Konsentrasi SO 2 di Udara

6.2 Konsentrasi SO 2 di Udara

Sulfur dioksida (SO 2 ) adalah gas yang tidak berwarna dengan bau yang menyengat. Berbentuk cairan ketika berada di bawah Sulfur dioksida (SO 2 ) adalah gas yang tidak berwarna dengan bau yang menyengat. Berbentuk cairan ketika berada di bawah

Walaupun begitu, terdapat sumber alami dari SO 2 antara lain dari gunung berapi. Energi panas dari pembakaran bahan bakar sulfur tingkat tinggi secara umum menjadi sumber utama emisi SO 2 di dunia yang berasal dari kegiatan manusia, yang diikuti oleh boiler industri dan smelter logam (WBG, 1998).

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini merupakan lokasi yang masuk dalam kawasan cemaran limbah gas dari PT. Pusri Palembang yaitu dalam radius 1300 meter dari sumber emisi. Sebaran

data konsentrasi SO 2 yang dikumpulkan di 10 titik sampel udara yang disetiap titiknya dilakukan 3 kali pengukuran pada waktu pagi, sore, dan malam hari (PERMENLH No. 12 tahun 2010) dengan metode analisis pararosaniline serta menggunakan alat berupa spektofotometri. Titik pengukuran kualitas udara yang tersebar merata pada setiap cluster nya menghasilkan data yang tidak berdistribusi normal

sehingga digunakan nilai median sebagai nilai konsentrasi SO 2 nya.

Nilai 3 median konsentrasi SO

2 sebesar 0,246 mg/m dengan nilai

3 minimum 0,245 mg/m 3 dan maksimum 0,254 mg/m . Konsentrasi di cluster 1 lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi di cluster 2 dan

3. Untuk konsentrasi SO 2 di udara ambien pada penelitian ini baik 3. Untuk konsentrasi SO 2 di udara ambien pada penelitian ini baik

2, dan cluster

3 tidak ada yang melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Th. 1999 yaitu

3 sebesar 900 µg/Nm 3 (0,9 mg/m ) untuk waktu pengukuran selama 1 jam.

Nilai konsentrasi SO 2 pada penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nukman, dkk (2005) di 9 kota besar dengan nilai rata-rata SO 2 nya sebesar 0,033

mg/m 3 . Peneliti lain di kawasan Kelapa Gading mendapatkan hasil nilai rata-rata konsentrasi SO 2 sebesar 0,033 mg/m 3 (Sukadi, 2014).

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2012) di kawasan Bundaran Hotel Indonesia mendapatkan hasil konsentrasi

SO 3

2 pada hari kerja sebesar 0,037 mg/m dan pada hari libur sebesar 0,0352 mg/m 3 .

Perbedaan besar konsentrasi yang cukup signifikan antara penelitian ini dengan penelitian lainnya disebabkan oleh perbedaan sumber pencemaran SO 2 itu sendiri. Untuk penelitian lainnya bersumber dari sumber garis (jalan raya) dan sumber area (terminal bis) yang dikeluarkan dari emisi sumber bergerak seperti kendaraan beroda empat dan beroda dua, sedangkan penelitian ini sumber

pencemar SO 2 itu sendiri berasal dari sumber titik yaitu cerobong pembangkit listrik dan boiler PT.Pusri Palembang dimana sumber ini pencemar SO 2 itu sendiri berasal dari sumber titik yaitu cerobong pembangkit listrik dan boiler PT.Pusri Palembang dimana sumber ini

Konsentrasi SO 2 yang ada di pemukiman sekitar PT. Pusri Palembang ini sewaktu-waktu memungkinkan untuk meningkat melebihi rata-rata konsentrasi SO 2 yang diukur pada saat penelitian ini berlangsung. Kondisi ini bisa saja terjadi apabila PT. Pusri Palembang meningkatkan daya produksi pabrik dari kegiatan produksi

pada keadaan normalnya. Selain itu, konsentrasi SO 2 dapat meningkat apabila keempat cerobong pembangkit listrik, pemanas bahan bakar dan boiler beroperasi secara bersamaan tanpa henti. Hal ini diperkuat apabila PT. Pusri Palembang tidak menjaga kondisi fisik penyaring limbah gas disetiap menara cerobong pembangkit listrik, boiler dan pemanas bahan bakar tempat limbah gas dibuang ke udara ambien.

Selain itu, konsentrasi SO 2 di pemukiman penduduk dapat meningkat apabila pihak perusahaan tidak menjaga kelestarian hutan pelindung yang ada di sekitar wilayah pabrik dimana hutan pelindung selain berfungsi sebagai peredam kebisingan akibat aktivitas produksi pabrik hutan pelindung juga berfungsi sebagai media untuk mereduksi

polutan pencemar udara seperti SO 2 . Menjaga kondisi hutan dalam hal ini sesuai pasal 38 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia n0. 142 Tahun 2015 adalah salah satu pengelolaan dan pemantauan lingkungan polutan pencemar udara seperti SO 2 . Menjaga kondisi hutan dalam hal ini sesuai pasal 38 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia n0. 142 Tahun 2015 adalah salah satu pengelolaan dan pemantauan lingkungan

6.3 Berat Badan Berat badan individu merupakan variabel antropometri penting

yang sangat mempengaruhi besar dosis aktual suatu risk agent yang diterima individu karena semakin besar berat badan individu semakin kecil dosis internal yang diterima. Berat badan berimplikasi pada nilai numerik standar atau baku mutu sebagai salah satu bentuk pengendalian risiko (Nukman, dkk., 2005).

Nilai median berat badan adalah 56,4 kg yang didapatkan dari penimbangan langsung setiap responden. Hasil ini didapatkan setelah dilakukan pengujian normalitas yang menghasilkan data berdistribusi tidak normal sehingga digunakan nilai median sebagai tolak ukur. Pada cluster 1 nilai median berat badan adalah 55,6 kg, pada cluster 2 berat badan adalah 57,1 kg, dan pada cluster 3 nilai median berat badan adalah 56,8 kg. Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis yang dilakukan oleh Hafiyah (2011) berat badan masyarakat usia Nilai median berat badan adalah 56,4 kg yang didapatkan dari penimbangan langsung setiap responden. Hasil ini didapatkan setelah dilakukan pengujian normalitas yang menghasilkan data berdistribusi tidak normal sehingga digunakan nilai median sebagai tolak ukur. Pada cluster 1 nilai median berat badan adalah 55,6 kg, pada cluster 2 berat badan adalah 57,1 kg, dan pada cluster 3 nilai median berat badan adalah 56,8 kg. Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis yang dilakukan oleh Hafiyah (2011) berat badan masyarakat usia

menetapkan R f C yang nilai NOAEL atau LOAEL-nya berasal dari studi-studi epidemiologi di kawasan Asia. Jika dibandingkan dengan rata-rata berat dewasa normal Asia yaitu 55 kg berat badan responden penelitian menunjukkan 3% lebih berat daripada berat badan dewasa normal Asia.

Pada penelitian ini nilai besar risiko berbanding terbalik dengan nilai berat badan, sehingga semakin besar nilai berat badan responden semakin kecil nilai besar risiko responden. Sesuai dengan penelitian Haryoto, Setyono dan Masykuri (2014) yang menghasilkan responden dengan berat badan diatas rata-rata memiliki besar risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan responden yang memiliki berat badan di bawah nilai rata-rata.

6.4 Laju Asupan Nilai rata-rata ( mean ) laju asupan harian total responden adalah

0,60 m 3 /jam yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan persamaan 0,60 m 3 /jam yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan persamaan

Semua laju asupan pada cluster 1, cluster 2, dan cluster 3 sama-sama menunjukkan nilai 0,60 m 3 /jam. Hal ini sejalan dengan penelitian

Rahman, dkk (2008) yang menghasilkan nilai laju asupan sebesar 0,6 m 3 /jam. Angka tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai

default EPA yaitu 0,83 m 3 /jam. Perbedaan ini disebabkan nilai default berat badan yang digunakan EPA adalah 55 kg.

Pada penelitian ini laju asupan sangat bergantung pada berat badan responden dimana semakin besar berat badan responden maka semakin besar laju asupan responden itu sendiri. Sesuai dengan teori Syaifudin (1997) yang menyatakan semakin besar berat badan seseorang maka semakin besar juga kapasitas volume paru seseorang yang memungkinkan udara lebih banyak masuk ke dalam tubuh. Sehingga, semakin besar volume paru-paru seseorang yang dimasuki

udara mengandung gas pencemar udara seperti SO 2 , memungkinkan semakin besar risiko seseorang tersebut memiliki dampak yang tidak aman terhadap kesehatannya.

6.5 Waktu Pajanan Waktu atau lama pajanan juga mempengaruhi nilai asupan

(intake). Hasil penelitian menunjukkan data yang didapatkan di

lapangan berdistribusi tidak normal sehingga yang menjadi acuan adalah nilai tengah ( median ). Nilai tengah ( median ) waktu pajanan harian adalah 24 jam/hari yang didapatkan dari hasil wawancara langsung kepada responden. Waktu pajanan di cluster 1 lebih rendah yaitu 22 jam/hari dibandingkan dengan cluster 2 yaitu 23 jam/hari dan cluster 3 dengan waktu pajanan yaitu 24 jam/hari hal ini dikarenakan masyarakat yang di cluster 1 lebih banyak keluar dari lokasi penelitian dibandingkan dengan masyarakat cluster 2 dan cluster 3. Hal ini dapat dilihat dari jenis pekerjaan responden di cluster 1 yang memungkinkan untuk meninggalkan pemukiman seperti pekerjaan sebagai seorang buruh, pedagang, dan pekerja swasta yang lebih banyak daripada cluster 2 dan cluster 3.

Tidak jauh berbeda dengan waktu pajanan pada penelitian ini, waktu pajanan pada penelitian yang dilakukan Novirsa dan Achmadi (2012) serta Ma’rufi (2014) memiliki nilai median waktu pajanan 24 jam/hari. Hal ini bisa terjadi dikarenakan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Novirsa dan Achmadi (2012) memiliki karakteristik wilayah penelitian dan responden yang sama yaitu sumber pencemar udara tidak bergerak (pabrik) dan karaketristik responden yaitu masyarakat usia dewasa.

Berdasarkan hasil wawancara saat pengumpulan data selain pekerjaan, hal lain yang menyebabkan responden meninggalkan

pemukiman adalah kegiatan sehari-hari seperti mengantar anak ke sekolah, dan ke pasar. Oleh karena itu sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh responden yang tinggal di sekitar industri PT. Pusri Palembang digunakan untuk beraktivitas di dalam wilayah penelitian itu sendiri. Waktu pajanan selama 24 jam/hari merupakan waktu pajanan maksimal dalam di kehidupan dalam satuan jam/hari, sehingga jika terpapar dalam waktu maksimal maka akan semakin besar pula peluang responden memiliki besar risiko yang tidak aman, seperti penelitian Ramadhona (2014) yang menunjukkan semakin lama seseorang terpapar amonia semakin besar risiko kesehatan yang dapat diterima. Hal itu pun berlaku untuk kesemua zat pencemar udara lainnya yang termasuk didalamnya SO 2

6.6 Frekuensi Pajanan Frekuensi pajanan adalah jumlah hari pemajanan SO 2 yang

diterima responden dalam satu tahun dikurangi lama responden meninggalkan lokasi penelitian dalam satuan hari. Nilai tengah ( median ) frekuensi pajanan adalah 365 hari/tahun. Frekuensi pajanan pada cluster 1, cluster 2 dan cluster 3 menunjukkan nilai yang sama yaitu 365 hari/tahun. Hal ini disebabkan karena responden penelitian ini kebanyakan tidak meninggalkan lokasi penelitian sampai 1 hari penuh dan juga banyak responden merupakan orang asli dari lokasi diterima responden dalam satu tahun dikurangi lama responden meninggalkan lokasi penelitian dalam satuan hari. Nilai tengah ( median ) frekuensi pajanan adalah 365 hari/tahun. Frekuensi pajanan pada cluster 1, cluster 2 dan cluster 3 menunjukkan nilai yang sama yaitu 365 hari/tahun. Hal ini disebabkan karena responden penelitian ini kebanyakan tidak meninggalkan lokasi penelitian sampai 1 hari penuh dan juga banyak responden merupakan orang asli dari lokasi

Frekuensi pajanan yang diterima responden pada penelitian ini cukup tinggi karena 365 hari/tahun merupakan paparan maksimal yang diterima manusia dalam satuan waktu hari/tahun, sehingga jika pajanan yang diterima responden adalah pajanan masksimal hal tersebut juga dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan bagi responden disebabkan karena responden terus menerus terpajan udara

yang mengandung SO 2 , sebagaimana penelitian Wardani (2012) yang menunjukkan semakin besar frekuensi sesesorang dalam satu tahun terpapar zat berbahaya di udara ambien maka semakin besar risiko kesehatan yang diterima oleh seseorang tersebut.

6.7 Durasi Pajanan Durasi pajanan adalah lamanya waktu terpajan oleh SO 2 di

lokasi penelitian. Pada peneilitian ini durasi paparan yang diteliti yaitu pada saat dilakukan penelitian dengan nilai median selama 31 tahun. Pada cluster 1 nilai durasi pajanan selama 31,9 tahun, pada cluster 2 selama 31,6 tahun, dan cluster

3 selama 31 tahun. Setiap cluster menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda, hal ini pula disebabkan 3 selama 31 tahun. Setiap cluster menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda, hal ini pula disebabkan

sudah terpapar SO 2 sejak mereka lahir hingga saat penelitian ini dilaksanakan. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ma’rufi (2014) yang mempunyai durasi pajanan 2 tahun dan Hafiyah (2011) yang memiliki rata-rata durasi pajanan selama 19,41 tahun, nilai durasi pajanan pada penelitian ini lebih lama yaitu 31 tahun hampir serupa dengan durasi pajanan yang dikeluarkan oleh IRIS EPA yaitu 30 tahun.

Hasil penelitian Haryoto, Setyono dan Masykuri (2014) yang menyatakan pada durasi lebih dari 27,5 tahun atau 63,7% responden pada penelitan tersebut memiliki risiko tidak aman terhadap pajanan

SO 2 . Jika merujuk pada hasil penelitian ini maka responden pada penelitian yang dilakukan sudah melewati batas durasi pajanan aman terhadap pajanan SO 2 di udara. Namun karena perbedaan jenis sumber paparan, jarak lokasi penelitian dengan sumber pajanan, dan konsentrasi pajanan dapat menghasilkan besar risiko yang berbeda, hal tersebut belum bisa benar-benar dibuktikan sebelum hasil perhitungan risiko dilaksanakan.