SOSIALISASI BAHASA DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK (Studi pada Orag Tua di Kelurahan Sepang Jaya Kecamatan Kedaton Bandar Lampung)

(1)

ABSTRACT

SOSIALISASI BAHASA DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK (Studi pada Orag T ua di Kelu rahan Sepang J aya Keca ma tan Ked aton

Bandar La mpung )

By

DARA PRAMITH A

All events of human experience is always associated with the language. Language is a communication tool that is to undergo a conversation with others. Socialization present language as a medium for a process by which humans can comprehend and understand the language that is done with the understanding of a communication interaction. Family or parent is the first primary socialization environment for children. Socialization language adopted by the parents will be the media in shaping the child's personality. Researchers are expected to observe about the socialization of language in shaping a child's personality. Based on these descriptions, then the problems in this study wanted to know was How sosialissai role of language in shaping a child's personality?. The goal of this research is to determine the role of language in the child's personality sosialissai which ultimately determine the child's personality is leaning toward or Introvert Extroverts. Location of the research taking place at Sepang Jaya Sub District Kedaton Bandar Lampung. Purpose of this study could theoretically provide empirical information and knowledge about the child's personality is formed by the acquisition of everyday language which they received from since toddlers up to the kids. In practical terms can provide additional references for parents and community for the communication and dissemination of good and true language. This type of research used in this study is descriptive type with a qualitative approach. This research takes as many as five people informant. The data analysis technique used is through the interview stage, presenting the data and conclusion stage. The results of this study indicate that the child's personality terbentukknya more emphasis on ways to teach parents that their children will be personality menginnginkan like. Language socialization has a role when the kids were doing the communication interaction in the home and social environment. Language

socialization has little role in shaping the personality of children and do not directly provide the effects. This study concludes that: The process of language socialization carried out by the informants have different impact. In the first and fifth informant who use offensive language socialization make an impact on children's discomfort in an informant's house and would prefer to open with the outside world, such as communicating on their peers.

Communication that exists in older people is less so nice. Socialization is rude is the way the delivery of the language used in older people (informants 1 and 5) spelled out a rough with good use of voice intonation and slightly high snap. This is due to mastering the local language is so thick and carriage fee that is hard. Thus the properties of the formed inclined towards extrovert, but can not be denied that the personality is formed by compulsion.


(2)

good response. According to information from the informant interview results thanks to the socialization of language that is fine then there is a comfort being at home than outside of the house. But children do not limit themselves in associate or interact with the outside world. The intensity of time children more at home. Characteristics that arise in the child's

personality is more inclined towards an introvert because according to his own informants, children would rather do everything yourself and prefer to pour his thoughts and feelings without speaking. The nature of these biological factors may be of the parents.


(3)

ABSTRAK

SOSIALISASI BAHASA DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK

(Studi pada Orag T ua di Kelu rahan Sepang J aya Keca ma tan Keda ton B anda r La mpung)

Oleh

DARA PRAMITH A

Semua kejadian yang dialami manusia selalu terkait dengan bahasa. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang dilakukan untuk menjalani sebuah pembicaraan dengan orang lain. Sosialisasi bahasa hadir sebagai media untuk suatu proses dimana manusia mampu memahami dan mengerti dalam pemahaman bahasa yang dilakukan dengan sebuah interaksi komunikasi. Keluarga atau orang tua adalah lingkungan sosialisasi primer pertama untuk anak-anak. Sosialisasi bahasa yang diterapkan oleh orang tua akan menjadi media dalam membentuk kepribadian anak. Peneliti diharapkan bisa mencermati tentang sosialisasi bahasa dalam pembentukkan kepribadian anak. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah Bagaimana peran sosialissai bahasa dalam pembentukkan kepribadian anak?. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran sosialissai bahasa dalam kepribadian anak yang akhirnya menentukkan kepribadian anak yang condong ke arah Ekstrovert atau Introvert. Lokasi penelitian bertempat pada Kelurahan Sepang Jaya Kecamatan Kedaton Bandar Lampung. Kegunaan penelitian ini secara teoritis dapat memberikan informasi empiris dan pengetahuan seputar kepribadian anak yang terbentuk dari perolehan bahasa sehari-hari yang mereka terima dari sejak balita hingga anak-anak. Secara praktis dapat memberikan referensi tambahan bagi orang tua dan masyarakat atas komunikasi dan sosialisasi bahasa yang baik dan benar. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengambil informan sebanyak 5 orang. Teknik analisis data yang digunakan adalah melalui tahap wawancara, penyajian data dan tahap kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terbentukknya kepribadian anak lebih ditekankan pada pola asuh orang tua yang menginnginkan kepribadian anaknya akan seperti apa. Sosialisasi bahasa mempunyai peran saat anak-anak melakukan interkasi komunikasi pada lingkungan rumah dan sosialnya. Sosialisasi bahasa hanya mempunyai sedikit peran dalam membentuk kepribadian anak dan tidak secara langsung memberikan dampaknya. Penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa: Proses sosialisasi bahasa yang dilakukan para informan mempunyai


(4)

sosialisasi bahasa yang kasar membuat dampak pada anak-anak informan sebuah ketidaknyamanan berada di rumah serta lebih memilih untuk terbuka dengan dunia luar seperti berkomunikasi pada teman-teman sebaya. Komunikasi yang terjalin pada orang tua kurang begitu baik. Sosialisasi kasar yang dimaksud adalah cara penyampaian bahasa yang digunakan pada orang tua (informan 1 dan 5) terbilang kasar dengan tata penggunaan intonasi suara yang tinggi dan sedikit membentak. Hal ini disebabkan penguasaan bahasa daerah yang begitu kental serta pembawaannya yang terbilang keras. Maka dari itu sifat-sifat yang terbentuk condong ke arah ekstrovert, namun tak dapat dipungkiri bahwa kepribadian tersebut terbentuk karena adanya keterpaksaan. Sedangkan pada sosialisasi bahasa yang halus, anak-anak informan kedua dan ketiga, memberikan respon yang baik. Menurut informasi dari hasil wawancara kedua informan berkat adanya sosialisasi bahasa yang halus maka adanya suatu kenyaman berada di rumah dibandingkan berada diluar rumah. Namun anak-anak tidak membatasi diri dalam bergaul atau berinteraksi dengan dunia luar. Intensitas waktu anak-anak lebih banyak di rumah. Ciri-ciri yang timbul dalam kepribadian anak lebih condong ke arah introvert karena menurut informan sendiri, anak-anak lebih suka melakukan segala sesuatunya sendiri dan lebih suka menuangkan pikiran dan perasaannya tanpa bicara. Sifat tersebut di dapat dari faktor biologis orang tua.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua kejadian yang dialami manusia selalu terkait dengan bahasa. Pada waktu seseorang berbelanja, berbincang-bincang mengenai kehidupan seseorang, atau berdiskusi secara serius tentang masalah politik, etika, dan lain-lain serta menjelaskan suatu hasil penelitian, bahasa digunakan sebagai media komunikasi.

Menurut Wiggins & Zanden (1994) sosialisasi adalah satu konsep umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita.

(http://budakbangka.blogspot.com/2010/01/lingkungan-sosialisasi-bahasa.html diakses pada tanggal 12 Maret 2010 )

Pada dasarnya, sosialisasi memberikan dua kontribusi fundamental bagi kehidupan kita. Pertama, memberikan dasar atau fondasi kepada individu bagi terciptanya partisipasi yang efektif dalam masyarakat, dan kedua memungkinkan


(6)

generasi saja sehingga kelestarian masyarakat akan sangat terganggu. Contohnya, masyarakat Sunda, Jawa, Batak, dan sebagainya. Akan lenyap manakala satu generasi tertentu tidak mensosialisasikan nilai-nilai kebudayaan kepada generasi berikutnya. Agar dua hal tersebut dapat berlangsung maka ada beberapa kondisi yang harus ada agar proses sosialisasi terjadi. Pertama adanya warisan biologikal, dan kedua adalah adanya warisan sosial.

1. Warisan dan Kematangan Biologikal .

Dibandingkan dengan binatang, manusia secara biologis merupakan makhluk atau spesis yang lemah karena tidak dilengkapi oleh banyak instink. Kelebihan manusia adalah adanya potensi untuk belajar dari pengalaman-pengalaman hidupnya. Warisan biologis yang merupakan kekuatan manusia, memungkinkan dia melakukan adaptasi pada berbagai macam bentuk lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan manusia bisa memahami masyarakat yang senantiasa berubah, sehingga lalu dia mampu berfungsi di dalamnya, menilainya, serta memodifikasikannya. Namun tidak semua manusia mempunyai warisan biologis yang baik, sebab ada pula warisan biologis yang bisa menghambat proses sosialisasi. Manusia yang dilahirkan dengan cacat pada otaknya atau organ tubuh lainnya (buta, tuli/bisu, dan sebagainya) akan mengalami kesulitan dalam proses sosialisasi.

Proses sosialisasi juga dipengaruhi oleh kematangan biologis (biological maturation), yang umumnya berkembang seirama dengan usia biologis manusia itu sendiri. Misalnya, bayi yang berusia empat minggu cenderung memerlukan


(7)

minggu maka dia mulai bisa membedakan muka orang lain yang dekat dengan dirinya, dan lalu mulai bisa tersenyum. Pada usia tiga bulan, seorang bayi jangan diminta untuk berjalan atau pun berhitung, berpakaian, dan pekerjaan lainnya. Semua itu akan sia-sia, menghabiskan waktu karena secara biologis, bayi tersebut belum cukup matang. Dengan demikian warisan dan kematangan biologis merupakan syarat pertama yang perlu diperhatikan dalam proses sosialisasi.

2. Lingkungan yang menunjang.

Sosialisasi juga menuntut adanya lingkungan yang baik yang menunjang proses tersebut, di mana termasuk di dalamnya interaksi sosial. Kasus di bawah ini dapat dijadikan satu contoh tentang pentingnya lingkungan dalam proses sosialisasi. Susan Curtiss (1977) menaruh minat pada kasus anak yang diisolasikan dari lingkungan sosialnya. Pada tahun 1970 di California ada seorang anak berusia tigabelas tahun bernama Ginie yang diisolasikan dalam sebuah kamar kecil oleh orang tuanya. Dia jarang sekali diberi kesempatan berinteraksi dengan orang lain. Kejadian ini diketahui oleh pekerja sosial dan kemudian Ginie dipindahkan ke rumah sakit, sedangkan orang tuanya ditangkap dengan tuduhan melakukan penganiayaan dengan sengaja. Pada saat akan diadili ternyata ayahnya bunuh diri. Ketika awal berada di rumah sakit, kondisi Ginie sangat buruk. Dia kekurangan gizi, dan tidak mampu bersosialisasi. Setelah dilakukan pengujian atas kematangan mentalnya ternyata mencapai skor seperti kematangan mental anak-anak berusia satu tahun. Para psikolog, ahli bahasa, akhli syaraf di UCLA (Universitas California) merancang satu program rehabilitasi mental Ginie. Empat tahun program tersebut berjalan ternyata kemajuan mental Ginie kurang


(8)

memahami prinsip tata bahasa, padahal secara genetis tidak dijumpai cacat pada otaknya. Sejak dimasukan ke rumah sakit sampai dengan usia dua puluh tahun, Ginie dilibatkan dalam lingkungan yang sehat, yang menunjang proses sosialisasi. Hasilnya, lambat laun Ginie mulai bisa berpartisipasi dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian lain dilakukan oleh Rene Spitz (1945). Dia meneliti bayi-bayi yang ada di rumah yatim piatu yang memperoleh nutrisi dan perawatan medis yang baik namun kurang memperoleh perhatian personal. Ada enam perawat yang merawat empat puluh lima bayi berusia di bawah delapan belas bulan. Hampir sepanjang hari, para bayi tersebut berbaring di dalam kamar tidur tanpa ada “human-contact”. Dapat dikatakan, bayi-bayi tersebut jarang sekali menangis, tertawa, dan mencoba untuk bicara. Skor tes mental di tahun pertama sangat rendah, dan dua tahun kemudian penelitian lanjutan dilakukan dan ditemukan di atas sepertiga dari sembilan puluh satu anak-anak meninggal dunia. Dari apa yang ditemukannya, Spitz menarik kesimpulan bahwa kondisi lingkungan fisik dan psikis seorang bayi pada tahun pertama sangat mempengaruhi pembentukan mentalnya. Bayi pada saat itu sangat memerlukan sentuhan-sentuhan yang memunculkan rasa aman – kehangatan, dan hubungan yang dekat dengan manusia dewasa – sehingga bayi dapat tumbuh secara normal di usia-usia selanjutnya.

(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1943457-pengertian-sosialisasi/ diakses pada tanggal 12 Maret 2010)

Bahasa didefinisikan sebagai lambang. Bahasa adalah alat komunikasi yang berupa sistem lambang bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia. Sebagaimana


(9)

mempunyai makna, yaitu, hubungan abstrak antara kata sebagai lambang dengan objek atau konsep yang diwakili. Kumpulan kata atau kosa kata oleh ahli bahasa disusun secara alfabetis (urutan abjad) disertai penjelasan artinya dan kemudian dibukukan menjadi sebuah kamus atau leksikon.

Pada waktu kita berbicara atau menulis, kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis tidak tersusun begitu saja, melainkan mengikuti aturan yang ada. Dalam mengungkapkan gagasan, pikiran atau perasaan, kita harus memilih kata-kata yang tepat dan menyusun kata-kata itu sesuai dengan aturan bahasa. Seperangkat aturan yang mendasari pemakaian bahasa, atau yang kita gunakan sebagai pedoman berbahasa inilah yang disebut tata bahasa.

Menurut Berger dan Luckman (1990: 71) Bahasa pada dasarnya lebih dari sekadar alat untuk menyampaikan informasi, atau mengutarakan pikiran, perasaan, atau gagasan, karena bahasa juga berfungsi :

a. untuk tujuan praktis: mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari. b. untuk tujuan artistik: manusia mengolah dan menggunakan bahasa dengan

seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia.

c. sebagai kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, di luar pengetahuan kebahasaan.

d. untuk mempelajari naskah-naskah tua guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia, selama kebudayaan dan adat-istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri (tujuan filologis).


(10)

sistem tanda yang paling penting dalam masyarakat manusia. Landasannya, sudah tentu, terletak pada kapasitas intrinsik organisme manusia untuk mengungkapkan diri dengan suara, tetapi kita baru bisa bicara tentang bahasa apabila ekspresi-ekspresi suara bisa dilepaskan dari keadaan langsung dari subyektivitas. Kehidupan sehari-hari adalah terutama sekali kehidupan dengan melalui bahasa yang digunakan bersama-sama dengan sesama manusia.

Bahasa lahir dalam situasi tatap muka, namun dengan mudah dapat dilepas darinya. Hal ini tidak hanya karena seseorang dapat berteriak dalam kegelapan atau dari suatu jarak, berbicara melalui telepon atau radio, atau menyampaikan arti-arti linguistik melalui tulisan.

Bagi Berger dan Luckman (1990:185) individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat. Ia dilahirkan dengan suatu pradisposisi (kecenderungan) ke arah sosialitas, dan ia menjadi anggota masyarakat. Tiap individu dilahirkan ke dalam suatu struktur sosial yang obyektif di mana ia menjumpai orang-orang yang berpengaruh dan bertugas mensosialisasikannya. Orang-orang yang berpengaruh itu ditentukan begitu saja baginya.

Pada usia balita (0-5 tahun), bahasa adalah hal pertama yang pelajari. Menurut penelitian Berger dan Luckman (1990:77) pada anak usia 3 tahun adalah masa dimana semua yang ia dengar akan ia cerna atau pelajari lalu ia tiru. Walau dalam hal pengucapannya mereka tidak sempurna. Perkembangan bahasa pada seorang anak dapat dilihat dari perkembangan Fonologis, yaitu pada tahap-tahap


(11)

orang dewasa yang disederhanakan dengan cara :

a. menghilangkan konsonan akhir, contohnya ”nyamuk” => ”muk”.

b. mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal, contohnya ”kunci” => ”ci”

c. menhilangkan silabe yang tidak diberi tekanan, contohnya ”semut” => ”mut”. d. duplikasi silabe yang sederhana, contohnya ”nakal” => ”kakal”.

Pada usia 4-6 tahun, anak-anak mulai mengerti arti bahasa yang digunakannya. Hal ini tidak terlepas dari peran orang tua dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Jika orang tua terbiasa memakai Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, maka anak-anak pun akan mengikutinya. Pada orang tua yang sering memakai bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, maka anak-anak pun akan menggunakan bahasa daerah dalam keseharian.

Pada usia 6-12 tahun adalah masa dimana anak-anak sudah mulai mengerti dan memahami akan semua arti bahasa yang ia gunakan sehari-hari. Pada masa ini, lafal dan intonasi ucapan orang tua merupakan salah satu faktor penentu terbentuknya kepribadian anak. Orang tua sering memakai intonasi bahasa yang tinggi, maka anak akan mulai mengerti bahwa ada 2 arti dalam pemakaian intonasi yang tinggi yaitu pertama, orang tua sedang mengalami emosi yang tinggi atau marah. Kedua, memang sudah menjadi kebiasaan orang tua untuk berbicara dalam intonasi yang tinggi, ini biasa terjadi pada orang tua yang selalu menggunakan bahasa daerah, misalnya Sumatera. Hal ini dapat berdampak pada pembentukan kepribadian dan emosi anak. Anak bisa saja berkembang menjadi


(12)

sebenarnya mereka tidak sedang marah. Begitu juga sebaliknya, jika orang tua selalu menggunakan intonasi berbicara yang rendah maka perkembangan kepribadian anak terbentuk dengan komunikasi bahasa yang menggunakan intonasi yang rendah dan pembentukkan emosinya pun akan relatif rendah. (Berger dan Luckman, 1990: 53)

Ada masa di mana anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk kelas satu. Perkembangan utama yang terjadi selama awal masa kanak-kanak berkisar di seputar penguasaan dan pengendalian lingkungan, banyak ahli psikologi yang melabelkan awal masa kanak-kanak sebagai usia menjelajah, sebuah label yang menunjukkan anak ingin mengetahui keadaan lingkungannya, bagaimana mekanismenya, bagaimana perasaannya dan bagaimana ia dapat menjadi bagian dari lingkungannya, ini termasuk manusia dan benda mati. Salah satu cara yang umum dalam menjelajah lingkungan adalah dengan bertanya, jadi periode ini adalah meniru pembicaraan dan perilaku orang lain, oleh karena itu periode ini juga disebut usia meniru. Namun, kecenderungan ini tampak kuat tetapi anak lebih menunjukkan kreativitas dalam bermain selama masa kanak-kanak dibandingkan masa-masa lain dalam kehidupannya, dengan alasan ini para ahli psikologi juga menamakan periode ini sebagai usia kreatif.


(13)

tentang diri dan lingkungannya. Walau begitu, bayi tersebut memiliki potensi untuk mempelajari diri dan lingkungannya. Apa dan bagaimana dia belajar, banyak sekali dipengaruhi oleh lingkungan sosial di mana dia dilahirkan. Kita bisa berbahasa Indonesia karena lingkungan kita berbahasa Indonesia; kita makan menggunakan sendok dan garpu, juga karena lingkungan kita melakukan hal yang sama. Demikian pula apa yang kita makan, sangat ditentukan oleh lingkungan kita masing-masing.

(http://budakbangka.blogspot.com/2010/01/lingkungan-sosialisasi-bahasa.html diakses pada tanggal 23 Februari 2010)

Awal mula pembelajaran bahasa yang pertama kali dipelajari anak-anak adalah keluarganya dimana setiap kasih sayang orang tuanya yang dicurahkan melalui bahasa yang halus. Anak-anak usia 0-5 tahun hanya berkomunikasi pada keluarganya dan faktor sosialisasi lingkungannya belum begitu peka diserap olah anak.

Kemudian pada usia sekolah yaitu kelas 1, anak mulai kembali beradaptasi pada suatu lingkungan yang bernama sekolah. Disini, si anak mulai merasa mempunyai suatu identitas yang bernama ”saya”. Identitas ini akan terbentuk sesuai dengan lingkungan sosial dimana tempat ia mensosialisasikan dirinya. Kemudian terdapatlah bahasa-bahasa baru baginya yang ia tiru walau si anak belum mengerti benar apa arti dari perolehan kata yang ia dapat dari sekolah. Dapat dihitung dengan cepat bahwa anak dapat mudah menyerap segala bahasa yang digunakan sehari-hari.


(14)

sosialisasi bahasa keluarganya) kemudian ia terlibat langsung dalam proses sosialisasi di lingkungan sekolah menimbulkan kemungkinan bahwa bahasa yang ia terima dari keluarganya mungkin akan dibawa ke dalam lingkungan sosial sekolah. Dalam proses soaialisasi bahasa di sekolah tersebut bisa memunculkan kemungkinan bahwa teman-teman sebayanya bisa meniru apa yang ia ucapkan kemudian membawanya ke dalam lingkungan rumah.

Orang tua mempunyai tugas untuk menyaring bahasa yang diterima anak dari lingkungan sekolah dan lingkungan sosial sekitarnya. Namun pada masa sekarang, anak-anak kini sudah tidak lagi mendapat perhatian khusus terhadap perkembangan bahasa dan kepribadian. Orang tua juga berperan penting dalam menjalin komunikasi dan pemberian bahasa pada anak. Karena sejak lahir, anak sudah diberikan potensi berbahasa yang baik.

Kelurahan Sepang Jaya adalah salah satu lokasi dimana terdapat jumlah anak-anak yang banyak dan sering sekali ditemukan tempat-tempat berkumpulnya anak-anak bermain dan berkumpul. Baik interaksi dalam permainan sepak bola, bulu tangkis, kelereng dan permainan lainnya. Ramainya anak-anak terdapat pada sore hari setelah pulang sekolah, bahkan pada malam hari setelah mengaji di masjid.

Banyak orang tua masih berasumsi bahwa terbentuknya kepribadian anak lebih menyalahkan lingkungan teman-teman sosialnya. Tanpa disadari bahwa bahasa yang ia dapat dari proses sosialisasi bahasanyalah yang menuju kemungkinan pembentukan kerpribadian anak. Si anak dalam memperoleh kata-kata bahasa


(15)

sengaja menumpahkan air minum, lalu si ibu menyalahkannya dalam bentuk bahasa yang kurang baik kemudian para agen sosial keluarga yang lain (ayah, kakak, nenek, dan lain-lain) juga mengungkapkan hal yang sama pada si anak karena membenarkan atas apa yang si ibu lakukan. Itu dapat menimbulkan persepsi dalam diri si anak bahwa ia benar-benar salah padahal ia melakukannya dengan tidak sengaja. Dalam lingkungan sekolahnya, guru memberikan penilaian yang salah atas apa si anak lakukan dengan penyampaian bahasa yang seolah-olah si anak tersebut salah maka tanpa disadari oleh si guru , mungkin saja si anak juga akan merasa teman-temannya akan menyalahkan juga atas apa yang telah ia perbuat. Mungkin saja apa yang dilakukan oleh si anak hanya untuk mendapatkan perhatian dari guru dan teman-temannya karena di rumah ia tidak dapat berkomunikasi dengan baik oleh keluarganya. Jika saja si anak memperoleh sosialisasi bahasa yang baik dan penuh kasih sayang oleh keluarganya. Mungkin saja kepribadian yang terbentuk akan sesuai dengan harapan orang tua yakni anak yang mendapat predikat “Baik” tetapi harus didukung juga dengan keadaan lingkungan yang memang tepat dalam sosialisasinya.

Hal ini merupakan suatu dilema di mana seorang anak dalam memperoleh sosialisasi bahasanya kurang baik dan orang tua juga kurang peka atas bahasa serta komunikasinya di luar lingkungan rumah yang tanpa disadari orang tua bahwa kepribadian anak sudah mulai terbentuk. Serta bagaimana lingkungan sosialnya juga mendukung pembentukkan kepribadiannya tersebut. Anak-anak pada masa sekarang sudah terlalu banyak didengarkan bahasa-bahasa yang kurang baik. Apalagi bila orang tua mereka sedang mengalami pertengkaran di depan


(16)

didengar oleh anak. Kemudian si anak akan membawanya ke dalam lingkungan sosial, seperti bila anak tersebut bertengkar dengan teman sebaya. Ini merupakan awal dimana kepribadian anak mulai terbentuk, yang bisa terlihat dari bahasa anak itu sendiri. Dari uraian tersebut maka peneliti mengambil sebuah permasalahan yaitu “Pengaruh Sosialisasi Bahasa Terhadap Perkembangan Kepribadian Anak”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana peran sosialisasi bahasa dalam pembentukan kepribadian anak?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sejauh mana peran sosialisasi bahasa dalam kepribadian anak.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini diharapkan dapat:

1. Secara teoritis dapat memberikan informasi empiris dan pengetahuan seputar kepribadian anak yang terbentuk dari perolehan bahasa sehari-hari yang mereka terima dari sejak balita hingga anak-anak.

2. Secara praktis dapat memberikan referensi tambahan bagi para orang tua dan masyarakat atas komunikasi dan sosialisasi bahasa yang baik dan benar.


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Mengenai Sosialisasi

Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Berikut pengertian sosialisasi menurut para ahli:

a. Charlotte Buhler

Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.

b. Peter Berger

Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.

c. Paul B. Horton

Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.


(18)

d. Soerjono Soekanto

Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.

Secara umum (dalam Sari: 2009), sosialisasi didefinisikan sebagai proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.

(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1943457-pengertian-sosialisasi/ diakses pada tanggal 14 Maret 2010)

1. Media Sosialisasi

Sosialisasi dapat terjadi melalui interaksi social secara langsung ataupun tidak langsung. Proses sosialisasi dapat berlangsung melalui kelompok social, seperti keluarga, teman sepermainan dan sekolah, lingkungan kerja, maupun media massa. Adapun media yang dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman bermain media massa dan lingkungan kerja.

a. Keluarga

Pertama-tama yang dikenal oleh anak-anak adalah ibunya, bapaknya dan saudara-saudaranya. Kebijaksanaan orangtua yang baik dalam proses sosialisasi anak, antara lain :

1. berusaha dekat dengan anak-anaknya

2. mengawasi dan mengendalikan secara wajar agar anak tidak merasa tertekan 3. mendorong agar anak mampu membedakan benar dan salah, baik dan buruk 4. memberikan keteladanan yang baik


(19)

5. menasihati anak-anak jika melakukan kesalahan-kesalahan dan tidak menjatuhkan hukuman di luar batas kejawaran.

6. menanamkan nilai-nilai religi baik dengan mempelajari agama maupun menerapkan ibadah dalam keluarga.

b. Sekolah

Pendidikan di sekolah merupakan wahana sosialisasi sekunder dan merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi secara formal. Robert Dreeben berpendapat bahwa yang dipelajari seorang anak di sekolah tidak hanya membaca, menulis, dan berhitung saja namun juga mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universal) dan kekhasan / spesifitas (specifity).

c. Teman bermain (kelompok bermain)

Kelompok bermain mempunyai pengaruh besar dan berperan kuat dalam pembentukan kepribadian anak. Dalam kelompok bermain anak akan belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya. Puncak pengaruh teman bermain adalah masa remaja. Para remaja berusaha untuk melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku bagi kelompoknya itu berbeda dengan nilai yang berlaku pada keluarganya, sehingga timbul konflik antara anak dengan anggota keluarganya. Hal ini terjadi apabila para remaja lebih taat kepada nilai dan norma kelompoknya.


(20)

d. Media Massa

Media massa seperti media cetak, (surat kabar, majalah, tabloid) maupun media elektronik (televisi, radio, film dan video). Besarnya pengaruh media massa sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.

Contoh :

1) adegan-adegan yang berbau pornografi telah mengikis moralitas dan meningkatkan pelanggaran susila di dalam masyarakat

2) penayangan berita-berita peperangan, film-film, dengan adegan kekerasan atau sadisme diyakini telah banyak memicu peningkatan perilaku agresif pada anak-anak yang menonton.

3) Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.

e. Lingkungan kerja

Lingkungan kerja merupakan media sosialisasi yang terakhir cukup kuat, dan efektif mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang.

1) Lingkungan kerja dalam panti asuhan

Orang yang bekerja di lingkungan panti asuhan lama kelamaan terbentuk kepribadian dengan tipe memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, sabar dan penuh rasa toleransi.

2) Lingkungan kerja dalam perbankan

Lingkungan ini dapat membuat seseorang menjadi sangat penuh perhitungan terutama terhadap hal-hal yang bersifat material dan uang.


(21)

(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1943457-media-sosialisasi/ diakses pada tanggal 14 Maret 2010)

2. Proses Sosialisasi

Menurut Mead (dalam Horton & Hunt, 1999: 109) menyatakan bahwa sosialisasi dapat dibedakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Tahap persiapan (preparatory stage): Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan b. Tahap meniru (play stage)

Tahap ini ditandai seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa.

c. Tahap siap bertindak (game stage)

Pada tahap peniruan yang dilakukan mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langusng dimainkan sendiri dengan penuh kesabaran

d. Tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage)

Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa dan telah menjadi warga masyarakat sepenuhnya.

3. Tipe Sosialisasi

Menurut Berger dan Luckman (1990:201) agar sosialisasi dapat berjalan lancar, tertib dan berlangsung terus menerus maka terdapat dua tipe sosialisasi yaitu formal dan informasi.

a. Formal, sosialisasi ini terbentuk melalui lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat yang memiliki tugas khusus dalam

mensosialisasikan nilai, norma dan peranan-peranan yang harus dipelajari oleh masyarakat.


(22)

b. Informal, sosialisasi ini terdapat dalam pergaulan sehari-hari yang bersifat kekeluargaan.

4. Jenis Sosialisasi

a. Sosialisasi Primer

Peter L. Berger dan Luckman (dalam Sari:2009) mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah.

Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan olah warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.

b.Sosialisasi Sekunder

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutansetelah sosiaisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam desosialisasi, seseorang akan mengalami „pencabutan’ identitas diri yang lama.


(23)

5. Tujuan Sosialisasi

Menurut Mead (dalam Horton & Hunt, 1999: 110) sosialisasi mempunyai tujuan sebagai berikut :

a. memberikan keterampilan kepada seseorang untuk dapat hidup bermasyarakat b. mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara efektif

c. membantu mengendalikan fungsi-fungsi organic yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.

d. membiasakan diri berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan pokok yang ada di masyarakat.

B. Tinjauan Mengenai Bahasa

Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.

Lain halnya menurut Owen dalam Stiawan (2006:1), menjelaskan definisi bahasa yaitu language can be defined as a socially shared combinations of those symbols and rule governed combinations of those symbols (bahasa dapat didefenisikan sebagai kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki dan kombinasi simbol-simbol yang diatur oleh ketentuan).


(24)

Pendapat di atas mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (1989:4), beliau memberikan dua definisi bahasa. Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.

Menurut Santoso (1990:1), bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar.

Definisi lain, Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem, suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-sistem. Pengertian tersebut dikemukakan oleh Mackey (1986:12).

Menurut Wibowo (2001:3), bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran.

Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (1996:4), mengungkapkan definisi bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain. Pendapat lainnya tentang definisi bahasa diungkapkan oleh Syamsuddin (1986:2), beliau memberi dua pengertian bahasa. Pertama, bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Kedua, bahasa adalah tanda


(25)

yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.

Sementara Pengabean (1981:5), berpendapat bahwa bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa yang terjadi pada sistem saraf.

Pendapat terakhir dari makalah singkat tentang bahasa ini diutarakan oleh Soejono (1983:01), bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting dalam hidup bersama.

Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.

Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.

Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :

1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia. 2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia. 3. Alat untuk mengidentifikasi diri.


(26)

Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa menurut Walija (1996: 41) :

1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains, bahasa jurnalistik, dsb.

2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.

3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.

4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.

5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan. 6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan

informal (tidak baku).

Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.

Bahasa isyarat atau gesture atau bahasa tubuh adalah salah satu cara bekomunikasi melalui gerakan-gerakan tubuh. Bahasa isyarat akan lebih digunakan permanen oleh penyandang cacat bisu tuli karena mereka memiliki bahasa sendiri.


(27)

C. Tinjauan Mengenai Sosialisasi Bahasa

Bahasa lahir dalam – dan terutama sekali mengacu kepada kehidupan sehari-hari: ia terutama sekali mengacu kepada kenyataan yang dialami oleh manusia dalam keadaan sadar sepenuhnya, yang didominasi oleh motif yang pragmatik (yakni kumpulan makna-makna yang dengan langsung menyangkut tindakan yang sekarang atau yang akan datang) yang manusia alami bersama orang-orang lain dengan cara yang sudah diterima begitu saja. Meskipun bahasa juga dapat dipakai untuk mengacu kepada kenyataan-kenyataan lain, dalam hal itu pun ia masih tetap berakar dalam kenyataan akal sehat dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai sebuah sistem tanda, bahasa memiliki sifat obyektif. Bahasa sebagai suatu faksitas yang berada di luar diri manusia dan yang pada hakikatnya mempunyai sifat memaksa. Bahasa memaksa seseorang masuk ke dalam pola-polanya. Sosialisasi bahasa merupakan suatu proses dimana manusia mampu memahami dan mengerti dalam pemahaman bahasa yang dilakukan dengan sebuah interaksi komunikasi. (Berger dan Luckman,1990: 59)

Menurut Berger (1990: 61) munculnya perkembangan bahasa seiring perkembangan jaman serta perubahan sosial dalam berkomunikasi. Adanya percampuran antara bahasa asli dan bahasa asing yang disosialisasikan dengan percakapan sehari-hari manusia. Fungsi sosialisasi bahasa sendiri itu adalah untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai suatu bentuk bahasa. Sosialisasi bahasa juga bisa menggunakan bahasa verbal (bahasa baku) atau non verbal (bahasa sehari-hari).


(28)

Mensosialisasikan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pada anak-anak sejak dini dengan pola asuh orang tua yang selalu berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia yang baik, maka lambat laun si anak akan mempelajari Bahasa Indonesia dengan baik. Begitupun jika orang tua berkomunikasi dengan bahasa daerah karena untuk melestarikan warisan budaya, maka anak juga akan terbiasa berbicara dalam bahasa daerah serta dalam lingkungan bermainnya mungkin anak akan mensosialisasikan bahasa daerahnya tersebut dalam kesehariannya. (Berger dan Luckman, 1990: 70)

Namun seiring kemajuan dalam berkomunikasi, kini bermunculan sosialisasi bahasa yang mudah dimengerti dan di dapat karena lingkungan pergaulan masyarakat modern.

Contohnya , terciptanya bahasa gaul atau bahasa yang dmuncul akibat penyerapan bahasa daerah ataupun bahasa asing dan bukan merupakan bahasa yang baik dan benar:

1. Saya => “Gw” 4. Ibu => “Nyokap” 2. Kamu => “Lo” 5.Laki-laki => “Cowok” 3. Ayah => “Bokap” 6. Perempuan => “Cewek” Jenis Sosialisasi Bahasa menurut Berger dan Luckman (1990:75) :

Sosialisasi Bahasa yang keras atau kasar adalah suatu bentuk media alat penyampaian bahasa yang didasarkan pada intonasi yang tinggi serta memakai penggunaan kata bahadsa yang kasar, dan bertujuan agar anak lebih cepat tanggap akan suatu perintah.


(29)

Sosialisasi Bahasa yang halus atau lembut adalah suatu bentuk media alat penyampaian bahasa yang didasarkan pada intonasi yang rendah serta memakai penggunaan kata bahasa yang halus dan dengan sentuhan, bertujuan agar anak mau melakukan apa yang diperintahkan tanpa keadaan terpaksa.

(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1943457-pengertian-sosialisasi/ diakses pada tanggal 14 Maret 2010)

D. Tinjauan Mengenai Kepribadian

Kata personality dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani kuno prosopon atau persona, yang artinya „topeng’ yang biasa dipakai artis dalam theater. Para artis itu bertingkah laku sesuai dengan ekspresi topeng yang dipakainya, seolah-olah topeng itu mewakili ciri kepribadian tertentu. Jadi konsep awal pengertian personality (pada masyarakat awam) adalah tingkah laku yang ditampakkan ke lingkungan sosial- kesan mengenai diri yang diinginkan agar dapat ditangkap oleh lingkungan sosial.

Menurut Adler (dalam Eysenk, 1971: 32)Ada beberapa kata atau istilah yang oleh masyarakat diperlakukan sebagai sinonim kata personality, namun ketika istilah-istilah itu dipakai di dalam teori kepribadian diberi makna berbeda-beda. Istilah yang berdekatan maknanya antara lain :

1. Personality (kepribadian); penggambaran perilaku secara deskriptif tanpa

memberi nilai (devaluative)

2. Character (karakter); penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai


(30)

3. Disposition (watak); karakter yang telah dimiliki dan sampai sekarang belum berubah.

4. Temperament (temperamen); kepribadian yang berkaitan erat dengan

determinan biologic atau fisiologik, disposisi hereditas.

5. Traits (sifat); respons yang senada (sama) terhadap kelompok stimuli yang

mirip, berlangsung dalam kurun waktu yang (relatif) lama.

6. Type-Attribute (ciri): mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimulasi

yang lebih terbatas.

7. Habit (kebiasaan): respon yang sama cenderung berulang untuk stimulus

yang sama pula.

Sampai sekarang, masih belum ada batasan formal personality yang mendapat pengakuan atau kesepakatan luas dilingkungan ahli kepribadian. Masing-masing pakar kepribadian membuat definisi sendiri-sendiri sesuai dengan paradigma yang mereka yakini dan fokus analisis dari teori yang mereka kembangkan. Berikut adalah beberapa contoh definisi kepribadian:

1. Kepribadian adalah nilai sebagai stimulus sosial, kemampuan menampilkan diri secara mengesankan (Hilgard & Marquis)

2. Kepribadian adalah kehidupan seseorang secara keseluruhan, individual, unik, usaha mencapai tujuan, kemampuannya bertahan dan membuka diri, kemampuan memperoleh pengalaman (Stern)

3. Kepribadian adalah organisasi dinamik dalam sistem psikofisiologik seorang yang menentukan model penyesuaiannya yang unik dengan lingkungannya (Allport)


(31)

4. Kepribadian adalah pola trait-trait yang unik dari seseorang (Guilford)

5. Kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak orang yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi (Pervin)

6. Kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan kecenderungan yang stabil, yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkah laku psikologik (berpikir, merasa, dan gerakan) dari seseorang dalam waktu yang panjang dan tidak dapat dipahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan sosial dan tekanan biologic saat itu (Mandy atau Burt)

7. Kepribadian adalah suatu lembaga yang mengatur organ tubuh, yang sejak lahir sampai mati tidak pernah berhenti terlibat dalam pengubahan kegiatan fungsional (Murray)

8. Kepribadian adalah pola khas dari fikiran, perasaan, dan tingkah laku yang 9. membedakan orang satu dengan yang lain dan tidak berubah lintas waktu dan

situasi (Phares)

(http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1943457-pengertian-kepribadian diambil pada tanggal 16 Maret 2010)

Menurut Farber (1981: 15) jelas, masing-masing definisi mencoba menonjolkan aspek yang berbeda-beda, dan disusun untuk menjawab tantangan permasalahan yang berbeda. Lebih menguntungkan memahami beberapa teori dan memilih teori yang tepat untuk diterapkan pada masalah yang tepat, disamping tetap memakai teori-teori yang lain sebagai pembanding sehingga keputusan profesional yang diambil seorang psikologi dapat lebih dipertanggung jawabkan. Namun


(32)

sesungguhnya dari berbagai definisi itu, ada lima persamaan yang menjadi ciri bahwa definisi itu adalah definisi kepribadian, sebagai berikut :

1. Kepribadian bersifat umum; Kepribadian menunjuk kepada sifat umum seseorang-fikiran, kegiatan, dan perasaan- yang berpengaruh terhadap keseluruhan tingkah lakunya.

2. Kepribadian bersifat khas: Kepribadian dipakai untuk menjelaskan sifat individu yang membedakan dia dengan orang lain, semacam tanda tangan atau sidik jari psikologik, bagaimana individu berbeda dengan yang lain. 3. Kepribadian berjangka lama: Kepribadian dipakai untuk menggambarkan

sifat individu yang awet, tidak mudah berubah sepanjang hayat. Kalaku terjadi perubahan biasanya bersifat bertahap atau akibat merespon suatu kejadian yang luar biasa.

4. Kepribadian bersifat kesatuan: Kepribadian dipakai untuk memandang diri sebagai unit tunggal, struktur atau organisasi internal hipotetik yang membentuk suatu kesatuan.

5. Kepribadian bisa berfungsi baik atau buruk: Kepribadian adalah cara bagaimana orang berada di dunia. Apakah dia tampil dalam tampilan yang baik, kepribadiannya sehat dan kuat? Atau tampil sebagai burung yang lumpuh? Yang berarti kepribadiannya menyimpang atau lemah? Ciri kepribadian sering dipakai untuk menjelaskan bagaimana dan mengapa orang senang dan mengapa susah, berhasil atau gagal, berfungsi penuh atau berfungsi sekedarnya.


(33)

Freud (dalam Horton & Hunt, 1999: 110) adalah teoritis pertama yang memusatkan perhatiannya kepada kepribadian, dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan awal-awal dalam pembetukan karakter seseorang. Freud yakin dasar kepribadian sudah terbentuk pada usia 5 tahun, dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun sebagian besar hanya merupakan elaborasi dari struktur dasar tadi. Tehnik psikoanalisis mengeksplorasi jiwa pasien antara lain dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanak.

1. Struktur Kepribadian

Manusia adalah mahluk sosial. Bahwa manusia merupakan suatu keseluruhan yang tidak dapat terbagi-bagi, tampaknya sudah jelas bagi kita. Hal ini merupakan arti pertama dari ucapan “manusia adalah mahluk individual “. Mahluk individual berarti mahluk yang tidak dapat dibagi-bagi (in-dividere).

Aristoteles (dalam Soekanto, 1990: 44) seakan-akan berpendapat bahwa manusia itu merupakan penjumlahan dari beberapa kemampuan tertentu yang masing-masing bekerja sendiri, seperti kemampuan vegetatif: makan, berkembang biak; kemampuan sensitif: bergerak mengamati-amati, bernafsu, dan berperasaan; berkemampuan intelektif: berkemampuan dan berkecerdasan.

Segi utama lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa manusia secara hakiki merupakan mahluk sosial. Sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan pergaulan dengan orang-orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya, yaitu makan, minuman, dan lain-lain.


(34)

Manusia, selain mahluk individual yang sebenarnya tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya, sekaligus juga merupakan mahluk sosial. Hal ini pun sebenarnya tidak perlu dibuktikan. Disamping itu manusia merupakan mahluk yang bertuhanan. Hal terakhir juga tidak perlu dibuktikan lagi, sebab bagi manusia terutama Indonesia yang sudah dewasa dan sadar akan dirinya sudah jelas sulit menolak adanya kepercayaan terhadap Tuhan, sebagai segi hakiki dalam perikehidupan manusia dan segi khas bagi manusia pada umumnya.

Adler (dalam Eysenk, 1971: 47) yakin bahwa individu memulai hidup dengan kelemahan fisik yang mengaktifkan perasaan interior, perasaan yang menggerakkan orang untuk bergerak atau berjuang menjadi superioritas atau menjadi sukses. Individu yang secara psikologis kurang sehat berjuang untuk menjadi pribadi superior, dan individu yang sehat termotivasi untuk mensukseskan umat manusia.

Inferiorta bagi berarti perasaan lemah dan tidak terampil dalam menghadapi tugas yang harus diselesaikan. Bukan rendah diri terhadap orang lain dalam pengertian yang umum, walakupun ada unsur membandingkan kemampuan khusus diri dengan kemampuan orang lain yang lebih matang dan berpengalaman. Superiorita, pengertiannya mirip dengan trandensi sebagai awal realisasi diri dari Jung, atau aktualisasi dari Horney dan Maslow. Superiorita bukan lebih baik dibanding orang lain atau mengalahkan orang lain, tetapi berjuang menuju superiorita berarti terus menerus berusaha menjadi lebih baik-menjadi semakin dekat dengan tujuan final.


(35)

Meskipun kepribadian itu unik tetapi ada beberapa ahli yang berusaha menggolongkan kepribadian, misalnya Grinker (1977: 74) yang membagi tipologi kepribadian menjadi 4 tipe yaitu;

1) kholeris,

2) melankolis,

3) plegmatis, dan

4) sanguinis.

Kuhn (1960: 39) meninjau tipologi kepribadian berdasarkan segi konstitusi dan temparament. Berdasarkan konstitusi jasmani manusia digolongkan menjadi tipe

piknis, leptosom, atletis dan displatis. Sedangkan berdasarkan temperamen

kejiwaan manusia digolongkan menajdi schizophrenia dan depresif. Berdasarkan orientasi nilai, Goffman (1956: 33 ) menggemukakan 6 tipologi manusia yaitu, teoritik, ekonomi, estetis, agama, moral, dan kekuasaan, pengukuran kepribadian dapat ditempuh dengan cara observasi, inventory dan teknik proyektif.

E. Tinjauan Mengenai Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa: “Anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memberikan batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua pulu satu) tahun. Seperti yang dinyatakan dalam pasal 330 yang berbunyi: “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin”.


(36)

Pengertian tentang anak secara khusus (legal formal) dapat kita ketemukan dalam pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan”.

Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak adalah: “ Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) Tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986: 10) anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. Augustinus (dalam Suryabrata, 1987: 87), yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa.


(37)

Horton (1999: 90), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (dalam Syamsudin, 1992: 20), berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.

Pengertian anak juga mencakup masa anak itu exist (ada). Hal ini untuk menghindari keracunan mengenai pengertian anak dalam hubugannya dengan orang tua dan pengertian anak itu sendiri setelah menjadi orang tua. Horton & Hunt (1999 : 94), mengatakan anak adalah makhluk yang sedang dalam taraf perkembangan yang mempunyai perasaan, pikiran, kehendak sendiri, yang kesemuannya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangannya.

Dalam proses perkembangan manusia, dijumpai beberapa tahapan atau fase dalam perkembangan, antara fase yang satu dengan fase yang lain selalu berhubungan dan mempengaruhi serta memiliki ciri-ciri yang relatif sama pada setiap anak. Disamping itu juga perkembangan manusia tersebut tidak terlepas dari proses pertumbuhan, keduanya akan selalu berkaitan. Apabila pertumbuhan sel-sel otak anak semakin bertambah, maka kemampuan intelektualnya juga akan berkembang. Proses perkembangan tersebut tidak hanya terbatas pada perkembangan fisik, melainkan juga pada perkembangan psikis.


(38)

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa anak merupakan mahkluk sosial, yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya, anak juga mempunyai perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak). Perkembangan pada suatu fase merupakan dasar bagi fase selanjutnya.

F. Tinjauan Mengenai Kepribadian Anak

Menurut Farber (1981: 17) kepribadian adalah kumpulan karakter yang ada dalam diri setiap orang yang membedakan satu orang dengan lainnya. Kepribadian ini akan berpengaruh pada cara seseorang berpkir, bersikap dan bertindak. Kepribadian diyakini telah ada dalam dirisejak lahir dan kemudian berkembang dalam interaksi dengan lingkungan.

Istilah “kepribadian”(personality) berasal dari kata latin “persona” yang berarti “topeng”.Pembentukan gaya pribadi merupakan hasil pengaruh dari percampuran dua factor,yakni genetic dan lingkungan.karenanya,hal tersebut bisa diamati sejak bayi.Selanjutnya perkembangan karakteristik itu sangat bergantung pada respons lingkungan.Bila memberikan respons positif,tentu saja gaya pribadi ini akan dipertahankan.Sebaliknya bila negative, si individu cenderung akan menggunakan gaya pribadi dari pasangan sebaliknya.


(39)

1. Jenis Kepribadian Anak

Menurut Freud (dalam Horton & Hunt, 1999: 111) ada 2 jenis kepribadian anak yang sangat mendasar yaitu Ekstrover dan Introver.

1. EKSTROVER (E): AKTIF (BANYAK BICARA)

Bila anak lebih memilih memerhatikan dunia luar seperti orang-orang,kegiatan dan benda-benda, anak termasuk si ekstrover. Para ekstrover mendapatkan energi dari kebersamaan dengan orang lain dan ikut terlibat dalam kegiatan. Semakin sering dilakukan,si ekstrover semakin bersemangat, energinya pun semakin besar. Hal sebaliknya akan terjadi bila si ekstrover harus berada dalam situasi sendiri. Mereka yang ekstrover terlihat dari ciri-cirinya yang ramah dan mudah bergaul, antusias, menikmati interaksi, memahami dunia dengan mengalami, suka bicara dan diskusi, bahkan kerap menuturkan pemikirannya lewat bicara, karenanya dikenal sebagai si aktif (banyak bicara).

2. INTROVER(I): PASIF (PERENUNG/ PENDIAM)

Sebaliknya bila focus perhatian anak adalah dunia di dalam diri berupa konsep-konsep dan ide, anak termasuk si introver. Orang-orang introvert mendapatkan energinya bila mereka diizinkan untuk sendiri dan melakukan hal-hal yang terkait dengan perenungan atau pemikiran sendiri. Interaksi dengan banyak orang sekaligus akan membuat si introvert merasa kehabisan energi. Akibatnya, sikap-sikap yang tampak dari si introver adalah lebih suka melakukan segala sesuatunya sendiri, banyak berpikir sebelum bertindak atau berbicara, lebih suka menuangkan pikiran dan perasaannya tanpa bicara,dan menikmati kegiatan merenung, maka ia dikenal sebagai si pasif (perenung/pendiam).


(40)

Meski saling berlawanan, pasangan dimensi ini saling membutuhkan. Ekstrover membutuhkan introver untuk melihat hal yang lebih mendalam dari suatu konsep dan memikirkan segala kemungkinan sebelum bertindak. Sementara introver membutuhkan ekstrover untuk dapat lebih cepat bertindak dan melakukan banyak hal sekaligus.

a. Anak belajar lewat mendengar b. Anak belajar lewat melihat c. Anak belajar lewat merasa d. Anak belajar lewat berbuat e. Anak belajar lewat berpikir

Kalau anak sudah bilang terserah mama,bila disuruh memilih,itu merupakan tanda stressnya sudah tinggi. Pertama yang kita tekankan dalam pendidikan anak adalah akidah akhlak, Al Qur’an menjadi pijakan

2. Tipe Kepribadian Anak

Sebagai orangtua tentu pantas mengetahui dan paham benar tipe kepribadian sang buah hati. Kepribadian itu berbeda-beda. Berikut dipaparkan beberapa tipe kepribadian anak.

1. Pemarah.

Merupakan tantangan bagi orangtua, karena tipe pemarah agak sulit. Anak akan mengekspresikan apa saja yang tidak ia sukai atau ia tidak setujui dengan marah. Hal ini tentu harus dikendalikan, karena hampir semuanya diperlakukan dengan marah. Orangtua sebaiknya mengantisipasi apa saja yang bisa membuat ia marah.


(41)

Saat anak marah lekaslah menengkannya. Anak pemarah biasanya kurang perhatian, oleh karena orangtua harus mulai memperhatikan anak lebih baik dan tulus.

2. Pendiam.

Sikap diam dan cenderung pasif akan membuat anak kehilangan banyak teman. Jangan biarkan anak berdiam lama, karena memungkinkan ia masuk dunia yang tak akan pernah dimengerti siapapun yang menjadikan sulit orangtua mengetahui siapa ia sebenarnya. Cara terbaik, selalu libatkan ia dalam kehangatan keluarga. Jika ia mulai diam, lakukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Lakukan hampir setiap ia akan diam, harapannya agar diam yang menjadi kebiasaannya hilang.

3. Bersahabat.

Anak ini lebih unggul dari yang lain. Karena dengan sikap bersahabat, ia dengan sendiri dapat membuka pikiran dan bergaul baik dengan siapa saja. Pikiran sang anak selalu dalam keadaan positif. Ia mampu menyelami banyak permainan. Orangtua lebih baik menemani dan mendorong bakat alaminya dari belakang. Terapkan sikap waspada kepada anak yang bersahabat, karena tidak selalu ia dalam keadaan aman.

4. Keras Kepala.

Ia memiliki pendapat sendiri dan tidak mau diatur. Selami ia lebih tenang, dengan lebih sabar karena anak keras kepala akan banyak memancing emosi. Lihatlah keinginan anak yang sebenarnya. Jika sudah tahu, jangan turuti keinginannya. Melainkan ajarkan sebuah usaha untuk meraihnya. Temani ia dengan sabar dan


(42)

hindari pemaksaan. Ingat, anak keras kepala bisa menjadi manja dan tidak mandiri.

5. Egois.

Anak egois lebih memiliki ketakutan lebih dari pada yang normal. Ia menjadi tidak peduli pada teman karena takut apa yang dikerjakannya tidak sempurna. Ia juga takut disaingi. Sebaiknya mengajari untuk berbagi dari hal-hal kecil terlebih dahulu. Mintalah anak untuk berbagi barang atau hadiah kepada adik atau kakaknya. Sambil memberitahu bahwa ia tidak akan kehilangan apapun jika berbagi.

6. Pemalas.

Anak yang sering dibantu dalam melakukan kegiatannya akan menjadi pemalas. Boleh membantu anak hanya pada awalnya. Biarkan anak menyelesaikan tugas yang ia miliki. Tuangkan waktu Anda untuk mendengar apa yang diinginkannya. Dari cerita sang anak Anda bisa tahu apa yang menyebabkannya malas dan segeralah bantu ia memperbaiki itu. Anak malas jangan dimanja.

7. Perfeksionis.

Anak-anak tidak bisa menjadi perfeksionis jika bukan karena tuntutan lingkungannya termasuk orangtua. Anak yang dari awal dilatih untuk mengerjakan suatu hal dengan sempurna, jika salah sedikit dihukum. Sifat ini membahayakan dirinya yang masih anak-anak. Anak perfeksionis lebih tertekan secara psikologis dari pada anak biasa. Wajib bagi orangtua memberi penjelasan


(43)

agar melakukan sesuatu tidak harus menjadi juara. Asal sudah berusaha maksimal itu sudah bagus.

8. Suka Ngambek.

Anak suka ngambek cenderung manja. Apa-apa yang ia ingin selalu dituruti. Lambat laun hanya akan menyusahkan saja. Orangtua baik akan menunda memenuhi keinginnanya. Mulailah memberi tekanan-tekanan kecil pada anak yang suka ngambek. Butuh kesabaran ekstra dari orangtua mengatasi anak suka ngambek ini. Jelasnya, jangan asal banyak menuruti anak.

9. Pasif.

Anak pasif lebih lamban dan tidak banyak semangat terlihat pada dirinya. Lakukan pendekatan kekeluargaan. Libatkan secara aktif dalam kegiatan keluarga dan permainan yang seru. Buatkan jadwal rutinitas untuknya sehingga bisa memicu pikiran aktif. Selalu memberi dukungan dalam kegiatannya, meskipun sedikit. (Panic Surfer)

(http://budakbangka.blogspot.com/2010/01/tipe-kepribadian-anak.html,diakses pada tanggal 14 Maret 2010)

Salah satu psikolog beraliran neo-freudian, Alfred Adler (dalam Eysenk, 1971: 55), melakukan penelitian dan mendalilkan pengaruh urutan anak terhadap kepribadiannya.

Ia mengamati, anak-anak sesuai urutan kelahirannya dalam keluarga memegang posisi kekuasaan yang berbeda. Pencarian identitas dan perhatian dipengaruhi


(44)

oleh posisi urutannya. Perbedaan lingkungan yang hadir pada anak pertama, tengah, dan bungsu juga bisa membawa mereka pada kepribadian yang berbeda. Dalam dalilnya, seperti dikutip dari forum diskusi psikologi di sebuah situs psikologi, disebutkan bahwa dalam pandangan Adler semua anak berusaha menjadi superior dan berjuang demi mendapat perhatian,serta kasih sayang orangtuanya. Mereka umumnya berkompetisi untuk menarik perhatian. Kondisi ini membentuk kepribadian mereka berbeda dan mencerminkan usaha mencari perhatian.

Disebutkan Adler (dalam Eysenk, 1971: 46), setiap anak lahir dalam tahapan berbeda. Sebagai contoh, anak pertama lahir dalam keluarga kecil, sehingga ía menerima banyak perhatian. Lalu anak kedua lahir dalam keluarga yang sudah terdapat anak yang lebih tua. Pada tahap ini, anak pertama umumnya lebih vokal dalam memberitahu adiknya atas apa yang harus dikerjakan serta bagaimana mengerjakannya.

Di sisi lain, anak kedua cenderung mengamati anak pertama. Ia merasa harus berkompetisi untuk mendapat perhatian dan kasih sayang. Anak kedua menemukan jalan yang berlainan untuk menjadi pusat perhatian. Mereka cenderung memilih jenis olahraga, hobi, dan areal yang berbeda dalam mencapai sesuatu. Sama halnya dengan ciri kepribadian mereka yang berbeda.

Anak terakhir biasanya mempunyai tantangan lebih sulit lagi. Terlebih pada masa ini, keluarga sudah dipenuhi oleh anak yang jumlahnya tidak satu, dengan usia


(45)

lebih tua pula. Anak bungsu cenderung tidak sekuat yang dilihat. Mereka lebih bébas membentuk kepribadiannya, dan tidak dituntut menjadi high achiever.

Mereka tidak mendapat tekanan kuat dari orangtua untuk mencapai sesuatu lebih tinggi. Sebaliknya, mereka mendapat tekanan untuk tetap menjadi „bayi” atau anak kecil. Dengan begitu mereka tidak bisa tumbuh dengan cepat, walaupun menurut Adler, anak bungsu lebih santai dan lebih bebas.

Urutan anak dalam keluarga sangat kompleks. Faktor seperti usia orangtua, urutan anak serta jenis kelamin saudara, agama, dan keyakinan budaya serta variabel penting lainnya juga berperan dalam membuat tahapan atas sesuatu yang dipelajari anak.

3. Ciri Anak Berdasarkan Urutan Kelahiran

Menurut Roslina Verauli, MPsi., karakteristik anak bisa dilihat berdasarkan urutan kelahiran seperti yang disebutkan Adler (dalam Eysenk, 1971: 61)

a. Sulung:

1. Kerap terbebani dengan harapan atau keinginan orangtua. Anak pertama sangat penting bagi ego orangtua. Itu sebabnya, si sulung didorong untuk mencapai standar sangat tinggi sebagai representasi orangtua.

2. Cenderung tertekan.

3. Senang menjadi pusat perhatian. Perkembangan kepribadiannya lebih optimal saat ia memperoleh perhatian.

4. Orangtua cenderung lebih memperhatikan dalam mendidik anak pertama. 5. Anak pertama biasanya seorang high achiever (memiliki keinginan berprestasi


(46)

tinggi).

1. Saat adik lahir, ia mempunyai tempat kehormatan bagi adik. Meski begitu, saat pusat perhatiannya terganggu oleh adik, ia bisa iri dan tidak aman.

7. Cenderung diberi tanggung jawab oleh orangtua untuk menjaga adiknya. 8. Belajar bertanggung jawab dan mandiri melalui kegiatan sehari-hari. 9. Dapat diandalkan.

10. Cenderung terikat pada aturan-aturan. 11. Dominan, konservatif, dan otoriter. 12. Mempunyai pemikiran yang tajam. 13. Lebih sensitif.

14. Banyak anak pertama yang mendapat posisi puncak seperti direktur atau CEO. 15. Tak sedikit anak pertama yang merasa menderita karena tidak sukses.

b. Anak kedua atau tengah

1. Cenderung lebih mandiri sehingga dapat membentuk karakternya sendiri. Misalnya, sang ibu menggendong adik dan bapak memegang kakak, ia tidak tahu harus bergantung pada siapa. Akhirnya ia menjadi anak yang lebih mandiri.

1. Karena terabaikan, anak kedua atau tengah cenderung mempunyai motivasi tinggi, bisa dalam hal prestasi maupun sosialisasi.

3. Cenderung lebih bebas dari harapan orangtua dan independen. 4. Pandai melihat situasi.

5. Aturan yang diterapkan lebih longgar. Anak kedua umurnnya diperbolehkan melakukan hal-hal tertentu dengan sedikit batasan.


(47)

6. Berjiwa petualang. Suka berteman dan hidup berkelompok. 7. Bebas mengekspresikan kepribadiannya yang unik.

8. Cenderung lebih ekspresif. Berambisi untuk melampaui kakaknya, terlebih bila jarak usianya berdekatan.

9. Walau cenderung suka melawan, anak kedua biasanya lebih mudah beradaptasi. 10. Tidak rapi.

11. Memiliki bakat seni.

12. Cenderung sangat membutuhkan kasih sayang. 13. Kerap kesulitan menggambarkan kepribadiannya.

14. Cenderung merasa tidak disayang orangtua dan merasa tidak bisa lebih baik daripada kakaknya.

c. Bungsu

1. Tergolong anak yang sulit karena mempunyai kakak yang dijadikan model. 2. Kerap merasa inferior (rendah diri), tidak sehebat kakak-kakaknya.

3. Dalam pengasuhan kerap dibantu orang sekitar, sehingga tidak terlalu sadar dengan potensi dirinya.

4. Cenderung dimanjakan dan kasih sayang banyak tercurah padanya. Lebih merasa aman.

5. Cenderung tidak dewasa dan kurang bertanggung jawab. 6. Biasanya paham bahwa mereka termasuk spesial.

7. Dianggap sebagal “anak kecil” terus menerus. 8. Aturan yang diberlakukan padanya lebih longgar. 9. Hanya diberi sedikit tanggung jawab dalam keluarga.


(48)

10. Umumnya tidak diberi banyak tugas, dan tak perlu mengasuh adik.

11. Sedikitnya pengalaman dalam belajar bertanggung jawab membuat si bungsu menghindari tanggung jawab dan komitmen, terutama bila orangtua senang memperlakukannya sebagai “bayi”.

12. Lebih spontan dan mempunyai jiwa yang lebih bebas.

13. Banyak komedian dan pembawa acara merupakan anak tengah atau anak bungsu karena bebas mengembangkan kepribadian mereka yang unik.

G. Kerangka Pemikiran.

Sosialisasi bahasa baik verbal ataupun non verbal yang difokuskan pada orang tua yang mempunyai anak-anak yang sedang atau pernah duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pola asuh orang tua pun sangat berperan dalam interaksi serta komunikasi bahasa terhadap anak-anak. Perbedaan dalam proses sosilaisasi bahasa pun berpengaruh dengan kepribadian anak yang mulai terbentuk ketika duduk di sekolah dasar.

Pada yang tertulis dalam latar belakang bahwa orang tua mempunyai tugas untuk menyaring bahasa yang diterima anaknya dari lingkungan sekolahnya dan lingkungan sosial sekitarnya. Namun pada masa sekarang, anak-anak kini sudah tidak lagi mendapat perhatian khusus terhadap perkembangan bahasa dan kepribadiannya. Orang tua juga berperan penting dalam menjalin komunikasi dan pemberian bahasa pada anak. Sejak lahir, anak sudah diberikan potensi berbahasa yang baik. Teori yang menjadi fokus adalah jenis kepribadian yaitu Ekstrover dan Interover.


(49)

Sosialisasi bahasa sebagai media atau alat bantu komunikasi dalam penyampaian informasi bahasa kepada anak-anak yang akan menjadi awal terbentuknya keperibadian anak. Ada 2 jenis keperibadian anak yang menjadi dampak pada sosialisasi bahasa yang anak terima dari keluarga maupun dari lingkungan sekitarnya, yaitu Ekstrover dan Introver.

Ekstrover adalah anak yang lebih memilih untuk terbuka pada dunia luar, merasa

tertarik dalam kebersamaan dengan orang lain. Ciri-ciri anak ekstrover adalah ramah, mudah bergaul, antusias, menikmati interaksi, memahami dunia dengan mengalami, suka bicara dan diskusi.

Introver adalah anak yang lebih fokus terhadap dunia di dalam dirinya sendiri,

lebih suka untuk membuat konsep ide. Ciri-ciri anak introver adalah lebih suka melakukan segala sesuatunya sendiri, banyak berpikir sebelum bertindak atau berbicara, lebih suka menuangkan pikiran dan perasannya tanpa bicara, dan menikmati kegiatan merenung.

Ekstrover dan Introver adalah 2 hal yang berlawanan tetapi saling membutuhkan.

Pemahaman orang tua terhadap awal terbentuknya kepribadian anak ketika anak sudah menunjukkan ciri-ciri atau gejala awal tingkah laku anak-anak. Anak bisa saja lebih condong ke arah Ekstrover ketika pola asuh orang tua yang lebih suka menerapkan sistem terbuka (lebih suka berinteraksi dan berkomunikasi baik di dalam keluarga atau terhadap orang lain) dan si anak merasa tertarik dan nyaman bila bersama orang lain. Anak pun bisa saja lebih condong ke arah Introver ketika orang tua menerapkan sistem tertutup pada dunia luar.


(50)

Tidak menjadi jaminan ketika orang tua menerapkan sistem terbuka atau tertutup (lebih suka sedikit berinterasi dan berkomunikasi dengan keluarga atau terhadap orang lain) dalam sosialisasi bahasa mereka dan pembentukkan keperibadian anak-anak mereka. Semua ini kembali pada orang tua yang mempunyai cara-cara tersendiri dalam mensosialisasikan bahasa terhadap anak mereka. Orang tua mengerti benar akan sifat atau kepribadian anak-anaknya, maka dari itu yang akan menjadi fokus dalam informan penelitian nanti adalah orang tua.

H. Skema Kerangka Pemikiran

SOSIALISASI BAHASA

KEPRIBADIAN ANAK


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Menurut Faisal (1992:131), tipe penelitian merupakan cara utama yang diperlukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan teknik serta alat-alat tertentu. Cara ini dipergunakan setelah peneliti memperhitungkan kewajarannya ditinjau dari tujuan penelitian.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, karena ditinjau dari sudut cara dan taraf pembahasan masalahnya serta hasil yang akan dicapai. Penelitian ini bermaksud mengetahui dan menjelaskan pengaruh sosialisasi bahasa terhadap anak sebagai awal pembentukan kepribadian di lingkugan keluarga dan sosial dilihat juga dari aspek sosiologi. Oleh karena itu jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif.

Menurut Danim (dalam Fahmi, 2007: 66), pada pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, kalupun angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang dimaksud meliputi transkrip wawancara, catatan dan lapangan, foto-foto, dokumen pribadi,


(52)

deskriptif.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jalan Sultan Haji RT. 009 Lk. 001, Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana persepsi orang tua tentang sosialisasi bahasa yang dialami anak-anak di lingkungan rumahnya serta masing-masing kepribadian dan pengaplikasiannya.

C. Fokus Penelitian

Dalam suatu penelitian sangat penting adanya fokus penelitian karena fokus penelitian akan dapat membatasi studi yang akan diteliti. Tanpa adanya fokus penelitian, peneliti akan terjebak oleh melimpahnya volume data yang diperoleh di lapangan. Penerapan fokus penelitian berfungsi dalam memenuhi kriteria-kriteria, inklusi-inklusi, atau masukan-masukannya, menjelaskan informasi yang diperoleh di lapangan. Dengan adanya fokus penelitian, akan menghindari pengumpulan data yang serampangan dan hadirnya data yang melimpah ruah.

Menurut Miles dan Huberman (1992:30) memfokuskan dan membatasi pengumpulan data dapat dipandang kemanfaatanya sebagai reduksi data yang sudah diantisipasi dan ini merupakan bentuk pra-analis yang mengesampingkan variabel-variabel yang tidask berkaitan untuk menghindari pengumpulan data yang melimpah. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada:


(53)

anak ketika anak tersebut berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungannya.

2. Jenis kepribadian anak.

D. Penentuan Informan

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi, ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Ia berkewajiban secara sukarela menjadi anggota tim penelitian walaupun hanya bersifat informan (Maleong, 2006:132).

Kegunaan informan bagi peneliti ialah membantu agar secepatnya dan tepat seteliti mungkin dapat membenamkan diri dalam konteks setempat. Disamping itu, pemanfaatan informasi bagi peneliti ialah agar dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang terjaring (Lincoln dan Guba 1985:258) dalam (Maleong, 2006:132).

Adapun kriteria yang digunakan untuk menentukan informan menurut Spradley dalam (Endraswara, 2006:118), yaitu:

1. Enkulturasi penuh, maksudnya informan mengetahui budayanya dengan baik secara alami.

2. Keterlibatan langsung, maksudnya informan masih terlibat secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menajdi sasaran penelitian.

3. Waktu yang cukup, maksudnya informan mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk dimintai informasi.


(54)

Menurut Faisal (1992:57-58), dalam memilih informan agar lebih terbukti perolehan informasinya, ia mengajukan beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan informasi yaitu :

1. Subjek yang telah lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian dan ini biasanya ditandai oleh suatu kemampuan memberikan informasi di luar kepala tentang sesuatu yang ditanyakan.

2. Subjek yang terikat secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian.

3. Subjek mempunyai banyak waktu atau kesempatan untuk dimintai informasi.

4. Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dikemas terlebih dahulu atau dengan kata lain mereka yang relatif masih lugu dalam memberikan informasi.

5. Subjek yang sebelumnya tergolong masih asing dalam penelitian sehingga penelitian merasa lebih tertantang untuk belajar sebanyak mungkin dari subjek yang semacam “guru besar” bagi dirinya.

Kriteria yang digunakan untuk memilih informan adalah orang tua yang memiliki 2 orang anak atau lebih yang berumur 13 tahun sampai 18 tahun.


(55)

Pada penelitian ini ada beberapa alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Alat pengumpul data tersebut berfungsi saling melengkapi akan data yang dibutuhkan. Untuk mengumpulkan data dan informasi pada penelitian ini, digunakan beberapa teknik berikut:

1. Teknik/Studi Dokumenter

Menurut Nawawi (1993: 101) teknik/studi dokumenter adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yag berhubungan dengan masalah penyelidikan. Sebagai bahan tambahan dalam memperoleh data, peneliti juga melakukan studi pustaka. Menurut Nawawi (1993: 109) studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dan informasi dari berbagai sumber, seperti buku-buku yang memuat berbagai ragam kajian teori yang sangat dibutuhkan peneliti, majalah-majalah, naskah-naskah, kisah sejarah, dan dokumen. Termasuk di dalamnya adalah rekaman berita dari radio, televisi, dan media elektronik lainnya. Penggunaan studi kepustakaan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mencari dan menghimpun informasi/data yang bersifat kepustakaan dan dokumentatif, seperti: artikel-artikel (dalam jurnal ataupun internet), skripsi, hand out kegiatan, dan lainnyadalam proses pengumpulan data.


(1)

Untuk sepatu bututku yang menemaniku kuliah mulai dari awal aku menjadi mahasiswa hingga tingkat akhir wisuda. Kenangan yang kita lalui begitu indah oh

sepatu bututku tersayang

Untuk seseorang yang aku sayangi hingga detik ini. Ketidakbersamaan yang aku rasakan membuatku tetap percaya dengan rasa sayang dan cintaku

“Semoga karya kecilku ini, dapat membuat kalian lebih menyayangiku Amin ya Robbal Allamin”

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Syukur Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat Rahmat, Karunia, dan HidayahNya, Skripsi yang berjudul : SOSIALISASI BAHASA DALAM PEMBENTUKKAN KEPRIBADIAN ANAK (Studi pada orang tua di Kelurahan Sepang Jaya Kecamatan Kedaton Bandar Lampung), dapa terselesaikan.


(2)

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Ilmu Sosiologi pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Benjamin, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi dan dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Susetyo, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Sosiologi, Dosen Pembimbing Utama dan Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih atas waktunya, ilmunya, bimbingannya, arahannya, yang selalu membantuku memahami skripsi yang kujalani. Terima kasih atas nasehat-nasehat membangun tentang hidup, yang menginspirasiku agar menjadi manusia yang lebih baik.

4. Bapak Drs. Gunawan Budikahono, selaku Dosen Pembahas Utama dan Dosen Penguji, terima kasih atas arahan dan bimbingannya kepadaku saat melakukan proses skripsi hingga selesai.

5. Dosen Jurusan Sosiologi khususnya, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Lampung umumnya.


(3)

6. Untuk keluarga besar Hi. Ibrahim Saleh Umpusinga(alm), untuk uwaq Ros, mamah Bedah, tante Em, om Midan, Binda. Terima kasih atas bantuan moril dan materil yang diberikan kepadaku hingga aku bisa mencapai gelar sarjana. Terima kasih banyak.

7. Untuk Angela Siske Mardiana (Ses Icke) dan Michael Apriyawan (Kak Mike), Batin Zilly Perisa dan Pimpinan Mira, Ses Gusti dan Bung Andre Bramahesa, Varah Ladysti (Ndee) (perjuangan kita bersama dari masuk kulaih sampai lulus wisuda bareng), Tito, Fais, Mesya serta keponakan kecilkuh Jimmy. Sayang kalian semua.

8. Untuk keluarga besar Clemen Sukiman(alm), untuk embah putiku tercinta, bude Yani dan pakde Dawam, bude Martini dan pakde Kadar, pakde Datno dan bude Heni, tante Yi dan om supri, om Edi dan tante Yustin. Terima kasih banyak atas bantuan moril dan materilnya.

9. Untuk mamas Antonius Wimy Yanupramboko (Wimot), mamas Yosef Eva Agutiandar (Epol), mamas Yohanes Rizki Yanuar Putra (Kinol), aku sayang kalian semua wahai mamas-mamasku. Untuk mamas Felix

Hendrawan, mamas Andre, Margaretha Nevina, Gabriela Mourentya Gesta, Martinus Gilbeth Novriadi, Valentino Verocia Viriatama (Vio) dan celotehan kecil bayikuh tersayang Veronica Virginia Viriane (berkat kamu, aku bisa melepaskan penatku dalam mengerjakan skripsi ini)


(4)

10.Untuk HMJ Sosiologi, Presidium masa jabatan 2009 – 2010. Juniantama Ade Putra (mantum yang selalu buat gw kesel karena ngaretna, tapi makasih iia karena lu juga gw ngerti tentang organisasi ), Rihanna Hamami, Giovani Anggasta, Anani Unilawati, Anike Nurmalita RPS, Rizky Saputra (papahku tersayang, hahahahaa), Sani Adi Purnama, Resky Ade Saputra (teman gw yang paling gokil, lucu dan pastina baik hati, hhahahahahaa). Buat Ketum yang baru juga, Mijwad Sepriansah.

11.Untuk mahasiswa Sosiologi kanda dan yunda angkatan 2004 – 2006, kak Aji, kak Ewin, kak John, kak Dwarte, Mbak Maya dan yang lainnya yang tak bisa kusebut satu persatu. Serta mahasiswa Sosiologi adek-adek angkatan 2008 – 2010, semagat kuliahnya.

12.Untuk mahasiswa Sosiologi angkatan 2007, Erine, Ica, Jeni, Dewi, Dita, Widya, Otoy, Ade, Bella, Winda, Andes, Intan, Eka, Septa, Viki, Angga, Martin, Bang Sabar Parapat, dan temna-teman lain yang tak dapat

disebutkan satu persatu. Semangat berjuang ya teman-temanku  13.Untuk Erine Nurmaulidya, S.Sos makacii banyak iia temankuh. Teman

seperjuangan dari masuk kuliah, awal ACC judul hingga akhirnya kita bersama menuju gerbang wisuda. Makacii banyak juga atas semua

dukungan lu rine, curhatan kita bareng. Tak lupa ucapan terima kasih juga untuk si Jeruk, karenanya gw bisa nyampe kampus dan pulang dengan


(5)

selamat, maaf kalau selama ini merepotkan. Temankuh tersayang, awet-awet ya ma Asev 

14.Untuk Rissana Innisa (Ica), makacii banyak iia Ica bau Lucu, maaf kalau selama ini merepotkan dirimu, makacii atas tebengannya, salam buat si Jazz iia. Semangat Icaa untuk seminar 2nya, gerbang wisuda menunggumu Icaa. Semoga langgeng dengan Armen yah 

15.Untuk Dewi Novita Sari, makacii iia dedew atas semua dukungan lu slama ini. Atas waktu yang selalu menemani gw. Seamangat iia dengan seminar 2nya dan gerbang wisuda juga menuggumu. Salam untuk orang-orang Padang ya Uni 

16.Untuk Dita Renisa Nawawi, semangat yah mbak, makacii juga atas semua bantuannya. Fokus juga ke skripsi iia mbak. Aku merindukanmu  17.Untuk Jenievia Alsa, S.Sos, makacii iia Jee atas waktu yang kita lalui

bareng. Semangat Jee dan Erine yang menginspirasi. Kangen Jee  18.Untuk Nikmah Ranti Maulidah (Inoy), makacii banyak sahabatkuh

tersayang. Sahabat yang selalu mendukung, mendengarkan semua keluh kesah, tempat berbagi suka dan duka. Berharap persahabatan yang kita jalin selama bertahun-tahun gak akan putus iia Noy. Semangat untuk kuliah sahabat. We are Best Friend Forever 

19.Untuk keluarga besar D’Last Soda, Asri, Arsya, Mutia, Sandra (Jawa), Ipoy, Rias, Vera, Zelbie, Dina, Vitong, Chintia, Lia, Arif, Deni, dan yang


(6)

lainnya yang tak dapat disebutkan satu per satu. Tetap kompak iia kita sekeluarga.

20.Untuk anak-anak kontrakan dan kosan, Bunga, Citra, Angga d’joule (monyetkuh), Leo (Beruang madukuh), Adi (Padakuh), Idris dan Ijonk. Kangen kumpul dengan kalian lagi 

21.Untuk anak-anak SMA N 9, tetap semangat belajar yah, dan khususnya untuk ekstrakulikuker PMR dan Pakibra-nya.

22.Untuk Junardi Turnip, makacii banyak iia atas bantuannya, sampai akhirnya skripsi ini selesai. Tanpa bantuanmu, gak tauk deh inspirasinya dateng darimana.

23.Dan semua pihak yang telah berjasa, yang tidak dapat kusebutkan satu per satu, terima kasih semoga Allah SWT yang akan membalasnya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Bandar Lampung, 31 Agustus 2010


Dokumen yang terkait

SOSIALISASI BAHASA DALAM PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK (Studi pada Orag Tua di Kelurahan Sepang Jaya Kecamatan Kedaton Bandar Lampung)

1 23 120

EFEKTIVITAS SOSIALISASI KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG TENTANG WAKTU PEMBUANGAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN (Studi pada Kelurahan Sepang Jaya Kota Bandar Lampung)

2 18 112

EFEKTIVITAS SOSIALISASI KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA BANDAR LAMPUNG TENTANG WAKTU PEMBUANGAN SAMPAH SEBAGAI UPAYA MENCIPTAKAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN (Studi pada Kelurahan Sepang Jaya Kota Bandar Lampung)

2 50 116

SIKAP REMAJA TERHADAP DAMPAK NEGATIF KEBIASAAN BERMAIN JUDI ONLINE DI RT 05 LINGKUNGAN 003 KELURAHAN SEPANG JAYA KEDATON BANDAR LAMPUNG

0 14 65

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP LESBIAN (Studi kasus di Kelurahan Sepang Jaya Bandar Lampung )

1 4 65

IDENTIFIKASI PENDIDIKAN MASYARAKAT KELURAHAN SEPANG JAYA KECAMATAN KEDATON PADA PEMILIHAN ANGGOTA DPD LAMPUNG TAHUN 2014

2 30 63

SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN anak

0 0 36

BAB III PROFIL PASAR KOGA KELURAHAN SIDODADIKECAMATAN KEDATON BANDAR LAMPUNG A. Gambaran Umum Pasar Koga Kelurahan Sidodadi Kecamatan Kedaton Bandar Lampung - STRATEGI ADAPTASI PEDAGANG KECIL DI PASAR KOGAKELURAHAN SIDODADI KECAMATAN KEDATON BANDAR LAMPUN

0 1 22

BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul - MAKELAR MOBIL DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi di Showroom Sultan Haji Motor Kelurahan Sepang Jaya Kecamatan Kedaton Bandar Lampung) - Raden Intan Repository

0 0 8

PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN AGAMA ANAK TERHADAP PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN ANAK DI PERUMAHAN GRIYA IMAM BONJOL KECAMATAN LANGKAPURA KOTA BANDAR LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 2 98