dipandang sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testamen menurut sekehendak hatinya

  sendiri 44 . Pasal 913 KUHPerdata:

  Bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup maupun selaku wasiat.

  Penerima bagian legitime portie disebut dengan legitimaris yang antara lain:

  42 Ali Affandi mengemukakan bahwa batasan yang dimaksud adalah batas kebebasan seorang pewaris untuk menyerahkan harta warisannya, atau dapat dikatakan bahwa legitime

  portie adalah bagian dari harta peninggalan yang tidak dapat dikurangi dengan testamen atau pemberian lainnya (Affandi, Op. Cit) 43

  Syarat untuk menjadi penerima legitime portie (legitimaris): 1. Ahli waris dalam garis lurus baik ke atas maupun ke bawah yang ditetapkan oleh undang‐undang; 2. Ahli waris yang saat meninggalnya pewaris merupakan ahli waris ab intestato. Syarat bersifat kumulatif.

  44 Subekti dalam Eman Suparman, 2005, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Jakarta: Refika Aditama, hlm 33

  Mereka yang menerima legietime portie atau legitimaris adalah mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, serta anak luar kawin yang diakui sah. 45 legitimaris menurut Pitlo, adalah 46 :

  Ahli waris ab intestato yang dijamin oleh undang- undang bahwa ia akan menerima suatu bagian minimum dalam harta peninggalan yang bersangkutan. Baik dengan jalan hibah ataupun secara pemberian sesudah meninggal (making bij dode) pewaris tidak boleh mencabut hak legitimaris ini”.

  (1) Pasal 914 KUHPerdata mengatur mengenai Legitime

  Portie anak 47 sah:

  “Apabila pewaris hanya meninggalkan 1 (satu) orang anak sah dalam garis kebawah, maka legitime portie itu terdiri dari 12 (seperdua) dari harta peninggalan yang akan diterima anak itu pada pewarisan karena kematian. Apabila yang meninggal meninggalkan 2 (dua) orang anak, maka legitime portie untuk tiap-tiap anak yakni 23 (duapertiga) bagian dari apa yang akan diterima setiap anak pada pewarisan karena kematian. Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan 3 (tiga) orang anak atau lebih, maka legitime portie itu 34 (tigaperempat) bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian.

  Pasal 915 KUHPerdata, Legitime Portie garis lurus ke atas. Pada garis ke atas legitime portie selalu sebesar separuh dari apa yang menurut undang-

  45 Pasal 914, 915, 916 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata

  46 A. Pitlo dalam Tesis, Andreas Prasetyo Senoadji, 2007, Penerapan Legitime Portie (Bagian

  Mutlak) dalam Pembagian Waris Menurut Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung REG NO. 148PKPerd1982, Semarang: Universitas Diponegoro

  47 Sebutan anak‐anak dimaksudkan juga untuk keturunan‐keturunan mereka dalam derajat seberapa pun, akan tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak yang mereka wakili

  dalam mewarisi warisan si pewaris.

  undang menjadi bagian tiap-tiap keluarga sedarah pada pewarisan karena kematian.

  Pasal 916 KUHPerdata, Legitime Portie anak luar kawin.Legitime portie anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah diakui dengan sah, yakni

  12 (seperdua) dari bagian yang diatur oleh undang-undang akan diberikan kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian.

  (2) Akibat Pelanggaran Ketentuan Legitime Portie

  Ahli waris yang memiliki bagian mutlak disebut juga legitimaris artinya selama ahli waris yang bagiannya ditetapkan dalam surat wasiat tidak merugikan bagian mutlak ahli waris legitimaris, wasiat tersebut bisa dilaksanakan, kalaupun bagian mutlak ahli waris legitimaris dirugikan oleh ahli waris testamentair, maka harus dikembalikan kepada legitimaris, sesuai

  dengan bagian yang seharusnya mereka dapatkan. 48

  Pada dasarnya legitime portie adalah sebuah hak yang diberikan undang-undang kepada ahli waris tertentu, sehingga ketika ada pelanggaran legitime portie ahli waris dalam sebuah testamenter, testamenter itu tidak serta merta batal demi hukum, harus ada gugatan atau permohonan pembatalan testamen yang diajukan oleh si ahli waris yang merasa dirugikan. Ketika ahli waris tidak melakukan gugatan atas klausula yang

  48 Andreas Prasetyo, Op. Cit, hlm. xii 48 Andreas Prasetyo, Op. Cit, hlm. xii

g. Penyebab Hilangnya Hak Waris

  1) Menolak Warisan Verwerping

  Dalam ketentuan waris yang diatur dalam KUHPerdata memungkinkan seorang ahli waris untuk menolak warisan. Hal ini adalah sebagai pelindung bagi pewaris ketika sebagian besar atau seluruhnya harta warisan berupa pasiva. Namun dalam perkembangannya, pelaksanaan ini beradaptasi dengan kebutuhan masayarakat yang kemudian dari pengaturan yang ada di dalam KUHPerdata mengenai hal menolak atau menerima warisan memberi ruang pilihan bagi ahli waris untuk memilih sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, yakni:

  (a) Ia dapat menerima harta warisan seluruhnya menurut

  hakekat tersebut dari KUHPerdata, termasuk seluruh hutang si pewaris.

  (b) Ia dapat menolak harta warisan dengan akibat bahwa ia

  sama sekali tidak tahu menahu tentang pengurusan harta warisan itu.

  (c) Ia dapat menerima harta warisan dengan syarat bahwa

  harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu. Oleh karena pemilihan satu dari tiga harus diperinci barang-barangnya dengan pengertian bahwa hutang-hutang hanya dapat ditagih sekedar harta warisan mencukupi untuk itu. Oleh karena pemilihan satu dari tiga

  Para kreditur yang dirugikan oleh debitur yang menolak warisannya, dapat mengajukan permohonan kepada Hakim, supaya diberi kuasa untuk menerima warisan itu atas nama dan sebagai pengganti debitur itu. Dalam hal itu, penolakkan warisan itu hanya boleh dibatalkan demi kepentingan para kreditur dan sampai sebesar piutang mereka, penolakkan itu sekali-kali tidak batal untuk keuntungan ahli waris yang telah menolak warisan itu. Terkait dengan pengaturan mengenai penolakan harta warisan, perlu ditegaskan bahwa bagian waris yang menolak itu akan jatuh kembali pada boedel warisan, dan pembagian antara ahli waris yang tidak menolak dilakukan atas dasar jumlah waris itu saja 49

  49 Affandi, Op. Cit, hlm. 66

2) Tidak Patut Mewaris

  Mengenai hilangnya hak mewaris atau istilah “tak patut mewaris” diatur dalam KUHPerdata Pasal 838. Dijelaskan dalam Pasal-pasal tersebut tentang kondisi yang menyebabkan seseorang tidak patut mewaris. Dalam hukum waris dengan wasiat masalah tak patut mewaris ini diatur dalam Pasal 912 KUHPerdata. Undang-undang menyebut ada empat peristiwa

  tak patut mewaris bagi ahli waris karena kematian 50 : (a) Ia yang dihukum karena telah membunuh atau telah

  berikhtiar (mencoba) merampas nyawa pewaris. Yang dianut secara umum, ialah bahwa di sini kita berhadapan dengan penghukuman karena dengan sengaja merampas nyawa seseorang.

  (b) Ia karena putusan hakim ditetapkan bahwa ia telah

  mengajukan tuduhan fitnah dan menodai nama baik pewaris dengan menyatakan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang oleh undang-undang diancam dengan pidana sekurang-kurangnya 4(empat) tahun. Maka ketidakpatutan mewaris ini harus diisyaratkan adanya putusan hakim.

  (c) Ia dengan kekerasan atau tekanan telah menghalang-halangi

  pewaris untuk membuat atau menarik kembali wasiat.

  50 A. Pitlo, Op. Cit, hlm. 55, mengutip Gregor van der Burght

  Dalam hal ini termasuk juga mengancam pewaris untuk mengubah wasiatnya.

  (d) Ia yang telah menggelapkan, memusnahkan ataupun

  memalsukan wasiat pewaris.

2. Pewarisan Menurut Hukum Waris Islam

a. Pengertian Pewarisan

  Dalam beberapa literatur hukum Islam dijumpai beberapa istilah yang terkait dengan pewarisan. Dalam Fikih Mawaris dan Hukm para ulama menamakan hukum tentang pembagian warisan dengan kata faraid. Faraid adalah bentuk jama’ dari kata

  fariidhah. Kata fariidhah 51 terambil dari kata fardh yang berarti taqdir, ketentuan. Allah swt berfirman:“(Maka bayarlah) separuh

  dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS al-Baqarah: 237).Sedang menurut istilah syara’ kata fardh ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli waris.

  Menurut istilah disebutkan “hak-hak kewarisan yang dijumlahkannya telah ditentukan secara pasti dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al- Bukhari dalam al-Bukhari, shahih al-Bukhari IV , yang artinya :

  51 Wahid, Moh. Muhibbin dan Abdul, 2009, HUKUM WARIS ISLAM Sebagai Pembaruan Hukum Positif Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 5

  “ Berikanlah Faraid (bagian-bagian yang ditentukan itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”

  Hak-hak ahli waris dalam Hukum Waris Islam pada dasarnya dinyatakan dalam jumlah atau bagian tertentu dengan angka yang pasti, yang dinyatakan dalam al-Qur’an, sebagai sumber utama Hukum Kewarisan Islam.

b. Unsur-unsur Pewarisan

1) Pewaris

  Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta

  peninggalan 52 . Istilah pewaris dalam literatur fikih disebut

  sebagai al-mawarrits yang secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya, tidak dapat dikatakan sebagai pewaris. Meskipun

  pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya. 53

  52 Kompilasi Hukum Islam Pasa 171 huruf b

  53 Zainudin Ali, 2006, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 33.

2) Ahli Waris

  Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris. Menurut Kompilasi hukum Islam Pasal 171 huruf c menerangkan bahwasanya ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaria, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

3) Harta Warisan

  Harta warisan menurut hukum Islam adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli waris. Dalam pengertian ini dapat

  dibedakan antara harta waris dan harta peninggalan 54 . Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau

  dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang ketika kematiannya; sedangkan harta warisan adalah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya.

  Dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II, Bab I tentang ketentuan umum, dapat disimpulkan bahwa hukum waris Islam

  54 Syarifudin. 2004, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media Grup, hlm. 206

  memisahkan konsep antara harta peninggalan dan harta warisan. Hal yang dimaksud harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan yang dimaksud mengenai harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

  Manakala seseorang meninggal dunia, maka yang mula- mula harus diurus dari harta peninggalannya adalah biaya persiapan jenazah dan penguburannya kemudian pelunasan hutangnya, lalu penyempurnaan wasiatnya, lantas kalau masih tersisa harta peninggalannya dibagi-bagikan kepada seluruh ahli warisnya. Allah SWT dalam Surat An-nisa Ayat 11 berfirman: “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat (dan) sesudah dibayar hutangnya.”

c. Hukum Waris

  Dalam konteks Hukum Islam, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berupa bagiannya masing-masing (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171). Dari definisi tersebut, maka Dalam konteks Hukum Islam, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berupa bagiannya masing-masing (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171). Dari definisi tersebut, maka

  1) Ketentuan yang mengatur siapa pewaris

  2) Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris

  3) Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan

  4) Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta

  peninggalan dari pewaris kepada ahli waris

  5) Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing.

  Di sisi lain menurut para ahli hukum, Hukum Waris Islam dirumuskan dengan:

  M. Idris Ramulyo 56 Hukum waris Islam ialah himpunan aturan-aturan hukum

  yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan harta peninggalan.

  A. Syarifudin 57

  Hukum waris Islam mengatur peralihan harta dari seorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup.

  Zainudin Ali 58 Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur peralihan

  harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.

  55 Ratu Haika, 2007, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Desember, s.l. : MAZAHIB, 2007, Vol. IV. 02.

  56 M. Idris Ramulyo, 1987, Hukum Kewarisan Islam (Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi’I (Patrilinial) Hazairin (Bilateral) Praktek Di Pengadilan Agama, Ind‐Hill, hlm.

  57 A. Syarifudin, Op. Cit, hlm. 5 58 Zainudin Ali, 2008, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm.33

  Abdullah Syah 59 Pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir (

  qadar ketentuan, dan pada sya’ra adalah bagian-bagian yang diqadarkan ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh sya’ra.

  Dari keempat rumusan tersebut, maka benang merah dari pendefinisian hukum waris adalah pengaturan mengenai penentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang meninggal yang dimaksud. Dalam pelaksanaan hukum waris Islam, maka harus terpenuhinya tiga syarat yaitu: (1) adanya kepastian bahwa seseorang yang meninggalkan harta tersebut sudah meninggal, (2) Ahli waris masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, (3) diketahui sebab-sebab dan status masing-masing ahli waris.

d. Sumber Hukum Waris Islam

  Dasar hukum waris Islam di Indonesia adalah Al-

  Quran, hadist Rasulullah serta pendapat para sahabat Rasulullah dan pendapat ahli hukum Islam menurut Ijtihadnya. Penggunaan ketiga sumber ini tetap harus didasarkan kepada Ayat Al-Qur’an sendiri. Salah satu Ayat yang menyinggung tentang hal ini ialah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 59, yang terjemahannya:

  ﻲِﻟوُأَو َلﻮُﺳﱠﺮﻟا اﻮُﻌﻴِﻃَأَو َﻪﱠﻠﻟا اﻮُﻌﻴِﻃَأ اﻮُﻨَﻣَﺁ َﻦیِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡیَأ ﺎَی

  59 Abdulah Syah et all, Laporan Penelitian Pandangan Pemuka Agama Islam Sumatra Utara Terhadap Kompilasi Hukum Islam. Medan: Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi Agama, IAIN.

  ِﻪﱠﻠﻟا ﻰَﻟِإ ُﻩوﱡدُﺮَﻓ ٍءْﻲَﺷ ﻲِﻓ ِﺮْﻣَﺄْﻟ ْنِﺈَﻓ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ْﻢُﺘْﻋَزﺎَﻨَﺗا ٌﺮْﻴَﺧ َﻚِﻟَذ ِﺮِﺧَﺂْﻟا ِمْﻮَﻴْﻟاَو ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ َن ﻮُﻨِﻣْﺆُﺗ ْﻢُﺘْﻨُآ ْنِإ ِلﻮُﺳﱠﺮﻟاَو

  ًﻞیِوْﺄَﺗا ُﻦَﺴْﺣَأَو

  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”.

  Ayat ini memberi pengertian, bahwa orang mukmin diharuskan untuk mengikuti atau taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri atau para pemimpinnya. Seorang mukmin senantiasa dalam memecahkan berbagai aspek harus mengikuti, dan didasarkan pada ketiga sumber tersebut. Berikut penjelasan mengenai ketiga sumber tersebut:

  1) Al-Qur’an

  Al-Qur’an merupakan sumber pokok pengesahan Hukum Kewarisan Islam, karena itu kendati pun sumber hukum kewarisan ada tiga, tetapi pada hakikatnya kedua sumber sesudahnya (Hadist Rasul dan Ijtihad) harus diacukan kepadanya. Khusus dalam kaitannya dengan hukum pewarisan Islam, Al-Qur’an telah memberi pedoman yang cukup terperinci. Sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks Al-Qur’an merupakan sumber pokok pengesahan Hukum Kewarisan Islam, karena itu kendati pun sumber hukum kewarisan ada tiga, tetapi pada hakikatnya kedua sumber sesudahnya (Hadist Rasul dan Ijtihad) harus diacukan kepadanya. Khusus dalam kaitannya dengan hukum pewarisan Islam, Al-Qur’an telah memberi pedoman yang cukup terperinci. Sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks

  2) Sunnah Rasul

  Sunnah dalam makna bebasnya dapat diartikan Tradisi Nabi. Sebagai sumber legislasi kedua setelah Al- Qur’an, Sunnah memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap Al-Qur’an, sebagai penguat hukum dalam Qur’an dan membentuk hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Fungsi sebagai pemberi konkrit dari Sunnah dalam bidang kewarisan misalnya hadist yang diriwayatkan Bukhori Muslim dan Ibnu Abbas yang menyatakan, bahwa alangkah baiknya kalau manusia mengurangkan wasiatnya, karena Nabi bersabda:“boleh sepertiga itu pun cukup banyak”. Fungsi Sunnah sebagai sumber yang membentuk hukum sendiri dalam bidang kewarisan ini cukup banyak. Hadist-hadist tersebut, misalnya tentang wala atau warisan bekas budak yang tidak meninggalkan ahli waris menjadi hak orang yang memerdekakannya (HR. Bukhori-Muslim), sedangkan harta warisan orang yang tidak meninggalkan keturunan atau Sunnah dalam makna bebasnya dapat diartikan Tradisi Nabi. Sebagai sumber legislasi kedua setelah Al- Qur’an, Sunnah memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap Al-Qur’an, sebagai penguat hukum dalam Qur’an dan membentuk hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Fungsi sebagai pemberi konkrit dari Sunnah dalam bidang kewarisan misalnya hadist yang diriwayatkan Bukhori Muslim dan Ibnu Abbas yang menyatakan, bahwa alangkah baiknya kalau manusia mengurangkan wasiatnya, karena Nabi bersabda:“boleh sepertiga itu pun cukup banyak”. Fungsi Sunnah sebagai sumber yang membentuk hukum sendiri dalam bidang kewarisan ini cukup banyak. Hadist-hadist tersebut, misalnya tentang wala atau warisan bekas budak yang tidak meninggalkan ahli waris menjadi hak orang yang memerdekakannya (HR. Bukhori-Muslim), sedangkan harta warisan orang yang tidak meninggalkan keturunan atau

  3) Ijtihad

  Sebenarnya Al-Qur-an dan Sunnah dipandang telah mencukupi sebagai sumber legislasi yang memberi pedoman hukum berkenaan dengan kehidupan pribadi dan sosial muslimin, khususnya dalam bidang kewarisan. Akan tetapi kehidupan manusia yang dinamis membutuhkan hukum-hukum baru yang relevan dengan kebutuhan mereka. Menghadapi perubahan sosial budaya yang demikian, maka diperlukan usaha dengan mencurahkan segala kemampuan berpikir guna mengeluarkan hukum syari’at dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.

e. Azas-azas Hukum Waris

1) Azas Ijbari

  Ijbari secara harfiah berarti memaksa. Azas ini merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dimana mengandung makna bahwa peralihan harta warisan si peningal beralih dengan sendirinya kepada para ahli warisnya menurut

  60 Mengenai Kalalah, KHI mengaturnya dalam Pasal 191: Bila Pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas

  Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Islam dan kesejahteraan umum.

  ketetapan Allah 61 , sehingga proses waris tidak digantungkan kepada kehendak pewaris ataupun ahli waris.

  a) Peralihan harta

  Dilihat dari perspektif ini maka peralihan harta waris dari seseorang yang meninggal kepada orang yang ditinggalkan atau ahli warisnya telah diatur oleh Al-Quran surat An-nisa (4) Ayat 7 yang menyatakan:

  ِءﺎَﺴﱢﻨﻠِﻟَو َنﻮُﺑَﺮْﻗَﺄْﻟاَو ِناَﺪِﻟاَﻮْﻟا َكَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ٌﺐﻴِﺼَﻥ ِلﺎَﺟﱢﺮﻠِﻟ ْوَأ ُﻪْﻨِﻣ ْوَأ ﱠﻞَﻗ ﺎﱠﻤِﻣ َنﻮُﺑ َﺮْﻗَﺄْﻟاَو ِناَﺪِﻟاَﻮْﻟا َكَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ٌﺐﻴِﺼَﻥ

  ﺎًﺿوُﺮْﻔَﻣ ﺎًﺒﻴِﺼَﻥ َﺮُﺜَآ

  Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu- bapak dan karib kerabat; dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang

  telah ditetapkan

  Ayat di atas dikukuh lagi dengan Pasal 188 KHI yang menyatakan:

  Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan agama untuk dilakukan pembagian warisan.

  61 Herdiyansyah. (2009, 09 01). Azas‐azas Hukum Kewarisan Dalam Islam. Retrieved 03 10, 2011, from tipscom: http:www.tipskom.co.cc200909azas‐azas‐hukum‐kewarisan‐dalam‐

  islam.html

  Dari Ayat dan pengaturan hukum di atas dapat disimpulkan bahwa tidaklah perlu pewaris menjanjikan sesuatu yang akan diberikan kepada ahli warisnya sebelum ia meninggal dunia 62 , begitu juga dengan ahli waris yang

  tidak perlu meminta haknya kepada pewaris ketika masih hidup karena hak-hak itu telah diatur secara tegas oleh Al- Qur’an maupun KHI.

  b) Status atau hubungan ahli waris dengan pewaris

  Perspektif ini dilihat dari hubungan ahli waris kepada pewaris, hubungan kerabat maupun hubungan akibat ikatan perkawinan. Mengenai seruan memberikan warisan kepada kerabat dapat ditemukan dalam surat Q.S Al-Anfal (8): 75

  orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat lebih berhak mengurus kerabatnya dari pada orang lain yang telah dituliskan di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala-galanya.

  62 Ali, Op.Cit, hlm. 122

2) Azas Akibat Kematian

  Azas ini memiliki makna bahwasanya proses pewarisan baru dapat terjadi setelah pewaris meninggal. Hal ini berarti bahwa peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kelak setelah kematiannya, tidak dapat dikatakan sebagai pewarisan menurut Islam. Melalui azas ini diperoleh gambaran bahwasanya hukum waris Islam hanya mengenal satu bentuk waris, yaitu waris sebagai akibat dari adanya

  kematian dan tidak mengenal waris atas dasar wasiat 63 yang dibuat pada saat pewaris masih hidup. 64

3) Azas Individual

  Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi- bagi dan dimiliki secara individual 65 . Dalam pelaksanaannya,

  seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak

  63 Wasiat dalam konteks hukum Islam adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, dan ketentuan itu akan berlaku semenjak pewasiat meninggal

  dunia. Wasiat wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi kepada para ahli waris. orang yang berhak menerima wasiat bukanlah ahli waris. sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang menerima warisan keculai apabila ahli waris lain memperbolehkannya.” (HR. Daruqutny), dalam: Hasbiyallah, 2008, Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm. 16‐17

  65 Ibid, hlm. 30 Harta warisan dapat dibagi kepada masing‐masing ahli waris sesuai bagian masing‐masing,

  kecuali dalam hal harta warisan tanah kurang dari 2 Ha (Pasal 189 KHI Jo. Pasal 89 Undang‐ undang Nomor 56Prp1960 Tentang Penetapan Lahan Tanah Pertanian) dan dalam hal para ahli waris bersepakat untuk tidak membagi harta warisan akan tetapi membentuk usaha bersama yang masinh‐masing memiliki saham sesuai dengan proporsi bagian warisan mereka.

  menerimanya dengan kadar bagian masing-masing. pengaturan ini termuat dalam surat An-Nisa Ayat 33:

  َﻦیِﺬﱠﻟاَو َنﻮُﺑ َﺮْﻗَﺄْﻟاَو ِناَﺪِﻟاَﻮْﻟا َكَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ َﻲِﻟاَﻮَﻣ ﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ ﱟﻞُﻜِﻟَو

  ﱢﻞُآ ﻰَﻠَﻋ َنﺎَآ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإ ْﻢُﻬَﺒﻴِﺼَﻥ ْﻢُه ﻮُﺗَﺂَﻓ ْﻢُﻜُﻥﺎَﻤْیَأ ْتَﺪَﻘَﻋ

  اًﺪﻴِﻬَﺷ ٍءْﻲَﺷ

  Untuk setiap orang telah Kami adakan Ahli Waris dan harta peninggalan mereka masing-masing. Ahli-ahli waris itu ialah: ibu-bapak, kaum kerabat, dan pada siapa kamu telah mengikat janji dengan mereka (Suami isteri), maka berikanlah bagian mereka masing-masing. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala-galanya.

4) Azas Bilateral

  Azas ini memiliki arti bahwa seseorang ahli waris berhak mendapatkan bagian warisan baik dari kerabat laki-laki maupun kerabat perempuan. Azas bilateral ini dapat ditemukan dalam Q.S. An-Nisa (4) Ayat 7, dalam kalimat :

  ِءﺎَﺴﱢﻨﻠِﻟَو َنﻮُﺑ َﺮْﻗَﺄْﻟا َو ِناَﺪِﻟاَﻮْﻟا َكَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ٌﺐﻴِﺼَﻥ ِلﺎَﺟ ﱢﺮﻠِﻟ

  ْوَأ ُﻪْﻨِﻣ ﱠﻞَﻗ ﺎﱠﻤِﻣ َنﻮُﺑَﺮْﻗَﺄْﻟاَو ِناَﺪِﻟاَﻮْﻟا َكَﺮَﺗ ﺎﱠﻤِﻣ ٌﺐﻴِﺼَﻥ

  ﺎًﺿوُﺮْﻔَﻣ ﺎًﺒﻴِﺼَﻥ ﺎًﺒﻴِﺼَﻥ َﺮُﺜَآ

  “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu- bapak dan karib kerabat; dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya…”

  Beberapa nash yang menguatkan nash di atas antara lain kutipan- kutipan nash di bawah ini:

  An-Nisa (4) Ayat 11, “…Dan untuk dua orangtua ibu bapaknya, masing-masing

  mendapat seperenam dari harta peninggalan…”

  An-Nisa (4) Ayat 12 “…Dan jika seorang meninggal dunia, baik laki-laki maupun

  perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu atau seorang saudara perempuan seibu, maka bagian masing-masing dari kedua jenis saudara itu, mendapat seperenam…”

  An-Nisa (4) Ayat 176

  Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, ialah: jika seorang laki-laki meninggal dunia sedangkan ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai seorang saudara perempuan seibu-sebapak atau sebapak saja, maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta peninggalannya, jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak.

  Ayat-ayat di atas menjelaskan hak mewarisi melalui dua dimensi; pertama, dimensi saling mewarisi antara anak dan kedua orang tuanya; kedua, dimensi saling mewarisi antara orang yang bersaudara juga terjadi bila pewaris tidak

  mempunyai keturunan danatau orang tua 66 . Dua dimensi pewarisan ini mengarahkan bahwa Al-Qur’an menganut azas

  bilateral, dimana baik anak laki-laki maupun perempuan, ataupun baik ayah maupun ibu keduanya memiliki hak mewaris dari orang tua maupun anak-anaknya. Terkait dengan bagian laki-laki sebesar dua kali bagian perempuan, maka azas

  66 Ibid, hlm. 123 66 Ibid, hlm. 123

5) Azas Keadilan Berimbang

  Azas ini mengandung arti bahwa dalam setiap pembagian warisan harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban. Azas ini berkaitan erat dengan penguatan azas sebelumnya (azas bilateral). Dalam azas ini dijelaskan bahwa dasar Al- Qur’an mengatur bagian anak- laki-laki sebesar dua kali bagian anak perempuan berdasarkan bahwa hak dan kewajiban sosial individu seorang laki-laki berbeda dengan kewajiban sosial seorang perempuan. Contoh nyatanya, seorang laki-laki memiliki kewajiban lebih besar dibanding kewajiban perempuan terhadap keluarganya 67 . Adapun dalam sebuah

  hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Berikan harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya, untuk orang laki-laki yang lebih utama”

  67 Ayat 176 dari surat an‐Nisa’ yang secara eksplisit mengatakan bahwa anak laki‐laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari anak perempuan, apabila dikaitkan dengan surat an‐

  Nahl ayat 90 yang berisi perintah untuk berbuat adil dan kebajikan, maka akan terlahir satu pemahaman bahwa suatu ketentuan hukum itu harus sesuai dengan rasa dan semangat keadilan di tengah masyarakat, di mana hukum itu akan diberlakukan. (Bahan Bacaan: Fiqh Mahdzab Indonesia; Pemikiran Hukum Hasbi ash‐Shiddiqi, Hazairin dan Munawir Syadzali)

  Dalam sistem waris Islam, harta yang diterima ahli waris merupakan kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh sebab itu bagian yang diterima ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing

  terhadap keluarganya 68 .

f. Sistem Pewarisan

  Sistem pewarisan dalam konteks kajian hukum Islam adalah sistem pewarisan individual bilateral. Sistem hukum waris bilateral berarti setiap ahli waris dapat mewaris dari garis keturunan ayah ataupun ibu. Sistem hukum yang bersifat bilateral ini dapat ditemukan dalam Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 7, 11, 12, 33 dan Ayat 176 sebagaimana yang telah tercantum sebelumnya.

  Dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadist, Hazairin menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’ân di bidang perkawinan dan kewarisan mencerminkan suatu bentuk

  sistem kekeluargaan yang bilateral 69 . Hazairin menggunakan ilmu tentang bentuk kemasyarakatan sebagai kerangka acu (frame of

  69 Wahid, Op. Cit, hlm. 29 QS. Al‐Hujurât ayat 13, Munawir dengan tegas menyatakan bahwa menurut Islam

  kedudukan laki‐laki dan perempuan adalah sama. Mengenai ayat‐ayat al‐Qur’ân (QS. al‐Baqarah [2]: 228, dan an‐Nisa’ [4]: 34) yang secara vulgar sering dimaknai bahwa laki‐laki lebih unggul daripada perempuan, dalam amatan Munawir, ayat‐ayat itu tidak bisa dimaknai bahwa perempuan tidak mempunyai hak sama sekali atas kepemimpinan. Begitu juga salah apabila ayat ini dipahami bahwa kelebihan laki‐laki atas perempuan membawa akibat bahwa antara laki‐laki dan perempuan tidak terdapat persamaan, baik dalam kedudukan maupun hak dan kewajiban. Pembagian tugas antara mereka berdua tidak dapat pula diartikan perbedaan derajat dan tingkat di antara mereka, baik di muka Allah, di muka hukum, maupun di tengah masyaraka.

  reference) bantu. Praktisnya, sistem kekeluargaan yang ada dalam masyarakat dikaji dan diperbandingkan satu sama lain, lalu dikonfrontir [dikonfrontasi] dengan al-Qur’ân untuk menentukan bentuk mana yang sesuai dengan al-Qur’ân.

  Tiga landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin bahwasanya sistem kekeluargaan yang diinginkan al-Qur’ân adalah sistem bilateral, antara lain:

  QS. An-Nisa (4) ayat 23:

  ْﻢُﻜُﺗﺎﱠﻤَﻋَو ْﻢُﻜُﺗاَﻮَﺧَأَو ْﻢُﻜُﺗﺎَﻨَﺑَو ْﻢُﻜُﺗﺎَﻬﱠﻣُأ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ ْﺖَﻣﱢﺮُﺣ ﻲِﺗﺎﱠﻠﻟا ُﻢُﻜُﺗﺎَﻬﱠﻣُأَو ِﺖْﺧُﺄْﻟا ُتﺎَﻨَﺑَو ِخَﺄْﻟا ُتﺎَﻨَﺑَو ْﻢُﻜُﺗﺎَﻟﺎَﺧَو

  ْﻢُﻜِﺋﺎَﺴِﻥ ُتﺎَﻬﱠﻣُأَو ِﺔَﻋﺎَﺿﱠﺮﻟا َﻦِﻣ ْﻢُﻜُﺗاَﻮَﺧَأَو ْﻢُﻜَﻨْﻌَﺿْرَأ ْﻢُﺘْﻠَﺧَد ﻲِﺗﺎﱠﻠﻟا ُﻢُﻜِﺋﺎَﺴِﻥ ْﻦِﻣ ﻲِﻔْﻤُآِرﻮُﺟ ﻲِﺗﺎﱠﻠﻟا ُﻢُﻜُﺒِﺋﺎَﺑَرَو

  َﺣَوُﻞِﺋﺎَﻠ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ ﺎَﻠَﻓ ﱠﻦِﻬِﺑ ْﻢُﺘْﻠَﺧَد اﻮُﻥﻮُﻜَﺗ ْﻢَﻟ ْنِﺈَﻓ ﱠﻦِﻬِﺑ ﺎﱠﻟِإ ِﻦْﻴَﺘْﺧُﺄْﻟا َﻦْﻴَﺑ اﻮُﻌَﻤْﺠَﺗ ْنَأَو ْﻢُﻜِﺑﺎَﻠْﺹَأ ْﻦِﻣ َﻦیِﺬﱠﻟا ُﻢُﻜِﺋﺎَﻨْﺑَأ

  ﺎًﻤﻴِﺣ َر اًرﻮُﻔَﻏ َنﺎَآ َﻪﱠﻠﻟا ﱠنِإ َﻒَﻠَﺳ ْﺪَﻗ ﺎَﻣ

  Artinya: Diharamkan atas kalian menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri

  kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak kalian, saudara-saudara perempuan kalian, ‘ammah kalian (bibi saudara perempuan ayah), khalah kalian (bibi saudara perempuan ibu), putri-putri dari saudara laki-laki kalian (keponakan perempuan), putri-putri dari saudara perempuan kalian, ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan, ibu mertua kalian, putri-putri dari istri kalian yang berada dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri. Tetapi jika kalian belum mencampuri istri tersebut (dan sudah berpisah dengan kalian) maka tidak berdosa kalian menikahi putrinya. Diharamkan pula bagi kalian menikahi istri-istri anak

  Pertama, apabila surat an-Nisâ ayat 23 diperhatikan, akan ditemukan tidak adanya larangan untuk saling menikahi antara orang-orang yang bersaudara sepupu. Fakta ini menunjukkan bahwa al-Qur’ân cenderung kepada sistem kekeluargaan yang bilateral. Kedua, surat An-Nisâ ayat 11 yang menjelaskan bahwa semua anak baik laki-laki maupun perempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Ini merupakan sistem bilateral, karena dalam sistem patrilineal pada prinsipnya hanya anak lakilaki yang berhak mewarisi begitu juga pada sistem matrilineal, hanya anak perempuan yang berhak. Ketiga, surat an-Nisâ’ ayat 12 dan 176 menjadikan saudara bagi semua jenis saudara (seayah dan seibu) sebagai ahli waris.

  Demikian hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak ayah ataupun pihak ibu saja dan para ahli waris pun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja. Selanjutnya, Hazairin menjelaskan bahwasanya sistem kewarisan bilateral yang dimaksud adalah sistem kewarisan Demikian hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak ayah ataupun pihak ibu saja dan para ahli waris pun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja. Selanjutnya, Hazairin menjelaskan bahwasanya sistem kewarisan bilateral yang dimaksud adalah sistem kewarisan

g. Penyebab Timbulnya Hak Waris

1) Hubungan kekerabatan

  Hubungan kekeluargaan ditentukan oleh adanya hubungan darah, yang dapat diketahui pada peristiwa kelahiran, dimana ibu yang melahirkan seorang anak pasti mempunyai hubungan kerabat dengan anak-anak yang dilahirkan, dan hal tersebut tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga. Hubungan kekerabatan juga dapat ditemukan dengan mencari laki-laki yang menyebabkan ibu melahirkan, yang dapat dibuktikan dengan perkawinan yang sah menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.

  Selain hubungan ibu dengan anaknya dan ayah dengan anaknya, ada pula hubungan kekeluargaan dengan garis keatas, yaitu kakek dan nenek, selain itu juga ada hubungan kekerabatan kesamping yaitu kepada saudara dan

  keturunannya 72 .

  70 Surat An‐Nisa Ayat 7, Ayat 11, Ayat 12, Ayat 176. 71 Kasus Sa’d Ibn Rabi’ sekitar 5 Hijriah sesudah Perang Uhud, Rasulullah berkata: Berikan

  kepada dua orang anak perempuan Sa’d Ibn Rabi’ dua pertiga, dan kepada mak anak‐anak itu seperdelapan, dan sisanya untuk kami (Ahmad, Attirmaidzi dst)

  72 Syarifudin, Op. Cit. hlm 40‐41

2) Hubungan Perkawinan

  Dalam hukum Islam perkawinan adalah hubungan yang diakibatkan karena perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan Islam. Atas hubungan kekerabatan dan perkawinan ini maka tersusunlah penggolongan ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan dan perkawinan:

  (1) Dzawil Furudl 73 dzul Faraidh 74

  Dijelaskan dalam Pasal 192 KHI. Kata dzawil furudl berarti mempunyai bagian, dengan kata lain mereka adalah ahli waris yang bagiannya telah ditentukan di dalam syariat. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pun sudah mengatur mengenai bagian golongan ini, pengaturan ini tercantum dalam Pasal 176 KHI sampai dengan Pasal 181, yang pengaturan tersebut dapat di lihat dalam table berikut:

  73 Istilah Dzawil Furudh digunakan dalam Kompilasi Hukum Islam dan beberapa Peraturan Mahkamah Agung untuk menjelaskan kelompok ahli waris yang bagiannya telah ditentukan.

  74 Istilah Dzul Faraidh digunakan oleh beberapa ahli hukum seperti Hazairin, Sadjuti Thalib dan Idris Ramulyo

  75 Suami 76 jika Ibu jika Suami Ibu jika

  tidak ada

  tidak ada

  jika ada

  ada anak

  anak cucu anakcucu 2 anak cucu

  cucu

  atau lebih SP

  13 sisa 77 Istri Jika Istri ketika ahli

  tidak ada

  Jika ada

  waris terdiri

  anak cucu

  anak

  ayah, ibu dan

  cucu

  istrisuami 78 Ayah jika

  Ayah Jika

  tidak ada

  ada Anak

  anak cucu

  cucu

  2 CP atau

  1 CP

  2 atau lebih

  1 SLI 1

  lebih 79 SLI 1 SPI SPI 2SPA

  1 SPA

  SPK atau

  SPK

  lebih 80 2 AP atau

  1 AP 81

  lebih Table 1 Bagian Dzawil Furud’l menurut Kompilasi Hukum Islam

  AP : Anak Perempuan CP : Cucu Perempuan SP : Saudara Perempuan SPA : Saudara Perempuan Seayah SPI : Saudara Perempuan Seibu SPK : Saudara Perempuan Kandung

  75 Pasal 178 Kompilasi Hukum Islam

  77 Pasal 179 Kompilasi Hukum Islam Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam 78 Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam

  79 Pasal 181 Kompilasi Hukum Islam 80 Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam 81 Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam

  Berikutnya dapat diperjelas dengan gambar berikut: Bagian Anak Perempuan menurut Pasal 176 KHI

  Ketika mewaris tanpa saudara

  P+-----------------O

AP (12)

  Ketika mewaris bersama saudara

  P+------------------O

AP (23) AP(23)

  Ketika mewaris dengan saudara laki-laki (AL)

  P+----------------O

  AL AP( ½ x AL )

  Gambar 10

  Bagian Ayah menurut Pasal 177 KHI:

  13 bila Pewaris tidak memiliki anak Ibu-----------------------------Ayah(13)

  P+

  16 bila Pewaris memiliki anak Ibu------------------------------Ayah(16)

  P+ Q

  Anak P Gambar 11

  Bagian Ibu manurut Pasal 178 KHI:

  13 bagian bila Pewaris tidak memiliki anak

  ataupun dua saudara atau lebih

  Ibu (13)----------------Ayah

  P+

  16 (seperenam) bagian bila Pewaris meninggalkan anak atau dua orang saudara

  Ibu(16)----------------Ayah

  P+

  Anak P

  16 (seperenam) bila pewaris memiliki dua

  saudara atau lebih

  Ibu(16)-------------------Ayah

  P+ Q R

  13 bagian sisa pasangan Pewaris bila bersama ayah, Pewaris tidak mempunyai anak ataupun

  dua saudara atau lebih yang berhak mewaris

  Ayah---------------Ibu(13 sisa Q)

  P+-------------Q (pasangan)

  Gambar 12

  Bagian Duda menurut Pasal 179

  12 bagian bila Pewaris tidak memiliki anak

  P+----------------Duda(12)

  ¼ bagian bila Pewaris memiliki anak

  P+----------------Duda(14)

  Anak

  Gambar 13

  Bagian Janda menurut Pasal 180 KHI

  13 bagian bila Pewaris tidak memiliki anak

  P+--------------------Janda(14)

  16 bagian bila Pewaris memiliki anak

  P+---------------------Janda(18)

  Anak

  Gambar 14

  Bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu menurut Pasal 181 KHI

  Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, maka :

  Ayah (+)----------------Ibu (16)

  P (+) SLI(16) SPI(16)

  Bila mereka (SLISLI) dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapatkan sepertiga bagian:

  Ayah (+)-----------------------------Ibu (16)

  P (+) SLI SLI SLI _______13_______

  Ayah (+)-----------------------------Ibu (16)

  P (+) SPI SPI _____13____

  Gambar 15

  Bagian saudara perempuan seayah atau sekandung menurut Pasal 182 KHI

  Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah maka ia mendapatkan separoh bagian:

  Ayah (+)--------------------------------Ibu(13)

  P(+) SPK(12)

  Ayah (+)--------------------------------Ibu(16)

  P(+) SPK SPK _____23_____

  Ayah (+)--------------------------------Ibu(16)

  P(+) SPK SLK(2X SPK)

  Gambar 16

  (2) Ashabah 82

  Pengertian ashabah 83 menurut bahasa Arab

  adalah anak laki-laki dan kaum kerabat dari pihak bapak, di mana para ulama telah menyepakati kalau mereka mendapat warisan. Ashabah akan mendapat semua bagian warisan apabila yang meninggal tidak mempunyai ahli waris bagian tertentu (dzawil furudl), namun apabila ada di antara ahli waris mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian ashabah.

  i. Ashabah Binnafsih

  Ashabah yang berhak mendapat semua sisa harta adalah :aAnak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki- laki dan terus kebawah melalui garis keturunan laki- laki, bapak,kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas dengan syarat pertaliannya belum putus dari pihak bapak, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak saudara laki-laki kandung, anak saudara laki-laki sebapak, paman yang sekandung dengan bapak, paman yang sebapak dengan bapak, anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak, anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak.

  82 M. Ali Hasan, 1973, Hukum Kewarisan dalam Islam, Bulan Bintang : Jakarta, hlm. 27 83 Dinamakan ashabah karena mereka mengelilingi untuk melindungi dan membela.

  sekelompok orang yang kuat dinamai Ushabah, dalam Hasbiyallah, Op. Cit, hlm 34

  Dalam istilah ilmu Faraidl ‘ashabah tersebut diatas disebut ‘ashabah binnafsi 84 , karena mereka

  secara otomatis menjadi ‘ashabah, tanpa disebabkan oleh orang lain.

  ii.

  Ashabah bil-Ghair

  Asabah Bilghair adalah wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki- laki. 85 Perempuan dapat juga menjadi ashabah dengan

  ketentuan sebagai berikut : anak perempuan dapat ditarik oleh saudara laki-laki sekandungnya menjadi ‘ashabah dengan ketentuan, bahwa untuk laki-laki mendapat bagian dua kali lipat perempuan; cucu perempuan bersama cucu laki-laki sekandung; saudara perempuan sekandung dapat ditarik oleh saudara laki-laki sekandung; saudara perempuan seayah bersama saudara laki-laki seayah. Dalam istilah ilmu Faraidl, ashabah yang tersebut di atas

  84 Ada beberapa ketentuan Ashabah binnafsih yaitu:

  a. Penetapan ashabah berdasarkan jalur‐jalurnya; dimana jalur anak harus didahului dari jalur ayah, selanjutnya jalur saudara dan seterusnya. Misal dalam perkara waris hadir anak laki‐ laki, ayah dan saudara laki‐laki sekandung. Maka anak laki‐lakilah yang hadir sebagai ashabah binnafsih, ayah seperenam, dan saudara laki‐laki sekandung terhijab.

  b. Penetapan dengan mendahului kedekatan kekerabatannya; dimana terdapat ashabah dalam satu jalur (cucu dan anak atau ayah dan kakek) maka yang didahului mereka yang paling dekat dengan simeninggal. Contoh: anak didahulukan daripada cucu, ayah didahulukan daripada kakek, saudara laki‐laki sekandung didahulukan daripada saudara laki‐laki seayah dan seterusnya. Hasbiyallah, Op. Cit, hlm. 36

  85 Sajuti Thalib, 2004, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cetakan 8, Jakarta: Sinar Grafindo, hlm. 77 85 Sajuti Thalib, 2004, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Cetakan 8, Jakarta: Sinar Grafindo, hlm. 77

  iii.

  Ashabah Ma’al Ghair

  Pewarisan ashabah Ma’al Ghair adalah didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy’ari ditanya tentang seorang anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan. Maka dijawab: anak perempuan mendapat separuh dan saudara perempuan separuh, kemudian Ibnu Masud ditanya, lalu ia menjawab: “Aku akan memutuskan ini dengan keputusan Rasulullah SAW: anak perempuan mendapat separuh, cucu perempuan seperenam, untuk menggenapi duapertiga maka sisanya adalah bagian saudara perempuan.” (HR. Jamah Ahli Hadist selain Muslim dan Nasai)

  (3) Dzul Arham

  Orang yang mempunyai hubungan darah pada Pewaris melalui pihak perempuan saja, seperti cucu melalui anak Orang yang mempunyai hubungan darah pada Pewaris melalui pihak perempuan saja, seperti cucu melalui anak

  c) Akibat Pergantian Tempat (Mawali)

  Ahli waris mawali atau ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan

  digantikan tersebut 87 . Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si

  pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan).

  Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris. Masalah ahli waris pengganti ini muncul karena Hazairin merasakan adanya

  86 Dikarenakan sistem hukum pewarisan Islam menganut azas bilatarel parental yang mana tidak membedakan laki‐laki dan perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal

  kerabat dzawil arham. Azas ini didasarkan atas:

  1. Pasal 174 KHI yang tidak membedakan anatara kakek, nenek dan paman baik dari pihak ayaha atau pihak ibu.

  2. Pasal 185 KHI mengatur ahli waris pengganti, sehingga cucu dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki‐laki dan anak perempuan anak laki‐laki darib saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi adalah ahli waris

  3. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Sumber: Mahkamah Agung. 2009. Pedoman Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan Buku II. Jakarta : Mahkamah Agung RI, hlm. 486

  87 Ahli waris pengganti atau mawali hadir sebagai bentuk penyesuaian kondisi dan pemenuhan rasa keadilan atas suatu kondisi tertentu. Azas keadilan berimbang yang melandasi

  eksistensi hadirnya mawali.

  ketidakadilan dalam pembagian warisan yang ada selama ini, yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu tidak mendapat harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan kakeknya.

  KHI tidak memberi batasan yang jelas tentang ahli waris pengganti, maka pemahaman tentang ahli waris pengganti seperti dimaksud pasal 185 ayat (1): Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173, itu dapat diartikan secara luas. Sehingga pengertian ahli waris yang digantikan itu meliputi garis lurus ke bawah dan juga dari garis menyamping. Jadi pasal ini selain bisa menampung cucu dari pewaris baik dari anak laki-laki atau perempuan juga bisa menampung anak-anak (keturunan) saudara-saudara yang lebih dahulu meninggal dunia dengan tentunya tetap memperhatikan aturan hijab menghijab antara derajat yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah.

h. Penyebab Hilangnya Hak Waris

1) Hijab

  Adalah sebuah kondisi dimana kehadiran Ahli Waris yang lebih kuat menutup seluruh atau sebagian hak waris Ahli Waris lainnya.

  a. Hijab Total (hirman mahjub)

  1. Anak menghijab saudara.(sekandung, seibu, seayah) 88

  2. Ayah menghijab saudara dan keturunan, kakek- nenek yang melahirkannya, beserta paman bibi pihak ayah beserta keturunannya

  3. Ibu menghijab kakek dan nenek yang melahirkannyabeserta pamanbibi dari pihak ibu beserta keturunannya

  4. Saudara dan keturunannya menghijab pamanbibi dari pihak ayah maupun pihak ibu.

  b. Hijab sebagian (nuqsan) Kehadiran anak mengurangi bagian ibu dari 13 menjadi 16, bagian suami dari ½ menjadi ¼, bagian istri dari ¼ menjadi 18.

2) Tidak Patut Mewaris

  (a) Pembunuhan

  Pembunuhan menjadi penghalang seseorang untuk mendapatkan hak warisan berdasar pada al- hadist yang menyatakan “Pembunuh tidak boleh

  88 Kompilasi Hukum Islam membedakan saudara seayah, seibu, dan sekandung (Pasal 181 dan Pasal 182), dalam perkembangannya yurisprudensi MARI menyamakan kedudukan ketiganya

  , mereka mendapat ashabah secara bersama‐sama dengan ketentuan saudara laki‐laki mendapat dua bagian saudara perempuan.

  mewarisi”. Dalam hadist di atas, Rasulullah hanya mengatakan “pembunuh” sehingga konsepsi awal mengarahkan pada sebuah konklusi; pembunuh apapun tidak dapat mewarisi.

  Kedepannya, hadist ini diperjelas bahwa tidak semua pembunuhan menjadi penghalang mewarisi, contoh : pembunuhan terhadap musuh perang, pembunuhan dalam pelaksanaan hukuman mati dan pembunuhan dalam membela jiwa, harta serta kehormatan. Sehinga dapat disimpulkan bahwa hanya pembunuhan yang melawan hukum sajalah yang mampu menghalangi seseorang untuk mewarisi.

  (b) Berbeda agama

  Hal yang dimaksud dengan halangan perbedaan agama di sini ialah antara orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi; artinya seorang muslim tidak mewarisi pewaris yang non-muslim; begitu pula non muslim tidak mewarisi harta pewaris yang muslim. Hal ini bersandar pada hadist Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwAyat al-Bukhari dan Muslim: “seseorang yang non muslim tidak mewarisi seseorang muslim dan muslim tidak mewarisi non muslim”.

3. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia Saat ini

  Dalam pelaksanaan hukum waris di Indonesia yang masih bersifat plural ini, Indonesia mempunyai dua lembaga peradilan yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, dua badan peradilan pelaksana hukum waris tersebut adalah Pengadilan Umum dan Pengadilan Agama. Menegenai hal ini dapat kita lihat dari Pasal 25 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009:

  “… (2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. (3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan …”

  Selanjutnya di dalam undang-undang tentang Peradilan Agama mengenai kompetensi terkait waris umat Islam sendiri secara tegas disebutkan dalam Pasal 49 yang berbunyi:

  Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

  a. perkawinan;

  b. waris;

  c. wasiat;

  d. hibah;

  e. wakaf;

  f. zakat;

  g. infaq;

  h. shadaqah; dan

  i. ekonomi syari'ah.

  Dua badan peradilan inilah yang saat ini diberi kewenangan serta tanggung jawab atas pelaksanaan hukum waris di Indonesia. Hingga akhirnya sampai pada kondisi saat ini, Indonesia cukup banyak mengenyam dan mengeluarkan pengaturan regulasi mengenai waris, antara lain:

a. Sebelum Kemerdekaan

  1) Reglement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie Regeeringsreglemet (R.R): R.R yang dimuat dalam Stbl. Belanda 1854: 129 atau Stbl. Hindia Belanda 1855: 2 ; mengatur tentang pemberlakuan Undang-undang Islam Indonesia. Stbld. Pasal 75 Ayat (3): Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan undang-undang agama (godsdienstige

  wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu 89 .

  2) Burgerlijk Wetboek (BW) 90 yang mulai diberlakukan di

  Indonesia sejak tanggal 1 Mei 1848

b. Setelah Kemerdekaan

  1) TAP MPRS Nomor IIMPRS1960: “ Penyempurnaan Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lain, yang kemudian dicabut oleh TAP MPRS Nomor XXXVIIIMPRS1968

  89

  Sampai pada tahun 1925 ketentuan ini terus diubah perlahan demi perlahan untuk meminimalisasi pengaruh hukum Islam akibat teori Receptio in complexu menuju receptie theory

  90 BW sendiri berasal dari hukum perdata Perancis dari code Napoleon disusun berdasarkan hukum romawi (Corpus Juris Civilis) yang waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling

  sempurna (Usman, 2006: 22‐434

  2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang menginstruksikan tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan baik oleh Instansi pemerintah maupun masyarakat. Sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), Biro Peradilan Agama melalui surat edarannya No. B.1735 tanggal 18 Pebruari 1958 menganjurkan kepada para Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk mempergunakan 13 kitab sebagai pedoman bagi para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang trekait personalitas keislaman.

  Buku II tentang Hukum Kewarisan terdiri dari Bab I : Ketentuan Umum (pasal 171); Bab II: Ahli Waris (pasal 172- 175); Bab III: Besarnya Bahagian (pasal 176-191); Bab IV: Aul dan Rad (pasal 192-193); Bab V: Wasiat (pasal 194-209); dan Bab VI: Hibah (pasal 210-214).

  3) Surat Edaran Mahkamah Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan memuat masalah pilihan hukum waris:

  Perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang kewarisan yang juga berkaitan dengan masalah pilihan hukum, hendaknya diketahui bahwa ketentuan pilihan hukum merupakan masalah yang Perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang kewarisan yang juga berkaitan dengan masalah pilihan hukum, hendaknya diketahui bahwa ketentuan pilihan hukum merupakan masalah yang

  4) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

  5) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Jo. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Kekuasaan Kehakiman

  Hingga saat ini, peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber pokok para hakim dalam menyelesaikan perkara waris adalah KUHPerdata untuk Hukum Waris Peradata Barat dan KHI untuk Hukum Waris Islam.

Dokumen yang terkait

ANALISIS OVEREDUCATION TERHADAP PENGHASILAN TENAGA KERJA DI INDONESIA BERDASARKAN SURVEI ANGKATAN KERJA NASIONAL 2007

6 234 19

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

JAWABAN PREDIKSI UJIAN NASIONAL SMP 1

3 135 8

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59