7
2.2 Perkawinan Kristen
Pandangan agama Kristen mengenai perkawinan dimulai dengan melihat perkawinan sebagai suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dan memandang pernikahan sebagai tata-
tertib suci yang ditetapkan oleh Tuhan.
3
Firman Tuhan “Tidak baik, kalau manusia itu hidup seorang diri saja. Aku akan jadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”. Kejadian 2:18.
“... dibangunya seorang perempuan, lalu dibawanya, lalu dibawaNya kepada manusai itu”, Kejadian 2:23
“Lalu berkatalah manusia itu: Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku...” Kejadian 2:23.
“Sebab seorang itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu denga istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” Kejadian 2:24.
“Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu, karena itu apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”. Markus 10:8-9
Berpegang kepada Firman Tuhan tersebut, umat Kristus menafsirkan bahwa perkawinan
antara seorang pria dan wanita sejak semula telah diciptakan Tuhan sesuai dengan kehendakNya. Agama Kristen tidak memandang pernikahan yang diteguhkan oleh gereja sebagai suatu
sakramen. Nikah termasuk alam kehidupan yang diciptakan. Kemuliaan Injil bagi pernikahan itu bukanlah pengangkatan pernikahan itu ke alam atas sakramen, tetapi pada kasih Kristus yang
menguduskan kehidupan kelamin dan pergaulan hidup perkawinan itu.
4
Perkawinan Kristen merupakan suatu persekutuan percaya. Persekutuan percaya yang dimaksudkan ialah, bahwa suami dan istri dalam hidup mereka harus mempunyai persesuaian
paham tentang soal-soal prinsipil, seperti makna hidup, maksud dan tujuan perkawinan, tugas suami dan istri, tanggung jawab orang tua, pendidikan anak-anak dan lainya. Perkawinan
merupakan suatu persekutuan hidup antara suami dan istri. Artinya antara dua orang yang pada satu pihak berbeda sebagi pria dan wanita, tetapi yang pada pihak lain sama sebagai manusia
yang diciptakan menurut gambar Allah. Keduanya merupakan suatu dwituggal yang hidup bersama dan yang bekerja sama. Perbedaan mereka sebagai pria dan wanita dikehendaki oleh
Allah. Maksud dari perbedaan itu ialah, supaya mereka saling membantu dan saling melengkapi.
3
J. Verkuyl, Etika Kristen, Jakarta: Gunung Mulia, 1958 cetakan ke 8, 54.
4
J . Verkuyl, 56.
8 Dalam masyarakat perkawina bukan saja dianggap sebagai soal suami dan istri, tetapi juga juga
sebagai soal orangtua dan keluarga.
5
Suami dan istri yang kawin langsung atau tidak langsung berhubungan dengan orang tua dan keluarga mereka. Karena itu mereka harus memperhatikan sikap mereka terhadap orang tua
dan keluarga mereka. Satu hal penting lain yang harus suami dan istri perhatikan ialah bagaimana mereka membina rumah tangga mereka dikemudian hari.
6
Perkawinan adalah suatu organisme, di mana suami dan istri saling membagi dalam kebutuhan dan karunia, suka dan duka mereka. Perkawinan ialah keinginan bersama, dalam
beban hidupnya yang ringan atau yang berat, dan pada pihak lain untuk ditolong sendiri oleh karunia yang kecil atau yang besar dari partnernya itu. Kasih merambak ke kedua pihak, dan
karena itu harus secara psikologis dilukiskan sebagai momentum dialektis, terletak diantara rasa kasihan dan rasa hormat atau dengan kata yang lebih biasa: dalam perkawinan suami dan istri
saling mengasihi.
7
2.3 Saksi