Autentikasi aneka produk tuna dengan metode DNA barcoding

(1)

AUTENTIKASI ANEKA PRODUK TUNA (Thunnus sp.)

DENGAN METODE DNA BARCODING

FATHU RAHMAN HADI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

FATHU RAHMAN HADI. C34051668. Autentikasi Aneka Produk Tuna (Thunnus sp.) dengan Metode DNA Barcoding. Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO dan ASADATUN ABDULLAH.

Kasus-kasus penipuan dan pemalsuan penggantian label dalam perdagangan produk perikanan dunia, termasuk tuna, semakin marak terjadi. Kondisi ini menuntut adanya teknik pengembangan dalam penelusuran dan pendeteksian spesies secara cepat dan mudah, dengan hasil yang akurat. Autentikasi spesies berbasis DNA merupakan teknik yang banyak dikembangkan saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari autentikasi aneka produk tuna (Thunnus sp) dengan metode DNA barcoding.

Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap kegiatan, tahap ke-1 yaitu pengambilan sampel uji produk tuna dan tahap ke-2 berupa pengujian identifikasi spesies tuna dengan DNA barcoding, yang meliputi kegiatan (1) ekstraksi DNA

dengan berdasarkan metode CTAB, (2) amplifikasi DNA (PCR) dan (3) identifikasi spesies dengan analisis BLAST dan filogenetik. Sampel tuna yang

digunakan meliputi ikan tuna segar dan produk ikan tuna olahan. Sampel tuna segar merupakan ikan tuna jenis Thunnus albacares yang diperoleh dari industri pengolahan tuna dan dikirim dalam bentuk tuna steak segar dengan pengiriman langsung, sedangkan sampel olahan yang digunakan adalah produk sushi dan sashimi ikan tuna dan tuna steak yang dibeli dari restoran dan supermarket. Pengujian identifikasi spesies dilakukan dengan menggunakan pasangan primer COI1 dan COI3 dengan kondisi amplifikasi berupa denaturasi awal (preheating) pada suhu 95 oC selama 5 menit, diikuti sebanyak 39 siklus yang terdiri dari denaturasi 95 oC selama 30 detik, annealing (49-51) oC selama 40 detik dan ekstensi 72 oC selama 60 detik, serta langkah ekstensi akhir 72 oC selama 10 menit.

Hasil ekstraksi DNA sampel tuna memperlihatkan bahwa ekstrak DNA dari sampel produk tuna segar memiliki kecenderungan smear yang lebih sedikit dari sampel produk tuna olahan. Hasil amplifikasi DNA menunjukkan bahwa pita berukuran 650 pasangan basa yang dihasilkan dengan primer COI1 dan COI3 cenderung tidak berbeda dari setiap sampel, hal ini menunjukkan bahwa kedua primer memiliki kondisi amplifikasi optimum yang sama. Adapun penentuan urutan nukleotida DNA yang telah teramplifikasi menunjukkan bahwa sampel produk tuna segar dan tuna steak teridentifikasi sebagai Thunnus albacores sesuai dengan spesies yang digunakan. Spesies yang teridentifikasi pada sampel produk sushi dan sashimi ketiganya teridentifikasi sebagai Thunnus obesus (tuna mata besar) sesuai dengan aturan yang ditetapkan dalam SNI 01-2693.3-2006. Tingkat kesamaan (homologi) yang diperoleh dari analisis BLAST cukup tinggi, yaitu lebih dari 90%. Analisis filogenetik menunjukkan bahwa jarak genetik antara urutan gen COI yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata jarak intraspesifik adalah 0,07 ± 0,13 dan interspesifik adalah sebesar 0,03 ± 0,06 dengan jarak interspesifik rata-rata antara spesies dari genus yang sama 0,08 ± 0,07. Perhitungan nilai bootstrap yang lebih dari 80% menunjukkan tingkat kesamaan spesies yang tinggi dengan database yang ada.


(3)

AUTENTIKASI ANEKA PRODUK TUNA (Thunnus sp.)

DENGAN METODE DNA BARCODING

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Fathu Rahman Hadi C34051668

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(4)

Judul : Autentikasi Aneka Produk Tuna (Thunnus Sp.) dengan Metode DNA Barcoding

Nama : Fathu Rahman Hadi NRP : C34051668

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Bambang Riyanto, S.Pi., M.Si) (Asadatun Abdullah, S.Pi., M.Si., M.S.M.) NIP. 19690603 19980 2 1001 NIP. 1983 0405 2005 012001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M. Phil) NIP. 19580511 198503 1 002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Autentikasi Aneka Produk Tuna (Thunnus sp.) dengan Metode DNA Barcoding“ adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2011

(Fathu Rahman Hadi) NRP. C34051668


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, segala puji syukur penulis berikan kepada Allah SWT atas segala karunia, petunjuk, kelancaran serta kemudahan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian berlangsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Autentikasi Aneka Produk Tuna (Thunnus Sp.) dengan Metode DNA Barcoding”.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa selama penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah bersedia membantu, diantaranya adalah :

1. Bapak Bambang Riyanto, S.Pi., M.Si dan Ibu Asadatun Abdullah, S.Pi., M.Si., M.S.M. sebagai dosen pembimbing yang tidak henti-hentinya memberikan masukan, motivasi, dan semangat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

2. Ibu Dr. Tati Nurhayati S.Pi., M.Si sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan yang sangat berharga dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M. Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl Biol sebagai komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

4. Ayahanda Sakimin Nurhadi dan Ibunda Nurhayati, serta seluruh keluarga dimanapun berada, terima kasih atas segala doa yang tidak terputus dan dukungan baik moril maupun materil sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan di IPB.

5. Saudara-saudaraku tersayang Arif Abdillah, Rahmah Ari Anggraeni, dan Sholih Kusumawati atas doa, kasih sayang, dan dukungannya selama ini.


(7)

v

6. Teman-teman satu bimbingan Fitriani Idham dan Sofia Halimi, serta Ferry Rabito Luhur dan Nanda Tika. yang telah menjadi sahabat dalam segala suka dan duka selama pengerjaan dan penulisan skripsi ini.

7. Andi Alfurqon, Nurandi, Charles, Abi, Aboy, Hendro, Fakhri, Zaini, Danu serta teman-teman di Pondok As-Salam dan “Lorong Gila” yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan kesediannya menemani, mendengarkan, dan memberikan banyak bantuan kepada penulis.

8. Fahrulsyah, Jamaludin, Moh. Zaenuri, Singgih Bayu, Stefanus, Febriyanto, Rinto, Fuad, Bayu, Ary, Adrian, Indri, Ticil, Ika Zaharani Y, Riska Istiqomah, dan semua teman-teman THP lainnya atas segala kenangan selama ini.

9. Dosen dan Staf THP, Laboran THP (Bang Zaki, Ibu Ema, dan Mas Ipul) dan Laboran Lab Kitwan FKH atas bantuan dan kerjasama selama penelitian berlangsung.

10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan dan doa yang telah diberikan kepada penulis.

Bogor, Maret 2011


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Fathu Rahman Hadi, dilahirkan di Jakarta, 10 September 1987. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sakimin Nurhadi dan Ibu Nurhayati. Penulis mengawali pendidikan formal tahun 1993 di SDN Cipinang Melayu 04 pagi, kemudian pada tahun 1999 melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTPN) 109 Jakarta dan Sekolah Menengah Umum (SMUN) 91 Jakarta pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2006 diterima pada Mayor Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kompetisi ilmiah mahasiswa, diantaranya mendapatkan penghargaan setara emas pameran poster kategori PKMK pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XII di Universitas Brawijaya, Malang, serta penghargaan setara emas penyaji kategori PKMP pada PIMNAS XIII di Universitas Mahasaraswati, Denpasar. Selain itu, penulis juga aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitian di tingkat Jurusan dan Fakultas. Organisasi yang pernah diikuti penulis antara lain: Forum Keluarga Muslim FPIK (FKM-C) periode 2006-2007, Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (HIMASILKAN) pada periode 2007-2008. Kegiatan kepanitian yang pernah diikuti antara lain, panitia Pekan Olahraga Perikanan (PORIKAN) tahun 2007, panitia seminar dan pelatihan ISO 22000 tahun 2009, Orientasi Mahasiswa Baru FPIK (OMBAK) tahun 2007 dan 2008, serta kegiatan lainnya. Penulis juga pernah tercatat sebagai asisten mata kuliah Diversifikasi Produk dan Pengembangan Produk Hasil Perairan dan Teknologi Pengolahan Hasil Samping dan Limbah Hasil Perairan tahun 2008.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Tuna ... 4

2.2 Metode Autentikasi Berbasis DNA ... 7

2.3 DNA Barcoding ... 11

3. METODOLOGI ... 12

3.1 Waktu dan Tempat ... 12

3.2 Bahan dan Alat ... 12

3.3 Prosedur Penelitian ... 13

3.3.1 Teknik pengambilan sampel uji dan ekstraksi DNA... 13

3.3.2 Pengujian identifikasi spesies dengan DNA barcoding ... 14

3.4 Prosedur Pengujian ... 16

3.4.1 Ekstraksi DNA ... 16

3.4.2 Amplifikasi DNA (PCR) ... 17

3.4.3 Identifikasi spesies ... 18

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

5.1 Kesimpulan ... 28


(10)

viii

DAFTAR PUSTAKA ... 29 LAMPIRAN ... 34


(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Perbedaan antara DNA mitokondria dengan DNA inti... 8

2. Perbandingan teknik identifikasi spesies berbasis DNA ... 10

3. Hasil spektrofotometri ekstrak DNA produk tuna ... 21

4. Berbagai penelitian dengan menggunakan gen COI sebagai target ... 24


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Ikan tuna (FAO 2010) ... 6

2. Proses dalam teknik PCR ... 9

3. Diagram alir analisis DNA Barcoding ... 15

4. Siklus PCR ... 18

5. Elektroforegram hasil ekstraksi DNA tuna ………..………... 19

6. Elektroforegram hasil PCR DNA tuna (a) Primer COI1 ... 22

7. Hasil analisis DNA barcoding produk tuna hasil sekuensi dengan target gen cytochrome c oksidase ... 26


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Gambar sampel yang digunakan dalam penelitian... 35

2. Diagram alir proses ekstraksi DNA dengan metode CTAB ... 36

3. Tampilan hasil analisis BLAST dalam NCBI ... 37


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan USFDA (2006) menunjukkan bahwa kasus-kasus penipuan dan pemalsuan penggantian label dalam perdagangan produk perikanan dunia semakin marak terjadi. Contoh kasus tersebut adalah rockfish diberi label sebagai

red snapper; sea bass diberi label sebagai halibut; mako shark diberi label sebagai

swordfish; alaska pollock diberi label sebagai cod; dan telur ikan paddlefish atau telur ikan lainnya diberi label sebagai sturgeon caviar. Di Indonesia, harian Kompas tanggal 12 Maret 2010 menyampaikan bahwa telah terjadi kasus penipuan perdagangan pada produk perikanan yang di impor dari Vietnam, yaitu berupa produk berlabel ikan dory (Zeus faber/John Dory) yang berisi ikan patin (Pangasius hypophthalmus/Cream Dory) yang bernilai setengah dari harga ikan dori aslinya. Harian Kompas tanggal 7 Agustus 2007 juga mencatat bahwa Indonesia terkena larangan ekspor produk perikanan oleh Cina, dimana salah satu alasannya adalah adanya perbedaan antara label kemasan dan isinya.

Penipuan pada produk perikanan pada umum adalah dengan mengganti spesies ikan yang bernilai tinggi dengan spesies lain yang mirip dengan harga yang lebih murah atau menggunakan produk imitasinya. Contoh kasus ini adalah penipuan dengan mengganti label ikan tuna dari genus Thunnus yang bernilai tinggi dengan ikan dari genus Euthynnus yang bernilai rendah (Rasmussen & Morrissey 2011; Bottero et al. 2007). Selanjutnya Ballin et al. (2009) menyampaikan bahwa lebih dari 20 persen kasus pelabelan produk daging, merupakan kasus pelabelan spesies yang tidak benar. Disampaikan pula bahwa 80% dari total impor kebutuhan produk seafood Amerika Serikat, lebih dari sepertiganya memiliki label yang tidak benar (Jacquet & Pauly 2008).

Penyebab banyaknya kasus penipuan perdagangan tuna ini diduga oleh makin sulitnya mendapatkan bahan baku tuna (Allen et al. 2010), selanjutnya adalah karena adanya kemiripan morfologi dari beberapa spesies yang bernilai komersial rendah dengan ikan tuna yang bernilai komersial tinggi (ikan tuna (Thunnus) dengan sebagian ikan dari famili Scombridae, misalnya tongkol (Euthynus)). Dugaan lainnya adalah berupa peluang untuk mendapatkan


(15)

2

keuntungan yang lebih besar dan lemahnya perundang-undangan yang berlaku (pengawasan yang kurang ketat dan ringannya hukuman untuk pelaku penipuan). Penipuan perdagangan tersebut dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan konsumen, subversi eco-marketing, kerusakan sumber daya perikanan (program konservasi) serta pengelolaan habitat perairan dan spesies langka (endangered species), bahkan dapat membahayakan kesehatan manusia (memiliki risiko potensial spesies yang berbahaya) (Jacquet & Pauly 2008).

Pengembangan metode yang dapat menelusuri dan mendeteksi spesies secara cepat dan mudah dengan hasil yang akurat serta dapat memberikan aspek keunikan pada masing-masing spesies, semakin diperlukan dalam pencegahan penipuan perdagangan tersebut. Ling et al. (2008) mengkombinasikan teknik analisis DNA, GC–MS dan TLC dengan referensi untuk mengautentikasi sampel

fish steaks dari oilfish dan escolar yang diberi label sebagai spesies lain untuk mencegah keriorrhea secara cepat. Selain itu penelitian metode-metode identifikasi spesies ikan dan produk perikanan saat ini menghadapi beberapa tantangan dimana terdapat 25 kelompok spesies utama yang diperdagangkan di seluruh dunia dan 1700 spesies ikan komersial yang tercatat oleh U.S. FDA (Food and Drug Administration), namun hanya sebagian kecil yang memiliki nilai komersial yang tinggi (Rasmussen & Morrissey 2010).

Autentikasi suatu spesies pada awalnya hanya berdasarkan pada ciri fisik yang terlihat secara kasat mata saja, kemudian berkembang berdasarkan kandungan bahan kimia yang dimiliki setiap spesies, seperti protein (protein larut air seperti enzim, mioglobin) dengan teknik Sodium Dedocyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE), isoelectric focusing (IEF),

isozyme staining dan immunoreactivity (ELISA) (Martinez et al. 2003). Selanjutnya berbasis asam lemak dengan kromatografi gas atau kromatografi gas yang dipadukan dengan spektroskopi massa untuk asam lemak (Schwagele 2005) serta kandungan nukleotida atau DNA (Lockley & Bardsley 2000). Metode berbasis DNA merupakan metode yang paling baik dan banyak digunakan, hal ini dikarenakan mudah diterapkan dan lebih bersifat termostabil dibandingkan dengan protein, sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi spesies dalam berbagai produk olahan. Selain itu, DNA menyimpan informasi suatu spesies


(16)

3

yang lebih banyak dan analisisnya lebih cepat dan handal dibandingkan dengan protein (Comi et al. 2005; Mackie et al. 1999).

Autentikasi spesies berbasis DNA secara teknis dilakukan setelah diamplifikasi melalui proses PCR (Polymerase Chain Reaction). DNA tersebut selanjutnya digunakan dalam identifikasi spesies dengan teknik-teknik seperti FINS (Forensically Informative Nucleotide Sequencing) (Espiñeira et al. 2009), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) (Rea et al. 2009), SSCP (Single Strand Conformation Polymorphisms) (Colombo et al. 2005), real time

PCR (Pafundo et al. 2005), RAPD (Random Amplification of Polymorphic DNA) (Martinez & Yman 1999) dan DNA barcoding (Filonzi et al. 2010).

Teknik DNA barcoding merupakan teknik yang mulai banyak dikembangkan untuk mengidentifikasi suatu spesies, karena relatif mudah dilakukan dan murah dibandingkan teknik lainnya (Wong & Hanner 2008). Teknik ini biasanya dilakukan dengan menjadikan gen cythochrome b (cyt b) dan

cythochrome c oksidase I (COI) pada DNA mitokondria (mtDNA) sebagai target (Filonzi et al. 2010). Kedua gen tersebut digunakan karena ditemukan dalam jumlah besar di mtDNA dan dapat menjadi penanda spesies pada mahluk hidup eukariot. Selain itu, gen tersebut memiliki tingkat keragaman yang tinggi namun terdapat suatu kecocokan pada ekspresi gen dari perbedaan yang ada sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu spesies. Hasil analisis DNA barcoding dalam proses autentikasi juga tidak dipengaruhi oleh penggunaan bahan-bahan tambahan yang digunakan pada suatu produk, karena setiap spesies memiliki karakteristik genetik yang berbeda-beda, sehingga kesalahan analisis dapat dihindari. Melihat hal tersebut maka pengembangan teknik DNA barcoding

dalam penelusuran dan pendeteksian cepat penipuan perdagangan tuna perlu dilakukan, diharapkan nantinya teknik ini dapat dikembangkan secara luas untuk mencegah terjadinya penipuan dengan biaya yang relatif murah.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan optimasi metode DNA barcoding

dalam autentikasi aneka produk tuna (Thunnus sp), serta mengetahui keaslian bahan baku yang digunakan untuk pembuatan produk dari sampel yang digunakan.


(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Tuna

2.1.1 Klasifikasi

Ikan tuna merupakan ikan ekonomis penting yang termasuk dalam golongan ikan pelagis. Ikan ini merupakan spesies penting dalam perdagangan perikanan dunia, karena banyak dimanfaatkan sebagai sasimi dan ikan kaleng. Ikan tuna yang termasuk dalam famili Scombridae dan subfamili Thunnini memiliki karakteristik yang mirip dengan spesies lainnya dari famili Scombridae. Ikan tuna dan spesies mirip tuna dalam famili Scombridae dapat diklasifikasikan dalam 4 genus, yaitu Thunnus, Euthynnus, Katsuwonus, dan Auxis, dengan jumlah spesies sebanyak 15 spesies (Majkowski 2007). Taksonomi dan klasifikasi ikan tuna menurut Collette & Nauen (1983) adalah :

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Superclass : Gnathostomata Class : Osteichthyes Subclass : Actinopterygii Infraclass : Teleostei

Superorder : Acanthopterygii Order : Perciformes Suborder : Scombroidei Family : Scombridae Subfamily : Thunnini

Genus : Thunnus (8 species)

Katsuwonus (1 species) Euthynnus (3 species) Auxis (2 species)

Ikan tuna memiliki tubuh berbentuk tegak, memanjang dan fusiform

(streamline) dengan dua buah sirip dorsal terpisah yang memiliki satu jari-jari keras pada jari-jari pertamanya dan sirip kaudal berbentuk bulan sabit. Sirip


(18)

5

ventral berukuran lebih kecil atau sama dengan sirip pektoral, serta terletak menjorok kebelakang dari dasar sirip pektoral. Seluruh ikan scombroids memiliki

finlet dibelakang sirip dorsal dan sirip anal, serta sepasang caudal peduncle keel di tengah pangkal ekornya. Sirip dorsal pertama dan sirip anal pertama dapat melipat ke dalam lipatan, sedangkan sirip pektoral dan sirip ventral menekan ke dalam tubuh pada saat berenang dengan cepat. Ikan ini memiliki empat lekuk/lengkung insang pada setiap sisinya dan filamen insangnya mengeras sebagai gill rays

(Collette & Nauen 1983).

Ciri morfologi ikan tuna dari genus Thunnus juga berbeda-beda. Ikan tuna sirip biru (bluefin tuna) merupakan spesies tuna terbesar yang panjangnya dapat mencapai 5 meter dengan berat mencapai 850 kg. Ikan ini tersebar di seluruh perairan hangat dan sejuk, termasuk laut mediterania dan laut hitam, dan sepanjang pantai Atlantik Eropa. Ikan tuna sirip biru merupakan ikan tuna yang paling terancam punah diantara spesies tuna lainnya, akibat kegiatan overfishing. Ikan tuna albakora (albacore tuna) merupakan ikan tuna yang paling mudah dikenali dengan sirip pektoral yang memanjang, seperti pedang, dengan perpanjangan sirip dorsal kedua hingga undermeath. Persebaran ikan tuna albakora mirip dengan tuna sirip biru, namun dapat berenang lebih jauh ke utara bersamaan dengan arus hangat dan pada musim dingin berenang ke selatan kembali. Ikan ini biasanya berada di Samudera Pasifik dan selalu bermigrasi setiap tahunnya (Van Nostrand’s Scientific Encyclopedia 2005).

Ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) merupakan ikan tuna yang hanya ditemukan di samudera dengan perairan yang hangat. Panjang ikan ini dapat mencapai lebih dari 2,5 meter dengan berat lebih dari 225 kilogram. Ciri khas spesies ini adalah memiliki bentuk sirip lancip, sirip dorsal kedua lancip, dan sirip anal yang mirip. Kedua sirip terdapat tambahan sisik dan di bagian perut depat terlihat warna kuning mengkilap. Dalam satu tahun bobot ikan ini dapat bertambah hingga 27 kg. Ikan tuna mata besar (bigeye tuna) memiliki karakteristik morfologi yang sangat mirip dengan ikan tuna sirip kuning, tetapi memiliki sirip pektoral yang lebih pendek dan mata yang lebih besar, serta memiliki habitat pada kolom perairan yang lebih dalam (Van Nostrand’s Scientific Encyclopedia 2005).


(19)

6

Gambar 1. Ikan tuna (FAO 2010)

Ikan tuna merupakan ikan perenang cepat yang memiliki kebiasaan untuk bermigrasi sepanjang hidupnya sehingga dapat ditemukan di beberapa perairan, bahkan spesies tertentu dapat ditemukan hampir di seluruh perairan dunia. Kebiasaan ikan tuna untuk bermigrasi didukung oleh sistem metabolisme tuna yang dapat mengatur jumlah panas yang ada di dalam tubuh untuk mencapai kondisi biologis yang efektif (FAO 2010). Kemampuan metabolisme tuna untuk mengatur jumlah panas didalam tubuhnya dilakukan dengan Rete mirabile yang dapat memindahkan panas dari pembuluh darah vena ke pembuluh darah arteri untuk mengurangi pendinginan permukaan tubuh dan menjaga otot tetap hangat sehingga tuna mampu berenang lebih cepat dengan energi yang lebih sedikit (Block & Stevens 2001). Selain itu, kandungan mioglobin yang tinggi pada daging ikan tuna juga mendukung kemampuan tuna untuk bermigrasi. Kandungan mioglobin yang tinggi pada daging ikan tuna membuat daging tuna menjadi berwarna merah muda sampai merah tua (Knower et al. 1999).

Spesies tuna dari genus Thunnus merupakan komoditas utama dalam pasar tuna dunia. Spesies dari genus Thunnus yang banyak diperdagangkan adalah tuna

sirip kuning (T. albacares), tuna mata besar (T. obesus), tuna albakora (T. alalunga), tuna sirip biru atlantik (T. thynnus), tuna sirip biru pasifik (T. orientalis) dan tuna sirip biru selatan (T. maccoyii). Selain itu, ikan cakalang

(Katsuwonus pelamis) yang termasuk dalam genus Katsuwonus juga menjadi spesies penting dalam perdagangan spesies tuna dunia. Ketujuh spesies tersebut


(20)

7

merupakan komoditas utama pada pasar tuna dunia karena menguasai lebih dari 80% dari jumlah ikan tuna di pasar internasional (FAO 2010). Penangkapan ikan tuna dapat dilakukan dengan berbagai alat tangkap, seperti rawai tuna, pukat cincin, pancing huhate, dan tombak (harpoon). Selain itu, saat ini ikan tuna mulai dibudidayakan di perairan yang tertutup seperti di daerah teluk, karena ketersediaannya di alam semakin sedikit (Joseph et al. 2010).

2.1.2 Karakteritik Mutu Perdagangan Tuna

Nilai ekonomis tiap spesies ikan tuna berbeda-beda, tergantung pada permintaan pasar dan ketersediaannya di alam. Ikan tuna sirip biru yang biasa digunakan untuk produk sashimi merupakan spesies yang paling tinggi nilainya mencapai 23,35 dolar AS per kilogram dibandingkan spesies lainnya, seperti tuna sirip kuning (6,23 dolar AS per kilogram) dan cakalang (4,20 dolar AS per kilogram) (Globefish 2011). Selain itu, nilai ekonomis ikan tuna juga dipengaruhi oleh tempat ikan tersebut diperoleh. Ikan tuna sirip biru yang besar di laut yang tertutup (budidaya) memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan yang ditangkap dari samudera (Majkowski 2007).

Ikan tuna untuk produk kaleng, spesies albakora memiliki harga yang paling tinggi, yaitu 200-350 yen per kilogram hal ini dikarenakan ikan ini memiliki daging berwarna putih. Kemudian diikuti oleh spesies tuna sirip kuning (180-250 yen per kilogram) dan cakalang (110-160 yen per kilogram). Harga yang relatif rendah pada ikan yang digunakan untuk pengalengan merupakan akibat dari sangat besarnya hasil tangkapan ikan tersebut, terutama dalam kasus cakalang dan tuna sirip kuning. Saat ini, ikan tuna dari spesies Thunnus tonggol (longtail tuna) semakin penting untuk pengalengan dan perdagangan internasional. Konsumsi tuna dan spesies yang mirip tuna dalam bentuk produk selain ikan kaleng dan sashimi meningkat (Majkowski 2007).

2.2 Metode Autentikasi Berbasis DNA

Autentikasi dan identifikasi produk merupakan proses yang dilakukan untuk mengetahui komposisi dan kandungan bahan baku yang digunakan untuk membuat suatu produk. Metode autentikasi berbasis DNA merupakan metode


(21)

8

yang paling banyak digunakan saat ini, karena memiliki spesifitas dan sensitifitas yang lebih baik dibandingkan metode berbasis protein (protein spesifik spesies). Selain itu, metode ini juga sederhana, mudah digunakan dan hasil yang diperoleh dapat diketahui dengan cepat (Comi et al. 2005; Lockley & Bardsley 2000).

Deoxyribose Nukleic Acid (DNA) merupakan unit terkecil di dalam sel yang berisi sifat keturunan suatu mahluk hidup dan dapat ditemukan pada nukleus (DNA inti) dan organel-organel dalam sitoplasma (DNA mitokondria) (Schwagele 2005). Penggunaan DNA sebagai ciri suatu spesies memiliki beberapa kelebihan, yaitu lebih termostabil dari pada protein, lebih sensitif, tidak dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor pertumbuhan, serta hampir semua jaringan dapat digunakan sebagai sumber material genetik (Teletchea et al. 2005). Sebagai material genetik, DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu spesies dengan mencari gen target yang menjadi ciri khusus dari suatu spesies. Saat ini, penggunaan DNA mitokondria (mtDNA) sebagai gen target semakin banyak dilakukan (Kyle & Wilson 2007). Kelebihan yang dimiliki oleh mtDNA sebagai target dalam identifikasi spesies, diantaranya adalah berevolusi lebih cepat dibandingkan DNA inti, berukuran lebih kecil dibandingkan DNA inti, hanya diwariskan induk betina, terdapat beberapa salinan didalam sel dan sekuensi lengkap DNA mitokondria beberapa organisme perairan telah diketahui (Teletchea et al. 2005; Lockley & Bardsley 2000; Mackie et al. 1999). Perbedaan antara DNA inti dengan DNA mitokondria dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbedaan antara DNA mitokondria dengan DNA inti

Parameter DNA mitokondria DNA inti

Ukuran Kecil Besar

Lokasi di dalam sel Mitokondria Inti sel

Kecepatan evolusi Lebih cepat dari DNA inti Lebih lambat dari mtDNA Keturunan Hanya diwariskan induk

betina

Diwariskan oleh induk jantan dan betina

Sumber : Teletchea et al. (2005); Mackie et al. (1999)

Teknik utama dalam autentikasi berbasis DNA adalah PCR (Polymerase Chain Reaction). PCR merupakan teknik yang dilakukan untuk memperbanyak potongan DNA target dengan cepat secara in vitro. Proses PCR memerlukan


(22)

9

empat komponen utama, yaitu DNA target, pasangan primer oligonukleotida, enzim DNA polimerase (stabil terhadap suhu tinggi) dan dNTP (deoksiribonukleotida trifosfat) (Teletchea et al. 2005).

Proses dalam PCR merupakan suatu siklus sehingga segmen DNA yang diinginkan dapat digandakan secara eksponensial dengan reaksi rantai polimerase yang berulang-ulang (Lockley & Bardsley 2000). Siklus yang terjadi dalam PCR adalah denaturasi pita ganda (double-stranded) DNA target, penempelan (annealing) primer oligonukleotida pada DNA pita tunggal (single-stranded) dan ekstensi (pemanjangan) primer yang dikatalisis oleh DNA polimerase (Unseld et al. 1995). Proses yang terjadi dalam proses PCR dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses dalam teknik PCR

Sumber : Anonim (2007)

Informasi yang diperoleh dari DNA sebagian besar berasal dari sekuensi produk PCR. Produk PCR dapat juga dilakukan screening tanpa melakukan sekuensi untuk membedakan spesies apabila tidak memiliki akses terhadap fasilitas sekuensi secara langsung. Hal ini dilakukan dengan menjadikan


(23)

10

restriksi dan observasi empiris (Lockley & Bardsley 2000). Berbagai macam metode autentikasi berbasis DNA yang telah berhasil dilakukan adalah dengan teknik hibridisasi DNA (Gil 2007), Species-specific primer (Lin & Hwang 2008), FINS (Wen et al. 2010), PCR-RFLP (Wen et al. 2010), PCR-SSCP (Rehbein 1999), RAPD (Martinez & Yman 1999), real-time PCR (Pafundo et al. 2009) dan

DNA barcoding (Wong & Hanner 2008). Perbandingan teknik identifikasi spesies berbasis DNA dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan teknik identifikasi spesies berbasis DNA

Hybridization

Species-specific primer

RFLP SSCP RAPD Traditional

sequencing DNA barcoding Dapat digunakan pada bahan yang sudah terdegradasi

X X X * X *

Membutuhkan sedikit sampel DNA

X X X X X X

Protokol

sederhana X X X X X

Deteksi bahan

campuran X X

Efisiensi

waktu X X X X X X

Tidak membutuhkan pengetahuan sebelumnya

X X X

Dapat diterapkan antar laboratorium

X X X X

Standarisasi melalui Taxa yang luas

X Keterangan :

Teknik yang ditandai dengan ‘X’ menunjukkan keutamaan yang dimiliki setiap teknik * Hanya diterapkan pada fragmen kecil dalam beberapa kasus sampel terdegradasi


(24)

11

2.3 DNA Barcoding

DNA barcoding merupakan metode autentikasi berbasis DNA dengan teknik PCR yang dikembangkan untuk mengidentifikasi spesies. Metode DNA barcoding biasanya menggunakan gen cytochrome c oksidase (COI) yang ada di mitokondria sebagai molekul target. Gen COI merupakan potongan DNA yang terdapat di dalam membran mitokondria dan membran sel prokariot, serta berfungsi untuk mengatur proses pernafasan di dalam sel dengan cara mengkatalis reduksi O2 dan memompa proton melalui membran secara simultan. Potongan DNA ini terdapat di dalam rantai pernafasan eukariot dan sebagian besar bakteri (NCBI 2011).

Gen COI memiliki kelebihan untuk digunakan dalam mengautentikasi spesies dibandingkan dengan gen cyt b. Kelebihan yang dimiliki oleh gen COI adalah sebagai berikut: (1) memiliki tingkat keragaman yang tinggi sehingga dapat mengidentifikasi spesies dengan tingkat taxonomi yang luas; (2) terdapat suatu kecocokan dari perbedaan yang ada dalam ekspresi gen antar spesies, termasuk dengan sifat masing-masing gen COI; (3) gambaran analisis penyatuan DNA menunjukkan variasi dalam sejumlah nukleotida yang bertransis melewati gen COI dan penggabungannya terbatas hanya dengan tingkat keragaman DNA (Roe & Sperling 2007).

Metode DNA barcoding memiliki keunggulan lebih murah dan lebih cepat mendapatkan hasil dibandingkan metode berbasis DNA yang lainnya (Wong & Hanner 2008). Diantara seluruh keuntungan tersebut metode ini sangat berharga dengan kecepatannya dan kehandalannya dalam proses autentikasi produk komersial.


(25)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober sampai Desember 2010. Bertempat di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan Depertemen Teknologi Hasil Perairan dan Laboratorium Genetika Depertemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu, serta Laboratorium Penyakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi sampel produk ikan tuna segar dan produk ikan tuna olahan. Sampel tuna segar merupakan ikan tuna jenis

Thunnus albacares yang diperoleh dari industri pengolahan tuna PT. Perikanan Nusantara, di Benoa, Bali dan dikirim dalam bentuk tuna steak segar dengan pengiriman langsung. Selanjutnya sampel olahan yang digunakan adalah produk sushi dan sashimi ikan tuna dan tuna steak yang dibeli dari restoran dan supermarket yang ada di sekitar Bogor.

Bahan-bahan lain yang juga digunakan adalah bahan untuk proses ekstraksi DNA, yaitu berupa nitrogen cair, larutan CTAB (cetyltrimethyl ammonium bromide) 2%, 20,2 mg/ml proteinase-K (Fermentas), 20 µg/ml RNAase (Fermentas), larutan PCI (25 phenol : 24 chloroform : 1 isoamilalkohol), larutan CIA (24 chloroform : 1 isoamilalkohol), isopropanol, etanol 70% dan buffer TE (pH 8,0). Bahan yang digunakan untuk proses PCR adalah pasangan primer COI1

forward 5’-TTCTCCACCAACCACAARGAYATYGG-3’ dengan reverse 5’-CACCTCAGGGTGTCCGAARAAYCARAA-3’ dengan konsentrasi 0,1-1,0 µM, pasangan primer COI3 forward : 5’-TGTAAAACGACGGCCAGTCGACTAAT CATAAAGATATCGGCAC-3’ dengan reverse : 5’-CAGGAAACAGCTATGA CACTTCAGGGTGACCGAAGAATCAGAA-3’ dengan konsentrasi 0,1-1,0 µM dan data urutan basa nukleotida bersumber dari Ward et al. (2005), PCR master mix yang terdiri dari 2X DreamTaq Green buffer™, dNTPs dan 4 mM MgCl2 (Fermentas), serta nuclease free water. Bahan untuk elektroforesis adalah buffer TBE 1X, gel agarosa (Fermentas), 100 bp DNA ladder (Vivantis), 6x loading dye


(26)

13

dan ethidium bromida (Fermentas). Bahan yang digunakan untuk analisis DNA barcoding adalah bahan yang digunakan untuk proses sekuensi dengan metode Sanger (Sanger 1975), yaitu 10x Genetic Analyzer Running Buffer, EDTA, dan akuades.

Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat untuk preparasi sampel produk tuna adalah stearoform berisi es curai untuk pengangkutan sampel, kemasan plastik, gunting, cutter, pinset, scalpel, mortar, termos, dan tabung eppendorf 1,5 ml. Alat yang digunakan dalam proses ekstraksi DNA sampel adalah

waterbath shaker, sentrifuga dan pipet mikro. Proses amplifikasi DNA target (PCR) dilakukan dengan menggunakan Applied Biosystem GeneAmp PCR System

9700 (96-well aluminum sample block module). Proses elektroforesis dilakukan dengan Bio Rad Mini-Sub® Cell GT Cell (elektroda platinum), ECX Compact Transilluminators (Vielber Lourmart) untuk visualisasi dan kamera digital untuk mendokumentasikan hasil yang diperoleh, pipet mikro, microwave, timbangan digital (sensitifitas hingga 1 mg) dan gelas ukur. Pengukuran konsentrasi DNA sampel menggunakan GeneQuant analyzer (Applied Biosystem). Analisis DNA barcoding dilakukan menggunakan Applied Biosystem 3730xl Automatic Squencer (96-kapiler) dan piranti lunak Clustal W2 dan TreeView.

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap kegiatan, yaitu teknik pengambilan sampel uji dan pengujian identifikasi spesies dengan DNA barcoding.

3.3.1 Teknik pengambilan sampel uji dan ekstraksi DNA

Tuna segar yang telah preparasi dalam bentuk tuna steak, lalu dikirim melalui paket pengiriman dari Bali ke laboratorium di Bogor dengan kotak

styrofoam yang berisi es curai (lama pengiriman 2 hari). Sampel produk tuna segar yang digunakan tersebut telah diidentifikasi karakteristik morfologinya berdasarkan katalog spesies ikan scombrids yang dikeluarkan oleh FAO (Collette & Nauen 1983) sebagai standar keilmuan dan nama umum perikanan. Penamaan ini selanjutnya di laboratorium diverifikasi kembali menggunakan Food and Agriculture Organization (FAO) Fisheries and Aquacul-ture Dept. fact sheets


(27)

14

System (ITIS) Catalogue of Life: 2008 Annual Checklist

(http://www.catalogueoflife.org/info_2008_checklist.php); dan the New Taxonomy database of the SWISS-PROT group (Phan et al. 2003) untuk memastikan spesiesnya.

Pada sampel produk olahan tuna dipilih dengan pengambilan acak sebanyak 1 buah untuk setiap jenis sampel. Sampel produk olahan ini dibeli dan dikemas dalam kemasan kotak styrofoam makanan siap saji, lalu dibawa menuju laboratorium. Sampel produk olahan yang digunakan ini tidak dilakukan proses identifikasi secara morfologi, namun tetap mengacu pada BSN (2006) tentang persyaratan bahan baku tuna segar untuk sashimi menurut SNI 01-2693.3-2006,

yaitu berupa ikan tuna sirip kuning (T. albacores), ikan tuna mata besar (T. obesus) dan ikan tuna sirip biru (T. maccoyii dan T. thynnus). Sampel olahan

yang digunakan adalah produk sushi dan sashimi dari ikan tuna sebanyak 3 jenis, yaitu tekka maki, maguro dan tuna mayo gunkan yang dibeli dari restoran di daerah Bogor. Selain itu, digunakan produk tuna steak berdasarkan bentuk kemasan, yaitu tuna steak yang dikemas dalam kemasan vakum dan tuna steak dalam kemasan non-vakum yang dibeli dari supermarket di daerah Bogor. Produk tuna yang dijadikan sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun kode dari masing-masing produk tersebut adalah FT (tuna segar), SH1 (tekka maki), SH2 (maguro), SH3 (tuna mayo gunkan), TS1 (tuna steak 1), TS2 (tuna steak 2) dan TS3 (tuna steak 3).

3.3.2 Pengujian identifikasi spesies dengan DNA barcoding

Pengujian dilaksanakan berdasarkan modifikasi Espineira et al. (2009). Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: (1) ekstraksi DNA berdasarkan metode CTAB (Sambrook & Russell 2001, Chapter 6, Protocol 5) yang telah dimodifikasi, (2) amplifikasi DNA (PCR) dan (3) identifikasi spesies. Pada tahapan amplifikasi DNA (PCR) digunakan 2 pasang primer yang dapat mengamplifikasi gen cythochrome c oksidase I (COI) pada DNA mitokondria, yaitu pasangan primer COI1 dan pasangan primer COI3. Ukuran fragmen DNA yang dihasilkan adalah sebesar 650 bp (Ward et al. 2005). Ukuran DNA target sebesar 650 pb merupakan standar ukuran untuk DNA barcode. Data hasil ekstraksi dan amplifikasi DNA ditampilkan dalam bentuk hasil elektroforegram


(28)

15

yang menunjukkan pita DNA dengan ukuran sesuai dengan DNA yang dijadikan target dan dapat diketahui dari DNA penanda (marker). Selanjutnya adalah tahapan identifikasi spesies dengan analisis BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) dan analisis filogenetik. Analisis BLAST menunjukkan tingkat kesamaan hasil penjajaran nukleotida dari sampel dengan database di GeneBank, sedangkan analisis filogenetik menunjukkan tingkat kesamaan dan kedekatan sampel dengan spesies lain yang memiliki kekerabatan yang dekat. Diagram alir kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir analisis DNA Barcoding


(29)

16

3.4 Prosedur Pengujian 3.4.1 Ekstraksi DNA

Proses ekstraksi DNA dilakukan ekstraksi DNA berdasarkan metode CTAB (Sambrook & Russell 2001, Chapter 6, Protocol 5) dengan modifikasi berupa penggunaan CTAB sebagai pengganti sodium lauryl sulfate (SDS), mempersingkat waktu inkubasi dari satu malam menjadi 2 jam dan penggunaan larutan CIA (24 chloroform : 1 isoamilalkohol) sebanyak 2 tahap untuk membersihkan residu fenol.

Tahap pertama dari proses ekstraksi DNA adalah pengecilan ukuran dan penghancuran jaringan sampel dengan nitrogen cair. Sampel yang akan dihancurkan dibekukan terlebih dahulu dengan nitrogen cair, lalu digerus dengan mortar. Sampel tersebut kemudian ditimbang sebanyak 0,1-0,5 gram lalu dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml untuk proses ekstraksi DNA. Tahap awal dari ekstraksi DNA adalah proses penghancuran jaringan dan sel untuk mengeluarkan DNA dari dalam sel. Proses penghancuran dilakukan dengan menambahkan 500 µl larutan CTAB 2% dan 14 µl proteinase K, kemudian diinkubasi selama 2 jam pada suhu 55 oC. Pada sampel sushi dan sashimi ditambahkan enzim RNAase sebanyak 4 µl. Sampel yang telah diinkubasi kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 13000 rpm untuk mengendapkan kotoran yang dihasilkan pada tahapan ini. Selanjutnya larutan dipindahkan kedalam tabung eppendorf 1,5 ml baru untuk memisahkannya dari pengotor.

Tahap berikutnya adalah pembersihan protein dengan penambahan 500 µl larutan PCI (25 phenol : 24 chloroform : 1 isoamilalkohol), lalu dikocok selama 5 menit. Setelah 5 menit dilakukan pemisahan larutan PCI dengan sentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 13000 rpm, kemudian larutan PCI yang terdapat dibagian bawah tabung dibuang. Proses selanjutnya adalah pembersihan residu fenol dengan penambahan 400 µl larutan CIA (24 chloroform : 1 isoamilalkohol) dan dihomogenisasi dengan cara membolak-balik tabung, kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 13000 rpm dan larutan CIA yang terdapat di bagian bawah tabung dibuang. Proses penambahan dengan CIA dilakukan sebanyak 2 kali, namun untuk proses kedua dilakukan pemindahan larutan bagian


(30)

17

atan ke tabung eppendorf 1,5 ml yang baru. Larutan yang telah dipindahkan kemudian ditambahkan dengan 600 µl isopropanol untuk proses presipitasi pada suhu -4 oC selama satu malam.

Sampel yang telah dilakukan presipitasi kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 13000 rpm untuk mengendapkan DNA. Isopropanol yang berada di bagian atas tabung kemudian dibuang, kemudian ditambahkan 500 µl etanol 70% dan dihomogenisasi sebentar. Setelah itu disentrifugasi kembali selama 10 menit dengan kecepatan 13000 rpm dan larutan etanol 70% yang telah terpisah dibuang. DNA sampel yang telah mengendap didasar tabung selanjutnya dikeringanginkan, lalu setelah kering ditambahkan 100 µl buffer TE. DNA sampel yang diperoleh kemudian divisualisasi dengan elektroforesis dalam gel agarosa 1% yang mengandung 10 µg/ml ethidium bromida pada 200 V selama 30 menit untuk melihat kualitasnya, lalu diukur konsentrasinya menggunakan spektrofotometer dan disimpan pada suhu -20 oC agar tidak rusak. Diagram alir proses ekstraksi yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 2.

3.4.2 Amplifikasi DNA (PCR)

Amplifikasi DNA berbasis PCR dilakukan dengan menggunakan pasangan primer COI1, serta pasangan primer COI3 untuk menghasilkan fragmen dengan ukuran 650 bp. Reaksi amplifikasi PCR dilakukan dalam volume total reaksi 25 µL dengan komposisi: 2 µl ekstrak DNA (10 pg–1 µ g), 3 µl pasangan primer (primer COI1 atau primer COI3), 12,5 µl PCR master mix (Fermentas) dan 7,5 µl air untuk biologi molekular.

Proses amplifikasi dilakukan dalam GeneAmp PCR System 9700 (Applied Biosystem) dengan kondisi amplifikasi sebagai berikut: denaturasi awal (preheating) pada suhu 95 oC selama 5 menit, diikuti sebanyak 39 siklus (denaturasi 95 oC selama 30 detik, annealing 49-51 oC selama 40 detik dan ekstensi 72 oC selama 60 detik) dan langkah ekstensi akhir 72 oC selama 10 menit.

Hasil PCR dianalisis dengan elektroforesis dalam gel agarosa 1% yang mengandung 10 µg/ml ethidium bromida pada 200 V selama 30 menit, lalu divisualisasi menggunakan UV-vis. Panjang fragmen ditentukan dengan membandingkannya pada 100 bp DNA ladder (Vivantis). Bagan siklus PCR yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.


(31)

18

Gambar 4. Siklus PCR

3.4.3 Identifikasi spesies

DNA yang telah teramplifikasi kemudian disiapkan untuk proses penentuan urutan nukleotida menggunakan DNA sequencer. Penentuan urutan nukleotida dilakukan di Macrogen (Korea) dengan cara mengirim sampel DNA hasil PCR yang telah disiapkan. Data hasil penjajaran nukleotida yang diperoleh kemudian dicocokkan pada data yang tersedia pada GenBank di NCBI (National Centre for Biotechnology Information) menggunakan BLAST (http://blast.ncbi.nlm.nih.-gov). Contoh hasil analisis BLAST dapat dilihat pada Lampiran 3. Analisis DNA barcoding dilakukan dengan membuat pohon filogeni berdasarkan hasil penjajaran nukleotida yang telah dicocokkan dengan data pada GeneBank. Selain itu, beberapa hasil penjajaran nukleotida dari beberapa spesies yang memiliki kekerabatan yang dekat digunakan untuk mengetahui kedekatannya dengan spesies yang diuji. Pohon filogeni dibuat dengan menjajarkan terlebih dahulu urutan nukleotida menggunakan piranti lunak Clustal W2, lalu dihitung jarak genetik dari setiap sampel dan pembuatan pohon filogeni dengan metode pengkelasan Neighbour-joining (NJ) (Saitou & Nei 1987). Analisis filogenetik kemudian ditampilkan menggunakan piranti lunak TreeView. Data sekuens dari GenBank yang digunakan untuk perbandingan dapat dilihat pada Lampiran 4.


(32)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil proses ekstraksi DNA terhadap sampel tuna yang digunakan memperlihatkan bahwa ekstrak DNA yang diperoleh memiliki kecenderungan ukuran yang kurang dari 1000 pasang basa, serta smear yang berukuran lebih dari 1000 pasang basa. Berdasarkan jenis sampel yang digunakan, secara umum sampel produk tuna segar memiliki kecenderungan smear yang lebih sedikit dari sampel produk tuna olahan. Adapun untuk produk tuna olahan, produk sushi dan sashimi (kode SH) cenderung memiliki smear yang lebih banyak dari tuna steak (kode TS). Smear yang terlihat dapat dikarenakan oleh adanya kontaminan (protein, RNA, atau DNA dari bahan tambahan lain) atau DNA genom yang terpotong akibat proses pengolahan sehingga ukurannya menjadi semakin kecil. Hasil ekstraksi DNA sampel tuna selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Elektroforegram hasil ekstraksi DNA tuna (1) Marker 100 bp (2) SH1 (3) SH2 (4) SH3 (5) TS1 (6) TS2 (7) TS3 (8) FT

Pada produk sushi dan sahimi, smear lebih banyak terlihat sampel SH1 (tekka maki) dan SH3 (tuna mayo gunkan) akibat dari proses pengolahan yang berbeda-beda pada ketiga produk tersebut. Smear yang terlihat pada sampel SH3 cenderung berukuran lebih kecil dibandingkan dengan sampel SH1, sedangkan pada sampel SH2 (maguro) tidak terlihat adanya smear. Hal ini dapat disebabkan oleh proses pengolahan suhu tinggi pada sampel SH3 banyak mendenaturasi dan memotong DNA sampel sehingga ukuran DNA menjadi lebih kecil. Smear

300 bp 500 bp 400 bp

200 bp 100 bp


(33)

20

berukuran kecil yang terlihat tidak selalu disebabkan oleh proses pengolahan, seperti pada sampel TS2 dan TS3 (tuna steak kemasan vakum). Pada produk tersebut smear yang terlihat diduga disebabkan oleh kontaminasi RNA, karena proses ekstraksi DNA pada sampel tersebut tidak menggunakan enzim RNAase.

Pada sampel SH1 smear yang terlihat disepanjang lajur menandakan bahwa DNA pada sampel tersebut sudah ada yang terdenaturasi akibat proses pengolahan, namun tidak sebanyak pada sampel SH3. Hal yang sama juga terlihat pada sampel TS1 (tuna steak kemasan non vakum).

Komponen-komponen kontaminan seperti protein dan RNA yang terdapat pada hasil ekstraksi dapat dikarenakan oleh proses ekstraksi atau isolasi yang kurang baik. Larutan CTAB (cetyltrimethyl ammonium bromide) yang digunakan pada penelitian ini merupakan suatu detergen kationik yang dapat mengikat DNA dan memisahkannya dari fase protein dan lemak yang ada saat proses ekstraksi (Chapela et al. 2007). Saat proses pelisisan sel dan penghancuran protein oleh larutan CTAB dan enzim proteinase-K, seluruh komponen yang terdapat di dalam sel akan keluar dari dalam sel dan protein yang berikatan dengan DNA ikut terurai oleh enzim. Pada proses ini, RNA yang merupakan material genetik di dalam sel juga ikut terbebas, namun tidak terurai sehingga masih tersisa hingga akhir proses ekstraksi kecuali pada sampel produk sushi dan sashimi yang telah ditambahkan enzim RNAase.

Kontaminan berupa material genetik dari bahan tambahan lain pada sampel produk tuna sushi dan sashimi lebih banyak daripada sampel produk tuna steak dan tuna segar. Hal ini diduga dikarenakan produk tersebut telah diberi bahan tambahan, seperti mayonaise, lada, cabai, wasabi dan bahan tambahan lainnya yang telah meresap kedalam daging (Bestor 2001), sedangkan pada produk tuna steak dan tuna segar, kemungkinan untuk terkontaminasi DNA dari organisme lain sangat kecil.

Metode CTAB yang digunakan terbukti dapat menghasilkan ekstrak DNA yang baik. Hasil ini juga didapatkan oleh Chapela et al. (2007) yang mengekstrak DNA dari sampel tuna kaleng dengan berbagai metode ekstraksi, yaitu Wizard DNA Clean Up, Nucleospin (Clontech), GenomicPrep (Amersham Pharmacia


(34)

21

Biotech) dan metode presipitasi CTAB. Ekstrak DNA terbaik diperoleh dengan metode CTAB.

Hasil pengukuran konsentrasi dari ekstrak DNA yang dilakukan dapat menggambarkan besar konsentrasi DNA sampel dan jumlah kontaminan yang terdapat pada ekstrak DNA. Hasil spektrofotometri ekstrak DNA produk tuna dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil spektrofotometri ekstrak DNA produk tuna Kode

sampel

Absorban

260 nm Rasio

Konsentrasi DNA (µg/ml) Protein (mg/ml) Kemurnian (%)

SH1 0,681 2,390 33,6 0,0 132

SH2 0,033 1,887 2,2 0,0 104

SH3 0,571 1,895 28,6 0,0 105

TS1 0,084 1,279 3,3 0,0 71

TS2 0,325 1,909 15,6 0,0 106

TS3 0,713 2,036 33,2 0,0 113

FT 0,120 0,850 2,4 0,1 47

Berdasarkan Tabel 3, konsentrasi DNA pada produk tuna olahan lebih besar daripada produk tuna segar. Adapun untuk produk olahan tuna sushi dan sashimi cenderung lebih besar rata 21 µg/ml) dibandingkan dengan tuna steak (rata-rata 14 µg/ml). Besarnya konsentrasi DNA produk olahan tuna sesuai dengan yang terlihat pada hasil elektroforesis ekstrak DNA sampel. Tingginya konsentrasi DNA pada produk olahan tuna dapat dikarenakan adanya RNA dari sampel atau DNA dan RNA dari bahan tambahan yang digunakan pada produk olahan.

Hasil ekstraksi pada sampel tuna segar (kode: FT) memiliki kualitas yang paling rendah diantara sampel lainnya. Hal ini dapat diketahui dari konsentrasi dan kemuniannya yang rendah, serta adanya kontaminasi berupa protein. Hasil ekstraksi sampel produk sushi dan sashimi lebih baik daripada sampel produk tuna steak karena memiliki konsentrasi dan kemurnian yang lebih tinggi. Lebih tingginya tingkat kemurnian DNA dari produk sushi dan sashimi dibandingkan dengan produk tuna steak disebabkan oleh penggunaan enzim RNAase pada produk sushi dan sashimi.


(35)

22

Kontaminan berupa protein tertinggi terdapat pada sampel produk tuna segar. Hal ini dapat terjadi karena molekul protein pada tuna segar yang masih utuh menghambat proses degradasi protein oleh enzim proteinase-K. Proses ekstraksi sangat menentukan keberhasilan proses berikutnya. Hal ini dikarenakan ekstrak DNA dengan kualitas yang baik akan meningkatkan tingkat keberhasilan amplifikasi PCR dan subsequent DNA sequencing (Sahajpal dan Goyal 2009).

Ekstrak DNA sampel kemudian diamplifikasi menggunakan teknik PCR untuk menghasilkan potongan DNA yang dijadikan target. Hasil optimasi PCR dengan pasangan primer COI1 dan COI3 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Elektroforegram hasil PCR DNA tuna (a) Primer COI1 (b) Primer COI3; Urutan sampel: (1) Marker 100 bp (2) Kontrol negatif (-) (3) FT (4) SH1 (5) SH2 (6) SH3 (7) TS1 (8) TS2 (9) TS3

1 2 3 4 5 6 7 8 9

a)

b) 500 bp

700 bp 600 bp 400 bp 300 bp

500 bp 700 bp 600 bp 400 bp 300 bp


(36)

23

Elektroforegram (Gambar 6) menunjukkan bahwa DNA ikan tuna dapat teramplifikasi menggunakan pasangan primer COI1 dan COI3 dengan ukuran 650 pb. Ketebalan pita hasil PCR dapat dijadikan sebagai penduga konsentrasi DNA yang teramplifikasi dan kesesuaian kondisi PCR. Pita DNA yang tebal dan terang dapat menunjukkan produk tuna tersebut memiliki konsentrasi DNA target yang tinggi. Hal ini disebabkan kondisi PCR yang optimal tercapai sehingga proses PCR dapat berlangsung dengan baik. Keberlangsungan proses PCR dapat dipengaruhi oleh adanya inhibitor berupa polisakarida, humic acid, banyaknya partikel dari sampel yang tidak terbuang pada proses ekstraksi. Selain itu, molekul DNA yang terdegradasi dan pelarut organik (seperti heksane) dapat menjadi inhibitor proses PCR (Pinto et al. 2007).

Hasil amplifikasi dengan primer COI1 dan COI3 cenderung tidak berbeda. Hal ini menunjukkan kedua primer memiliki kondisi amplifikasi optimum yang sama sehingga kedua primer dapat digunakan dalam analisis DNA barcoding. Pada hasil PCR juga dapat diketahui bahwa tidak terlihat perbedaaan yang signifikan antara sampel produk segar dan sampel produk olahan sehingga dapat terlihat kemampuan metode DNA barcoding untuk mengidentifikasi spesies dari berbagai jenis sampel.

Kondisi amplifikasi optimum pada proses PCR tergantung pada primer yang digunakan. Parameter dalam proses PCR yang paling berpengaruh dah harus dicoba berulang kali untuk mendapatkan kondisi yang optimum adalah suhu penempelan (annealing) primer. Suhu penempelan primer secara teoritis dapat diketahui dari nilai Tm (melting point) dari primer tersebut. Nilai Tm tergantung pada jumlah basa nukleotida dan juga komposisi basa nukleotida (AGTC) yang terdapat pada primer tersebut. Semakin banyak komponen GC maka nilai Tm semakin tinggi. Hal ini dikarenakan pada basa tersebut terdapat 3 ikatan hidrogen, sedangkan pada basa AT hanya terdapat 2 ikatan hidrogen. Nilai Tm dari suatu primer dapat dihitung dengan persamaan berikut (Yuryev 2007) :

Tm = 4 (G+C) + 2 (A+T)


(37)

24

Penghitungan nilai Tm tidak mutlak dapat dijadikan patokan untuk mendapatkan kondisi penempelan yang optimum. Pada penelitian ini, untuk mendapatkan kondisi penempelan primer COI yang optimum harus dilakukan pada beberapa suhu yang berbeda dan diperoleh kondisi optimum terdapat pada rentang suhu 49-51 oC. Analisis DNA dengan menggunakan primer yang mengamplifikasi gen COI telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan untuk mengamplifikasi gen COI dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Berbagai penelitian dengan menggunakan gen COI sebagai target

Sampel DA

(T;t) D (T;t) A (T;t) E (T;t) EA

(T:t) Sumber

Rainbow trout, sea bass, sea bream, turbot, sole, striped red mullet

94; 300

94;

30 52; 45

72; 60

72; 600

Filonzi et al. 2010 Sapi (Bos taurus),

unggas (Gallus gallus), dan ikan cod (Gadus morhua)

95; 900

94;

30 50; 30

72; 60

72; 300

Dawnay et al. 2007 Sembilan puluh enam

sampel jaringan daging ikan dan seafood

94; 120

94;

30 52; 40

72; 60 72; 600 Wong & Hanner 2008

Sirip berbagai spesies ikan hiu dan ikan pari

94; 120 94; 30 54/51; 30 72; 60 72;

600 Holmes et al. 2009 95;

120 94;

30 52; 30

72; 60 72; 600 Gurita endemik samudera antartika 94; 60 94;

40 45; 40

72; 60 72;

60

Allcock et al. 2011 94;

40 51; 40

72; 60 Gastropoda plantonik (Pteropoda dan Heteropoda) 95; 300 95;

30 50; 45

72; 60

72; 300

Jennings et al. 2010

Medusozoa - 94;

60 45; 120 72; 180 -

Ortman et al. 2010 Produk tuna segar dan

olahan 95; 300 95; 30 49-51; 40 72; 60 72;

600 Penelitian ini

*Keterangan : DA = Denaturasi awal; D = Denaturasi; A = Annealing; E = Elongasi; EA = Elongasi akhir; T = suhu (oC); t = waktu (detik)


(38)

25

Penentuan kondisi untuk tahapan denaturasi (pemutusan) dan elongasi (pemanjangan) dilakukan berdasarkan suhu yang cukup untuk memutus ikatan hidrogen pembentuk struktur untai ganda DNA (untuk denaturasi) dan suhu optimum untuk aktivitas enzim polimerase (untuk elongasi). Suhu denaturasi yang biasa digunakan berkisar antara 93-97 oC, karena pada suhu tersebut ikatan hidrogen mulai putus. Suhu elongasi tergantung pada jenis enzim polymerase yang digunakan. Enzim yang digunakan dalam penelitian ini (TaqPolymerase) memiliki aktifitas optimum pada suhu 72 oC (Kobilinsky et al. 2005).

DNA yang telah teramplifikasi dengan sempurna kemudian dilakukan penentuan urutan nukleotida untuk memastikan spesies dari DNA yang teramplifikasi dan mengetahui daerah yang akan dipotong oleh enzim restriksi. Penentuan spesies dilakukan dengan analisis BLAST, yaitu membandingkan dengan database yang ada pada GeneBank. Hasil analisis BLAST dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis BLAST Samp

el

Spesies pada label

Hasil analisis BLAST Homologi

COI1 COI3 COI1 COI3

FT Thunnus

albacares

Thunnus albacares

(EF456025.1)

Thunnus albacares

(EU107592.1) 91% 91% SH1 Tekka maki Thunnus obesus

(FJ605781.1)

Thunnus obesus

(GU799567.1) 93% 94%

SH2 Maguro Thunnus obesus

(DQ107644.1)

Thunnus obesus

(GU451788.1) 95% 95% SH3 Tuna mayo

gunkan

Thunnus obesus

(DQ835862.1)

Thunnus obesus

(DQ835867.1) 90% 90%

TS1 — Thunnus albacares

(GU324231.1)

Thunnus albacares

(DQ080281.1) 92% 96%

TS2 Thunnus

albacares

Thunnus albacares

(DQ080286.1)

Thunnus albacares

(DQ497904.1) 93% 95%

TS3 Thunnus

albacares

Thunnus albacares

(DQ080281.1)

Thunnus albacares

(EF456025.1) 92% 93% Hasil penentuan urutan nukleotida DNA yang telah teramplifikasi menunjukkan bahwa DNA spesies yang teramplifikasi dari sampel produk tuna segar teridentifikasi sebagai Thunnus albacores sesuai dengan spesies yang digunakan. Spesies yang teridentifikasi pada sampel produk sushi dan sashimi (kode: SH) ketiganya teridentifikasi sebagai Thunnus obesus (tuna mata besar),


(39)

26

sedangkan produk tuna segar dan tuna steak (kode: FT dan TS) seluruhnya teridentifikasi sebagai Thunnus albacares. Tingkat kesamaan (homologi) yang diperoleh dari analisis BLAST cukup tinggi, yaitu lebih dari 90%. Hasil analisis BLAST tersebut menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya penyimpangan dalam pelabelan produk yang digunakan sebagai sampel. Spesies yang teridentifikasi pada sampel tuna segar dan tuna steak sesuai dengan yang tercantum pada label, sedangkan produk tuna sushi dan sashimi sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini berdasarkan aturan dalam SNI 01-2693.3-2006 mengenai bahan baku produk sushi dan sashimi. Ikan tuna yang dapat digunakan dalam produk sushi dan sashimi pada peraturan tersebut adalah ikan tuna sirip kuning (T. albacores), ikan tuna mata besar (T. obesus) dan ikan tuna sirip biru (T. maccoyii dan T. thynnus).

Kemampuan teknik DNA barcoding untuk membedakan spesies dapat juga dilihat dengan analisis filogenetik yang dilakukan setelah penentuan urutan nukleotida untuk menunjukkan kedekatan spesies sampel dengan spesies lainnya. Hasil analisis filogenetik yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hasil analisis DNA barcoding produk tuna hasil sekuensi dengan target gen cytochrome c oksidase


(40)

27

Analisis filogenetik (Gambar 7) menunjukkan bahwa jarak genetik antara urutan gen COI yang diperoleh, yang menunjukkan bahwa rata-rata jarak intraspesifik adalah 0,07 ± 0,13 dan interspesifik adalah sebesar 0,03 ± 0,06. Jarak interspesifik rata-rata antara spesies dari genus yang sama 0,08 ± 0,07. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Espineira et al. (2009) yang mengidentifikasi ikan dari famili scombroid dengan analisis filogenetik menggunakan gen sitokrom b. Pada penelitian itu diperoleh jarak intraspesifik rata-rata sebesar 0,03 ± 0.00 dan jarak interspesifik rata-rata sebesar 0,14 ± 0,01 dengan jarak interspesifik rata-rata antara spesies dari genus yang sama sebesar 0,10 ± 0,01. Rasmussen & Morrissey (2011) mengatakan bahwa anggota genus

Thunnus memiliki variasi intra-genus yang rendah dibandingkan dengan spesies lainnya, yaitu sebesar 1,11%. Akan tetapi, identifikasi spesies masih dapat dilakukan menggunakan DNA barcoding.

Jarak genetik yang dimiliki oleh sampel yang teridentifikasi sebagai

Thunnus obesus (tuna mata besar) jauh lebih besar dibandingkan dengan spesies lain yang berasal dari database GeneBank, yaitu sebesar 0,58107. Besarnya nilai jarak genetik pada sampel disebabkan oleh kurang baiknya hasil penjajaran nukleotida yang diperoleh. Hal ini diduga dapat terjadi karena jumlah DNA yang teramplifikasi tidak mencukupi untuk melakukan proses penjajaran nukleotida dengan baik. Walaupun memiliki jarak genetik yang jauh, hasil analisis filogenetik pada sampel dari spesies Thunnus obesus masih menunjukkan tingkat kesamaan yang cukup besar dengan spesies Thunnus sp. yaitu 85%.

Perhitungan nilai bootstrap yang lebih dari 80% menunjukkan tingkat kesamaan spesies yang tinggi dengan database yang ada. Tingginya kemampuan untuk mengidentifikasi spesies dengan analisis filogenetik ini membuktikan bahwa teknik DNA barcoding sangat bermanfaat untuk digunakan dalam pencegahan penipuan dalam perdagangan tuna. Analisis DNA dengan metode

DNA barcoding dapat dilakukan kurang dari dua hari dengan syarat seluruh bahan baku dan peralatan yang diperlukan untuk analisis telah tersedia dan siap digunakan. Kemampuan metode ini untuk mengidentifikasi suatu spesies dengan cepat dan akurat menjadikan metode identifikasi DNA barcoding sangat berharga dan penting untuk digunakan untuk autentikasi produk komersial secara rutin.


(41)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Analisis DNA barcoding dapat digunakan untuk autentikasi aneka produk perdagangan tuna dengan tepat. Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan pasangan primer COI1 dan COI3 dengan kondisi amplifikasi berupa denaturasi awal (preheating) pada suhu 95 oC selama 5 menit, diikuti sebanyak 39 siklus yang terdiri dari denaturasi 95 oC selama 30 detik, annealing 49-51 oC selama 40 detik dan ekstensi 72 oC selama 60 detik, serta langkah ekstensi akhir 72 oC selama 10 menit. Spesies yang teridentifikasi pada sampel tuna segar dan tuna steak adalah Thunnus albacores, sedangkan pada produk sushi dan sashimi adalah

Thunnus obesus. Bahan baku pembuatan produk dari seluruh sampel yang digunakan telah sesuai dengan yang tercantum pada label dan aturan yang berlaku.

5.2 Saran

Perlu dilakukan perbandingan dan tingkat keakuratan dengan teknik-teknik pengujian Autentikasi berbasis DNA lainnya. Selain itu, perlu dilakukan juga penggunaan primer lainnya untuk identifikasi spesies dengan kekerabatan yang lebih jauh.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Allcock L, I Barratt, M Eleaume, K Linse, MD Norman, PJ Smith, D Steinke, DW Stevens, JM Strugnel, 2011. Cryptic speciation and the circumpolarity debate: A case study on endemic Southern Ocean octopuses using the COI barcode of life. Deep-Sea Research II 58(1-2): 242-249.

Allen R, Joseph J, Squires D. 2010. Conservation and Management of Transnational Tuna Fisheries. Iowa: Blackwell Publishing.

Anonim. 2007. Molecular and biochemical methodology in the post-genomic Era.

Academic Press 2(1): 11-24

Ballin NZ, Vogensen FK, Karlsson AH. 2009. Species determination - Can we detect and quantify meat adulteration? Meat Science 83(2): 165-174 Bestor TC. 2001. Supply-side sushi: commodity, market, and the global city.

American Anthropologist 103(l):76-95.

Block B, Stevens. 2001. Tuna: Physiology, Ecology, and Evolution Vol. 19. California: Academic Press

Bottero MT, Dalmasso A, Cappelletti M, Secchi C, Civera T. 2007. Differentiation of five tuna species by a multiplex primer-extension assay.

Journal of Biotechnology 129(3): 575-580.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Persyaratan bahan baku tuna segar untuk sashimi. SNI 01-2693.3-2006.

Chow S, K Nohara, T Tanabe, T Itoh, S Tsuji, Y Nishikawa, S Uyeyanagi, K Uchikawa, 2003. Genetic and morphological identification of larval and small juvenile tunas (Pisces: Scombridae) caught by a mid-water trawl in the western Pacific. Bullettin of Fisheries Research Agency 8(1): 1-14. Collette BB, Nauen CE. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the

world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. Rome: FAO Fisheries Department Colombo F, Mangiagalli G, Renon P. 2005. Identification of tuna species by

computer-assisted and cluster analysis of PCR–SSCP electrophoretic patterns. Food Control 16(1): 51–53.

Comi G, Iacumin L, Rantsiou K, Cantoni C, Cocolin L. 2005. Molecular methods for the differentiation of species used in production of cod-fish can detect commercial frauds. Food Control 16(1): 37-42.


(43)

30

Dawnay N, R Ogden, R McEwing, GR Carvalho, RS Thorpe. 2007. Validation of the barcoding gene COI for use in forensic genetic species identification.

Forensic Science International 173(1): 1–6.

Espineira M, N Gonzalez-Lavin , JM Vieites, FJ Santaclara. 2009. Development of a method for the identication of scombroid and common substitute species in seafood products by FINS. Food Chemistry 117(4): 698-704. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. FAO yearbook 2007: Fishery

and Aquaculture Statistics. Rome: FAO.

Filonzi L, Chiesa S, Vaghi M, Marzano FN. 2010. Molecular barcoding reveals mislabelling of commercial fish products in Italy. Food Research International 43(5): 1383–1388.

Gil LA. 2007. PCR-based methods for fish and fishery products authentication. Trends in Food Science & Technology 18(11): 558-566.

Globefish. 2011. European price report. http:// www.globefish.com [25 Januari 2011].

Holmes BH, D Steinke, RD Ward. 2009. Identification of shark and ray fins using DNA barcoding. Fisheries Research 95: 280–288.

Jacquet JL, Pauly D. 2008. Trade secrets: Renaming and mislabelling of seafood. Marine Policy 32(3): 309-318.

Jacquet JL, Pauly D. 2007. The rise of seafood awareness campaigns in an era of collapsing fisheries. Marine Policy 31(3): 308-313.

Jennings RM, A Bucklin, H Ossenbrugger, RR Hopcroft. 2010. Species diversity of planktonic gastropods (Pteropoda and Heteropoda) from six ocean regions based on DNA barcode analysis. Deep-Sea Research II 57(24-26): 2199–2210.

Joseph J, D. Squires, W. Bayliff, T. Groves. 2010. Addressing the problem of excess fishing capacity in tuna fisheries. Di dalam buku Conservation and Management of Transnational Tuna Fisheries. Allen R, J. Joseph, D. Squires. New Delhi : Blackwell Publishing. p11-38.

Knower T, RE Shadwick, SL Katz1, JB Graham, CS Wardle. 1999. Red muscle activation patterns in yellowfin (Thunnus albacares) and skipjack (Katsuwonus pelamis) tunas during steady swimming. The Journal of Experimental Biology. 202(1): 2127–2138.

Kobilinsky L, TF Liotti, J Oeser-Sweat. 2005. DNA : forensic and legal applications. New Jersey : John Wiley & Sons.

Kompas. 2010. Mengandung formalin, impor ikan diperketat. Rabu, 10 Maret 2010.


(44)

31

Kompas. 2007. Pemerintah Indonesia dan China Diimbau Segera Selesaikan Masalah. Selasa, 7 Agustus 2007. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/07/ekonomi/ 3747289.htm [20 Januari 2011].

Kyle CJ, Wilson CC. 2007. Mitochondrial DNA identification of game and harvested freshwater fish species. Forensic Sciece International 166(1): 68-76.

Lin WF, Hwang DF. 2007. Application of PCR-RFLP analysis on species identification of canned tuna. Food Control 18(9): 1050–1057.

Ling KH, Cheung CW, Cheng SW, Cheng L, Li SL, Nichols PD, Ward RD, Graham A, But PP. 2008. Rapid detection of oilfish and escolar in fish steaks : A tool to prevent keriorrhea episodes. Food Chemistry 110(2): 538-546.

Lockley AK, Bardsley RG. 2000. DNA-based methods for food authentication.

Trends in Food Science & Technology. 11(2): 67-77.

Mackie IM, Pryde SE, Sotelo CG, Medina I, Martin RP, Quinteiro J, Mendez MR, Rehbein H. 1999. Challenges in the identification of species of canned fish.

Trends in Food Science & Technology. 10(1): 9-14.

Majkowski, J. 2007. Global fishery resources of tuna and tuna-like species. FAO Fisheries Technical Paper. No. 483. Rome, FAO. 54p.

Martinez I, Yman IM. 1999. Species identication in meat products by RAPD analysis. Food Research International 31(67): 459-466.

Martinez I, Aursand M, Erikson U, Singstad TE, Veliyulin E, van der Zwaag C. 2003. Destructive and non-destructive analytical techniques for authentication and composition analyses of foodstuffs. Trends in Food Science & Technology. 14(12): 489-498.

NCBI. 2011. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Structure/cdd/cddsrv.cgi?uid=cd016 63. [2 Februari 2011].

NCBI . 2010. http://blast.ncbi.nlm.nih.-gov. [26 Desember 2010].

Ortman BD, A Bucklin, F Pages, M Youngbluth. 2010. DNA Barcoding the Medusozoa using mtCOI. Deep-Sea Research II 57(24-26): 2148–2156. Pafundo S, Gullì M, Marmiroli N. 2009. SYBR®GreenER™ Real-Time PCR to

detect almond in traces in processed food. Food Chemistry 116(3): 811– 815.

Phan IQH, SF Pilbout, W Fleischmann, A Bairoch. 2003. NEWT, a new taxonomy portal. Nucleic Acid Research 31(13): 3822-3823.


(45)

32

Pinto AD, Forte VT, Guastadisegni MC, Martino C, Schena FP, Tantillo G. 2007. A comparison of DNA extraction methods for food analysis. Food Control

18(1): 76–80.

Rasmussen RS, Morrissey MT. 2011. DNA-based detection of commercial fish species. Di dalam buku Handbook of Seafood Quality, Safety and Health Applications; Cesarettin Alasalvar, Fereidoon Shahidi, Kazuo Miyashita dan Udaya Wanasundara 2011 Blackwell Publishing Ltd. 576p.

Rasmussen RS, Morrissey MT. 2010. Advances in DNA-based techniques for the detection of seafood species substitution on the commercial market.

Journal Association for Laboratory Automation. Article in press

Rea S, Storani G, Mascaro N, Stocchi R, Loschi AR. 2009. Species identification in anchovy pastes from the market by PCR-RFLP technique. Food Control 20(5): 515–520.

Rehbein H. 2011. New trends in species identification of fishery products. Di dalam buku Handbook of Seafood Quality, Safety and Health Applications; Cesarettin Alasalvar, Fereidoon Shahidi, Kazuo Miyashita and Udaya Wanasundara 2011 Blackwell Publishing Ltd. 576p.

Roe AD, Sperling AF. 2007. Patterns of evolution of mitochondrial cytochrome c oxidase I and II DNA and implications for DNA barcoding. Molecular Phylogenetic Evolution. 44(1): 325-345.

Sahajpal V, Goyal SP. 2009. Identication of a forensic case using microscopy and Forensically Informative Nucleotide Sequencing (FINS) : A case study of small Indian civet (Viverricula indica). Science and Justice 50(2): 94-97. Saitou N, Nei M. 1987. The neighbor-joining method: a new method for

reconstructing phylogenetic tree. Molecular Biology Evolution 4(4): 406– 425.

Sambrook J, Russell DW. 2001. Molecular Cloning : a Laboratory Manual -- 3rd ed. New York : Cold Spring Harbor.

Sanger F, Coulson AR. 1975. A rapid method for determining sequences in DNA by primed synthesis with DNA polymerase. Journal of Molecular Biology 94(3): 441-446.

Schwagele F. 2005. Traceability from a European perspective. Meat Science

71(1): 164-173.

Teletchea, F., Celia Maudet, Catherine Hanni. 2005. Food and forensic molecular identification : update and challenges. Trends in Biotechnology 23(7): 359-366.


(46)

33

Unseld M, Beyermann B, Brandt P, Hiesel R. 1995. Identification of the species origin of highly processed meat product by mitochondrial DNA sequences.

Genome Resources 4(1): 241-243.

[USFDA] US Food and Drug Administration. 2011. http://www.fda.gov/Food/ FoodSafety/Product-SpecificInformation/Seafood/RegulatoryFish

EncyclopediaRFE/ucm071528.htm. [26 Januari 2011].

Van Nostrand’s Scientific Encyclopedia. 2005. John Wiley & Sons, Inc.

Ward RD, TS Zemlak, BH Innes, PR Last, PDN Hebert. 2005. DNA barcoding Australia's fish species. Philosopical Transactions of The Royal Society. 360(1): 1847–1857.

Wen J, Hu C, Zhang L, Luo P, Zhao Z, Fan S, Su T. 2010. The application of PCR-RFLP and FINS for species identification used in sea cucumber (Aspidochirotida: Stichopodidae) products from the market. Food Control

21(4): 403–407.

Wong EHK, Hanner RH. 2008. DNA barcoding detects market substitution in North American seafood. Food Research International 41(8): 828-837. Yuryev A. 2007. Methods in Molecular Biology: PCR Primer Design. Totowa :


(47)

(48)

35

Lampiran 1. Gambar sampel yang digunakan dalam penelitian

(a)

(b) (c) (d)

(e) (f) (g)

Keterangan : (a) tuna Yellow fin (Thunnus albacares) (FT); (b,c,d) produk tuna steak (TS1, TS2, TS3);

(e, f, g) produk sushi dan sashimi: (e) tekka maki (SH1), (f) maguro


(49)

36


(50)

37


(51)

38

Lampiran 4. Data sekuens dari GenBank yang digunakan untuk perbandingan

Nomor Akses

GenBank Nama Ilmiah Nama Dagang

EU752225.1 Thunnus albacares Yellowfin tuna FJ605787.1 Thunnus obesus Bigeye tuna EU752222.1 Thunnus alalunga Albacore tuna FJ605757.1 Thunnus thynnus Atlantic bluefin tuna

DQ107592.1 Thunnus orientalis Atlantic Ocean Pacific bluefin tuna FJ605777.1 Thunnus maccoyii Pacific Ocean Southern bluefin tuna FJ237960.1 Thunnus tonggol Longtail tuna

DQ107588.1 Thunnus atlanticus Blackfin tuna EU752104.1 Katsuwonus pelamis Skipjack EU148531.1 Euthynnus affinis Kawakawa GU440322.1 Euthynnus lineatus Black skipjack HM586985.1 Euthynnus alleteratus Little tunny HQ167706.1 Auxis rochei Bullet tuna EU541329.1 Auxis thazard Frigate tuna GU440212.1 Allothunnus fallai Slender tuna EF609590.1 Sarda orientalis Indo-Pacific bonito Sumber : NCBI (2010)


(1)

33

Unseld M, Beyermann B, Brandt P, Hiesel R. 1995. Identification of the species origin of highly processed meat product by mitochondrial DNA sequences. Genome Resources 4(1): 241-243.

[USFDA] US Food and Drug Administration. 2011. http://www.fda.gov/Food/ FoodSafety/Product-SpecificInformation/Seafood/RegulatoryFish

EncyclopediaRFE/ucm071528.htm. [26 Januari 2011].

Van Nostrand’s Scientific Encyclopedia. 2005. John Wiley & Sons, Inc.

Ward RD, TS Zemlak, BH Innes, PR Last, PDN Hebert. 2005. DNA barcoding Australia's fish species. Philosopical Transactions of The Royal Society. 360(1): 1847–1857.

Wen J, Hu C, Zhang L, Luo P, Zhao Z, Fan S, Su T. 2010. The application of PCR-RFLP and FINS for species identification used in sea cucumber (Aspidochirotida: Stichopodidae) products from the market. Food Control 21(4): 403–407.

Wong EHK, Hanner RH. 2008. DNA barcoding detects market substitution in North American seafood. Food Research International 41(8): 828-837. Yuryev A. 2007. Methods in Molecular Biology: PCR Primer Design. Totowa :


(2)

(3)

35

Lampiran 1. Gambar sampel yang digunakan dalam penelitian

(a)

(b) (c) (d)

(e) (f) (g)

Keterangan : (a) tuna Yellow fin (Thunnus albacares) (FT); (b,c,d) produk tuna steak (TS1, TS2, TS3);

(e, f, g) produk sushi dan sashimi: (e) tekka maki (SH1), (f) maguro (SH2), (g) tuna mayo gunkan (SH3)


(4)

(5)

37


(6)

Lampiran 4. Data sekuens dari GenBank yang digunakan untuk perbandingan

Nomor Akses

GenBank Nama Ilmiah Nama Dagang

EU752225.1 Thunnus albacares Yellowfin tuna FJ605787.1 Thunnus obesus Bigeye tuna EU752222.1 Thunnus alalunga Albacore tuna FJ605757.1 Thunnus thynnus Atlantic bluefin tuna

DQ107592.1 Thunnus orientalis Atlantic Ocean Pacific bluefin tuna FJ605777.1 Thunnus maccoyii Pacific Ocean Southern bluefin tuna FJ237960.1 Thunnus tonggol Longtail tuna

DQ107588.1 Thunnus atlanticus Blackfin tuna EU752104.1 Katsuwonus pelamis Skipjack EU148531.1 Euthynnus affinis Kawakawa GU440322.1 Euthynnus lineatus Black skipjack HM586985.1 Euthynnus alleteratus Little tunny HQ167706.1 Auxis rochei Bullet tuna EU541329.1 Auxis thazard Frigate tuna GU440212.1 Allothunnus fallai Slender tuna EF609590.1 Sarda orientalis Indo-Pacific bonito