Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Kegiatan

D. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan PR yang tepat sasaran dan tepat guna dapat membantu memberikan motivasi kepada masyarakat sekitar untuk secara tulus mendukung operasional sebuah perusahaan di daerah mereka. Hal ini dikarenakan telah terciptanya keterikatan antara penduduk karena mereka ikut merasakan manfaat dari kehadiran perusahaan di daerahnya.

PR dengan segala macam kegiatannya, tentu memerlukan dukungan dari bagian lain dalam perusahaan. Dan kerjasama yang baik dengan setiap bagian di dalam perusahaan merupakan salah satu faktor pendukung dalam setiap kegiatan PR, seperti pernyataan Kepala Bagian PR GMP:

“PR ini sebenernya gak punya apa-apa. Tetapi harus menyediakan semua yang dibutuhkan masyarakat. Jadi salah satu faktor pendukung adalah PR tidak bisa bekerja sendiri. Kita mau mengirimkan bantuan misalnya untuk membuat tiang gawang, ya tentu kita meminta bantuan dari civil and facility dalam pembuatannya. Kemudian kita mau pakai traktor untuk “PR ini sebenernya gak punya apa-apa. Tetapi harus menyediakan semua yang dibutuhkan masyarakat. Jadi salah satu faktor pendukung adalah PR tidak bisa bekerja sendiri. Kita mau mengirimkan bantuan misalnya untuk membuat tiang gawang, ya tentu kita meminta bantuan dari civil and facility dalam pembuatannya. Kemudian kita mau pakai traktor untuk

Namun bukan berarti setiap kegiatan PR melibatkan departemen lain, beberapa kegiatan lain dapat PR lakukan sendiri, seperti penjelasan Kepala Bagian PR:

“Kecuali hal-hal lain yang bisa kita lakukan sendiri seperti donasi-donasi atau masalah desain iklan, pembuatan koran, radio itu memang full dari keahlian kita.” (Hapris Jawodo, pada wawancara tanggal 20 April 2012).

Idealnya kegiatan PR dilaksanakan dengan memanfaatkan kemampuan masyarakat untuk memperbaiki kehidupan mereka baik dalam segi ekonomi, sosial serta lingkungan. Namun pada prakteknya hal ini bukan sesuatu yang mudah. Ada hambatan yang harus dihadapi dalam melaksanakan kegiatan PR ini. Banyaknya permintaan masyarakat untuk dilayani adalah salah satu hambatannya, seperti penuturan Kepala Bagian PR:

“Permintaan masyarakat itukan banyak, hambatannya itu terlalu banyak permintaan dari desa yang sama tapi pada waktu yang berbeda-beda. Kan itu repotnya seperti ini, misalnya ini minta bantuan slasher untuk di Gunung Batin Udik oke kita sudah kirim ke sana eh tiba-tiba hari ini minta lagi untuk yang di sini, besok datang lagi untuk yang di sini. Padahal kalau itu mereka sekaligus kan slasher bisa sekalian jalan, pagi kesana kemudian siang ke tempat selanjutnya. Tapi ini kan mereka keperluan dan suratnya berbeda-beda. Tapi kalau yang lain enggak ada, mereka welcome.” (Hapris Jawodo, pada wawancara tanggal 20 April 2012).

Berita yang sedang berkembang dalam masyarakat juga bisa menjadi salah satu faktor penghambat dalam kegiatan PR. Karena pada kenyataannya, berita- Berita yang sedang berkembang dalam masyarakat juga bisa menjadi salah satu faktor penghambat dalam kegiatan PR. Karena pada kenyataannya, berita-

mencari-cari masalah untuk keuntungan pribadi. Yang sebenarnya itu tidak perlu terjadi. Misalnya sekarang lagi ricuh masalah Mesuji, HGU dan segala macam, ada sekelompok orang yang mencoba-coba untuk ikut- ikutan seakan-akan mereka juga dapat peluang, padahal tidak ada peluang sama sekali.” (Hapris Jawodo, Kepala Bagian PR GMP).

Di sinilah keahlian PR diperlukan. Bagaimana seorang PRO harus mampu mempertahankan citra perusahaan yang telah tercipta. Tidak jarang seorang PRO menggunakan cara komunikasi yang tidak mampu memperjelas apa yang ia ingin sampaikan sehingga publik sasaran itu keliru menafsirkannya. Kesalahan seperti itu mungkin saja terjadi, apalagi publik yang dihadapi terdiri dari banyak kepala dan masing-masing personal memiliki pola pikir yang berbeda. Namun itulah alasan mengapa seorang PRO harus pintar dalam merencanakan kegiatan komuikasinya.

Begitu pula dengan PR GMP dalam menghadapi masyarakat sekitar, perbedaan kepentingan antara perusahaan dan masyarakat tak jarang menyebabkan perbedaan persepsi mengenai suatu hal diselesaikan. PR GMP mencoba menghindari kejadian seperti itu dengan komunikasi yang intensif dengan masyarakatnya, walaupun tidak melalui pertemuan rutin, seperti penjelasan kepala bagian PR GMP:

“Dengan komunikasi sambil jalan, karena intensitas komunikasi kalau kita serba mahal maka hubungan interpersonalnya jadi kurang. Kita lebih banyak silaturahmi langsung ke desa-desa. Itu sesungguhnya kekuatan GMP yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Banyak perusahaan lain yang mungkin bantuannya juga sama atau bahkan lebih dari GMP, tetapi “Dengan komunikasi sambil jalan, karena intensitas komunikasi kalau kita serba mahal maka hubungan interpersonalnya jadi kurang. Kita lebih banyak silaturahmi langsung ke desa-desa. Itu sesungguhnya kekuatan GMP yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Banyak perusahaan lain yang mungkin bantuannya juga sama atau bahkan lebih dari GMP, tetapi

Maksudnya adalah PR GMP berkomunikasi dengan masyarakatnya melalui silaturahim langsung secara interpersonal dengan kepala desa atau pamong, dan hal itu dianggap lebih intensif dibanding dengan mengadakan pertemuan rutin secara bersamaan dengan semua kepala desa. Hal ini sesuai dengan penjelasan Soleh Soemirat dan Elvinaro Ardianto mengenai tugas seorang PR dalam Bab I yaitu mengusahakan tumbuhnya sikap dan citra (image) publik yang positif terhadap semua kebijakan dan langkah-langkah perusahaannya.

Berikut ini adalah jawaban dari informan eksternal ketika peneliti memberikan pertanyaan mengenai citra GMP di mata mereka: “Saya mengatakan kalau sama dusun sini tu gunung madu sangat

perhatian. Artinya kalau Gunung Madu sama desa ini bagus sekali. Jadi semua kebutuhan disini, kalau warga disini mau bicara sama gunung madu tetep dibantu.” (Jaeran, mantan Kepala Dusun Sendang Agung, pada wawancara tanggal 21 April 2012)

“Bagus. Yang jelas GMP sendiri ada kepedulian lah gitu ya, terhadap pamong ada kepedulian, terhadap masyarakat sini juga ada kepedulian. Kita sering juga dikasih gula, gitu ya. Jadi ada perhatian gitu ya. Kami sendiri juga tetap berusaha ya apabila ada masyarakat yang kurang pekerjaan atau tidak punya pekerjaan kita arahkan ke sana. Banyak yang jadi tukang tebang tebu, angkat tebu ya tergantung keahlian dan kemampuan sendiri-sendiri.” (Sarimin, Kepala Kampung Terbanggi Mulya, pada wawancara tanggal 27 April 2012).

“Citra perusahaan sudah bagus. Pertama, masalah citra ya, yang mana masayarakat kami ini beternak dan buruh. Kalau musim tebang begini buat yang buruh kan di lahan yang luas. Buat yang beternak kami diberi jalan untuk ambil rumput. Kalau enggak ada perusahaan gini, kami enggak punya lokasi ambil rumput dimana. Ya alhamdulillah kami diizinkan perusahaan. Tidak pernah kami ditangkap, asalkan tidak mengambil tebu.” (Nisar Adhita, Kepala Kampung Gunung Agung, pada wawancara tanggal 27 April 2012).

bantuan apa-apa gak pernah ditolak. Tetap diusahan, yang jelas lebih enak dengan adanya GMP ini. Kayak jalan yang Mbak lewatin itu, GM yang nimbun, makanya ada jalan.” (Anton Irawan, Kepala Dusun V Terbanggi Ilir, pada wawancara tanggal 27 April 2012).

“Bagus.” (Zulkarnaen, Kepala Kampung Gunung Batin Baru, pada wawancara tanggal 21 April 2012).

Dari jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui bahwa citra perusahaan cukup baik di mata mereka. Menurut mereka GMP dikenal sebagai pencipta lapangan pekerjaan serta pemberi segala jenis bantuan. Namun apabila direnungkan kembali citra seperti itu tidak dapat menjamin terjaganya citra perusahaan yang sebenarnya. Karena sesungguhnya bantuan/donasi tersebut tidak mendidik bagi kehidupan masyarakat. Hal ini malah bisa menjadi sumber masalah dikemudian hari apabila misalnya perusahaan tidak dapat lagi membantu atau memberikan bantuan.