TINJAUAN PUSTAKA
2.1.4.3 Dampak SO 2 Terhadap Kesehatan Manusia
Pencemaran SO 2 sendiri menimbulkan dampak terhadap manusia, hewan, dan kerusakan pada tanaman. Emisi SO 2 yang berlimpah mungkin secara langsung menyebabkan kerusakan yang luas terhadap pohon-pohon kayu yang jaraknya dalam sel daun tanaman membentuk sufite yang beracun. Pajanan jangka
panjang untuk tingkat persisten SO 2 dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Perubahan fungsi paru-paru terlihat di beberapa pekerja yang terpapar SO 2 tingkat rendah selama 20 tahun. Namun, pekerja ini juga terkena bahan kimia lainnya, sehingga efek kesehatan mereka mungkin bukan hanya dari SO 2 saja. Penderita asma juga telah terbukti sangat sensitif terhadap
SO 2 dalam konsentrasi rendah (ATSDR, 1999)
Selain itu SO 2 ini juga menyebabkan iritasi mata, selaput lendir, kulit, dan saluran pernapasan tentunya. Bronkospasme, edema paru, pneumonitis, dan obstruksi jalan napas akut dapat
terjadi. Paparan inhalasi konsentrasi SO 2 dengan konsentrasi yang sangat rendah saja dapat memperburuk penyakit paru kronis, seperti asma dan emfisema. Beberapa penderita asma sangat terjadi. Paparan inhalasi konsentrasi SO 2 dengan konsentrasi yang sangat rendah saja dapat memperburuk penyakit paru kronis, seperti asma dan emfisema. Beberapa penderita asma sangat
Sulfur dioksida saja tidak berpotensi mengiritasi paru-paru kecuali konsentrasinya melebihi 10 sampai 20 ppm. Alasan yang jelas untuk potensi rendah ini adalah bahwa SO 2 dihirup hampir sepenuhnya diserap di saluran napas atas dan tidak mencapai paru-paru. Hanya beberapa individu yang sensitif dapat menunjukkan perubahan kecil dalam fungsi paru-paru pada konsentrasi 1 sampai 2 ppm, tetapi dalam jangka waktu yang
panjang SO 2 ini akan berdampak merugikan bagi keseluruhan orang jika terus terpapar dari polutan udara yang satu ini. (Nriagu, 1978)
Pada 1 ppm SO 2 ada perubahan dosis terkait resistensi aliran paru, gejala subjektif, atau tindakan lain fungsi paru-paru dapat dideteksi pada sebagian subjek. Namun, peneliti lain (Amdur et al, 1953;. Snell dan Luchsinger, 1969; Bates dan Hazucha, 1973;. Andersen et al, 1974 dalam Nriagu, 1978) telah
menunjukkan efek dari konsentrasi sebesar 0,75-1,00 ppm SO 2 berdampak pada laju aliran ekspirasi puncak, hambatan aliran hidung, frekuensi pernapasan atau volume tidal di beberapa menunjukkan efek dari konsentrasi sebesar 0,75-1,00 ppm SO 2 berdampak pada laju aliran ekspirasi puncak, hambatan aliran hidung, frekuensi pernapasan atau volume tidal di beberapa
SO 2 mungkin merupakan 10 sampai 20% dari populasi orang dewasa muda yang sehat.
Tabel 2.2
Dampak Paparan SO 2 terhadap Kesehatan Manusia
Konsentrasi (ppm) Pengaruh
Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari 3-5
baunya (selama 4 jam) Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan
8-12 iritasi tenggorokan (selama 4 jam)
Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan 12-20
iritasi mata dan mengakibatkan batuk (selama
4 jam) Maksimum yang diperbolehkan untuk
20-50 konsentrasi dalam waktu lama
Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak 50-100
singkat (30 menit)
Sampai 500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat Sumber : (DEPKES RI 2007 dalam Zakaria dan R.Azizah 2013)
2.1.4.3.1 Paparan Akut
Sulfur dioksida larut dalam air pada kulit, mata, dan membran mukosa untuk membentuk asam sulfur, iritasi dan inhibitor transportasi mukosiliar. Sebagian besar sulfur dioksida dihirup didetoksifikasi oleh hati terhadap sulfat dan diekskresikan dalam urin. Ion bisulfit diproduksi Sulfur dioksida larut dalam air pada kulit, mata, dan membran mukosa untuk membentuk asam sulfur, iritasi dan inhibitor transportasi mukosiliar. Sebagian besar sulfur dioksida dihirup didetoksifikasi oleh hati terhadap sulfat dan diekskresikan dalam urin. Ion bisulfit diproduksi
a. Pernapasan Sulfur dioksida pada iritasi pernapasan menginduksi gejala seperti bersin, sakit tenggorokan, mengi, sesak napas, sesak dada, dan rasa sesak napas. Refleks laring kejang dan edema dapat menyebabkan obstruksi jalan napas akut. Bronkospasme, pneumonitis, dan edema paru dapat terjadi.
Beberapa individu sangat rentan terhadap adanya SO 2 dan bereaksi berlebihan terhadap konsentrasi yang pada kebanyakan orang mendapatkan respon yang jauh lebih ringan. Aklimatisasi (penyesuaian fisiologis individu terhadap perubahan lingkungan) juga dapat terjadi pada hingga 80% dari individu yang terkena. Ini tidak selalu menguntungkan meskipun paparan mungkin menjadi kurang subyektif pantas setelah terpapar terus menerus atau berulang-ulang.
Penderita asma yang sensitif terhadap sulfit dalam makanan dapat mengembangkan bronkospasme atau reaksi anafilaktoid. SO 2 bersama dengan komponen lain dari polusi udara bisa memperburuk penyakit cardiopulmonary kronis. Paparan konsentrasi tinggi SO 2 dapat menyebabkan Reactive Airway Disfungsi Syndrome (RADS), jenis kimiawi atau iritasi yang disebabkan asma.
Anak-anak mungkin lebih rentan terhadap agen korosif daripada orang dewasa karena diameter yang relatif lebih kecil dari saluran udara mereka. Anak-anak juga mungkin lebih rentan karena ventilasi menit yang relatif meningkat per kilogram berat badan dan kegagalan untuk mengevakuasi daerah segera bila terkena.
Seperti halnya yang dipaparkan oleh Nadakavukaren (1986) gas SO 2 dapat larut dalam mukosa membran hidung, tenggorokan, dan mengiritasi saluran pernapasan bagian atas. Gas SO 2 dapat pula bereaksi dengan uap air sehingga terbentuk asam sulfat yang merupakan zat yang sangat iritatif terhadap mukosa saluran pernapasan dan jaringan paru. Hal ini dapat menyebabkan matinya sel silia, sehingga aktivitas respiratory clearance akan terganggu. Jika sampai pada jaringan paru, maka fungsi sel makrofag juga terganggu. Oleh karena itu, jika udara pernapasan mengandung bahan pencemar dapat meningkatkan kepekaan terhadap penyakit infeksi saluran pernapasan (bronkitis dan emfisema). Bahan polutan gas yang masuk ke dalam saluran pernapasan dapat pula menyebabkan sembab membran mukosa sehingga mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan.
b. Kulit Sulfur dioksida adalah iritasi kulit parah yang menyebabkan rasa sakit menyengat, kemerahan, dan lecet, terutama pada selaput lendir. Kontak kulit dengan kompresi gas atau SO 2 cair dapat menyebabkan radang dingin dan cedera iritasi karena luas b. Kulit Sulfur dioksida adalah iritasi kulit parah yang menyebabkan rasa sakit menyengat, kemerahan, dan lecet, terutama pada selaput lendir. Kontak kulit dengan kompresi gas atau SO 2 cair dapat menyebabkan radang dingin dan cedera iritasi karena luas
c. Penglihatan Konjungtivitis dan kornea luka bakar dapat dihasilkan dari efek iritasi dari uap belerang dioksida atau gas terkompresi dan dari kontak langsung dengan cairan.
d. Gastrointestinal Mual, muntah, dan sakit perut telah dilaporkan setelah
paparan inhalasi sampai pada dosis tinggi SO 2 .
e. Potensi Gejala Sisa Tingkat eksposur tinggi akut telah mengakibatkan fibrosis paru, bronkitis kronis, dan bronkopneumonia kimia dengan obliterans bronchiolitis. Bronkospasme dapat dipicu pada orang yang memiliki penyakit paru-paru, terutama mereka yang memiliki asma dan emfisema. Jarang terjadi hiperreaktivitas saluran napas onset baru yang dikenal sebagai sindrom disfungsi saluran udara reaktif (RADS), berkembang pada pasien tanpa bronkospasme sebelumnya.
2.1.4.3.2 Paparan Kronis
Paparan kronis dapat menyebabkan rasa penciuman berubah (termasuk peningkatan toleransi terhadap rendahnya tingkat SO 2 ), peningkatan kerentanan terhadap infeksi pernafasan, gejala bronkitis Paparan kronis dapat menyebabkan rasa penciuman berubah (termasuk peningkatan toleransi terhadap rendahnya tingkat SO 2 ), peningkatan kerentanan terhadap infeksi pernafasan, gejala bronkitis
a. Karsinogenik Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) ditugaskan untuk meneliti polutan sulfur dioksida. SO 2 tidak dapat diklasifikasikan untuk efek yang menyebabkan kanker kepada manusia.
b. Reproduksi dan Efek Perkembangan Sulfur dioksida tidak termasuk dalam racun yang terjadi pada sistem reproduksi dan perkembangan tubuh manusia, laporan pada tahun 1991 yang diterbitkan oleh Kantor Umum Akuntansi Amerika Serikat (GAO) dalam ATSDR (2014) yang berisi daftar
30 bahan kimia yang menjadi perhatian karena diakui secara luas tidak terindikasi ke sistem reproduksi dan perkembangan tubuh manusia. Begitupun dengan rute paparan untuk senyawa SO 2 sendiri tidak berdampak kepada sistem repsoduksi dan perkembangan manusia. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa
SO 2 adalah genotoxin pada manusia.
2.1.5 Jalur Pajanan SO 2
2.1.5.1 Inhalasi
dari paparan belerang dioksida. Kebanyakan pajanan yang disebabkan oleh polusi udara, dan ini baik jangka pendek dan konsekuensi kesehatan kronis bagi orang-orang
Inhalasi adalah
rute utama
dengan penyakit paru-paru. Inhalasi SO 2 mudah bereaksi dengan dengan penyakit paru-paru. Inhalasi SO 2 mudah bereaksi dengan
obstruksi jalan napas. SO 2 lebih berat daripada udara; dengan demikian, paparan di ventilasi yang buruk, tertutup, atau daerah dataran rendah dapat menyebabkan sesak napas.
Anak-anak bisa terpapar pada tingkat yang sama dari polutan SO 2 sebagaimana orang dewasa, hanya saja orang dewasa dapat menerima dosis yang lebih besar karena mereka memiliki luas permukaan paru-paru yang lebih besar, rasio berat badan dan peningkatan volume/menit (EPA,
2011). Seperti yang dilansir pula dari ATSDR (1998) Pajanan SO 2 sendiri lebih banyak berdampak pada orang dewasa (susah bernafas hingga rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan) dibandingkan anak-anak. Terlebih terdapat studi yang menyiratkan bahwa kesehatan remaja (12-17 tahun)
tidak lebih rentan kepeada efek menghirup SO 2 dibanding kesehatan orang dewasa.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Layton (1993) dalam Exposures Factors Handbook US EPA (2011) Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Layton (1993) dalam Exposures Factors Handbook US EPA (2011)
didapatkan rata-rata asupannya 6,35-13,09 m 3 /hari untuk anak laki-laki dan 2,35-5,95 m 3 /hari untuk anak perempuan, sedangkan untuk kelompok
3 umur dewasa laki-laki sebesar 10-19 m 3 /hari dan 8-12 m /hari untuk dewasa perempuan. Untuk pendekatan kedua (2) dan ketiga (3) masing-
3 masing 15 m 3 /hari untuk anak laki-laki, 12 m /hari untuk anak-anak
3 perempuan, 9,9-11 m 3 /hari untuk dewasa perempuan, 13-17 m /hari untuk dewasa laki-laki dan 11-15 m 3 /hari untuk dewasa perempuan serta 13-17 m 3 /hari untuk dewasa laki-laki. Sehingga dindikasikan dari ketiga
pendekatan yang digunakan oleh Layton bahwasanya rata-rata manusia dewasa lebih besar laju inhalasinya dibandingkan anak-anak.
Selain penilaian yang dilakukan Layton (1993) pernyataan bahwa kelompok umur dewasa lebih besar asupan inhalasi dibandingkan dengan kelompok umur anak-anak adalah studi-studi yang dilakukan oleh Environmental Protection Agency (EPA) tahun 2009, Brochu et al. (2006), Arcus-Arth and Blaisdell (2007), Stifelman (2007) penilaian pada aktivitas sehari-hari yang dilakukan kedua kelompok umur seperti pada saat istirahat dan aktivitas bergerak dimana kelompok umur manusia dewasa
3 lebih besar yaitu 22,8 m 3 /hari untuk laki-laki dan 21,1 m /hari untuk perempuan, sedangkan untuk anak-anak sebesar 14,8 m 3 /hari laju
inhalasinya.
Tabel 2.3
Laju Inhalasi Kombinasi Laki-Laki dan Perempuan per Kelompok Umur untuk Durasi Pajanan Jangka Panjang
Kelompok Umur
Rata-rata inhalasi (m 3 /hari)
Lahir sampai 1 bulan
1 sampai < 3 bulan
3 sampai < 6 bulan
6 sampai < 12 bulan
1 sampai < 2 tahun
2 sampai < 3 tahun
3 sampai < 6 tahun
6 sampai < 11 tahun
11 sampai < 16 tahun
16 sampai < 21 tahun
21 sampai < 31 tahun
31 sampai < 41 tahun
41 sampai < 51 tahun
51 sampai < 61 tahun
61 sampai < 71 tahun
71 sampai < 81 tahun
12,2 Sumber : Exposure Factor Handbook (EPA, 2011) Karena kebanyakan studi di bidang penilaian paparan sampai saat
≥ 81 tahun
ini berfokus pada paparan polusi udara, contoh pertama melihat pada pajanan SO 2 . Dalam contoh ini, paparan inhalasi mengacu antara polutan ini berfokus pada paparan polusi udara, contoh pertama melihat pada pajanan SO 2 . Dalam contoh ini, paparan inhalasi mengacu antara polutan
pengukuran berada di dekat orang). Volume kontak adalah volume teoritis udara yang tersedia untuk inhalasi pada periode paparan yang tertarik. Volume udara yang dihirup selama periode paparan merupakan pengganti untuk volume kontak. Seringkali monitor udara pribadi digunakan untuk
memperkirakan konsentrasi paparan agen dalam volume kontak (SO 2 ).
2.1.5.2 Kontak Kulit/Mata
Paparan Dermal adalah kontak antara agen dan permukaan kulit luar (permukaan exposure) dari target (misalnya manusia). Sebuah titik pada permukaan kulit dianggap terkena jika massa kimia hadir dalam volume kontak yang mengandung titik. Paparan dermal dapat terjadi melalui kontak kulit dengan kimia dalam media yang berbeda. Gambar 2.1 mengilustrasikan paparan daerah tangan, selama satu acara paparan, untuk contohnya pestisida DDT Astra Honda Motor sebagai (agen atau stressor) yang dilakukan media udara, air, dan tanah. Beberapa poin yang terkena molekul DDT dalam matriks tanah. Permukaan paparan dipilih di sini Paparan Dermal adalah kontak antara agen dan permukaan kulit luar (permukaan exposure) dari target (misalnya manusia). Sebuah titik pada permukaan kulit dianggap terkena jika massa kimia hadir dalam volume kontak yang mengandung titik. Paparan dermal dapat terjadi melalui kontak kulit dengan kimia dalam media yang berbeda. Gambar 2.1 mengilustrasikan paparan daerah tangan, selama satu acara paparan, untuk contohnya pestisida DDT Astra Honda Motor sebagai (agen atau stressor) yang dilakukan media udara, air, dan tanah. Beberapa poin yang terkena molekul DDT dalam matriks tanah. Permukaan paparan dipilih di sini
Gambar 2.1 Paparan Dermal pada Berbagai Media (Zartarian, 1996 dalam IPCS
Untuk SO 2 sendiri, pajanan dari 10 sampai 20 ppm menyebabkan iritasi pada selaput lendir. Kontak langsung dengan kompresi gas atau SO 2
cair dapat menghasilkan kerusakan kornea yang parah dan luka radang dingin ( frostbite ) pada kulit. Namun, tidak ada data yang lengkap mengenai pajanan pada penyerapan kulit.
2.1.5.3 Ingesti
Menelan SO 2 sangat dimungkinkan karena SO 2 merupakan gas yang terdapat pada suhu kamar. SO 2 digunakan dalam jumlah kecil sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet anggur. Penderita asma bisa sangat sensitif mengembangkan bronkospasmenya setelah mengonsumsi
makanan atau minum anggur yang diawetkan dengan SO 2 atau bahan pengawet sulfur lainnya.
Konsentrasi
Sumber Polutan SO 2 :
Polutan SO 2
Alamiah Dampak Kesehatan :
Saluran Pernafasan mengandung
Batuan yang
Terpapar SO 2 :
pembusukan bahan
Edema Paru organic oleh mikroba
Inhalasi
yang
Sakit Tenggorokan dan reduksi
secara biologis)
(Mulut)
Sesak Napas Antropogenik
manusia
Obstruksi Jalan (Transportasi,
Napas industri, pembangkit
Target Organ :
Mual-mual tenaga listrik yang
Saluran Pencernaan (Lambung)
Bagan 2.1 Jalur Pajanan Polutan SO 2 ke Manusia
2.2 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
2.2.1 Paradigma Penilaian risiko
Paradigma penilaian risiko yang diterima secara luas meliputi langkah-langkah identifikasi bahaya, penilaian dosis-respons, penilaian paparan dan karakterisasi risiko (NRC, 1983). Menggunakan biomarker untuk mengukur eksposur dapat berkontribusi dalam berbagai langkah, yaitu, penentuan apakah agen mungkin menimbulkan ancaman bagi
kesehatan manusia, ada kebutuhan untuk menghubungkan paparan dengan hasil yang merugikan. Mengingat efek yang berbeda pada eksposur yang berbeda, ada kebutuhan untuk memahami efek khusus dari eksposur berbeda, terutama di tingkat bawah paparan. Kemudian, dalam tahap penilaian eksposur tingkat eksposur sangat tergantung pada agen dan lingkungan dan dibangun di atas spesifik model sumber-jalan-receiver digunakan selama identifikasi bahaya. Model sumber-jalan-receiver adalah pendekatan umum untuk menghubungkan sumber bahan kimia, jalur gerakan di lingkungan, dan rute paparan berbagai reseptor, dalam kasus penilaian risiko individu atau kelompok individu (Nelson 1997). Isu-isu kritis dalam penilaian paparan meliputi karakterisasi besarnya, frekuensi, durasi paparan, dasar untuk penilaian, dan identifikasi sub kelompok yang sangat terbuka. Karakterisasi Risiko memerlukan pertimbangan asumsi dan model yang digunakan, dan ketidakpastian petugas yang digunakan dalam mengembangkan perkiraan risiko. Perkiraan ini kemudian menjadi dasar untuk pilihan yang akan dipilih pada tahap manajemen risiko (Schulte & Waters, 1999).
Estimasi kuantitatif risiko kesehatan tergantung pada kedua karakterisasi paparan dan sifat hubungan dosis-respons atau toksisitas dari agen yang terlibat. Ketidakpastian terbesar dalam penilaian risiko hampir selalu muncul dari data jarang atau tidak memadai paparan, kurangnya pemahaman mekanisme toksisitas, dan kurang memahami jalur paparan dosis-respons (Becking, 1995; McClellan, 1995). Dua faktor tambahan dapat menyebabkan ketidakpastian dalam ketetapan risiko. Ini termasuk Estimasi kuantitatif risiko kesehatan tergantung pada kedua karakterisasi paparan dan sifat hubungan dosis-respons atau toksisitas dari agen yang terlibat. Ketidakpastian terbesar dalam penilaian risiko hampir selalu muncul dari data jarang atau tidak memadai paparan, kurangnya pemahaman mekanisme toksisitas, dan kurang memahami jalur paparan dosis-respons (Becking, 1995; McClellan, 1995). Dua faktor tambahan dapat menyebabkan ketidakpastian dalam ketetapan risiko. Ini termasuk
Penelitian
Risk Assesment
Pengelolaan Risiko
Laboratorium
Identifikasi Bahaya
Lapangan
Pengembangan
opsi regulasi Tempat Kerja
Klinik Agen risiko (fisik, kimia,
biologi) apa saja yang
Epidemiologi
dianggap berbahaya
Mekanisme
toksisitas Response/Karakteristik
Analisis Dose-
Karakterisasi
Pengembangan Pertimbangan
Bahaya
Risiko
metode dan ekonomi, social,
politik dan Dosis ekstrapolasi
validasi Bagaimana kejadian
Bagaimana
tersebut dikaitkan
dengan teknologi dan spesies efek kritis??
efeknya pada
populasi??
Observasi dan
Analisis Pajanan
pengukuran
Tujuan Model riwayat
lapangan
Siapa akan terpajan
Keputusan dan dan perjalanan
oleh apa,
(agen risiko) di
Aksi lingkungan
kapan,dimana, berapa
lama, dan melalui jalur
pajanan yana mana??
Bagan 2.2 Paradigma Untuk Penelitian/Penilian Risiko/Manajemen Risiko (NAS/NRC, 1983 dalam Kemenkes 2012)
Ada ambiguitas dalam penilaian terminologi risiko yang harus diidentifikasi. Misalnya, pertimbangan paparan akan terjadi di dua tempat dalam model penilaian risiko. Pada tahap identifikasi bahaya, paparan adalah komponen dari penelitian yang mendasari. Hal ini berbeda dari tahap penilaian risiko, di mana tingkat paparan dari penduduk (yang berisiko sedang ditandai) dengan bahaya yang diidentifikasi ditentukan.
Dalam arti yang sama, pertimbangan dosis-respons muncul di dua tempat. Salah satu kriteria bahaya adalah temuan dari hubungan dosis-respons dalam studi komponen. Selain itu dalam tahap dosis-respons penilaian risiko, tujuannya adalah untuk memastikan apakah ada hubungan dosis- respons dalam semua data yang tersedia, mengidentifikasi bentuk kurva dan memproyeksikan paparan atau tingkat dosis, di mana efek kesehatan yang dikurangi atau diyakini absen. Akhirnya, konsep kerentanan dapat beraksi throughtout model penilaian risiko. Dalam identifikasi bahaya gen- lingkungan interaksi atau efek modifikasi dapat dinilai, dan juga dalam dosis-respons tahap kepekaan dapat diperhitungkan. Akhirnya, pada tahap karakterisasi risiko, proyeksi risiko yang berbeda dapat ditentukan untuk berbagai subkelompok populasi diidentifikasi oleh faktor kerentanan.
Analisis Risiko merupakan sebuah proses untuk mengendalikan situasi atau keadaan dimana organisme, sistem, atau sub/populasi mungkin terpajan bahaya. Proses risk analysis meliputi 3 komponen yaitu penilaian risiko, pengelolaan risiko, dan komunikasi risiko. ARKL merupakan sebuah proses yang dimaksudkan untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada kesehatan manusia, termasuk juga identifikasi terhadap keberadaan faktor ketidapastian, penelusuran pada pajanan tertentu, memperhitungkan karakteristik yang melekat pada agen yang menjadi perhatian dan karakteristik dari sasaran spesifik (IPCS, 2004 dalam Besmanto dkk )
Ciri ARKL dimana pajanan agen risiko yang diterima setiap individu dinyatakan sebagai intake atau asupan. Studi epidemiologi umumnya tidak Ciri ARKL dimana pajanan agen risiko yang diterima setiap individu dinyatakan sebagai intake atau asupan. Studi epidemiologi umumnya tidak
ARKL tidak dimaksudkan untuk mencari indikasi, menguji hubungan atau pengaruh dampak lingkungan terhadap kesehatan (kejadian penyakit yang berbasis lingkungan), melainkan untuk menghitung atau menaksir risiko yang telah, sedang dan akan terjadi, besaran risiko pada ARKL dinyatakan sebagai RQ ( Risk Quotient ) untuk nonkarsinogenik dan ECR ( Excess Cancer Risk ) untuk karsinogenik serta kualitas risiko nonkarsinogenik dan karsinogenik digunakan untuk merumuskan pengelolaan dan komunikasi risiko secara spesifik, pada ARKL menawarkan pengelolaan risiko secara kuantitatif seperti penetapan baku mutu dan reduksi konsentrasi (Rahman, 2007).
2.2.2 Karakteristik EKL dan ARKL
ARKL masih jarang digunakan dalam kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat. Kebanyakan analisis dilakukan secara konservatif dengan studi epidemiologi. Memang, selama berabad-abad studi epidemiologi telah menjadi metoda investigasi penyakit infeksi di masyarakat (WHO 1983). Boleh jadi sebagian akademisi dan praktisi kesehatan masyarakat berpendapat bahwa epidemiologi merupakan satu- satunya metoda kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan. Oleh karena ARKL masih jarang digunakan dalam kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat. Kebanyakan analisis dilakukan secara konservatif dengan studi epidemiologi. Memang, selama berabad-abad studi epidemiologi telah menjadi metoda investigasi penyakit infeksi di masyarakat (WHO 1983). Boleh jadi sebagian akademisi dan praktisi kesehatan masyarakat berpendapat bahwa epidemiologi merupakan satu- satunya metoda kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan. Oleh karena
1. Dalam ARKL, pajanan risk agent yang diterima setiap individu dinyatakan sebagai intake atau asupan. Studi epidemiologi umumnya tidak (perlu) memperhitungkan asupan individual ini.
2. Dalam ARKL, perhitungan asupan membutuhkan konsentrasi risk agent di dalam media lingkungan tertentu, karakteristik antropometri (seperti berat badan dan laju inhalasi atau pola konsumsi) dan pola aktivitas waktu kontak dengan risk agent . Dalam EKL konsentrasi dibutuhkan tetapi karakteristik antropometri dan pola aktivitas individu bukan determinan utama dalam menetapkan besaran risiko.
3. Dalam ARKL, risiko kesehatan oleh pajanan setiap risk agent dibedakan atas efek karsinogenik dan efek nonkarsinogenik, dengan perhitungan yang berbeda. Dalam EKL, teknik analisis efek kanker dan nonkanker pada dasarnya adalah sama.
4. Dalam EKL, efek kesehatan (kanker dan nonkanker) yang ditentukan dengan berbagai pernyataan risiko (seperti odd ratio , relative risk atau standardized mortality ration ) didapat dari populasi yang dipelajari. ARKL tidak dimaksudkan untuk mencari indikasi, menguji hubungan atau pengaruh dampak lingkungan terhadap kesehatan (kejadian penyakit yang berbasis lingkungan), melainkan untuk menghitung atau menaksir risiko yang telah, sedang dan akan terjadi. Efek tersebut, yang dinyatakan 4. Dalam EKL, efek kesehatan (kanker dan nonkanker) yang ditentukan dengan berbagai pernyataan risiko (seperti odd ratio , relative risk atau standardized mortality ration ) didapat dari populasi yang dipelajari. ARKL tidak dimaksudkan untuk mencari indikasi, menguji hubungan atau pengaruh dampak lingkungan terhadap kesehatan (kejadian penyakit yang berbasis lingkungan), melainkan untuk menghitung atau menaksir risiko yang telah, sedang dan akan terjadi. Efek tersebut, yang dinyatakan
5. Dalam ARKL, besaran risiko (dinyatakan sebagai RQ untuk nonkarsinogenik dan ECR untuk karsinogenik) tidak dibaca sebagai kelipatan risiko melainkan sebagai besaran probalitias. Jadi misalnya, RQ = 2 tidak sama dengan OR = 2.
6. Kuantitas risiko nonkarsinogenik dan karsinogenik digunakan untuk merumuskan pengelolaan dan komunikasi risiko secara lebih spesifik. ARKL menawarkan pengelolaan risiko secara kuantitatif seperti penetapan baku mutu dan reduksi konsentrasi. Pengelolaan dan komunikasi risiko bukan bagian integral studi EKL dan jika ada, hanya relevan untuk populasi yang dipelajari.
Bagan 2.3 Ilustrasi logika pengambilan keputusan untuk menentukan tipe studi
mana yang dapat dilakukan dalam mempelajari efek lingkungan terhadap kesehatan manusia (ATSDR, 1996 dalam Rahman, 2007)
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya tadi, analisis risiko terbagi menjadi empat langkah yaitu (1) identifikasi bahaya ( hazard identification ), (2) analisis dosis-respon (dose-response assessment), (3) analisis pemajanan ( exposure assessment ) dan (4) karakteristik risiko ( risk characterization ) seperti digambarkan dalam bagan 2.4 (Louver and Lovar 1998 dalam Rahman 2007). Risk analysis menggunakan sains, teknik, probabilitas dan statistik untuk memprakirakan dan menilai besaran dan kemungkinan risiko kesehatan dan lingkungan yang akan terjadi sehingga semua pihak yang peduli mengetahui cara mengendalikan dan mengurangi risiko tersebut.
Bagan 2.4 Ruang lingkup langkah-langkah analisis risiko. Penilaian risiko hanya pada bagian di dalam kotak garis putus-putus. (Louvar-Louvar 1998 hal.5 dalam
Rahman 2007)
2.2.3 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama dalam ARKL yang digunakan untuk mengetahui secara spesifik agen risiko apa yang berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan bila tubuh terpajan. Sebagai pelengkap dalam identifikasi bahaya dapat ditambahkan gejala – gejala gangguan kesehatan apa yang terkait erat dengan agen risiko yang akan dianalisis. Tahapan ini harus menjawab
pertanyaan agen risiko spesifik apa yang berbahaya, di media lingkungan
yang mana agen risiko sering ditemukan, seberapa besar kandungan/konsentrasi agen risiko di media lingkungan, gejala kesehatan apa yang potensial. (Kemenkes, 2012)
2.2.4 Penilaian Dosis Respon
Setelah melakukan identifikasi bahaya (agen risiko, konsentrasi dan media lingkungan ), maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dosis- respons yaitu mencari nilai RfD ( Reference Dose untuk jalur ingesti), dan/atau RfC ( Reference Concentration untuk jalur inhalasi), dan/atau CSF ( Cancer Slope Factor ) dari agen risiko yang menjadi fokus ARKL, serta memahami efek apa saja yang mungkin ditimbulkan oleh agen risiko tersebut pada tubuh manusia. Analisis dosis respon ini tidak harus dengan melakukan penelitian percobaan sendiri namun cukup dengan merujuk pada literatur yang tersedia. Langkah analisis dosis respon ini dimaksudkan untuk
a) Mengetahui jalur pajanan ( pathways ) dari suatu agen risiko masuk ke dalam tubuh manusia.
b) Memahami perubahan gejala atau efek kesehatan yang terjadi akibat peningkatan konsentrasi atau dosis agen risiko yang masuk ke dalam tubuh.
c) Mengetahui dosis referensi ( RfD ) atau konsentrasi referensi ( RfC ) atau slope factor ( SF ) dari agen risiko tersebut. Di dalam laporan kajian
ARKL ataupun dokumen yang menggunakan ARKL sebagai cara/metode kajian, analisis dosis – respon perlu dibahas dan dicantumkan. Analisis dosis – respon dipelajari dari berbagai toxicological reviews , jurnal ilmiah, atau artikel terkait lainnya yang merupakan hasil dari penelitian eksperimental.
Di dalam laporan kajian ARKL ataupun dokumen yang menggunakan
ARKL sebagai cara/ metode kajian, analisis dosis – respon perlu dibahas dan dicantumkan. Analisis dosis – respon dipelajari dari berbagai tinjauan toksikologi, jurnal ilmiah, atau artikel terkait lainnya yang merupakan hasil dari penelitian eksperimental. Untuk memudahkan, analisis dosis – respon dapat dipelajari pada situs : www.epa.gov/iris Uraian tentang dosis referensi ( RfD ), konsentrasi referensi ( RfC ), dan slope factor ( SF ) adalah sebagai berikut :
a. Dosis referensi dan konsentrasi yang selanjutnya disebut RfD dan
RfC adalah nilai yang dijadikan referensi untuk nilai yang aman
pada efek non karsinogenik suatu agen risiko, sedangkan SF ( slope factor ) adalah referensi untuk nilai yang aman pada efek
karsinogenik.
b. Nilai RfD , RfC , dan SF merupakan hasil penelitian ( experimental study ) dari berbagai sumber baik yang dilakukan langsung pada
obyek manusia maupun merupakan ekstrapolasi dari hewan
percobaan ke manusia.
c. Untuk mengetahui RfC , RfD , dan SF suatu agen risiko dapat dilihat pada Integrated Risk Information System (IRIS) yang bisa diakses di situs www.epa.gov/iris.
d. Jika tidak ada RfD , RfC , dan SF maka nilai dapat diturunkan dari dosis eksperimental yang lain seperti NOAEL ( No Observed Adverse Effect Level ), LOAEL ( Lowest Observed Adverse Effect Level ), MRL ( Minimum Risk Level ), baku mutu udara ambien pada NAAQS ( National Ambient Air Quality Standard ) dengan catatan d. Jika tidak ada RfD , RfC , dan SF maka nilai dapat diturunkan dari dosis eksperimental yang lain seperti NOAEL ( No Observed Adverse Effect Level ), LOAEL ( Lowest Observed Adverse Effect Level ), MRL ( Minimum Risk Level ), baku mutu udara ambien pada NAAQS ( National Ambient Air Quality Standard ) dengan catatan
jelas ( Wb , t E , f E , dan Dt ).
Satuan dosis referensi ( RfD ) dinyatakan sebagai milligram (mg) zat per kilogram (kg) berat badan per hari, disingkat mg/kg/hari. Dalam literatur terkadang ditulis mg/kgxhari, mg/kg/hari, dan mg/kg-hari. Satuan konsentrasi referensi ( RfC ) dinyatakan sebagai milligram (mg) zat
3 per meter kubik (m 3 ) udara, disingkat mg/m . Konsentrasi referensi ini dinormalisasikan menjadi satuan mg/kg/hari dengan ara memasukkan laju
inhalasi dan berat badan yang bersangkutan.
Tabel 2.4
Contoh RfC beberapa agen risiko atau spesi kimia jalur inhalasi No Agent Dosis Respon
Efek Kritis dan Referensi Kenaikan keparahan ninitis dan pneumonia dengan
1 NH 3 2,86E-2
lesi pernafasan pada uji hayati tikus subkronik (Broderson et al 1976)
Lesi nasal lender olfaktori pada uji hayati tikus
5,71E-4
subkronik (Brenneman et al 2000) Perubahan tingkat enzim an perkembangan
3 Pb
4,93E-4
neurobehavioral anak-anak (IRIS 2006)
4 NO 2 2E-2
Gangguan saluran pernafasan (EPA/NAAQS 1990)
5 SO 2 0,21
Gangguan saluran pernafasan (EPA/NAAQS 2010)
6 TSP
Gangguan saluran pernafasan (EPA/NAAQS 1990)
Sumber: (Rahman, 2007) (EPA, 2010)
2.2.5 Analisis Pemajanan
Setelah melakukan langkah 1 dan 2, selanjutnya dilakukan Analisis pemajanan yaitu dengan mengukur atau menghitung intake / asupan dari agen risiko. Untuk menghitung intake digunakan persamaan atau rumus yang berbeda. Data yang digunakan untuk melakukan perhitungan dapat berupa data primer (hasil pengukuran konsentrasi agen risiko pada media lingkungan yang dilakukan sendiri) atau data sekunder (pengukuran konsentrasi agen risiko pada media lingkungan yang dilakukan oleh pihak lain yang dipercaya seperti BLH, Dinas Kesehatan, LSM, dll), dan asumsi yang didasarkan pertimbangan yang logis atau menggunakan nilai default yang tersedia. Data yang digunakan untuk melakukan perhitungan intake yaitu:
1. Konsentrasi agen risiko
2. Laju asupan atau banyaknya volume udara yang masuk setiap jamnya. Oleh karena laju asupan berhubungan dengan berat badan, berdasarkan data yang tersedia Abrianto (2004) merumuskan hubungan berat badan dengan laju asupan dengan persamaan regresi linier y= 5,3 Ln( x ) – 6,9 . Dengan y
= R (m 3 /hari) dan x =W
b (kg).
3. Lamanya atau jumlah jam terpajan setiap harinya
4. Lamanya atau jumlah hari terpajan setiap tahun
5. Lamanya atau jumlah tahun terjadinya pajanan
6. Berat badan Adapun rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut : Perhitungan intake non karsinogenik ( )
Intake pada jalur pemajanan inhalasi (terhirup)
Keterangan :
Tabel 2.5
Keterangan Perhitungan Intake Non Karsinogenik Pada Jalur Inhalasi
Notasi
Definisi
Satuan
Nilai default
I ( Intake )
Jumlah konsentrasi mg/kg x Tidak ada nilai default agen risiko (mg) yang
hari
masuk ke dalam tubuh
manusia dengan berat badan tertentu (kg) setiap harinya konsentrasi agen risiko
C 3 pada media udara mg/m
Tidak ada nilai default
( Concentration ) (udara ambien)
Dewasa (>13 tahun) : banyaknya volume 3 0,83 m
R Rate
( 3 ) m /jam
udara yang masuk setiap
/jam Laju Asupan jamnya
(Inhalasi)
Anak – anak (6 – 12 tahun) : 0,5 m 3 /jam
t E ( time of
Lamanya atau jumlah
Jam/hari Pajanan pada
exposure )
jam terjadinya pajanan
pemukiman :
setiap harinya
Waktu
24 jam/hari
Pajanan
- Pajanan pada - Pajanan pada
sekolah dasar :
6 jam/hari
f E ( frecuency
Lamanya atau jumlah
Hari/tahu - Pajanan pada
of
hari terjadinya pajanan
pemukiman :
setiap tahunnya
exposure )
350 hari/tahun
Frekuensi
- Pajanan pada
Pajanan
lingkungan kerja : 250 hari/tahun
Dt ( duration
Lamanya atau jumlah
tahun terjadinya pajanan
(pemukiman)
Durasi
/pajanan seumur
Pajanan
hidup : 30 tahun (lifetime)
ataupun secara realtime
Wb ( weight of Berat badan manusia /
Kg
- Dewasa asia /
body )
populasi / kelompok
Indonesia : 55 Kg
Berat Badan
Populasi
Anak – anak : 15 Kg
t avg (non
30 tahun x 365 karsinogenik) rata untuk efek non
Periode waktu rata –
Hari
hari/tahun =
karsinogen
( time average )
10.950 hari
Laju inhalasi dapat diturunkan dari berat badan dengan persamaan logaritmik. Nilai laju inhalasi normal (Abrianto, 2004) , yaitu dengan persamaan y = 5,3 ln(x)-6,9 dengan y = R (m 3 /hari) dan x = Wb (kg). nilai laju inhalasi ini dianggap paling cocok dengan masyarakat Indonesia karena sesuai dengan berat badan masing-masing individu. Sama halnya dengan nilai laju inhalasi (asupan), untuk nilai durasi pajanan, waktu pajanan dan frekuensi pajanan dapat disesuaikan dengan lama tinggal masyarakat di lokasi penelitian sehingga dapat diketahui lama individu sebenarnya (real time) berdiam diri di lokasi penelitian.
2.2.6 Karakteristik Risiko
Langkah ARKL yang terakhir adalah karakterisasi risiko yang dilakukan untuk menetapkan tingkat risiko atau dengan kata lain menentukan apakah agen risiko pada konsentrasi tertentu yang dianalisis pada ARKL berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat (dengan karakteristik seperti berat badan, laju inhalasi/konsumsi, waktu, frekuensi, durasi pajanan yang tertentu) atau tidak. Karakteristik risiko dilakukan dengan membandingkan / membagi intake dengan dosis /konsentrasi agen risiko tersebut. Variabel yang digunakan untuk menghitung tingkat risiko adalah intake (yang didapatkan dari analisis pemajanan) dan dosis referensi ( RfD ) / konsentrasi referensi ( RfC ) yang didapat dari literatur yang ada.
Nilai RQ didapatkan dengan menggunakan rumus
Keterangan :
I : Intake dari hasil perhitungan penilaian pajanan (mg/kg/hari) R f C : Dosis atau konsentrasi referensi secara inhalasi (mg/kg/hari)
Hasil perhitungan RQ akan diketahui :
1. Jika RQ > 1, maka konsetrasi agen berisiko dapat menimbulkan efek merugikan kesehatan
2. Jika RQ ≤ 1, maka konsentrasi agen belum berisiko menimbulkan efek kesehatan
2.2.7 Manajemen Risiko
Berdasarkan hasil dari analisi risiko, dapat dirumuskan beberapa pilihan manajemen risiko untuk meminimalkan RQ dengan memanipulasi nilai faktor-faktor pemajanan yang berada dalam persamaan intake sehingga asupan lebih kecil atau sama dengan dosis referensi toksisitasnya. Pada dasarnya hanya ada dua cara menyamakan intake dengan RfC , yaitu menurunkan konsentrasi risk agent atau mengurangi waktu kontak. Berarti hanya variabel-variabel permasamaan inatake tertentu saja yang bisa diubah-ubah nilainya.
1) Rumus mencari konsentrasi aman
2) Rumus mencari waktu pajanan yang aman
3) Rumus mencari frekuensi pajanan yang aman
Dengan keterangan :
I nk = Intake (mg/kg/hari)
C = Konsentrasi SO 2
R = Laju asupan udara (m 3 /jam) t E = Waktu pajanan harian (jam/hari)
f E = Frekuensi pajanan (hari/tahun) W b = Berat badan responden (kg)
D t = Durasi pajanan ( real time , 30 tahun untuk lifetime ) t avg = Periode waktu rata-rata (30 tahun x 365 hari/tahun untuk zat nonkarsinogenik)
RfC = Konsentrasi referensi (mg/kg/hari) RQ
= Risk Qoutient (besar risiko)
C 3 maks = Konsentrasi agen risiko yang aman (mg/m ) t Emaks = Waktu pajanan yang aman (hari/tahun)
f Emaks = Frekuensi pajanan yang aman (hari/tahun
Faktor Iklim (suhu, kelembaban, Sumber :
kecepatan angin, curah hujan, radiasi Alamiah
matahari)
Kegiatan Manusia Interaksi dengan polutan lain
Peningkatan zat
pencemar SO 2 di
udara
Identifikasi Bahaya
Analisis Pemajanan Analisis Dosis- Respon
Antropometri: NOAEL
Pajanan ke Manusia
Laju Inhalasi /LOAEL Berat Badan
Pola Aktivitas Waktu Pajanan
Frekuensi Pajanan
Penelitian
RfC
Durasi Pajanan
Epidemiologi
Periode Waktu
atau hewan
Rata-rata Harian Karakterisasi Risiko
Manajemen Risiko
Bagan 2.5 Alur Kerja ARKL
2.3 Paradigma Kesehatan Lingkungan
Patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan ke dalam suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan hubungan interaksi antara kompnen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia. Hubungan interaktif tersebut pada hakikatnya adalah paradigm kesehatan lingkungan.
Dengan mempelajari patogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada titik mana atau simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa memahami patogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan, sulit melakukan pencegahan.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk dikenal berakar pada budaya. Perilaku penduduk yang merupakan salah satu representasi budaya merupakan salah satu variabel kependudukan. Variabel kependudukan lain seperti kepadatan, umur, gender, pendidikan, genetik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya hanya dipengaruhi oleh variabel-variabel lingkungan. Dengan kata lain pula, gangguan kesehatan merupakan resultant dari hubungan interaktif antara lingkungan dan variabel kependudukan
Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul pada gambar 2.3. Dengan mengacu kepada gambaran skematik tersebut di atas, maka patogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori simpul pada gambar 2.3. Dengan mengacu kepada gambaran skematik tersebut di atas, maka patogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat
Gambar 2.2 Paradigma Kesehatan Lingkungan (Teori Simpul) (Achmadi,2012)
sedangkan simpul 4, penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi atau exposure dengan komponen lingkunganyang mengandung agen penyakit. Sedangkan simpul ke-5 adalah semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut. Sebagai contoh adalah iklim, kebijakan, topografi, dan suhu lingkungan. Titik-titik simpul tersebut pada dasarnya menuntun kita sebagai simpul pencegahan atau simpul manajemen. Untuk mencegah penyakit tertentu tidak perlu menunggu hingga simpul 4 terjadi. Dengan sedangkan simpul 4, penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi atau exposure dengan komponen lingkunganyang mengandung agen penyakit. Sedangkan simpul ke-5 adalah semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap keempat simpul tersebut. Sebagai contoh adalah iklim, kebijakan, topografi, dan suhu lingkungan. Titik-titik simpul tersebut pada dasarnya menuntun kita sebagai simpul pencegahan atau simpul manajemen. Untuk mencegah penyakit tertentu tidak perlu menunggu hingga simpul 4 terjadi. Dengan
2.4 Kerangka Teori
Berdasarkan teori, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi risiko pajanan SO 2 pada populasi berisiko, yaitu konsentrasi SO 2 di lingkungan, karakteristik antropometri (laju inhalasi, berat badan), pola aktivitas (waktu pajanan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, periode waktu
rata-rata harian), dan konsentrasi rujukan (RfC). Konsentrasi SO 2 dipengaruhi oleh sumber pencemar, faktor iklim dan interaksi dengan polutan lain. Konsentrasi rujukan (RfC) didapat berdasarkan hasil penelitian penelitian epidemiologi atau perhitungan besar kecil toksisitas kronik objek kajian (NOAEL dan LOAEL). Data karakteristik antropometri dan pola aktivitas dapat diperoleh dari hasil survey, hasil penelitian sebelumnya, rujukan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penelitian pemerintah, atau nilai internasional ( default ).
Manajemen Risiko Sumber Polutan SO 2
dan Alamiah (Gunung
pembusukan bahan
Udara