BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Earnings Response Coeffisient Earnings Response Coefficient ERC adalah ukuran besaran abnormal return
suatu saham sebagai respon terhadap komponen laba abnormal unexpected earnings yang dilaporkan oleh perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut Scott, 2003.
ERC berguna dalam analisis fundamental oleh investor, dalam model penilaian untuk menentukan reaksi pasar atas informasi laba perusahaan perusahaan. ERC merupakan
koefisien yang diperoleh dari regresi antara proksi harga saham dan laba akuntansi .
Proksi harga saham yang digunakan adalah cummulative abnormal return CAR, sedangkan proksi laba akuntansi adalah unexpected earning UEChaney dan Jeter,
1991. Regresi model tersebut akan menghasilkan ERC untuk masing-masing sampel yang akan digunakan untuk analisis berikutnya.
ERC merupakan pengaruh laba abnormal unexpected earnings terhadap CAR, yang ditunjukkan melalui slope coeficient dalam regresi abnormal return
saham dengan unexpected earnings Scott, 2003. Hal ini menunjukkan bahwa ERC adalah reaksi CAR terhadap laba yang diumumkan oleh perusahaan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan respon pasar yang berbeda-beda terhadap laba yaitu persistensi laba, beta, struktur permodalan perusahaan, kualitas
laba, growth opportunities, dan ukuran perusahaan Scott, 2003. Nilai Earnings
Universitas Sumatera Utara
Response Coeffisiens diprediksi lebih tinggi jika laba perusahaan lebih persisitensi di masa depan. Demikian juga jika kualitas laba semakin baik, maka diprediksi nilai
ERC akan semakin tinggi. Beta mencerminkan risiko sistematis. Investor akan menilai laba sekarang untuk memprediksi laba dan return dimasa yang akan datang.
Jika future return tersebut semakin berisiko, maka reaksi investor terhadap unexpected earnings perusahaan juga semakin rendah Scott, 2003.
Laba memiliki kandungan informasi yang tercermin dalam harga saham Easton dan Harris, 1991 dalam Hidayati dan Murni, 2009. Penelitian ini
membuktikan bahwa laba memiliki nilai relevan yang diketahui dari pengaruhnya terhadap reaksi pasar yang digambarkan dalam harga saham. Perubahan harga saham
bergerak sesuai dengan kepercayaan investor, sejalan dengan Eficiency Market Theory yang menyatakan bahwa pasar akan bereaksi cepat terhadap informasi yang
baru, sehingga sesaat sebelum dan sesudah laporan keuangan dikeluarkan, informasi mengenai angka laba yang dipublikasikan akan memengaruhi tingkah laku investor.
Peningkatan laba abnormal unexpected earnings diikuti oleh return abnormal positif dan penurunan laba abnormal diikuti oleh tingkat return abnormal negatif
Ball dan Brown, 1968. Hasil ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pengumuman laba perusahaan dengan perubahan harga saham.
Seberapa jauh respon pasar terhadap informasi laba dikenal dengan penelitian ERC. Asumsi yang mendasari penelitian ERC adalah bahwa investor merespon
secara berbeda terhadap informasi laba akuntansi sesuai dengan kredibilitas atau kualitas informasi laba akuntansi tersebut Syafrudin, 2004. Menurut Suwardjono
Universitas Sumatera Utara
2005, reaksi pasar ditunjukkan dengan return saham perusahaan tertentu yang cukup mencolok pada saat pengumuman laba adanya perubahan harga pasar. Maksud
dari mencolok adalah perbedaan yang cukup besar antara return realisasi dengan return ekspektasi yang disebut sebagai return abnormal.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa respon pasar terhadap laba di masing- masing perusahaan dapat bervariasi dan tidak konstan. Beberapa peneliti yang
memiliki pendapat tersebut adalah Easton dan Zmijweski 1989 ; Collins dan Khotari 1989. Pihak lain mengatakan bahwa Earnings Response Coefficient relatif
tidak berubah dan tetap, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh; Kormendi dan Lipe 1987.
2.1.2. Persistensi Laba
Persistensi laba merupakan suatu ukuran yang menjelaskan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan jumlah laba yang diperoleh saat ini sampai masa
mendatang. Persistensi laba sering digunakan sebagai pertimbangan kualitas laba karena persistensi laba merupakan komponen dari karakteristik kualitatif relevansi
yaitu predictive value Jonas dan Blanchet, 2000. Penman 2000 menyatakan bahwa persistensi laba adalah revisi dalam laba akuntansi yang diharapkan di masa
mendatang expected future earnings yang tercermin pada laba tahun berjalan current earnings.
Menurut Meythi 2006 persistensi laba adalah properti laba yang menjelaskan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan laba yang diperoleh
Universitas Sumatera Utara
saat ini sampai masa mendatang. Persistensi laba sering kali dikategorikan sebagai salah satu pengukuran kualitas laba karena persistensi laba mengandung unsur
predictive value sehingga dapat digunakan oleh pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi kejadian-kejadian di masa lalu, sekarang dan masa depan. Predictive
Value adalah salah satu komponen relevansi selain feedbackvalue dan timeliness. Inovasi terhadap laba sekarang informatif terhadap laba masa depan
ekspektasian, yaitu manfaat masa depan yang diperoleh pemegang saham Wijayanti, 2003. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Lipe 1990 dan Sloan 1996
menggunakan koefisien dari regresi antara laba akuntansi periode sekarang dengan periode yang akan datang sebagai proksi persistensi laba, jika koefisien variabelnya
semakin kecil. Scott 2003 menyatakan bahwa persistensi laba adalah revisi laba yang
diharapkan dimasa mendatang expected future earnings yang diimplikasikan oleh inovasi laba tahun berjalan sehingga persistensi laba dapat dilihat dari inovasi laba
tahun berjalan yang dihubungkan dengan perubahan harga saham. 2.1.3. Struktur Modal
Modal menjadi salah satu aspek penting dalam perusahaan karena baik dalam pembukaan bisnis maupun pengembangannya, modal sangatlah diperlukan. Oleh
sebab itu perusahaan harus menentukan seberapa banyak modal yang diperlukan untuk membiayai bisnisnya. Sumber dana bagi perusahaan dapat diperoleh dari dalam
maupun dari luar perusahaan. Dana dari dalam perusahaan, yaitu melalui laba ditahan
Universitas Sumatera Utara
dan depresiasi, sedangkan dana dari luar perusahaan berasal dari para kreditur dan dana dari peserta yang mengambil bagian dari perusahaan yang akan menjadi modal
sendiri. Keputusan pendanaan atau keputusan atas struktur modal merupakan suatu
keputusan keuangan yang berkaitan dengan komposisi utang, saham preferen dan saham biasa yang harus digunakan oleh perusahaan. Keputusan struktur modal
secara langsung berpengaruh terhadap besarnya resiko yang ditanggung oleh pemegang saham beserta besarnya tingkat pengembalian atau tingkat keuntungan
yang diharapkan Brigham dan Houston, 2001. Keputusan struktur modal tidak saja berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan, tetapi juga berpengaruh terhadap
risiko keuangan yang dihadapi perusahaan. Risiko keuangan tersebut meliputi kemungkinan ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya dan
kemungkinan tidak tercapainya tingkat laba yang ditargetkan perusahaan. Apabila perusahaan melakukan pinjaman kepada pihak di luar perusahaan
maka akan timbul utang sebagai konsekuensi dari pinjamannya tersebut dan berarti perusahaan telah melakukan financial leverage. Semakin besar utang maka financial
leverage juga akan semakin besar. Berarti resiko yang dihadapi perusahaan akan semakin besar karena utangnya tersebut. Pembiayaan dengan utang atau leverage
keuangan memiliki tiga implikasi penting, yaitu: 1.
Memperoleh dana melalui utang membuat pemegang saham dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi yang terbatas.
Universitas Sumatera Utara
2. Kreditur melihat ekuitas atau dana yang di setor pemilik untuk memberikan marjin
penganggaran, sehingga jika pemegang saham hanya memberikan sebagian kecil dari total pembiayaan, maka risiko perusahaan sebagian besar ada pada kreditur.
3. Jika perusahaan memperoleh pengembalian yang lebih besar atas investasi yang
dibiayai dengan dana pinjaman di banding pembayaran bunga, maka pengembalian atas modal pemilik akan lebih besar atau leverage.
Financial levarage dianggap menguntungkan apabila laba yang di peroleh lebih besar dari pada beban tetap yang timbul akibat penggunaan utang tersebut. Financial
leverage di anggap merugikan apabila laba yang diperoleh lebih kecil dari pada beban tetap yang timbul akibat penggunaan utangnya tersebut.
Ghosh, et.all 2000, mendefinisikan struktur modal sebagai perbandingan antara hutang perusahaan total debt dan total aktiva total asset. Perbandingan ini
dilihat dengan bagaimana distribusi aktiva perusahaan terhadap total kewajiban perusahaan.
Beberapa teori yang terkait dengan dengan struktur modal, yaitu : 1.
Agency Theory Teori ini dikemukakan oleh Jansen dan Meckling 1976, manajemen
merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan
pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan
Universitas Sumatera Utara
yang dapat diambil manajemen. Kegiatan pengawasan tentu saja membutuhkan biaya yang disebut dengan biaya agensi.
Biaya agensi menurut Horne dan Wachowicz 1998 dalam Saidi, 2001 adalah
biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual
perusahaan dengan kreditor dan pemegang saham. Menurut Horne dan Wachowicz 1998, dalam Saidi, 2001, salah satu pendapat dalam teori agensi adalah siapapun
yang menimbulkan biaya pengawasan, biaya yang timbul pasti tanggungan pemegang saham. Sebagai misal, pemegang obligasi, mengantisipasi biaya pengawasan, serta
membebankan bunga yang lebih tinggi. Semakin besar peluang timbulnya pengawasan, semakin tinggi tingkat bunga, dan semakin rendah nilai perusahaan bagi
pemegang saham. Biaya pengawasan berfungsi sebagai insentif dalam penerbitan obligasi, terutama dalam jumlah yang besar. Jumlah pengawasan yang diminta
pemegang obligasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah obligasi yang beredar.
2. Signaling Theory
Signal atau isyarat adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang
prospek perusahaan Brigham dan Houston,2001. Menurut Brigham dan Houston 2001, Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari
penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara- cara lain, termasuk penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal yang
Universitas Sumatera Utara
normal. Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan
umumnya merupakan suatu isyarat signal bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham
baru lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat
menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah. 3.
Pecking Order Theory Penamaan Pecking Order Theory dilakukan oleh Myers 1984 Teori ini
menyatakan bahwa ada semacam tata urutan pecking order bagi perusahaan dalam menggunakan modal. Teori tersebut juga menjelaskan bahwa perusahaan lebih
mengutamakan pendanaan ekuitas internal menggunakan laba yang ditahan daripada pendanaan ekuitas eksternal menerbitkan saham baru.
4. Trade Off Theory
Trade off theory oleh Modigliani dan Miller 1963, menyatakan bahwa suatu perusahaan memiliki tingkat hutang yang optimal dan berusaha untuk menyesuaikan
tingkat hutang aktualnya ke arah titik optimal, ketika perusahaan tersebut berada pada tingkat hutang yang terlalu tinggi overlevered atau terlalu rendah underlevered.
Pada kondisi yang stabil, perusahaan akan menyesuaikan tingkat hutangnya kepada tingkat rata-rata hutangnya dalam jangka panjang. Karena itu, teori ini disebut juga
mean-reverting theory.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Risiko Sistematik Risiko keseluruhan total risk dari pemilikan suatu saham terdiri dari dua
bagian yaitu risiko yang sistematik dan risiko yang tidak sistematik. Risiko sistematik merupakan risiko yang keseluruhan di pasar dan tidak bisa dihilangkan
dengan diversifikasi investasi pada berbagai jenis saham. Apabila risiko sistematik muncul dan terjadi, maka semua jenis saham akan terkena dampaknya sehingga
investasi dalam 1 jenis saham atau lebih tidak dapat mengurangi kerugian. Contoh risiko sistematik adalah kenaikan inflasi yang tajam, kenaikan tingkat bunga, dan
siklus ekonomi Samsul, 2006. Sedangkan risiko yang tidak sistematik merupakan risiko yang dapat dihilangkan dengan diversifikasi. Karena risiko ini untuk suatu
perusahaan, yaitu hal yang buruk terjadi dalam suatu perusahaan dapat diimbangi dengan hal baik yang terjadi di perusahaan lain, misal perusahaan pesaing, perubahan
teknologi bagian produksi, pemogokan buruh dan sebagainya. Return dan risiko mempunyai hubungan yang positif, semakin besar risiko
yang harus ditanggung, semakin besar return yang dikompensasikan Hartono, 2003. Kepekaan tingkat keuntungan yang saham terhadap perubahan pasar disebut dengan
beta saham. Menurut Hartono 2003 beta merupakan ukuran volatilities return saham terhadap return pasar. Volatilitas dapat diartikan sebagai fluktuasi dari return-
return suatu sekuritas atau portofolio dalam suatu periode dari waktu ke waktu. Semakin besar fluktuasi return saham terhadap return pasar maka semakin besar pula
beta saham tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil fluktuasi return saham terhadap return pasar, semakin kecil pula beta saham tersebut suatu investasi
Universitas Sumatera Utara
mempunyai risiko berarti bahwa investasi tersebut tidak akan memberikan keuntungan yang pasti. Investor tidak akan tahu dengan pasti hasil yang akan
diperoleh dari investasi yang dilakukanya. Dalam keadaan itu investor hanya mengharapkan untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu. Dalam pembuatan
keputusan investasi, investor memerlukan ukuran risiko sistematik yang akurat dan tidak bias. Hal ini sangat penting bagi investor, sebagai dasar untuk memperkirakan
besarnya risiko maupun return investasi dimasa depan. Oleh karena itu, secara implisit dapat dikatakan bawa beta saham merupakan
parameter kondisi keuangan suatu perusahaan, apakah perusahaan itu sehat ataukah perusahaan itu mendekati kegagalan bursa delisting. Karena jika emiten di-delist
dari bursa maka investor merupakan pihak yang paling dirugikan. Investor akan menanggung risiko jika menyusun portofolio investasinya melibatkan saham yang
berpotensi gagal, sebab investor tidak dapat lagi memperjualbelikan sahamnya. Dengan kata lain akan timbul kerugian akibat salah investasi. Jadi selain
memperhatikan return yang tinggi, investor juga harus memperhatikan tingkat risiko yang harus ditanggung.
2.1.5. Kesempatan Bertumbuh Kesempatan bertumbuh menjelaskan prospek pertumbuhan perusahaan di
masa depan. Penilaian pasar investorpemegang saham terhadap kemungkinan bertumbuh suatu perusahaan nampak dari harga saham yang terbentuk sebagai suatu
nilai ekspektasi terhadap manfaat masa depan yang akan diperolehnya. Pemegang
Universitas Sumatera Utara
saham akan memberi respon yang lebih besar kepada perusahaan dengan kemungkinan bertumbuh yang tinggi. Hal ini terjadi karena perusahaan yang
mempunyai kemungkinan bertumbuh yang tinggi akan memberikan manfaat yang tinggi di masa depan bagi investor.
Penilaian pasar terhadap kemungkinan bertumbuh suatu perusahaan nampak dari harga saham yang terbentuk sebagai suatu nilai ekspektasi terhadap manfaat
masa depan yang akan diperoleh. Pemegang saham akan memberi respon yang lebih besar kepada perusahaan dengan kemungkinan bertumbuh yang tinggi. Hal ini terjadi
karena perusahaan yang mempunyai kemungkinan bertumbuh yang tinggi akan memberi manfaat yang tinggi di masa depan bagi investor Palupi, 2006.
2.1.6. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar
kecilnya perusahaaan menurut berbagai cara antara lain dengan ukuran pendapatan, total aset, dan total modal Brigham dan Houston, 2001. Pada dasarnya ukuran
perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar large firm, perusahaan menengah medium size dan perusahaan kecil small firm. Penentuan
ukuran perusahaan ini didasarkan kepada total asset perusahaan Machfoedz, 1994. Ukuran perusahaan bisa diukur dengan menggunakan total aktiva, penjualan,
atau modal dari perusahaan tersebut. Salah satu tolok ukur yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah ukuran aktiva dari perusahaan tersebut. Perusahaan yang
memiliki total aktiva besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai
Universitas Sumatera Utara
tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan positif dan dianggap memilki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga
mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total asset yang kecil Daniati dan Suhairi, 2003.
Aktiva merupakan tolok ukur besaran atau skala suatu perusahaan. Biasanya perusahaan besar mempunyai aktiva yang besar pula nilainya. Secara teoritis
perusahaan yang lebih besar mempunyai kepastian certainty yang lebih besar daripada perusahaan kecil sehingga akan mengurangi tingkat ketidakpastian
mengenai prospek perusahaan ke depan, hal tersebut membantu investor memprediksi risiko yang mungkin terjadi jika berinvestasi pada perusahaan tersebut Yolana dan
Martini, 2005 Suatu perusahaan yang sudah mapan akan memiliki akses yang mudah
menuju pasar modal, sementara perusahaan baru dan masih kecil akan mengalami banyak kesulitan untuk melakukan akses ke pasar modal. Selain itu, ukuran
perusahaan turut menentukan tingkat kepercayaan investor, semakin besar perusahaan semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan
informasi mengenai perusahaan Hartono, 2003.
2.1.7. Corporate Social Responsibility Corporate Social Responsibility dapat diartikan sebagai komitmen industri
untuk mempertanggung jawabkan dampak operasi dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan serta menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dan lingkungan hidupnya Tanudjaja, 2006. Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan
perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya. Pinasty 2004, menyatakan dari waktu ke waktu semakin banyak tersedia informasi alternatif, selain informasi
akuntansi bagi investor di pasar modal. Informasi tersebut semakin banyak digunakan oleh investor dalam penilaian perusahaan. Dari perspektif ekonomi, perusahaan akan
mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan Verecchia, 1983 dalam Basalamah dan Jermias, 2005. Pengungkapan
informasi CSR diharapkan memberikan informasi tambahan kepada para investor selain dari yang sudah tercakup dalam laporan keuangan..
Pengungkapan tanggung jawab social perusahaan yang sering juga disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting Mathews,
1997 atau corporate social responsibility Hackston dan Milne, 1996 merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi
organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara kesuluruhan. Pengungkapan kinerja corporate social responsibility CSR
melalui pelaporan berkelanjutan kini menjadi penting dan terutama ketika membuat keputusan investasi jangka panjang, dengan melalui pelaporan kinerja corporate
social responsibility CSR tersebut akan tercermin apakah perusahaan telah menjalankan akuntabilitas sosial dan lingkungan secara optimal atau tidak, yang
sekaligus akan terungkap bahwa perusahaan bersangkutan apakah telah melaksanakan best practice, norma-norma usaha yang sehat, inisiatif, consensus dan
Universitas Sumatera Utara
komitmen usaha yang telah sesuai atau tidak dengan peraturan perundang-undangan berlaku. Disamping itu, pihak perusahaan harus bersikap terbuka dan jujur dalam
penyampaian informasi akurat atau pelaporan mengenai program pelaksanaan kepada
corporate social responsibility CSR stakeholders nya.
Beberapa teori berkaitan dengan pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan yang berhubungan dengan aktivitas dan dampak yang ditimbulkan
perusahaan tersebut yaitu : 1.
Agency Theory, yaitu pertanggungjawaban perusahaan yang berorientasi kepada manajemen agen dan pemilik principal.
2. Stakeholders Theory, yaitu Kesuksesan perusahaan tidak hanya terletak pada
kemampuannya dalam membangun hubungan yang baik dengan pemegang saham Shareholder saja, akan tetapi perusahaan juga perlu membangun hubungan baik
dengan individu, masyarakat dan lingkungan sebagai stakeholders dalam pembuatan keputusan Sujatmoko, 2007 dalam Hidayati dan Murni, 2009.
3. Legitimacy Theory, yaitu perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk
melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan
perusahaan Titl, 1994 dalam Sayekti dan Wondabio, 2008. Perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, mengupayakan
sejenis pengakuan atau legitimacy. Perusahaan senantiasa meningkatkan return saham bagi para investor untuk mendapatkan pengakuan dari investor, untuk
mendapatkan pengakuan dari konsumen, perusahaan meningkatkan mutu produk dan
Universitas Sumatera Utara
layanan dan untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat, perusahaan melakukan aktivitas pertanggung jawaban sosial Hidayati dan Murni, 2009. Dengan
menerapkan CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan kekuatan keuangan dalam jangka panjang Kiroyan dalam Sayekty
dan Wondabio, 2008. Pelaksanaan CSR dapat dilihat dari dua perspektif yang berbeda yaitu :
1. Pelaksanaan CSR merupakan praktik bisnis secara sukarela discretionary
business practice, artinya pelaksanaan CSR lebih banyak berasal dari inisiatif perusahaan dan bukan merupakan aktivitas yang dituntut untuk dilakukan
perusahaan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2.
Pelaksanaan CSR bersifat Mandatory sukarela yang sudah diatur oleh undang- undang Solihin, 2009.
Pada tanggal 20 Juli 2007 pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengatur kewajiban perusahaan untuk
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility.
2.1.8. Persistensi laba dan Earning Response Coefficient
Nilai Earnings Response Coeffisiens diprediksi lebih tinggi jika laba perusahaan lebih persisitensi di masa depan. Demikian juga jika kualitas laba
semakin baik, maka diprediksi nilai ERC akan semakin tinggi. Laba akuntansi
dianggap semakin persisten, jika koefisien variasinya semakin kecil. Persistensi laba
Universitas Sumatera Utara
ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan Earnings Response Coefficient. Semakin persisten atau semakin permanen laba perusahaan, maka akan semakin
tinggi Earnings Response Coefficient, hal ini berkaitan dengan kekuatan laba, persistensi laba mencerminkan kualitas laba perusahaan dan menunjukkan bahwa
perusahaan dapat mempertahankan laba dari waktu ke waktu. Menurut Scott 2003 peristensi laba adalah revisi laba yang diharapkan
dimasa mendatang yang diimplikasikan oleh inovasi laba tahun berjalan sehingga persistensi laba dilihat dari inovasi laba tahun berjalan yang dihubungkan dengan
perubahan harga saham. Menurut Pennman 2000 Persistensi laba adalah revisi dalam laba akuntansi yang diharapkan di masa depan expected future earnings yang
diimplikasi oleh laba akuntansi tahun berjalan current earnings. Besarnya revisi ini menunjukkan tingkat persistensi laba. Inovasi terhadap laba sekarang adalah
informatif terhadap laba masa depan ekspektasian, yaitu manfaat masa depan yang diperoleh pemegang saham. Harga saham merupakan nilai sekarang manfaat masa
depan ekspektasian yang diperoleh pemegang saham. Nilai sekarang dari revisi atas laba masa depan dapat memperkirakan nilai sekarang revisi manfaat masa depan
ekspektasiannya, yaitu dalam harga saham Kormendi dan Lipe, 1987. Semakin kecil revisi laba akuntansi masa depan semakin persisten laba akuntansi, semakin kuat
hubungan laba akuntansi dengan abnormal return semakin besar koefisien respon laba.
Penelitian Kormendi dan Lipe 1987 menyimpulkan bahwa earnings response coefficient berkorelasi positif dengan persistensi laba akuntansi. Penelitian
Universitas Sumatera Utara
ini diacu oleh penelitian selanjutnya antara lain oleh Easton dan Zmijewski 1989 dan Collins dan Kothari 1989, dengan hasil yang konsisten dengan Pennman
2000. Berbeda dengan Penelitian yang dilakukan oleh Harahap 2004 menyatakan bahwa persistensi laba tidak berpengaruh terhadap Earnings Response Coefficient.
2.1.9. Struktur Modal dan Earnings Response Coefficient
Struktur modal umumnya di proksi dengan besarnya leverage perusahaan. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi berarti memiliki utang yang lebih
besar dibandingkan modal. Kerugian yang timbulkan dari penggunaan leverage, yaitu:
1. Semakin tinggi debt ratio, semakin berisiko perusahaan, karena semakin tinggi
biaya tetapnya yaitu berupa pembayaran bunga. 2.
Jika sewaktu-waktu perusahaan kesulitan keuangan dan operating income tidak cukup untuk menutup beban bunga, maka akan menyebabkan kebangkrutan
Brigham dan Houston, 2001 Penelitian Dhaliwal, et. al 1991 menunjukkan bahwa earnings response
coefficient berpengaruh negatif dengan tingkat leverage. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi berarti memiliki utang yang lebih besar dibandingkan modal.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Mulyani 2007, yang menyimpulkan bahwa struktur modal berpengaruh terhadap ERC. Namun, hasil berbeda ditemukan
oleh oleh Chandarin 2003, dan Jaswadi 2003 yang menyimpulkan bahwa struktur modal tidak berpengaruh terhadap ERC.
Universitas Sumatera Utara
2.1.10. Risiko Sistematik dan Earnings Response Coefficient Kemampuan investasi pada dasarnya merupakan keputusan yang tidak pasti,
karena menyangkut harapan masa depan yang akan datang berupa imbalan hasil return yang diharapkan, serta risiko yang harus ditanggung investor. Mengingat
bahwa investasi memiliki ketidakpastian yang cukup tinggi, maka investor yang membeli saham pada awal periode tidak mengetahui return yang akan diperoleh
pada akhir periode sehingga investor harus memprediksi return saham yang diharapkan pada akhir periode. Karena sifat investor enggan terhadap risiko risk
averse maka selalu dihadapkan pada permasalahan apakah tingkat keuntungan yang diharapkan pada akhir telah sesuai atau sebanding dengan tingkat risiko yang harus
dipikulnya. Risiko riskness menunjukkan variasi antar perusahaan dan risk-free interest
rate menunjukkan variasi antar waktu. Kedua risiko tersebut menunjukkan variasi antar waktu. Kedua risiko ini dibuktikan secara empiris oleh Collins dan Kothari
1989 berpengaruh negatif signifikan dengan Earnings Response Coefficient.
2.1.11. Kesempatan bertumbuh dan Earnings Response Coefficient Kesempatan bertumbuh yang dihadapi di waktu yang akan datang merupakan
suatu prospek baik yang dapat mendatangkan laba bagi perusahaan. Kesempatan bertumbuh tersebut hanya dapat direalisasi oleh perusahaan melalui kegiatan
investasi. Kegiatan investasi tersebut akan memerlukan biaya yang relatif besar, sehingga berdampak langsung pada kondisi likuiditas perusahaan. Laba suatu
Universitas Sumatera Utara
perusahaan dari tahun ke tahun dapat meningkat atau mengalami penurunan. Peningkatan laba yang stabil dari suatu perusahaan menunjukkan bahwa pertumbuhan
laba perusahaan baik. Demikian juga sebaliknya, penurunan laba dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa pertumbuhan laba perusahaan kurang baik. Jika semakin besar
kesempatan kesempatan bertumbuh perusahaan maka semakin tinggi kesempatan perusahaan mendapatkan laba yang diperoleh perusahaan pada masa mendatang.
Peniliaian pasar investorpemegang saham terhadap kemungkinan bertumbuh suatu perusahaan nampak dari harga saham yang terbentuk sebagai suatu
nilai ekspektasian terhadap manfaat masa depan yang akan diperolehnya. Pemegang saham akan memberi respon yang lebih besar kepada perusahaan dengan
kemungkinan bertumbuh yang tinggi. Hal ini terjadi karena perusahaan yang mempunyai kemungkinan bertumbuh yang tinggi akan memberikan manfaat yang
tinggi di masa depan bagi investor Palupi, 2006. Penelitian oleh Collins dan Kothari 1989 menunjukkan bahwa perusahaan
yang memiliki kesempatan bertumbuh yang lebih besar akan memiliki Earnings Response Coefficient tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin besar
kesempatan bertumbuh perusahaan maka semakin tinggi kesempatan perusahaan mendapatkan atau menambah laba yang diperoleh perusahaan pada masa mendatang.
Berbeda dengan Penelitian Palupi 2003 menunjukkan hasil yang berlawanan, dimana kesempatan bertumbuh tidak berpengaruh terhadap Earning Response
Coefficients.
Universitas Sumatera Utara
2.1.12. Ukuran Perusahaan dan Earnings Response Coefficient Pada saat pengumuman laba, informasi laba akan direspon positif oleh
pemodal, pada umumnya perusahaan besar cenderung mempunyai reporting responsibility yang lebih tinggi dan mengindikasikan bahwa pada perusahaan besar
Earnings Response Coefficients akan meningkat pula Scoot,2003. Ukuran perusahaan menunjukkan jumlah pengalaman dan kemampuan
tumbuhnya suatu perusahaan yang mengindikasikan kemampuan dan tingkat risiko dalam mengelola investasi yang diberikan para Stockholder untuk meningkatkan
kemakmuran mereka. Besar kecilnya perusahaan ditunjukkan dari ukuran aktiva perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar menunjukkan
bahwa perusahan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini perusahaan mempunyai prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama,
diprediksi relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibandingkan perusahaan kecil. Jika prospek perusahaan perusahaan baik karena lebih mampu
menghasilkan laba maka akan dapat menarik investor untuk menanamkan dananya pada perusahaan tersebut.
Penelitian yang menguji pengaruh ukuran perusahaan terhadap Earnings Response Coefficients menemukan hasil yang beragam. Penelitian Naimah dan
Utama 2003 menyatakan bahwa Earnings Response Coefficients ditemukan lebih besar pada perusahaan besar. Penelitian Chaney dan Jater 2003 yang menguji
hubungan ukuran perusahaan dengan Earning Response Coefficients dalam jangka panjang long window juga menyatakan bahwa semakin banyak ketersediaan sumber
Universitas Sumatera Utara
informasi pada perusahaan-perusahaan besar, akan meningkatkan Earning Response Coefficients dalam jangka panjang. Informasi yang tersedia sepanjang tahun pada
perusahaan memungkinkan pelaku pasar untuk menginterpretasikan informasi yang terdapat pada laporan keuangan dengan lebih sempurna, sehingga dapat memprediksi
arus kas yang lebih akurat dan menurunkan ketidakpastian. Beberapa penelitian yang diungkapkan oleh Cho dan Jung 1991 mendukung adanya pengaruh positif antara
Earnings Response Coefficient dan ukuran perusahaan Shevlin dan Shues, 1993. 2.1.13.
Corporate Social Responsibility dan Earnings Response Coefficient Dalam era ketebukaan informasi dewasa ini, perusahaan harus dapat
memberikan informasi kepada para stakeholder, seperti halnya informasi CSR ysng telah disinggung di atas. Banyak perusahaan yang memiliki kemajuan dalam
teknologi maupun ekonomi dikritik karena menciptakan permasalahan sosial. Sebagai akibatnya citra perusahaan dapat mengalami kenunduran. Dalam jangka panjang hal
ini dapat menggangu kelangsungan hidup perusahaan yang telah berjalan. Pengungkapan tanggungjawab sosial perusahaan dapat digambarkan sebagai
pengungkapan informasi keuangan dan non keuangan berhubungan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan sosialnya, yang dinyatakan dalam laporan
tahunan perusahaan atau dalam laporan terpisah Guthrie dan Mathews 1985 dalam Sembiring 2003. Perusahaan menggunakan laporan tahunan sebagai salah satu media
untuk berkomunikasi langsung dengan para investor. Secara teoritis, ada hubungan positif antara pengungkapan dan kinerja pasar perusahaan Lang dan Lundholm,
Universitas Sumatera Utara
1993. Pengungkapan informasi dalam laporan tahunan yang dilakukan perusahaan diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi dan juga mengurangi agency
problem Healy dan Palepu, 2001. Lang dan Lundholm 1993 melakukan penelitian mengenai pengungkapan
sukarela yang menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan yang lebih tinggi berasosiasi dengan kinerja pasar yang lebih baik yang diukur dengan return saham.
Penelitian tersebut menggunakan asimetri informasi yang merupakan proksi sebagai korelasi laba dan return saham. Korelasi laba dan return saham yang rendah
mengindikasikan bahwa informasi laba hanya memberikan sedikit informasi tentang nilai perusahaan yang menunjukkan bahwa masih terdapat asimetri informasi yang
tinggi. Pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan bertujuan untuk mengurangi asimetri informasi terutama pada perusahaan yang memiliki korelasi earningsreturns
yang rendah. Hasil dari penelitian tesebut menyatakan bahwa adanya hubungan negatif antara korelasi earningsreturn ERC dengan tingkat pengungkapan.
Penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti 2002, dengan menguji pengaruh pengungkapan dalam laporan tahunan terhadap ERC. Penelitian ini tidak
menunjukkan hasil yang konsisten dengan prediksi tentang pengaruh luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan terhadap ERC. Prediksi penelitian ini
adalah ada luas pengungkapan sukarela berpengaruh negatif terhadap ERC. Tetapi, pengujian empiris menemukan adanya pengaruh positif signifikan dari luas
pengungkapan sukarela terhadap ERC. Widiastuti 2002 menjelaskan kemungkinan- kemungkinan terhadap hasil dari penelitiannya adalah karena investor tidak cukup
Universitas Sumatera Utara
yakin dengan informasi sukarela yang diungkapkan manjemen sehingga investor tidak menggunakan informasi tersebut sebagai dasar untuk merevisi belief, dan
informasi sukarela yang diungkapkan perusahaan tidak cukup memberikan informasi tentang expected future earnings sehingga investor tetap akan menggunakan
informasi laba sebagai proksi expected future earnings. 2.1.14.
Jakarta Islamic Index JII Dalam rangka mengembangkan pasar modal syariah, PT Bursa Efek Indonesia
BEI dengan PT Danareksa Investment Management DIM meluncurkan indeks saham yang dibuat berdasarkan syariah islam, yaitu Jakarta Islamic Index JII.
Jakarta Islamic Index terdiri atas 30 saham yang dipilih dari saham-saham yang sesuai dengan syariah islam. Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan
sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui indeks diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk
mengembangkan investasi dalam ekuitas secara syariah. Kriteria Emiten yang masuk dalam kelompok Indeks Syariah atau Jakarta
Islamic Index JII adalah sebagai berikut Asnawi dan Wijaya, 2006 : 1.
Tidak melakukan usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi. 2.
Tidak melakukan usaha lembaga keuangan konvensional ribawi, termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
3. Tidak melakukan usaha yang memproduksi, mendistribusi, menyediakan dan
memperdagangkan makanan dan minuman yang tergolong haram.
Universitas Sumatera Utara
4. Tidak melakukan usaha yang memproduksi, mendistribusi dan
memperdagangkan atau menyediakan barang-barang atau jasa yang dapat merusak moral.
Penetapan saham-saham yang akan masuk dalam perhitungan JII dilakukan dengan urutan seleksi sebagai berikut :
1. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan kecuali termasuk dalam kapitalisasi besar.
2. Memilih 60 saham teratas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar terbesar
selama setahun terakhir, yang di evaluasi setiap bulan dengan memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler
selama satu tahun terakhir. Pengkajian ulang akan dilakukan enam bulan sekali dengan penentuan
komponen indeks pada awal bulan Januari dan Juli setiap tahunnya. Sedangkan perubahan pada jenis usaha emiten akan di monotoring secara terus menerus
berdasarkan data-data publik yang tersedia. Perhitungan JII dilakukan oleh Bursa Efek Jakarta dengan menggunakan
metode perhitungan indeks yang telah di tetapkan Bursa Efek Jakarta, yaitu dengan bobot kapitalisasi pasar market cap weighted. Perhitungan indeks ini juga mencakup
penyesuaian-penyesuaian adjusment akibat berubahnya data emiten yang disebabkan oleh aksi korporasi.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu
PenelitiTahun Judul Penelitian
Variabel yang digunakan
Hasil Penelitian
Sri Mulyani, Nur F Asyik dan
Andayani 2007 Faktor-faktor yang
mempengaruhi Earning Response
Coefficient pada
perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Jakarta Persistensi laba,
Struktur modal, Risiko sistematik,
Kesempatan bertumbuh, Ukuran
perusahaan, Variabel persistensi laba,
struktur modal, risiko sistematik, kesempatan
bertumbuh, ukuran perusahaan, berpengaruh secara signifikan
terhadap
Earning Response Coefficient.
Yosefa Sayeki dan L.S.
Wondabio 2008
Pengaruh CSR Disclosure Terhadap
Earning Response Coefficient
Corporate Social Responsibility
Tingkat pengungkapan informasi CSR berpengaruh
negative terhadap Earning Response Coefficient
Margaretta Jati Palupi 2003
Analisis yang mempengaruhi
Koefisien Respon Laba
Risiko sistematik, Persistensi laba,
Prediktibilitas laba, Kesempatan
bertumbuh, Ukuran perusahaan, Resiko
kegagalan Risiko sistematik dan persistensi
laba secara signifikan berpengaruh positif terhadap
koefisien respon laba, sedangkan prediktabilitas laba,
kesempatan bertumbuh, ukuran perusahaan, dan resiko
kegagalan tidak berpengaruh terhadap koefisien respon laba.
Christine Dwikarya
Susilawati 2008 Faktor-faktor penentu
ERC Ukuran perusahaan,
Rasio pengungkitan, Umur perusahaan,
Konsentrasi kepemilikan, Metode
akuntansi, Profitabilitas
likuiditas, Tipe industri, Tipe audit,
Status pendaftaran ukuran perusahaan, rasio
pengungkitan umur perusahaan, konsentrasi kepemilikan,
metode akuntansi, tipe industri, tipe audit, status pendaftaran
berpengaruh signifikan terhadap ERC
dan profitabilitas,
likuiditas tidak mempengaruhi ERC secara statis.
Naila Nuur Hidayati dan Sri
Murni 2009 Pengaruh
Pengungkapan Corporate Social
Responsibility terhadap
Earnings Response Coefficient
pada Perusahaan High Profile
Corporate Social Responsibility
CSR berpengaruh negatif terhadap ERC
Universitas Sumatera Utara
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS